Politik Hukum Pertanahan Dalam Memberika
Politik Hukum Pertanahan Dalam Memberika
Politik Hukum Pertanahan Dalam Memberika
) Makalah ini dipresentasikan pada Seminar Nasional ”Politik Hukum Pertanahan dalam
Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”, pada Kampus
Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Jl. Pulau Bali No. 1 Sanglah, Denpasar,
Jumat, 27 April 2012.
) Dosen dan Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional (PPPM STPN), Yogyakarta. Juga menjadi Dosen Tidak Tetap pada
Program Magister Kenotariatan dan Program Doktor Ilmu Hukum USU Medan.
1 Pengertian politik hukum tanah dalam tulisan ini berpangkal pada pengertian politik
hukum yang dikemukakan oleh M. Solly Lubis, Serba serbi Politik dan Hukum, Penerbit
Mandar Maju, Bandung, 1989, hlm. 100, yang menyatakan bahwa politik hukum adalah
kebijakan politik yang menentukan aturan hukum apa yang sebenarnya berlaku mengatur
berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk mengetahui hal-hal/segi-segi
hukum yang ditentukan dalam politik hukum, dapat dilihat pada rumusan Padmo Wahyono,
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 1
dan isi dari materi hukum pertanahan/keagrariaan selama ini menunjukkan
perlindungan terhadap MHA dan Hak Ulayatnya itu. Dalam pada itu, makalah
ini pertama-tama akan mendeskripsikan perkembangan politik hukum
pertanahan nasional tentang Hak Ulayat dalam 2 (dua) tonggak
perkembangan, yakni: sebelum dan sesudah UUPA. Selanjutnya, untuk
memperkaya pemahaman dideskripsikan pula sekilas tanah adat di Asia dan
diakhiri dengan uraian gagasan tentang penataan tanah adat di Bali.
Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, Penerbitan Bersama Firma Wijaya dan Yayasan Tritura
’66, Jakarta, 1989, hlm. 36, yang menyatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar
yang menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk. Ditegaskan pula
olehnya bahwa politik hukum adalah mengenai nilai-nilai, penentuannya, pengembangannya,
dan pemberian bentuk hukumnya. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa masalah politik
hukum adalah juga masalah derivasi nilai.
2 Mochammad Tauchid, Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan
Kemakmuran Rakjat Indonesia, Penerbit Tjakrawala, Djakarta, 1952, hlm. 103-104.
3 Tanah Negara bebas berarti Negara bebas memberikan tanah tersebut kepada pihak
lain. Tanah Negara tidak bebas berarti di atas tanah tersebut Negara tidak bebas memberikan
kepada pihak lain karena tanah tersebut ada yang mendudukinya.
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 2
milik rakyat bumiputera bukan saja terhadap tanah komunalnya, tetapi juga
kepada tanah-tanah milik adat lainnya yang sudah bersifat individual seperti
hak memakai individual yang turun temurun (erfelijk individueelrecht
gebruiksrecht) dan Inlandsbezitrecht. Dalam administrasi pertahanan, tanah-
tanah milik adat tersebut dikenal sebagai onvrij lands domein (tanah negara
tidak bebas). Pada peta pendaftaran kadaster, tanah-tanah tersebut dilukiskan
dengan sebutan lands domein, tanpa menyebut adanya hak rakyat yang diakui
dan dilindungi hukum. Dengan demikian, jika melihat peta kadaster saja,
orang sering keliru menafsirkan status hukum tanah yang bersangkutan,
seakan-akan tidak ada hak rakyat yang membebaninya.4
Pengabaian Hak Ulayat ini semakin tampak nyata dengan adanya Koninklijk
Besluit Stb 1870-118 yang kemudian dikenal dengan Agrarisch Besluit, yang
dalam Pasal 1, intinya menyatakan bahwa semua tanah yang pihak lain tidak
dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein (milik) negara.
Ketentuan ini lebih dikenal sebagai Domein Verklaring (DV). DV ini semula
hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, tetapi dengan Stb 1875-119a DV ini
juga berlaku untuk daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura.
Dengan DV, maka satu-satunya penguasa yang berwenang memberikan tanah
kepada pihak lain adalah pemerintah kolonial Belanda. Politik hukum yang
demikian penting untuk melancarkan misi besar dari Politik Hukum Agraria
Kolonial pada waktu itu, yakni menjadikan Agrarische Wet sebagai instrumen
untuk memfasilitasi pengusaha besar swasta dalam melaksanakan berbagai
usahanya di wilayah jajahan Hindia Belanda.5
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 3
Boedi Harsono berpendapat bahwa pernyataan UUPA menyatakan bahwa HTN
‘berdasarkan’ Hukum Adat dan HTN ‘ialah’ Hukum Adat, menunjukkan
adanya hubungan fungsional antara Hukum Adat dan HTN. HTN ‘berdasarkan’
Hukum Adat berarti bahwa dalam pembangunan HTN, Hukum Adat berfungsi
sebagai sumber utama dalam pengambilan bahan-bahan yang diperlukan;
sedangkan pernyataan HTN ‘ialah’ Hukum Adat mengandung makna bahwa
dalam hubungannya dengan HTN positif, norma-norma Hukum Adat berfungsi
sebagai hukum yang melengkapi.6
Sikap untuk tetap menggunakan Hukum Adat sebagai pelengkap HTN adalah
suatu hal yang realistik. Disadari bahwa pembangunan HTN merupakan
proses jangka panjang, sementara tindakan-tindakan hukum berkaitan
dengan tanah tetap berlangsung. Dalam hal tindakan-tindakan hukum itu
belum diatur oleh HTN positif (yang tertulis), maka untuk mencegah
kevakuman hukum, berlakulah hukum-hukum positif yang tidak bersumber
pada peraturan perundang-undangan, melainkan bersumber pada hukum
tidak tertulis, seperti Hukum Adat. Pemberlakuan Hukum Adat sebagai
hukum positif bisa juga karena basis sosial yang membutuhkan memang
masih lebih tepat menggunakan hukum yang tradisional daripada hukum
modern. Selain itu, Hukum Adat sebagai hukum positif yang melengkapi
norma-norma HTN mungkin karena tingginya pluralisme masyarakat
pengguna hukum tanah sesuai dengan ragam suku bangsa di Indonesia.
7 Perhatikan Hendry Campbell Black, op. cit., hlm 1429, yang menjelaskan bahwa
substantive law adalah “that part of law which creates, defines, and regulates rights.
8 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
materiel dari Hak Ulayat adalah Hukum Adat. Jadi, tidak serta merta ditemukan dalam
Peraturan Menteri Negara/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tersebut.
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 5
dengan semangat desentralisasi yang dibawakan oleh UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa penelitian dan penentuan
masih adanya Hak Ulayat dilakukan oleh Pemerintah Daerah 10 dengan
mengikutsertakan para pakar Hukum Adat, masyarakat hukum adat yang ada
di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-
instansi yang mengelola sumber daya alam.
5. Lihat ketentuan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5
Tahun 1999.
11 Perhatikan Pasal 2 ayat (1) Keppres No. 34 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa
Memberi penghargaan yang sama terhadap norma HTN sebagai produk hukum
negara dengan produk hukum adat tidak perlu berarti bahwa kebijakan
hukum nasional akan beralih dari cita-cita unifikasi hukum ke arah
pluralisme hukum atau pengkotak-kotakan pengguna hukum sebagaimana
politik hukum kolonial yang digariskan pada Pasal 131 jo 163 IS. Sebagai
12Pengertian politik hukum tanah dalam tulisan ini berpangkal pada pengertian politik
hukum yang dikemukakan oleh M. Solly Lubis, Serba serbi Politik dan Hukum, Penerbit
Mandar Maju, Bandung, 1989, hlm. 100, yang menyatakan bahwa politik hukum adalah
kebijakan politik yang menentukan aturan hukum apa yang sebenarnya berlaku mengatur
berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk mengetahui hal-hal/segi-segi
hukum yang ditentukan dalam politik hukum, dapat dilihat pada rumusan Padmo Wahyono,
Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia, Penerbitan Bersama Firma Wijaya dan Yayasan Tritura
’66, Jakarta, 1989, hlm. 36, yang menyatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar
yang menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk. Ditegaskan pula
olehnya bahwa politik hukum adalah mengenai nilai-nilai, penentuannya, pengembangannya,
dan pemberian bentuk hukumnya. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa masalah politik
hukum adalah juga masalah derivasi nilai.
13 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Pola Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional,
Bagaimanakah bentuk dan isi hukum dari aturan yang mengatur Hak Ulayat.
Apakah keberadaan Hak Ulayat yang tunduk pada pengaturan Hukum Adat
tetap dibiarkan berlangsung tanpa bimbingan pemerintah? Tidakkah tetap
dibutuhkan peran pemerintah (karena memang masyarakat hukum adat
sebagai subyek Hak Ulayat berada di dalam suatu negara) untuk mengakui
dan menghormati Hak Ulayat sebagai lembaga penguasaan tanah dari
masyarakat bersahaja Bangsa Indonesia? Untuk itu, kiranya penting melihat
pengaturan tanah-tanah adat di berbagai negara.
Dari Poin 4 di atas, tampak bahwa secara hukum, keberadaan masyarakat asli
tunduk pada sistem hukum tersendiri. Artinya, masyarakat asli mempunyai
sistem hukum tersendiri secara khusus yang berbeda dari sistem hukum yang
ada secara nasional. Biasanya, wilayah masyarakat adat itu sendiri pun
sebagai asetnya tunduk pada hukum mereka sendiri. Hukum inilah yang
biasanya di Indonesia disebut sebagai Hukum Adat (Adat Law, Customary
Law). Yang dimaksud sebagai Hukum Adat (Customary Law), adalah: ‘and
established system of immemorial rules which had evolved from the way of life
and natural wants of the people, the general context of which was a matter of
common knowledge, coupled with precedent applying to special case, which
were retained in the memories of the chief and his counselors, their sons and
theri son’s sons (sic), until forgotten, or until they became part of the immemorial
rules...’.
14 Raja Devasish Roy, Traditional Customary Laws and Indigenoues Peoples in Asia,
Penerbit Minority Rights Group International, 2005, hlm. 6
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 9
tegas memberikan pengakuan terhadap eksistensi dari masyarakat asli ini,
termasuk terhadap tanah yang menjadi wilayah keberlangsungan hidupnya.
17 Ibid, hlm. 3, 8, 9.
18 Perhatikan Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary Definitions of the Terms and
Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern, Penerbit St. Paul, Minn,
West Publishing Co., 1990, hlm. 1544, menyatakan usufrucht dalam Hukum Perdata (civil
law)adalah: “….., a real right of limited duration on the property of another. The features of the
right vary with the nature of the things subject to it as consumables or nonconsumable. Civ. Code
La. Art 535. The right of using and enjoying and receiving the profits of property that belongs to
another, and a “usufructuary” is a person who has the usufruct or right of enjoying anything in
which he has no property interest.
19 Marcus Colschester, Indigenous People and Communal Tenures in Asia,
http://www.fao.org/docrep, 14 Mei 2008, hlm. 1, 2.
20 Ibid, hlm. 7
21 Ibid.
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 11
tahun 2001, dilakukan kriminalisasi terhadap pemetaan yang dilakukan oleh
masyarakat (community mapping). Undang-undang tersebut menyatakan
bahwa semua pemetaan yang dilakukan oleh masyarakat adalah ilegal, kecuali
yang dilakukan oleh surveyor berlisensi (licenced surveyors). Selanjutnya,
undang-undang itu juga membatasi: “the boundaries of any land, including
state land and any lawfully held under native customary rights.”22
22Ibid, hlm. 8.
23Uraian ini pada intinya merupakan hasil penelitian Oloan Sitorus, dkk, Penataan Hak
Atas Tanah Adat di Provinsi Bali, Laporan Penelitian Dosen STPN, Yogyakarta, 2005.
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 12
ketiadaan petunjuk teknis yang tegas, maka pendaftaran tanah-tanah adat
ditunda pelaksanaannya.
Selanjutnya, pada sejak awal tahun 2000-an semakin intensif upaya untuk
mempertahankan eksistensi tanah-tanah adat di Provinsi Bali. Berbagai upaya
Pemerintah Provinsi dan Pemkab/Pemkot serta masyarakat untuk menata
tanah-tanah adat di Propinsi Bali guna mempertahankan eksistensi sekaligus
memberdayakannya bagi kepentingan pembangunan di provinsi tersebut
dilakukan baik pada tataran konsep dan tindakan nyata. Pengumpulan dan
pengolahan gagasan mengenai penataan tanah-tanah adat ini dilakukan
melalui penyelenggaraan:
1. ‘Rapat Kerja tentang Pelestarian Tanah-tanah Adat di Bali yang
diselenggaarakan Pemerintah Provinsi Bali tahun 2002. Rapat kerja
tersebut mengamantkan agar segera dilakukan upaya untuk melestarikan
tanah-tanah adat di Propinsi Bali;
2. Seminar Problematik Tanah Druwe Desa Pakraman dengan topik “Peluang
Desa Pakraman Menjadi Subyek Hukum”, tanggal 18 Juni 2004, yang pada
intinya menghasilkan pendapat agar Desa Adat (pakraman) boleh sebagai
subyek Hak Milik atas tanah adat, sehingga tanah Pasal II ayat (1)
ketentuan konversi UUPA yang antara lain secara tersurat menyatakan
agar hak atas druwe dan hak atas druwe desa dapat dikonversi menjadi
Hak Milik yang dipegang oleh Desa Adat atau Desa Pakraman.
24Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali No. 593/847/DPRD tanggal 2 Juli
2002 kepada Mendagri dan Menteri Sosial RI yang menyatakan bahwa DPRD Provinsi Bali
sangat mendukung Surat Gubernur Provinsi Bali tertanggal 22 Februari 2002 No.
590/1078/B.T. DPRD Propinsi Bali di dalam suratnya tersebut menyatakan sangat
mendukung kebijaksanaan Gubernur Bali agar Desa Pakraman ditetapkan sebagai Badan
Hukum Sosial Religius yang dapat memiliki hak milik atas tanah desanya, dengan dasar
pertimbangan:
a. untuk mendukung Bali sebagai salah satu daerah tujuan pariwisata internasional
perlu menjaga kelesatarian Adat/Budaya Bali sebagai salah satu objek dan daya tarik
wisata;
b. Desa Pakraman (Desa Adat) di Bali memiliki kontribusi yang sangat besar terhadap
stabilitas keberhasilan pembangunan termasuk pariwisata budaya yang sangat erat
kaitannya dengan Pura Tri Kahyangan, sehingga perlu dipelihara dan
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat adat/Desa Pakraman;
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 13
tersebut dinyatakan bahwa mengingat antara Pura dengan Desa Pakraman
(Desa Adat) tidak dapat dipisahkan keberadaannya, maka untuk tetap
terpeliharanya Pura dengan segala kegiatan upacaranya yang ditangani
oleh Desa Pakraman (Desa Adat) di Bali dapat diberikan status hukum
sebagai Badan Hukum Sosial Religius yang dapat memiliki hak atas
Tanah Pekarangan Desa, Tanah Ayahan Desa dan Tanah Milik Desa
Pakraman (Desa Adat) lainnya. Surat Gubernur ini kemudian direspons
oleh:
a. Surat Menteri Dalam Negeri No. 590/713/SO tanggal 10 April 2002
perihal Permohonan Atas Penetapan Status Hukum sebagai Badan
Sosial Religius pada Desa Pakraman (Desa Adat) di Bali. Surat
Mendagri ini menyatakan bahwa kewenangan atas penetapan status
hukum terhadap desa definitif maupun penetapan status hukum
sebagai badan atau lembaga adat di Desa merupakan kewenangan
Pemerintah daerah Kabupaten dengan mempedomani pada Peraturan
Daerah Kabupaten yang telah ditetapkan. Hal itu didasarkan pada Bab
XI UU No. 22 Tahun 1999 juncto PP No. 76 Tahun 2001 tentang
Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa, bahwa Pemerintah
Daerah Kabupaten diberikan kewenangan untuk menetapkan
peraturan daerah yang mengatur desa dengan berpedoman pada
ketentuan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
b. Surat Menteri Sosial Republik Indonesia No. A/A-161/VIII-02/MS
tanggal 5 Agustus 2002, perihal Permohonan Desa Pakraman dapat
ditetapkan sebagai Badan Sosial Religius yang memiliki Hak Milik atas
Tanah Desanya, menyatakan bahwa pemberian rekomendasi
pengalihan status hak milik atas tanah yang merupakan kewenangan
Menteri Sosial. Rekomendasi hanya dapat diberikan kepada Badan
Sosial sekurang-kurangnya telah terdaftar pada Kantor Departemen
Sosial/Instansi Sosial setempat, dan mempunyai rencana serta telah
melaksanakan kegiatan di bidang usaha kesejahteraan sosial.
Berdasarkan hal itu Menteri Sosial menyarankan agar Gubernur Bali
beserta perangkat Desa Pakraman segera membentuk Badan Sosial
Keagamaan yang mempunyai status Badan Hukum dengan akta
notaris yang pengesahannya oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen
c. Untuk terpeliharanya pura dengan segala kegiatan upacaranya yang ditangani oleh
Desa Pakraman (Desa Adat) di Bali, perlu menetapkan status hukumnya menjadi
Badan Hukum Sosial Religius yang dapat memiliki Hak Atas Tanah Pekarangan Desa,
Tanah Ayahan Desa dan Tanah Milik Desa Pakraman (Desa Adat) lainnya. DPRD
Kabupaten Gianyar pun memberi dukungan terhadap Surat Gubernur Bali No.
590/1078/B.T. Pem tanggal 25 Februari 2002. Surat DPRD Kabupaten Gianyar
tersebut menyatakan bahwa antara Pura dengan Desa Pakraman (Desa Adat) tidak
dapat dipisahkan keberadaannya, sehingga untuk tetap terpeliharanya pura dengan
segala kegiatan upacaranya yang ditangani oleh Desa Pakraman (Desa Adat) di Bali
dapat diberikan Status Hukum sebagai Badan Hukum Sosial Religius yang dapat
memiliki hak atas Tanah Pekarangan Desa, Tanah Ayahan Desa dan Tanah Milik Desa
Pakraman (Desa Adat) lainnya.
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 14
Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atas nama Menteri. Selanjutnya,
setelah Badan Sosial Keagamaan telah terbentuk sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku, maka pihak Badan Sosial
Keagamaan tersebut mengajukan permohonan rekomendasi kepada
Menteri Agama sebagai persyaratan administrasi yang menerangkan
bahwa tanah Desa Pakraman akan digunakan untuk kepentingan
ritual keagamaan. Persyaratan rekomendasi dimaksud merupakan
salah satu bahan pertimbangan bagi pihak Badan Pertanahan Nasional
(BPN) dalam memberikan pengalihan status hak atas tanah.
2. Surat Gubernur Bali kepada Mendagri, Menteri Sosial, dan Kepala BPN
dengan Suratnya No. 590/3551/B.T.Pem tanggal 17 Juni 2002, perihal
Mohon Desa Pakraman yang ada di Bali dapat ditetapkan sebagai Badan
Sosial Religius yang dapat memiliki Hak Milik atas tanah Desanya, yang
intinya juga tetap seperti surat semula. Surat kedua ini dipandang perlu
dibuat kembali oleh karena Surat Menteri Dalam Negeri No. 590/713/SO
tanggal 10 April 2002 perihal Permohonan Atas Penetapan Status Hukum
sebagai Badan Sosial Religius pada Desa Pakraman (Desa Adat) di Bali,
menyatakan bahwa kewenangan atas penetapan status hukum terhadap
desa definitif maupun penetapan status hukum sebagai badan atau
lembaga adat di Desa merupakan kewenangan Pemerintah Daerah
Kabupaten, padahal kenyataannya kewenangan pertanahan masih tetap
kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dalam UU No. 5 Tahun 1960
Juncto PP No. 38 Tahun 1963.
Hal yang patut dihargai dari pandangan Kanwil BPN Propinsi Bali di atas
adalah pengakuan bahwa Hak Milik atas Tanah Desa Pakraman (yang
diusulkan tersebut) berada dalam lingkup tanah ulayat masyarakat hukum
adat. Dalam pada itu, peneliti memandang kiranya usulan yang lebih
mendasar adalah agar Desa Pakraman di Provinsi Bali ditetapkan sebagai
25 Kanwil BPN Propinsi Bali, Problematika Pemberian Strata/Jenis Hak Atas Tanah
Masyarakat Adat dalam Desa Pakraman di Bali (Suatu Konsep Pemecahan Permasalahan
dalam Undang-undang Pokok Agraria), Makalah Disampaikan dalam rangka Seminar “Peluang
Desa Pakraman Menjadi Subyek Hukum”, tanggal 18 Juni 2004, hlm. 12.
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 15
subyek Hak Pengelolaan Desa Adat. 26 Kalau diperhatikan karakter hukum
yang terdapat pada tanah-tanah desa adat di Bali, hak penguasaan atas tanah
desa adat itu secara sekaligus memiliki kewenangan publik dan privat.
Kewenangan yang seperti ini di dalam Sistem Hukum Tanah Nasional
Indonesia lebih mirip dengan Hak Pengelolaan.27
26 Pasal 2 ayat (4) UUPA menyatakan bahwa Hak Menguasai dari Negara (HMN) dapat
dikuasakan kepada kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum
adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut
ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.
27 Pasal 1 butir 3 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 9 Tahun 1999 tentang
Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan
merumuskan bahwa Hak Pengelolaan adalah Hak Menguasai dari Negara yang kewenangan
pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 16
Hak Milik atas tanah-tanah adat di Provinsi Bali. Karena, Desa Adat sebagai
lembaga pemerintahan adat yang kiranya lebih tepat dikategorikan sebagai
badan hukum publik yang tidak bisa sebagai subyek Hak Milik. Badan hukum
yang bersifat publik dalam Hukum Tanah Nasional lebih tepat diberikan Hak
Pengelolaan atau Hak Pakai yang bersifat publik (public rechtelijke). Hal itu
tergantung pada rencana penggunaan pemanfaatan tanah-tanah desa adat
tersebut. Jika Desa Pakraman hanya menggunakannya sendiri, maka hak
yang lebih tepat adalah Hak Pakai. Akan tetapi, jika selain untuk digunakan
sendiri oleh Pemerintahan Desa Adat juga akan diberikan kepada pihak lain
maka yang diberikan lebih tepat Hak Pengelolaan.
Penulis menyimpulkan bahwa isi kewenangan dari tanah desa adat (dalam arti
luas) dapat disederhanakan menjadi 2 (dua) kewenangan, yakni: (a)
kewenangan privat dari semua anggota masyarakat hukum adat (Desa
Pakraman) yakni kewenangan untuk menguasai, mengusahai, bahkan
“memiliki” bagian dari tanah desa adat tersebut untuk kepentingan diri dan
keluarganya; dan (b) kewenangan publik yang dimiliki oleh desa adat itu
sendiri (tentu yang akan diselenggarakan oleh para penyelenggara
pemerintahan desa adat/tetua adat). Kedua kewenangan itu setidaknya secara
jelas tampak pada: (a) strata/jenis hak yang terdapat pada tanah desa adat di
seluruh Provinsi Bali pada umumnya; (b) pola penataan penguasaan dan
pemanfaatan tanah yang ditemukan di Kabupaten Gianyar; dan (c) pada
kenyataan kehidupan hak atas tanah desa adat kuno di Desa Tenganan
Pegringsingan, Kabupaten Karangasem. Kewenangan semacam itu dalam
Hukum Tanah Adat di Indonesia pada umumnya dapat disebut sebagai Hak
Ulayat (prabumian desa). Namun, kenyataannya tanah-tanah ulayat itu pada
umumnya telah mengalami proses individualisasi ke dalam hak-hak yang
bersifat perorangan, baik kepada anggota masyarakat Desa Pakraman
maupun kepada lembaga adat pemangku tugas keagamaan, seperti Pura.
Konsekuensinya, hak ulayat semakin mengecil kekuatannya sehingga yang
tampak adalah semakin menguatnya hak-hak individual tersebut.
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 17
tanah adat yang bersifat individual itu hanya dapat dilakukan di antara
anggota masyarakat Desa Pakraman
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 18
CURRIKULUM VITAE
(s/d 5 Juni 2011)
Pendidikan Lain
1. Kursus Dasar Pertanahan (KDP) II, Bogor, 1993;
2. Kursus Konsolidasi Tanah, Bogor, 1994;
3. Studi Banding mengenai Land Oriented Educational Management di UNSW (Sydney),
QUT (Brisbane), dan RMIT (Melbourne), Australia, 1997;
4. Short course mengenai Human Resources Development (di bidang pertanahan), CIET
(Adelaide) dan RMIT-Business, Australia, 1997;
5. Studi Banding mengenai Teori Hukum pada Fakultas Hukum, National University of
Singapore, Singapura, 2001.
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 20
2. Presentasi Makalah “Aspek Hukum Konsolidasi Tanah dalam Pemanfaatan Ruang
Kawasan Perkotaan”, pada “Diskusi Terfokus Konsolidasi Tanah dalam Penatang Ruang
Kawasan Perkotaan”, BAPPENAS, Jakarta, 2001;
3. Presentasi Makalah “Pembagian Kewenangan Pusat, Propinsi, Dan Daerah di Bidang
Pertanahan”, pada Diskusi Terbatas “Pengembangan Kebijakan Pertanahan dalam Era
Desentralisasi dan Peningkatan Pelayanan Pertanahan kepada Masyarakat”, BAPPENAS,
2002;
4. Presentasi Makalah “Keterbatasan Hukum Konsolidasi Tanah Perkotaan sebagai
Instrumen Kebijakan Pertanahan Partisipatif dalam Penataan Ruang di Indonesia”, pada
Seminar Nasional yang diselenggarakan Universitas Nusa Bangsa, Hotel Century Park,
Jakarta, tanggal 7 Desember 2004.
5. Presentasi Makalah “Legal Aspect of Urban Land Consolidation in Indonesia”, pada
International Seminar on Urban Planning and Land Readjustment for Sustainable Urban
Development, diselenggarakan United Nations Center on Regional Development dan Pemkab
Sleman Yogyakarta, 09 March 2005.
6. Presentasi Makalah “Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah dalam Amandemen
UUPA”, pada Semiloka Nasional “Penyempurnaan Undang-undang No. 5 Tahun 1960”,
Diselenggarakan atas kerjasama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dengan Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia, Hotel Sahid, Yogyakarta, 24 Maret 2006;
7. Presentasi Makalah “Reforma Agraria di Indonesia (Konsep Dasar dan Implementasi),
Dipresentasikan pada Workshop ”Permasalahan Tanah di Kabupaten Simalungun Tahun
Anggaran 2008”, pada tanggal 3 Desember 2008, di Hotel Inna, Parapat, Kabupaten
Simalungun, Provinsi Sumatera Utara;
8. Presentasi Makalah ”Prinsip Dasar Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Bagi Pembangunan
Rumah Susun”, Dipresentasikan pada ”Workshop dalam rangka Konsolidasi Tanah
Vertikal Tahun Anggaran 2008”, pada tanggal 18 Desember 2008, di Hotel Golden
Boutique, Jakarta.
Oloan Sitorus
Seminar ”Politik Hukum Pertanahan dalam Memberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”,
Program MKn Universitas Udayana, Jumat, 27 April 2012 Page 21