Politik Hukum Pertanahan Dalam Memberika

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 21

POLITIK HUKUM PERTANAHAN

DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP


MASYARAKAT HUKUM ADAT

Oleh: Oloan Sitorus

Membangun peduli terhadap Masyarakat Hukum Adat


Kegiatan Panitia HUT Ke-2 Program Magister Kenotariatan Universitas
Udayana melaksanakan seminar yang mengangkat tema ”Politik Hukum
Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat” dipandang wujud-peduli konkrit pada Masyarakat Hukum Adat
sebagai salah satu masyarakat marjinal di Indonesia. Kepedulian itu
dipandang penting mengingat praktik hukum selama ini menunjukkan bahwa
Masyarakat Hukum Adat (MHA) masih sulit mempertahankan eksistensinya
dari desakan berbagai pihak, seperti investor yang selalu mengedepankan
pembangunan ekonomi pertumbuhan dan berpretensi sebagai pahlawan
kemakmuran serta otoritas kehutanan yang kurang memberikan pengakuan
terhadap MHA sebagai entitas yang dapat sebagai subjek hukum. Oleh karena
itu, penulis mengapresiasi Progam Magister Kenotariatan Universitas Udayana
yang merayakan HUT-nya dengan membangun peduli terhadap MHA dan aset-
utama yang dimilikinya, sehingga ingin mencari berbagai pemikiran untuk
mengadakan perlindungan terhadap MHA dan aset-utamanya, dalam hal ini
Hak Ulayat/Hak Wilayah (beschikkingsrecht: Van Vollenhoven atau
wewengkon).

Sejauhmana perlindungan terhadap MHA dan Hak Ulayatnya berkaitan


dengan politik hukum1 terhadap Hak Ulayat itu sendiri. Apakah arah, bentuk,


) Makalah ini dipresentasikan pada Seminar Nasional ”Politik Hukum Pertanahan dalam
Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”, pada Kampus
Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Jl. Pulau Bali No. 1 Sanglah, Denpasar,
Jumat, 27 April 2012.

) Dosen dan Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional (PPPM STPN), Yogyakarta. Juga menjadi Dosen Tidak Tetap pada
Program Magister Kenotariatan dan Program Doktor Ilmu Hukum USU Medan.

1 Pengertian politik hukum tanah dalam tulisan ini berpangkal pada pengertian politik
hukum yang dikemukakan oleh M. Solly Lubis, Serba serbi Politik dan Hukum, Penerbit
Mandar Maju, Bandung, 1989, hlm. 100, yang menyatakan bahwa politik hukum adalah
kebijakan politik yang menentukan aturan hukum apa yang sebenarnya berlaku mengatur
berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk mengetahui hal-hal/segi-segi
hukum yang ditentukan dalam politik hukum, dapat dilihat pada rumusan Padmo Wahyono,
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 1
dan isi dari materi hukum pertanahan/keagrariaan selama ini menunjukkan
perlindungan terhadap MHA dan Hak Ulayatnya itu. Dalam pada itu, makalah
ini pertama-tama akan mendeskripsikan perkembangan politik hukum
pertanahan nasional tentang Hak Ulayat dalam 2 (dua) tonggak
perkembangan, yakni: sebelum dan sesudah UUPA. Selanjutnya, untuk
memperkaya pemahaman dideskripsikan pula sekilas tanah adat di Asia dan
diakhiri dengan uraian gagasan tentang penataan tanah adat di Bali.

Hak Ulayat sebelum UUPA


Secara sepintas Regerings Reglement 1854 Pasal 64 alinea 3 menyebutkan
pengakuan terhadap Hak Wilayah (ulayat) ini dengan menyatakan: ”tanah-
tanah yang dibuka oleh rakyat untuk pengonan umum atau keperluan lain,
termasuk dalam desa.” Ketentuan ini merupakan pengakuan adanya hak desa
atas tanah dalam lingkungannya. Tetapi dengan Stb. 1896 No. 44 dan Stb
1925 No. 649, maka beschikkingsrecht-nya desa menjadi berkurang, karena
kekuasaan untuk mengatur tanah yang ada dalam lingkungan daerah desanya
(tanah yang belum dibuka) sudah tidak ada lagi, dan tidak dapat lagi
menentukannya. Hak wilayah ini berupa kekuasaan mengatur tanah dalam
lingkungan desa serta menjaga tanah dalam desa itu untuk keselamatan dan
kepentingan penduduknya. 2 Dapat dikatakan, sesungguhnya tidak ada
pengakuan secara tegas terhadap Hak Ulayat (dengan segala variasinya) secara
utuh di seluruh wilayah Hindia Belanda.

Oleh karena itu, Boedi Harsono menyatakan bahwa politik pertanahan


pemerintahan kolonial diarahkan untuk tidak mengakui dan menghormati
Hak Ulayat (beschikkingsrecht: Van Vollenhoven atau wewengkon). Bahkan
Pemerintah Kolonial Belanda menggolongkan tanah-tanah ulayat sebagai
tanah negara bebas (vrij lands domein). 3 Pengambilan tanah ulayat dalam
praktik disertai pemberian sesuatu yang disebut ”recognitie’, sebagai
pengakuan adanya hak masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas
tanah yang diambil. Sesungguhnya, rendahnya pengakuan terhadap tanah

Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, Penerbitan Bersama Firma Wijaya dan Yayasan Tritura
’66, Jakarta, 1989, hlm. 36, yang menyatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar
yang menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk. Ditegaskan pula
olehnya bahwa politik hukum adalah mengenai nilai-nilai, penentuannya, pengembangannya,
dan pemberian bentuk hukumnya. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa masalah politik
hukum adalah juga masalah derivasi nilai.
2 Mochammad Tauchid, Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan
Kemakmuran Rakjat Indonesia, Penerbit Tjakrawala, Djakarta, 1952, hlm. 103-104.
3 Tanah Negara bebas berarti Negara bebas memberikan tanah tersebut kepada pihak

lain. Tanah Negara tidak bebas berarti di atas tanah tersebut Negara tidak bebas memberikan
kepada pihak lain karena tanah tersebut ada yang mendudukinya.
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 2
milik rakyat bumiputera bukan saja terhadap tanah komunalnya, tetapi juga
kepada tanah-tanah milik adat lainnya yang sudah bersifat individual seperti
hak memakai individual yang turun temurun (erfelijk individueelrecht
gebruiksrecht) dan Inlandsbezitrecht. Dalam administrasi pertahanan, tanah-
tanah milik adat tersebut dikenal sebagai onvrij lands domein (tanah negara
tidak bebas). Pada peta pendaftaran kadaster, tanah-tanah tersebut dilukiskan
dengan sebutan lands domein, tanpa menyebut adanya hak rakyat yang diakui
dan dilindungi hukum. Dengan demikian, jika melihat peta kadaster saja,
orang sering keliru menafsirkan status hukum tanah yang bersangkutan,
seakan-akan tidak ada hak rakyat yang membebaninya.4

Pengabaian Hak Ulayat ini semakin tampak nyata dengan adanya Koninklijk
Besluit Stb 1870-118 yang kemudian dikenal dengan Agrarisch Besluit, yang
dalam Pasal 1, intinya menyatakan bahwa semua tanah yang pihak lain tidak
dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein (milik) negara.
Ketentuan ini lebih dikenal sebagai Domein Verklaring (DV). DV ini semula
hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, tetapi dengan Stb 1875-119a DV ini
juga berlaku untuk daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura.
Dengan DV, maka satu-satunya penguasa yang berwenang memberikan tanah
kepada pihak lain adalah pemerintah kolonial Belanda. Politik hukum yang
demikian penting untuk melancarkan misi besar dari Politik Hukum Agraria
Kolonial pada waktu itu, yakni menjadikan Agrarische Wet sebagai instrumen
untuk memfasilitasi pengusaha besar swasta dalam melaksanakan berbagai
usahanya di wilayah jajahan Hindia Belanda.5

Hak Ulayat setelah UUPA


Membaca Pasal 3 UUPA tanpa menyadari hubungan fungsional antara Hukum
secara materiel Hak Ulayat tunduk pada rezim pengaturan UUPA sebagai
hukum positif. Dengan pemahaman yang seperti itu, wajar timbul kesan
seolah-olah pengakuan UUPA terhadap Hak Ulayat adalah sekedar basa-basi.
Akibatnya, ada komentar yang mengatakan bahwa sikap Pasal 3 UUPA
terhadap UUPA ialah “mengakui untuk tidak dilaksanakan”. Alasannya, Pasal
3 UUPA tidak ditindaklanjuti dengan pengaturan penjabaran yang lebih
operasional.

4 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok


Agraria, Isi dan Pelaksanaannya – Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Edisi Revisi Cetakan
Kesepuluh, 2005, hlm. 46.
5 Ibid hlm 35.

Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 3
Boedi Harsono berpendapat bahwa pernyataan UUPA menyatakan bahwa HTN
‘berdasarkan’ Hukum Adat dan HTN ‘ialah’ Hukum Adat, menunjukkan
adanya hubungan fungsional antara Hukum Adat dan HTN. HTN ‘berdasarkan’
Hukum Adat berarti bahwa dalam pembangunan HTN, Hukum Adat berfungsi
sebagai sumber utama dalam pengambilan bahan-bahan yang diperlukan;
sedangkan pernyataan HTN ‘ialah’ Hukum Adat mengandung makna bahwa
dalam hubungannya dengan HTN positif, norma-norma Hukum Adat berfungsi
sebagai hukum yang melengkapi.6

Sikap untuk tetap menggunakan Hukum Adat sebagai pelengkap HTN adalah
suatu hal yang realistik. Disadari bahwa pembangunan HTN merupakan
proses jangka panjang, sementara tindakan-tindakan hukum berkaitan
dengan tanah tetap berlangsung. Dalam hal tindakan-tindakan hukum itu
belum diatur oleh HTN positif (yang tertulis), maka untuk mencegah
kevakuman hukum, berlakulah hukum-hukum positif yang tidak bersumber
pada peraturan perundang-undangan, melainkan bersumber pada hukum
tidak tertulis, seperti Hukum Adat. Pemberlakuan Hukum Adat sebagai
hukum positif bisa juga karena basis sosial yang membutuhkan memang
masih lebih tepat menggunakan hukum yang tradisional daripada hukum
modern. Selain itu, Hukum Adat sebagai hukum positif yang melengkapi
norma-norma HTN mungkin karena tingginya pluralisme masyarakat
pengguna hukum tanah sesuai dengan ragam suku bangsa di Indonesia.

Bagi penulis, meskipun unifikasi hukum merupakan salah satu tujuan


penyusunan UUPA, bukan berarti bahwa UUPA sama sekali menutup pintu
terhadap pluralisme hukum. Misalnya, jika faktor sosial-kultural suatu daerah
masih sangat kuat sehingga masalah pertanahan tertentu masih dirasa lebih
adil dengan ketentuan hukum lokal tersebut, maka kiranya hukum lokal
itulah untuk sementara yang masih tetap berlaku.

Tegasnya, jika kondisi lokal tertentu memang betul-betul masih


membutuhkan, maka ketentuan Hukum Adat lah yang kiranya digunakan
sebagai pelengkap HTN positif (yang tertulis). Hal itu yang tampak secara
implisit antara lain dalam ketentuan Pasal 3, 5, 22, 56, dan 58 UUPA. Dalam
perspektif yang demikian, jelas kiranya bahwa hukum materiel (substantive

6Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok


Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, Cetakan Kedelapan, (Edisi
Revisi), Penerbit Djambatan, Jakarta, 1999, hlm. 201-202.
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 4
law)7 dari Hak Ulayat adalah Hukum Adat. Oleh karena itu, penulis berasumsi
bahwa ketentuan Pasal 3 UUPA yang hanya mengakui Hak Ulayat sebagai
hubungan hukum konkrit (dan bukan secara lengkap sebagai lembaga hukum
dan hubungan hukum konkrit), berpangkal dari pemikiran aliran realisme
hukum (legal realism) yang mengharapkan UUPA sebagai a tool of social
engineering. Sikap yang seperti itu diambil karena merasa yakin bahwa
hakikat Hak Ulayat sebagai hak komunal secara bertahap sesuai dengan
perkembangan peradaban masyarakat hukum adat akan mengalami proses
individualisasi. Artinya, sesuai dengan kebutuhan masyarakat hukum adat,
hak-hak komunal itu secara gradual akan menjadi hak-hak individual.
Kiranya, jalan pemikiran itu juga lah yang menyebabkan sehingga UUPA
membiarkan pengaturan Hak Ulayat secara materiel tetap berlangsung
menurut Hukum Adat.

Lebih tegas Boedi Harsono mengatakan mengatakan:


“Sengaja UUPA tidak mengadakan pengaturan dalam bentuk peraturan perundangan
mengenai Hak Ulayat, dan membiarkan pengaturannya tetap berlangsung menurut
Hukum Adat setempat. Mengatur Hak Ulayat menurut perancang dan pembentuk UUPA
akan berakibat menghambat perkembangan alamiah Hak Ulayat, yang pada
kenyataannya memang cenderung melemah. Kecenderungan tersebut dipercepat
dengan membikin bertambah kuatnya hak-hak individu, melalui pengaturannya dalam
bentuk hukum yang tertulis dan penyelenggaran pendaftarannya yang menghasilkan
surat-surat tanda pembuktian haknya. Melemahnya atau bahkan menghilangnya Hak
Ulayat, diusahakan penampungannya dalam rangka pelaksanaan Hak Menguasai dari
Negara, yang mencakup dan menggantikan peranan Kepala Adat dan para tetua adat
masyarakat hukum adat yang bersangkutan dalam hubungannya dengan tanah-tanah
yang sudah dihaki secara individual oleh para warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan, seperti halnya tanah-tanah daerah lain.” 8

Imbas dari tuntutan ‘reformasi’ mendesak penyelenggara pemerintahan di


bidang keagrariaan/pertanahan untuk mengeluarkan Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Peraturan ini pada hakikatnya menegaskan9
kriteria eksistensi Hak Ulayat dan penentuan keberadaan Hak Ulayat. Sesuai

7 Perhatikan Hendry Campbell Black, op. cit., hlm 1429, yang menjelaskan bahwa
substantive law adalah “that part of law which creates, defines, and regulates rights.
8 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok

Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, 1999, op. cit., hlm 193.


9 Kata ‘menegaskan’ segaja digunakan untuk menandaskan sikap penulis bahwa hukum

materiel dari Hak Ulayat adalah Hukum Adat. Jadi, tidak serta merta ditemukan dalam
Peraturan Menteri Negara/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tersebut.
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 5
dengan semangat desentralisasi yang dibawakan oleh UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa penelitian dan penentuan
masih adanya Hak Ulayat dilakukan oleh Pemerintah Daerah 10 dengan
mengikutsertakan para pakar Hukum Adat, masyarakat hukum adat yang ada
di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-
instansi yang mengelola sumber daya alam.

Meskipun penerbitan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5


Tahun 1999 tidak mengubah dasar hukum materiel Hak Ulayat, tidak dapat
dipungkiri bahwa kehadirannya dapat dikatakan memperkuat political will
pemerintah untuk mengakui Hak Ulayat sebagaimana secara normatif sudah
dinyatakan di dalam Pasal 3 UUPA. Melalui Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 ini, tanggungjawab untuk mengatur
lebih lanjut dan menata Hak Ulayat, sesuai dengan otonomi daerah sudah
berada di tangan Pemerintah Daerah. Hal itu kemudian ditegaskan oleh
Keppres No. 34 Tahun 2003 yang antara lain menyatakan bahwa ‘penetapan
dan penyelesaian masalah tanah ulayat’ dilaksanakan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota. 11 Dapat diterima akal, jika kewenangan untuk ‘penetapan
dan penyelesaian masalah tanah ulayat’ dilaksanakan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota, oleh karena secara asumtif dapat dikatakan bahwa terdapat
variasi Hak Ulayat antara suatu daerah dengan daerah lainnya. Pelaksanaan
masalah tanah ulayat oleh Pemerintah Daerah itu juga selaras dengan titik
berat otonomi daerah yang berada di tangan Pemerintah Kabupaten/Kota.

5. Lihat ketentuan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5
Tahun 1999.
11 Perhatikan Pasal 2 ayat (1) Keppres No. 34 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa

sebagian kewenangan Pemerintah (Pemerintah Pusat maksudnya: penulis) di bidang


pertanahan dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Selanjutnya, ayat (2) dari Pasal 2
Keppres di atas merinci kewenangan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota,
yaitu:
a. pemberian ijin lokasi;
b. penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;
c. penyelesaian sengketa tanah garapan;
d. penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan;
e. penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan
maksimum dan tanah absentee;
f. penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;
g. pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;
h. pemberian ijin membuka tanah;
i. perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota.
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 6
Dalam pada itu, jika negara ini masih konsisten sebagai negara yang
berbentuk unitarisme (negara kesatuan), kiranya arah politik hukum12 tanah
nasional yang bertujuan membangun unifikasi hukum tanah di Indonesia
berdasarkan konsepsi (falsafah), asas dan lembaga hukum adat yang bersifat
nasional, masih tetap dapat dipertahankan seperti yang diharapkan Tap
MPRS No. II/MPRS/1960 dan diputuskan di dalam Seminar “Hukum Adat dan
Pembinaan Hukum Nasional” yang diselenggarakan di Yogyakarta tahun 1975.
Hal yang perlu direformasi dari politik hukum tanah sebelumnya adalah suatu
sikap yang memandang rendah norma-norma Hukum Adat yang secara
faktual masih merupakan kesadaran hukum dari suatu masyarakat tertentu.
Pelecehan itu harus diganti dengan kebijakan penghormatan terhadap norma
hukum tradisional itu sebagai bagian tidak terpisah dari norma HTN positif
(tertulis). Norma HTN sebagai produk hukum negara tidak boleh mengkooptasi
norma Hukum Adat, karena memang Hukum Adat bukan subordinasi dari
norma HTN sebagai produk hukum negara. Posisi norma Hukum Adat ‘sama
berharganya’ dengan produk hukum negara. Dalam pemahaman seperti itulah
kiranya diartikan ‘Arah Kebijakan Hukum’ GBHN 1999-2004 Bab IV A.2. yang
akan menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan
mengakui hukum agama dan hukum adat. Sikap yang demikian itu pulalah
yang mendasari Badan Pembinaan Hukum Nasional yang menjadikan
wawasan pembangunan hukum meliputi: wawasan nusantara, wawasan
kebangsaan, dan wawasan bhineka tunggal ika secara simultan.13

Memberi penghargaan yang sama terhadap norma HTN sebagai produk hukum
negara dengan produk hukum adat tidak perlu berarti bahwa kebijakan
hukum nasional akan beralih dari cita-cita unifikasi hukum ke arah
pluralisme hukum atau pengkotak-kotakan pengguna hukum sebagaimana
politik hukum kolonial yang digariskan pada Pasal 131 jo 163 IS. Sebagai

12Pengertian politik hukum tanah dalam tulisan ini berpangkal pada pengertian politik
hukum yang dikemukakan oleh M. Solly Lubis, Serba serbi Politik dan Hukum, Penerbit
Mandar Maju, Bandung, 1989, hlm. 100, yang menyatakan bahwa politik hukum adalah
kebijakan politik yang menentukan aturan hukum apa yang sebenarnya berlaku mengatur
berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk mengetahui hal-hal/segi-segi
hukum yang ditentukan dalam politik hukum, dapat dilihat pada rumusan Padmo Wahyono,
Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, Penerbitan Bersama Firma Wijaya dan Yayasan Tritura
’66, Jakarta, 1989, hlm. 36, yang menyatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar
yang menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk. Ditegaskan pula
olehnya bahwa politik hukum adalah mengenai nilai-nilai, penentuannya, pengembangannya,
dan pemberian bentuk hukumnya. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa masalah politik
hukum adalah juga masalah derivasi nilai.
13 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional,

Penerbit BPHN-Depkeh, 1995, hlm. 30-32.


Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 7
produk hukum kolonial, kebijakan pluralisme dan pengkotak-kotakan hukum
oleh pemerintahan kolonial tidak terlepas dari taktik politik devide et impera.
Secara hipotetis dapat dikatakan bahwa pluralisme hukum pada waktu itu
digunakan sebagai sarana untuk memecah belah Bangsa Indonesia. Penulis
berpendirian bahwa tuntutan reformasi yang menginginkan pemerintahan
yang demokratis melalui pemberdayaan masyarakat dan daerah seyogianya
tidak meninggalkan cita-cita unifikasi hukum, apalagi untuk hukum dalam
bidang kehidupan netral, melainkan meningkatkan perhatian dan pengakuan
akan eksistensi norma produk hukum masyarakat (norma hukum kebiasaan
dan hukum adat). Artinya, ketika melakukan pembangunan hukum nasional,
konsepsi (falsafah), asas, dan lembaga hukum adat harus sungguh-sungguh
dijadikan sebagai bahan utama pembangunan hukum, namun dengan tetap
memperhatikan kecenderungan globalisasi di bidang hukum. Selanjutnya, jika
kesadaran hukum masyarakat masih memandang hukum adatnyalah yang
lebih tepat sebagai kebutuhannya, maka norma-norma hukum adat yang akan
digunakan sebagai hukum positif. Keberadaannya merupakan bagian yang
setara dengan produk hukum negara. Berarti, keduanya merupakan unsur
yang terintegrasi dalam suatu sistem hukum nasional. Oleh karena itu,
pemerintah tidak perlu memaksakan kehendaknya untuk memberlakukan
produk hukum negara.

Bagaimanakah bentuk dan isi hukum dari aturan yang mengatur Hak Ulayat.
Apakah keberadaan Hak Ulayat yang tunduk pada pengaturan Hukum Adat
tetap dibiarkan berlangsung tanpa bimbingan pemerintah? Tidakkah tetap
dibutuhkan peran pemerintah (karena memang masyarakat hukum adat
sebagai subyek Hak Ulayat berada di dalam suatu negara) untuk mengakui
dan menghormati Hak Ulayat sebagai lembaga penguasaan tanah dari
masyarakat bersahaja Bangsa Indonesia? Untuk itu, kiranya penting melihat
pengaturan tanah-tanah adat di berbagai negara.

Indigenous People di Asia


Jose Martinez Cobo, reporter khusus PBB yang ditugaskan untuk mengkaji
diskriminasi yang diderita oleh masyarakat asli (indigenous people),
menyatakan:
“Indigenous communities, people and nations are those which, having a historical
continuity with pre invasion and pre-colonial societies that developed on their
territories, consider themselves distinct from other sectors of the societies now
prevailing in those territories, or parts of them. They form at present non-dominant
sectors of society and are determined to preserve, develop and transmit to future
generations their ancestral territories, and their ethnic identity, as the basis of their
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 8
continued existence as people, in accordance with their own cultural patterns,
social institutions and legal systems.”14

Definisi di atas memberi beberapa tekanan, sebagai berikut:


1. masyarakat asli (indigenous people) haruslah mempunyai kontinuitas
historis dengan masyarakat pra kolonial dan pra invasi, sehingga tidak
ada masyarakat asli yang muncul tiba-tiba;
2. mempertimbangkan diri sebagai sesuatu yang berbeda dari masyarakat
lainnya yang sekarang di wilayah itu, atau merupakan bagian dari
masyarakat yang ada di wilayah itu;
3. masyarakat asli ditujukan untuk memelihara, mengembangkan, dan
melanjutkan wilayah dan identitas etnis mereka bagi generasi penerus;
4. basis dari eksistensi keberlanjutan mereka sebagai masyarakat sesuai
sistem hukum, pranata sosial, dan pola kultural mereka sendiri.

Dari Poin 4 di atas, tampak bahwa secara hukum, keberadaan masyarakat asli
tunduk pada sistem hukum tersendiri. Artinya, masyarakat asli mempunyai
sistem hukum tersendiri secara khusus yang berbeda dari sistem hukum yang
ada secara nasional. Biasanya, wilayah masyarakat adat itu sendiri pun
sebagai asetnya tunduk pada hukum mereka sendiri. Hukum inilah yang
biasanya di Indonesia disebut sebagai Hukum Adat (Adat Law, Customary
Law). Yang dimaksud sebagai Hukum Adat (Customary Law), adalah: ‘and
established system of immemorial rules which had evolved from the way of life
and natural wants of the people, the general context of which was a matter of
common knowledge, coupled with precedent applying to special case, which
were retained in the memories of the chief and his counselors, their sons and
theri son’s sons (sic), until forgotten, or until they became part of the immemorial
rules...’.

Di Asia, terminologi Indigenous People (IP) bervariasi, yakni: aboriginal tribes


(Taiwan), aborigines (Malaysia-peninsular), cultural minorities (Phillipines), hill
tribes (Thailand), minorities nationalities (China), natives (Malaysian Borneo),
dan ‘scheduled tribes’ (India). Pertanyaan identitas asli (indigenous) masih
merupakan perdebatan hangat di Negara-negara Asia, namun sekarang ini
negara-negara Asia secara gradual telah menunjukkan toleransi yang lebih
besar terhadap istilah ‘asli’ (indigenous). Bahkan di beberapa negara secara

14 Raja Devasish Roy, Traditional Customary Laws and Indigenoues Peoples in Asia,
Penerbit Minority Rights Group International, 2005, hlm. 6
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 9
tegas memberikan pengakuan terhadap eksistensi dari masyarakat asli ini,
termasuk terhadap tanah yang menjadi wilayah keberlangsungan hidupnya.

Hak komunal atas tanah di Cordilerra (Filipina) disebut sebagai anchestral


land (tanah leluhur). Di Negara Filipina, terdapat pengakuan konstitusional
secara tegas terhadap hak tanah dan sumber daya alam lainnya (Section 22
Article II, Constitution of the Philippines). Selanjutnya pada level undang-
undang, telah ditetapkan Indigenous People’s Right Act – IPRA (1997) yang
intinya menyatakan: “… to delineate, recognize, and, where appropriate, to
provide written titles to genuine claims over ancestral lands and domains.” Di
dalam Pasal 5 IPRA (1997) ditegaskan pula apa yang dimaksud sebagai
indigenous concept of ownership, yaitu: “The indigenous concept of ownership
sustain the view that ancestral domains and all resources found therein shall
serve as the material bases of their cultural integrity. The indigenous concept of
ownership generally holds that ancestral domain are [indigenous cultural
communities/indigenous people] private but common property, which belong to
all generations and therefore can not be sold, disposed of or destroyed. It
likewise covers sustainable traditional resource right (garis bawah dari
penulis).” Berarti, bahwa di Filipina , hak-hak adat atas tanah dipandang
sama dengan hak-hak atas tanah menurut Hukum Tertulis negaranya (right
equivalent to ownership). Hak-hak adat itu tetap sebagai suatu hak atas
pemilikan yang bersifat terbatas, karena tidak bisa dialihkan.

Untuk melaksanakan amanat undang-undang tersebut dibentuklah Komisi


Nasional tentang Masyarakat Asli (National Commission on Indigenous People -
NCIP) di bawah Kantor Kepresidenan. Komisi inilah kelak yang akan
mengeluarkan Certificate of Ancestral Land Title (CALT) dan Certificate of
Ancestral Domein Title (CADT). Selanjutnya, di tingkat municipality disusun
Ancestral Domain Management Plan (ADMP) untuk mempersiapkan penerbitan
sertifikat dimaksud. 15 Pada kasus Cordillera, ADMP itu dipandang sangat
penting mengingat kenyataan problematik yang selalu dihadapi adalah adanya
kontradiksi-kontradiksi administratif dan geografis. Kontradiksi-kontradiksi
dipandang sebagai fokus di dalam melakukan riset partisipatoris untuk
mengharmonisasikan struktur pengelolaan adat kebiasaan dengan
persyaratan proses pensertipikatan. 16

15Ibid, hlm. 16.


16Lorelei C. Mendoza,dkk, Harmonizing Ancestral Domain with Local Governance in the
Cordillera of the Northern Philippines, 2008, hlm. 1.
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 10
Riset diarahkan kepada pendekatan Community-Based Natural Resources
Management (CBNRM). Tim Riset memikirkan 2 (dua) langkah strategi.
Langkah pertama, untuk mendapatkan pengakuan pemilikan secara formal di
dalam municipality agar mereka dapat diakui sebagai unit-unit perencanaan
kunci (key planning units). Langkah kedua, menolong 3 (tiga) komunitas
tradisional (ilis), mengidentifikasi isu-isu dan aktivitas-aktivitas untuk
dimasukkan di dalam perencanaan pengelolaan mereka. Di Cordillera, 3
(tiga) tipe masyarakat hukum adat (yang disebut Ili) (traditional communities),
itu adalah: Fidelisan (utara), Demang (tengah), Ankileng (selatan). Ketiganya
dapat mewakili zona agroekologi Sagada (agro-ecological zones of Sagada). Unit
yang lebih kecil dalam suatu ili adalah barangays. Yang perlu diketahui
bahwa sertipikat diberikan kepada municipality.17

Marcus Colschester mengatakan bahwa di Malaysia, (sama dengan Indonesia),


penguasaan adat lebih dekat disebut sebagai usufruct18 right (hanya semacam
hak penguasaan/menikmati atas tanah bersama), bukan sebagai hak atas
tanah yang berisi dan memiliki isi kewenangan privat (right equivalent to
ownership). 19 Secara lebih tegas dinyatakan: “In other countries, such as
Indonesia and Malaysia, the laws grant what administrators understand to be
much more limited usufructory or possessory right, considered to be much
weaker than full ownership. Di Peninsular Malaysia, pada kasus pengadilan di
Johor, (1997) dengan aboriginal people (orang asli) telah kehilangan
penguasaan untuk membuat tanggul, secara efektif menantang interpretasi
hukum para administrasi dan menegakkan prinsip hak aborigin sebagai hak-
hak okupasi dan penggunaan tradisional yang tidak bisa dipadamkan.20 Di
Sabah, right of usufruct hanya ditoleransi sebagai tenants- at- will on state land
(semacam pinjam pakai di atas tanah negara).21 Bahkan di Sarawak, upaya
untuk mengamankan aset tanah masyarakat asli secara partisipatoris
dipandang sebagai perbuatan kriminal. Undang-undang Surveyor Pertanahan

17 Ibid, hlm. 3, 8, 9.
18 Perhatikan Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary Definitions of the Terms and
Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern, Penerbit St. Paul, Minn,
West Publishing Co., 1990, hlm. 1544, menyatakan usufrucht dalam Hukum Perdata (civil
law)adalah: “….., a real right of limited duration on the property of another. The features of the
right vary with the nature of the things subject to it as consumables or nonconsumable. Civ. Code
La. Art 535. The right of using and enjoying and receiving the profits of property that belongs to
another, and a “usufructuary” is a person who has the usufruct or right of enjoying anything in
which he has no property interest.
19 Marcus Colschester, Indigenous People and Communal Tenures in Asia,
http://www.fao.org/docrep, 14 Mei 2008, hlm. 1, 2.
20 Ibid, hlm. 7
21 Ibid.

Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 11
tahun 2001, dilakukan kriminalisasi terhadap pemetaan yang dilakukan oleh
masyarakat (community mapping). Undang-undang tersebut menyatakan
bahwa semua pemetaan yang dilakukan oleh masyarakat adalah ilegal, kecuali
yang dilakukan oleh surveyor berlisensi (licenced surveyors). Selanjutnya,
undang-undang itu juga membatasi: “the boundaries of any land, including
state land and any lawfully held under native customary rights.”22

Penataan Tanah-tanah Adat Di Provinsi Bali23


Pada tahun 1990-an, sesungguhnya meskipun hanya sporadis, telah ada
upaya nyata untuk melakukan penataan tanah-tanah adat di Bali. Sebagai
contoh, pengaturan mengenai penataan tanah-tanah adat ditemukan juga di
Kabupaten Bangli. Bupati KDH Bangli mengeluarkan Keputusan KDH Tingkat
II Bupati No. 651 Tahun 1998 tentang Pensertifikatan Tanah-tanah Ayahan
Desa (AYDS) Maksimal pada Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Pasal 1
Keputusan Bupati tersebut menyatakan bahwa tanah-tanah Ayahan Desa
(Ayds) yang berada di Kabupaten Daerah Tingkat II Bangli dapat
disertifikatkan maksimal menjadi hak guna bangunan atau hak pakai atas
nama yang menguasai tanah dimaksud secara turun temurun sejak sebelum
24 September 1960.

Selanjutnya Pasal 2 Keputusan Bupati di atas menyatakan bahwa dalam


pensertifipakatan tanah dimaksud, di samping diperlukan surat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku juga diperlukan adanya
ijin/persetujuan dari Desa Adat yang bersangkutan. Kemudian, Pasal 3
Keputusan Bupati itu juga menyatakan bahwa pengalihan tanah Ayds
maupun untuk dijaminkan/dipakai untuk tanggungan suatu utang piutang di
samping diperlukan surat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku juga diperlukan adanya ijin/persetujuan dari Desa
Adat yang bersangkutan. Akhirnya, Pasal 4 Keputusan Bupati tersebut
menyatakan bahwa untuk tidak mengaburkan identitas tanah ayahan desa,
maka istilah Ayds tetap dicantumkan dalam sertipikat Hak Milik Atas Tanah
maupun dalam Surat Permohonan Pendaftaran Tanah (SPPT). Praktik untuk
mencantumkan identitas tanah Ayds maupun PkD dalam praktik
pensertipikatan tanah desa adat sudah dilaksanakan di Kabupaten Bangli.

Karena keinginan untuk melestarikan tanah-tanah adat semakin menguat,


maka Kakanwil BPN Provinsi Bali mengeluarkan Surat No. 27 Januari 1993
No. 630.1.61-227 perihal Pendaftaran Tanah Ayahan Desa (Ayds). Di dalam
Surat Kakanwil BPN Provinsi Bali tersebut dinyatakan bahwa karena alasan

22Ibid, hlm. 8.
23Uraian ini pada intinya merupakan hasil penelitian Oloan Sitorus, dkk, Penataan Hak
Atas Tanah Adat di Provinsi Bali, Laporan Penelitian Dosen STPN, Yogyakarta, 2005.

Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 12
ketiadaan petunjuk teknis yang tegas, maka pendaftaran tanah-tanah adat
ditunda pelaksanaannya.

Selanjutnya, pada sejak awal tahun 2000-an semakin intensif upaya untuk
mempertahankan eksistensi tanah-tanah adat di Provinsi Bali. Berbagai upaya
Pemerintah Provinsi dan Pemkab/Pemkot serta masyarakat untuk menata
tanah-tanah adat di Propinsi Bali guna mempertahankan eksistensi sekaligus
memberdayakannya bagi kepentingan pembangunan di provinsi tersebut
dilakukan baik pada tataran konsep dan tindakan nyata. Pengumpulan dan
pengolahan gagasan mengenai penataan tanah-tanah adat ini dilakukan
melalui penyelenggaraan:
1. ‘Rapat Kerja tentang Pelestarian Tanah-tanah Adat di Bali yang
diselenggaarakan Pemerintah Provinsi Bali tahun 2002. Rapat kerja
tersebut mengamantkan agar segera dilakukan upaya untuk melestarikan
tanah-tanah adat di Propinsi Bali;
2. Seminar Problematik Tanah Druwe Desa Pakraman dengan topik “Peluang
Desa Pakraman Menjadi Subyek Hukum”, tanggal 18 Juni 2004, yang pada
intinya menghasilkan pendapat agar Desa Adat (pakraman) boleh sebagai
subyek Hak Milik atas tanah adat, sehingga tanah Pasal II ayat (1)
ketentuan konversi UUPA yang antara lain secara tersurat menyatakan
agar hak atas druwe dan hak atas druwe desa dapat dikonversi menjadi
Hak Milik yang dipegang oleh Desa Adat atau Desa Pakraman.

Tampaknya ‘Rapat Kerja tentang Pelestarian Tanah-tanah Adat di Bali yang


diselenggaarakan Pemerintah Provinsi Bali tahun 2002’ langsung
ditindaklanjuti secara konkrit. Hal itu tampak dari berbagai upaya Pemerintah
Provinsi yang segera memohon petunjuk penyelesaian kemungkinan Desa
Adat (Pakraman) sebagai subyek Hak Milik, yakni:
1. Surat Gubernur Bali No. 590/1078/B.T.Pem tanggal 25 Februari 2005
kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Sosial R.I, perihal mohon Desa
Pakraman yang di Bali dapat ditetapkan sebagai Badan Sosial Religius
yang dapat memiliki Hak Milik atas Tanah Desanya. 24 Di dalam surat

24Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali No. 593/847/DPRD tanggal 2 Juli
2002 kepada Mendagri dan Menteri Sosial RI yang menyatakan bahwa DPRD Provinsi Bali
sangat mendukung Surat Gubernur Provinsi Bali tertanggal 22 Februari 2002 No.
590/1078/B.T. DPRD Propinsi Bali di dalam suratnya tersebut menyatakan sangat
mendukung kebijaksanaan Gubernur Bali agar Desa Pakraman ditetapkan sebagai Badan
Hukum Sosial Religius yang dapat memiliki hak milik atas tanah desanya, dengan dasar
pertimbangan:
a. untuk mendukung Bali sebagai salah satu daerah tujuan pariwisata internasional
perlu menjaga kelesatarian Adat/Budaya Bali sebagai salah satu objek dan daya tarik
wisata;
b. Desa Pakraman (Desa Adat) di Bali memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap
stabilitas keberhasilan pembangunan termasuk pariwisata budaya yang sangat erat
kaitannya dengan Pura Tri Kahyangan, sehingga perlu dipelihara dan
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat adat/Desa Pakraman;
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 13
tersebut dinyatakan bahwa mengingat antara Pura dengan Desa Pakraman
(Desa Adat) tidak dapat dipisahkan keberadaannya, maka untuk tetap
terpeliharanya Pura dengan segala kegiatan upacaranya yang ditangani
oleh Desa Pakraman (Desa Adat) di Bali dapat diberikan status hukum
sebagai Badan Hukum Sosial Religius yang dapat memiliki hak atas
Tanah Pekarangan Desa, Tanah Ayahan Desa dan Tanah Milik Desa
Pakraman (Desa Adat) lainnya. Surat Gubernur ini kemudian direspons
oleh:
a. Surat Menteri Dalam Negeri No. 590/713/SO tanggal 10 April 2002
perihal Permohonan Atas Penetapan Status Hukum sebagai Badan
Sosial Religius pada Desa Pakraman (Desa Adat) di Bali. Surat
Mendagri ini menyatakan bahwa kewenangan atas penetapan status
hukum terhadap desa definitif maupun penetapan status hukum
sebagai badan atau lembaga adat di Desa merupakan kewenangan
Pemerintah daerah Kabupaten dengan mempedomani pada Peraturan
Daerah Kabupaten yang telah ditetapkan. Hal itu didasarkan pada Bab
XI UU No. 22 Tahun 1999 juncto PP No. 76 Tahun 2001 tentang
Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa, bahwa Pemerintah
Daerah Kabupaten diberikan kewenangan untuk menetapkan
peraturan daerah yang mengatur desa dengan berpedoman pada
ketentuan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
b. Surat Menteri Sosial Republik Indonesia No. A/A-161/VIII-02/MS
tanggal 5 Agustus 2002, perihal Permohonan Desa Pakraman dapat
ditetapkan sebagai Badan Sosial Religius yang memiliki Hak Milik atas
Tanah Desanya, menyatakan bahwa pemberian rekomendasi
pengalihan status hak milik atas tanah yang merupakan kewenangan
Menteri Sosial. Rekomendasi hanya dapat diberikan kepada Badan
Sosial sekurang-kurangnya telah terdaftar pada Kantor Departemen
Sosial/Instansi Sosial setempat, dan mempunyai rencana serta telah
melaksanakan kegiatan di bidang usaha kesejahteraan sosial.
Berdasarkan hal itu Menteri Sosial menyarankan agar Gubernur Bali
beserta perangkat Desa Pakraman segera membentuk Badan Sosial
Keagamaan yang mempunyai status Badan Hukum dengan akta
notaris yang pengesahannya oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen

c. Untuk terpeliharanya pura dengan segala kegiatan upacaranya yang ditangani oleh
Desa Pakraman (Desa Adat) di Bali, perlu menetapkan status hukumnya menjadi
Badan Hukum Sosial Religius yang dapat memiliki Hak Atas Tanah Pekarangan Desa,
Tanah Ayahan Desa dan Tanah Milik Desa Pakraman (Desa Adat) lainnya. DPRD
Kabupaten Gianyar pun memberi dukungan terhadap Surat Gubernur Bali No.
590/1078/B.T. Pem tanggal 25 Februari 2002. Surat DPRD Kabupaten Gianyar
tersebut menyatakan bahwa antara Pura dengan Desa Pakraman (Desa Adat) tidak
dapat dipisahkan keberadaannya, sehingga untuk tetap terpeliharanya pura dengan
segala kegiatan upacaranya yang ditangani oleh Desa Pakraman (Desa Adat) di Bali
dapat diberikan Status Hukum sebagai Badan Hukum Sosial Religius yang dapat
memiliki hak atas Tanah Pekarangan Desa, Tanah Ayahan Desa dan Tanah Milik Desa
Pakraman (Desa Adat) lainnya.
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 14
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atas nama Menteri. Selanjutnya,
setelah Badan Sosial Keagamaan telah terbentuk sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka pihak Badan Sosial
Keagamaan tersebut mengajukan permohonan rekomendasi kepada
Menteri Agama sebagai persyaratan administrasi yang menerangkan
bahwa tanah Desa Pakraman akan digunakan untuk kepentingan
ritual keagamaan. Persyaratan rekomendasi dimaksud merupakan
salah satu bahan pertimbangan bagi pihak Badan Pertanahan Nasional
(BPN) dalam memberikan pengalihan status hak atas tanah.
2. Surat Gubernur Bali kepada Mendagri, Menteri Sosial, dan Kepala BPN
dengan Suratnya No. 590/3551/B.T.Pem tanggal 17 Juni 2002, perihal
Mohon Desa Pakraman yang ada di Bali dapat ditetapkan sebagai Badan
Sosial Religius yang dapat memiliki Hak Milik atas tanah Desanya, yang
intinya juga tetap seperti surat semula. Surat kedua ini dipandang perlu
dibuat kembali oleh karena Surat Menteri Dalam Negeri No. 590/713/SO
tanggal 10 April 2002 perihal Permohonan Atas Penetapan Status Hukum
sebagai Badan Sosial Religius pada Desa Pakraman (Desa Adat) di Bali,
menyatakan bahwa kewenangan atas penetapan status hukum terhadap
desa definitif maupun penetapan status hukum sebagai badan atau
lembaga adat di Desa merupakan kewenangan Pemerintah Daerah
Kabupaten, padahal kenyataannya kewenangan pertanahan masih tetap
kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dalam UU No. 5 Tahun 1960
Juncto PP No. 38 Tahun 1963.

Sebagaimana dikemukakan dalam Surat Gubernur, yang dimohon adalah agar


Desa Pakraman yang di Bali dapat ditetapkan sebagai Badan Sosial Religius
yang dapat memiliki Hak Milik atas Tanah Desanya. Namun Kakanwil BPN
Propinsi Bali menyatakan bahwa agar desa adat dapat ditunjuk sebagai
subyek hak atas tanah dengan status hak milik, maka perlu ditentukan
terlebih dahulu bahwa tanah-tanah yang dikuasai desa adat tersebut masih
ada dalam lingkup tanah ulayat masyarakat hukum adat. Untuk itu, dapat
dipedomani Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999
tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat.25

Hal yang patut dihargai dari pandangan Kanwil BPN Propinsi Bali di atas
adalah pengakuan bahwa Hak Milik atas Tanah Desa Pakraman (yang
diusulkan tersebut) berada dalam lingkup tanah ulayat masyarakat hukum
adat. Dalam pada itu, peneliti memandang kiranya usulan yang lebih
mendasar adalah agar Desa Pakraman di Provinsi Bali ditetapkan sebagai

25 Kanwil BPN Propinsi Bali, Problematika Pemberian Strata/Jenis Hak Atas Tanah
Masyarakat Adat dalam Desa Pakraman di Bali (Suatu Konsep Pemecahan Permasalahan
dalam Undang-undang Pokok Agraria), Makalah Disampaikan dalam rangka Seminar “Peluang
Desa Pakraman Menjadi Subyek Hukum”, tanggal 18 Juni 2004, hlm. 12.

Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 15
subyek Hak Pengelolaan Desa Adat. 26 Kalau diperhatikan karakter hukum
yang terdapat pada tanah-tanah desa adat di Bali, hak penguasaan atas tanah
desa adat itu secara sekaligus memiliki kewenangan publik dan privat.
Kewenangan yang seperti ini di dalam Sistem Hukum Tanah Nasional
Indonesia lebih mirip dengan Hak Pengelolaan.27

Menurut penulis, perolehan Hak Pengelolaan Desa Adat tersebut secara


hukum telah diperoleh sejak Desa Adat secara nyata memang masih memiliki
tanah-tanah adat. Oleh karena itu, perolehannya terjadi karena hukum
melalui konversi, dalam hal ini penyesuaian hak adat ke dalam Sistem Hukum
Tanah Nasional. Jika logika hukum seperti itu dapat diterima, maka akan
tetap ada dasar hukum bagi terjadinya hak-hak atas tanah lainnya di atas
Hak Pengelolaan Desa Adat tersebut, seperti: Hak Druwe Desa dalam arti
sempit, Tanah PKD, Tanah Ayahan Desa, dan Tanah Pelaba Pura.

Beberapa keuntungan yang diperoleh jika penataan tanah-tanah adat tersebut


menggunakan konstruksi hukum Hak Pengelolaan. Pertama, dengan Hak
Pengelolaan akan secara jelas diperoleh dasar hukum bagi pemegang hak
pengelolaan untuk memberikan kepada pihak ketiga, dalam hal ini, para
anggota masyarakat desa pakraman. Penentuan subyek dan jenis hak yang
tepat bagi anggota desa pakraman merupakan kewenangan publik dari hak
penguasaan atas tanah. Kewenangan semacam itu hanya ada pada Hak
Pengelolaan. Kedua, dengan mengintroduksi hak pengelolaan desa adat
sebagai hasil konversi dari tanah-tanah adat berarti secara bertahap telah
dilakukan upaya rekayasa (dalam arti positif) penataan tanah-tanah adat ke
dalam sistem hukum tanah nasional. Hal itu penting dilakukan jika politik
hukum tanah nasional tetap menginginkan unifikasi hukum tanah nasional,
tanpa mengorbankan diversifikasi hukum adat di Indonesia. Ketiga, akan lebih
dimungkinkan terwujudnya keinginan Pemerintah Provinsi Bali untuk
melestarikan tanah-tanah adat Bali. Karena, tanah pengelolaan Desa Adat
relatif lebih sukar beralih daripada ‘Tanah Milik Atas Desa Adat’.

Sebaliknya, tampaknya kurang begitu selaras dengan Sistem Hukum Tanah


Nasional jika Desa Pakraman langsung memohon agar kepadanya diberikan

26 Pasal 2 ayat (4) UUPA menyatakan bahwa Hak Menguasai dari Negara (HMN) dapat
dikuasakan kepada kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum
adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

27 Pasal 1 butir 3 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 tentang
Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan
merumuskan bahwa Hak Pengelolaan adalah Hak Menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.

Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 16
Hak Milik atas tanah-tanah adat di Provinsi Bali. Karena, Desa Adat sebagai
lembaga pemerintahan adat yang kiranya lebih tepat dikategorikan sebagai
badan hukum publik yang tidak bisa sebagai subyek Hak Milik. Badan hukum
yang bersifat publik dalam Hukum Tanah Nasional lebih tepat diberikan Hak
Pengelolaan atau Hak Pakai yang bersifat publik (public rechtelijke). Hal itu
tergantung pada rencana penggunaan pemanfaatan tanah-tanah desa adat
tersebut. Jika Desa Pakraman hanya menggunakannya sendiri, maka hak
yang lebih tepat adalah Hak Pakai. Akan tetapi, jika selain untuk digunakan
sendiri oleh Pemerintahan Desa Adat juga akan diberikan kepada pihak lain
maka yang diberikan lebih tepat Hak Pengelolaan.

Penulis menyimpulkan bahwa isi kewenangan dari tanah desa adat (dalam arti
luas) dapat disederhanakan menjadi 2 (dua) kewenangan, yakni: (a)
kewenangan privat dari semua anggota masyarakat hukum adat (Desa
Pakraman) yakni kewenangan untuk menguasai, mengusahai, bahkan
“memiliki” bagian dari tanah desa adat tersebut untuk kepentingan diri dan
keluarganya; dan (b) kewenangan publik yang dimiliki oleh desa adat itu
sendiri (tentu yang akan diselenggarakan oleh para penyelenggara
pemerintahan desa adat/tetua adat). Kedua kewenangan itu setidaknya secara
jelas tampak pada: (a) strata/jenis hak yang terdapat pada tanah desa adat di
seluruh Provinsi Bali pada umumnya; (b) pola penataan penguasaan dan
pemanfaatan tanah yang ditemukan di Kabupaten Gianyar; dan (c) pada
kenyataan kehidupan hak atas tanah desa adat kuno di Desa Tenganan
Pegringsingan, Kabupaten Karangasem. Kewenangan semacam itu dalam
Hukum Tanah Adat di Indonesia pada umumnya dapat disebut sebagai Hak
Ulayat (prabumian desa). Namun, kenyataannya tanah-tanah ulayat itu pada
umumnya telah mengalami proses individualisasi ke dalam hak-hak yang
bersifat perorangan, baik kepada anggota masyarakat Desa Pakraman
maupun kepada lembaga adat pemangku tugas keagamaan, seperti Pura.
Konsekuensinya, hak ulayat semakin mengecil kekuatannya sehingga yang
tampak adalah semakin menguatnya hak-hak individual tersebut.

Meskipun kenyataannya keberadaan tanah-tanah ulayat itu terus mengalami


proses individualisasi, jika hendak melakukan penataan terhadap tanah-tanah
adat di Provinsi Bali seyogianya tetap dilakukan secara komprehensif sejak
dari tanah ulayat yang bersifat komunal sampai pada tanah-tanah yang
bersifat individual. Pada tataran penguasaan yang bersifat komunal, kiranya
pemilikan tanah oleh Desa Pakraman dilakukan dengan Hak Pengelolaan Desa
Pakraman. Hak Ulayat itu secara hukum diperoleh Desa Pakraman jika dalam
kenyataannya tanah ulayat benar-benar masih ada. Tegasnya, Hak
Pengelolaan Desa Pakraman itu diperoleh melalui cara konversi. Kiranya
konstruksi hukum yang demikian dapat dilakukan mengingat ketentuan Pasal
2 ayat (4) UUPA yang memberi ruang bagi masyarakat hukum adat sebagai
subyek Hak Pengelolaan. Agar eksistensi tanah-tanah adat di Provinsi Bali
tetap terjaga, kiranya dapat dibuat suatu ketentuan agar peralihan tanah-

Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 17
tanah adat yang bersifat individual itu hanya dapat dilakukan di antara
anggota masyarakat Desa Pakraman

Selanjutnya, penulis menyarankan. Pertama, diperlukan tindakan konkrit


untuk mengarahkan proses individualisasi dari tanah-tanah komunal di
Provinsi Bali, sehingga akan dipastikan bahwa proses individualisasi tanah
komunal tersebut berlangsung terhadap anggota Desa Pakraman, bukan
kepada orang lain di luar anggota masyarakat Desa Pakraman. Untuk
memastikan bahwa pemilikan secara individual pun tidak beralih orang di luar
Desa Pakraman, kiranya dapat ditentukan dalam Perda mengenai penataan
tanah adat Bali maupun dalam awig-awig mengenai larangan peralihan tanah
adat Desa Pakraman kepada orang luar Desa Pakraman. Kedua, agar politik
unifikasi Hukum Tanah secara gradual dapat berlangsung di atas tanah-tanah
adat, maka kiranya perlu segera mengintroduksi pendaftaran tanah adat.
Dalam pada itu, tindakan yang pertama kali dilakukan adalah mengakui
konversi tanah-tanah adat komunal yang jelas-jelas masih ada ke menjadi
tanah Hak Pengelolaan Desa Pakraman. Selanjutnya, bagian dari Hak
Pengelolaan itu dapat diberikan kepada anggota masyarakat Desa Pakraman,
baik perorangan maupun lembaga keagamaan, dalam bentuk hak-hak yang
bersifat individual, seperti Hak Milik maupun Hak Pakai. Oleh karena itu,
diperlukan suatu aturan dalam bentuk Undang-undang yang mengkonfirmasi
bahwa Desa Pakraman dapat sebagai subyek Hak Pengelolaan.

Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 18
CURRIKULUM VITAE
(s/d 5 Juni 2011)

Nama Lengkap : Dr. Oloan Sitorus, S.H., M.S.


NIP. : 19650805 199203 1 003
Tempat/Tanggal Lahir : Simalungun/05 Agustus 1965
Golongan/Pangkat : Lektor Kepala/IV/c/Pembina Utama Muda
Alamat : Kampus Agraria Lama Jl. Kerto No. 1 Mujamuju
Yogyakarta, Telpon 0274-549879, 081 328 102 123
Email : sitorusoloan@yahoo.com

A. Riwayat Pendidikan/Latar Belakang Akademik


Pendidikan Formal
1. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU), 1988;
2. Fakultas Pascasarjana UGM (FPs UGM), 1992;
3. Program Doktor Ilmu Hukum USU (PPs USU), 2002.

Pendidikan Lain
1. Kursus Dasar Pertanahan (KDP) II, Bogor, 1993;
2. Kursus Konsolidasi Tanah, Bogor, 1994;
3. Studi Banding mengenai Land Oriented Educational Management di UNSW (Sydney),
QUT (Brisbane), dan RMIT (Melbourne), Australia, 1997;
4. Short course mengenai Human Resources Development (di bidang pertanahan), CIET
(Adelaide) dan RMIT-Business, Australia, 1997;
5. Studi Banding mengenai Teori Hukum pada Fakultas Hukum, National University of
Singapore, Singapura, 2001.

B. Riwayat Pekerjaan/Bidang Kajian yang Digeluti


Riwayat Pekerjaan
1. Staf Penatagunaan Tanah Kanwil BPN Provinsi Sumut (1992-1993);
2. Ketua Jurusan Manajemen Pertanahan STPN (1997-1998;
3. Pembantu Ketua Bidang Akademik STPN (2003-2007) dan (2007-2011);
4. Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (2011-sekarang)
Mengajar dan Penguji, antara lain:
1. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (2005-sekarang);
2. Perbandingan Hukum Tanah, DIV STPN (1996-sekarang)
3. Metodologi Penelitian, DIV STPN (2000-sekarang);
4. Hukum Agraria, Program Pascasarjana Ilmu Hukum STIH IBLAM, Cirebon, (2003);
5. Hukum Agraria, Prog.Magister Kenotariatan (S2),PPs USU, Medan, (2002-sekarang);
6. Konsolidasi Tanah serta Politik dan Teori Hukum Agraria, Prog. Doktor Ilmu Hukum
(S3), PPs-USU, Medan, (2003-sekarang);
7. Hukum Tata Ruang dan Konsolidasi Tanah, Program Studi Ilmu Hukum, Program
Pascasarjana (S3)- UNAIR, Surabaya (2006-2008);
8. Kebijakan Pertanahan, Program Studi Magister Perencanaan Wilayah, Sekolah
Pascasarjana IPB, Bogor, (2006-sekarang);
9. Perbandingan Hukum Tanah, Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas
Jayabaya, Jakarta, (2008-sekarang);
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 19
10. Penguji Eksternal Program S3 Ilmu Hukum UI, Jakarta, untuk Disertasi mengenai
Pengadaan Tanah a/n Lieke Tukgalie (2007- sekarang);

C. Penelitian Yang Dilakukan, antara lain:


1. Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Perkotaan di Propinsi
Jawa Tengah, UPPM-STPN, 2000;
2. Aspek Hukum Konsolidasi Tanah Perkotaan sebagai Instrumen Kebijakan Pertanahan
Partisipatif dalam Pemanfaatan Ruang di Propinsi Bali, UPPM-STPN, 2000;
3. Kepatuhan Hukum Masyarakat dalam Penyelenggaraan Konsolidasi Tanah di Propinsi
Jawa Tengah, UPPM-STPN, 2001;
4. Penataan Penguasaan Tanah Perkebunan Tembakau Deli, UPPM-STPN, 2002.
5. Dimensi Pertanahan pada Kawasan Pesisir Pantai Timur Provinsi Sumatera Utara,
UPPM-STPN, 2005;
6. Penataan Hak Atas Tanah Adat di Provinsi Bali, UPPM-STPN, 2005;
7. Penguasaan dan Pemanfaatan Tanah Oleh Orang Asing di Provinsi Bali (Suatu
Temuan Fakta), 2008;
8. Ijin Pemakaian Tanah (IPT) di Kota Surabaya – Menyoal Justifikasi dan Legalitas
(Lanjutan), 2009;
9. Konsolidasi Tanah sebagai Restorasi Kerusakan Wilayah Akibat Tsunami di Aceh,
2009.

D. Bidang Minat (informal/otodidak)


Penulisan Buku:
1. Penulis utama Buku “Sejumlah Masalah Hukum Agraria (Bagian 1), Penerbit Dasamedia
Utama, Jakarta, 1994;
2. Penulis utama Buku “Hak atas Tanah dan Kondominium – Suatu Tinjauan Hukum,
Penerbit Dasamedia Utama, Jakarta, 1995;
3. Penulis utama Buku “Pelepasan atau Penyerahan Hak sebagai Cara Pengadaan Tanah,
Penerbit Dasamedia Utama, Jakarta, 1995;
4. Penulis utama Buku “Konsolidasi Tanah Perkotaan – Suatu Tinjauan Hukum, Penerbit
Mitra Kebijakan Tanah Indonesia (MKTI), Yogyakarta, 1996;
5. Penulis utama Buku “Kondominium dan Permasalahannya”, MKTI, Yogyakarta, 1998;
6. Penulis Buku “Kapita Selekta Perbandingan Hukum Tanah”, MKTI, Yogyakarta, 2004;
7. Penulis utama Buku “Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum”, Mitra Kebijakan
Tanah Indonesia, Yogyakarta, 2004;
8. Membangun Teori Hukum Indonesia, 2005, Penerbit MKTI-Yogyakarta.
9. Penulis utama Buku “Cara Penyelesaian Karya Ilmiah di Bidang Hukum (Panduan Dasar
Menuntaskan Skripsi, Tesis, dan Disertasi), Penerbit MKTI, Yogyakarta, 2006 (Edisi
Revisi);
10. Penulis Buku ‘Keterbatasan Hukum Konsolidasi Tanah Perkotaan sebagai Instrumen
Kebijakan Pertanahan Partisipatif dalam Penataan Ruang di Indonesia’, Penerbit MKTI,
Yogyakarta, 2006;
11. Hukum Agraria Di Indonesia – Konsep Dasar dan Implementasi, Penerbit MKTI,
Yogyakarta, 2006.
12. Seputar Hak Pengelolaan, Penerbit STPN Press, Yogyakarta, 2011 (bersama Prof. Arie
Hutagalung)

Presentasi Makalah, antara lain:


1. Penulis additional paper “Legal Structuring of Land Consolidation in Indonesia”, pada The
10th International Seminar on Land Readjustment and Urban Development Proceedings,
publikasi Seminar Internasional mengenai Konsolidasi Tanah Perkotaan yang
diselenggarakan atas kerjasama BPN, Ministry of Construction-Japan, JICA, dan JUDRA,
di Bali, 2000;

Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 20
2. Presentasi Makalah “Aspek Hukum Konsolidasi Tanah dalam Pemanfaatan Ruang
Kawasan Perkotaan”, pada “Diskusi Terfokus Konsolidasi Tanah dalam Penatang Ruang
Kawasan Perkotaan”, BAPPENAS, Jakarta, 2001;
3. Presentasi Makalah “Pembagian Kewenangan Pusat, Propinsi, Dan Daerah di Bidang
Pertanahan”, pada Diskusi Terbatas “Pengembangan Kebijakan Pertanahan dalam Era
Desentralisasi dan Peningkatan Pelayanan Pertanahan kepada Masyarakat”, BAPPENAS,
2002;
4. Presentasi Makalah “Keterbatasan Hukum Konsolidasi Tanah Perkotaan sebagai
Instrumen Kebijakan Pertanahan Partisipatif dalam Penataan Ruang di Indonesia”, pada
Seminar Nasional yang diselenggarakan Universitas Nusa Bangsa, Hotel Century Park,
Jakarta, tanggal 7 Desember 2004.
5. Presentasi Makalah “Legal Aspect of Urban Land Consolidation in Indonesia”, pada
International Seminar on Urban Planning and Land Readjustment for Sustainable Urban
Development, diselenggarakan United Nations Center on Regional Development dan Pemkab
Sleman Yogyakarta, 09 March 2005.
6. Presentasi Makalah “Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah dalam Amandemen
UUPA”, pada Semiloka Nasional “Penyempurnaan Undang-undang No. 5 Tahun 1960”,
Diselenggarakan atas kerjasama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dengan Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia, Hotel Sahid, Yogyakarta, 24 Maret 2006;
7. Presentasi Makalah “Reforma Agraria di Indonesia (Konsep Dasar dan Implementasi),
Dipresentasikan pada Workshop ”Permasalahan Tanah di Kabupaten Simalungun Tahun
Anggaran 2008”, pada tanggal 3 Desember 2008, di Hotel Inna, Parapat, Kabupaten
Simalungun, Provinsi Sumatera Utara;
8. Presentasi Makalah ”Prinsip Dasar Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Bagi Pembangunan
Rumah Susun”, Dipresentasikan pada ”Workshop dalam rangka Konsolidasi Tanah
Vertikal Tahun Anggaran 2008”, pada tanggal 18 Desember 2008, di Hotel Golden
Boutique, Jakarta.

Penulisan Karya Ilmiah pada Jurnal, antara lain:


1. Penulis “Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Konsolidasi Tanah Perkotaan di
Indonesia”, pada BHUMI Jurnal Pertanahan, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Edisi No.
7 Tahun 3, Desember 2003, ISSN 1412-730X;
2. Penulis Utama “Dimensi Pertanahan pada Kawasan Pesisir Pantai Timur Provinsi Sumatera
Utara”, pada BHUMI Jurnal Pertanahan, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Edisi No. 12
Tahun 5, Juni 2005, ISSN 1412-730X;
3. Penulis utama “Penataan Hak Atas Tanah Adat di Provinsi Bali”, pada BHUMI Jurnal
Pertanahan, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Edisi No. 13 Tahun 5, Desember 2005,
ISSN 1412-730X;
4. “Keterbatasan Hukum Konsolidasi Tanah Perkotaan Sebagai Instrumen Kebijakan
Pertanahan Partisipatif di Indonesia”, pada ARENA HUKUM, Majalah Penelitian dan
Pengembangan Hukum, Penerbit Fak. Hukum Universitas Brawijaya, Edisi No. 19, Tahun
6, November 2003, ISSN 20126-0235, Terakreditasi;
5. “Aspek Hukum Konsolidasi Tanah Perkotaan di Indonesia”, pada MIMBAR HUKUM Jurnal
Berkala Fakultas Hukum UGM, Edisi Volume 18, No. 1, Februari 2006, ISSN 0852-100X,
Terakreditasi;
6. Penulis Utama “Aspek Hukum Tanah Negara Bekas Hak Guna Usaha Perkebunan di
Provinsi Sumatera Utara”, pada BHUMI, Edisi No. 24 Tahun 8, Desember 2008.

Yogyakarta, 5 Juni 2011

Oloan Sitorus

Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 21

Anda mungkin juga menyukai