Anda di halaman 1dari 29

TUGAS

PERATURAN JABATAN DAN ETIKA PROFESI NOTARIS


Dosen : I Made Sumardika, SH.,M.Kn
“Perbandingan Pengawas Notaris dengan PPAT”

NAMA KELOMPOK:

1. MADE GDE NIKY SARI SUMANTRI 1882411034


2. COKORDA ISTRI BRAHMI PUTRI BIYA 1882411035
3. A.A ISTRI INTAN ARGYANTI NARISWARI 1882411036
4. CLAUDIA VERENA MAUDY SRIDANA 1882411037
5. NI PUTU MIRAYANTHI UTAMI 1882411038
6. ANAK AGUNG AYU ADINDA PUTRI 1882411039

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Undang-Undang yang menjadi payung hukum bagi Notaris di Indonesia dan
dikenal dengan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
(UUJN) ini, ternyata dalam implementasinya masih menghadapi kendala. Salah
satu hambatan yang dihadapi berkaitan dengan rumusan pasal 15 ayat (2) huruf f
Undang-Undang Jabatan Notaris menentukan bahwa:
“Notaris berwenang pula membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan”

Bunyi Pasal ini ternyata menyebabkan terjadinya polemik antara Notaris


dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Sebagaimana diketahui, pembuatan akta
pertanahan sebagian merupakan kewenangan khusus dari Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 24 Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menentukan bahwa:
Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum
yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu” dan dengan
adanya ketentuan dalam pasal 15 ayat (2) huruf f Undang-Undang Jabatan Notaris
(UUJN), wewenang untuk mebuat akta otentik, khususnya akta pertanahan seakan-
akan diberikan kepada dua Pejabat Umum.
Pada awalnya PPAT tidak kategorikan sebagai Pejabat Umum, tetapi
sebagai PPAT saja. PPAT dikategorikan atau disebutkan sebagai Pejabat Umum
awalnya berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah bahwa:
“Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang selanjutnya disebut PPAT adalah
pejabat umum yang diberikan wewenang untuk membuat akta permintaan
hak atas tanah, akta pembebanan ha katas tanah, dan akta pemberian kuasa
membebankan hak tanggungan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.”

2
PPAT adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta Otentik,
Sejauh pembuatan Akta Otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lain.
Pembuatan Akta Otentik, ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
dalam rangka menciptakan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum.1
Akta otentik merupakan alat bukti terkuat, yang salah satunya dibuat oleh
PPAT. Produk PPAT, yang merupakan alat bukti yang mempunyai peranan penting
dalam setiap hubungan hukum dalam masyarakat, dalam hal hubungan bisnis,
kegiatan dibidang perbankan, dan lain-lain. Kebutuhan akan pembuktian tertulis
berupa Akta Otentik makin meningkat sejalan dengan tuntutan akan kepastian
hukum, dalam berbagai hubungan ekonomi baik pada tingkat regional, nasional
maupun global.2
Didalam Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, menetapkan bahwa dalam melaksanakan pendaftaran
tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang
ditugaskan utnuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan
Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
PPAT dalam membantu pelaksanaan pendaftaran tanah mempunyai tugas
pokok yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998, yaitu:
“Melaksanakan sebagian pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai
bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai Ha katas
tanag atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar
bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran yang diakibatkan oleh
perbuatan hukum itu.”

Sehingga dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, PPAT mempunyai


kewenangan membuat akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai
Hak atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Oleh karena itu, agar
PPAT dalam melaksanakan jabatannya mempunyai tanggungjawab yang besar

1
Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan
Pelaksanaannya, Djambatan Jakarta:, hlm 474
2
Anshori, Abdul Ghofur. 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan
Etika. Yogyakarta: UII Press. Hlm 20
3
kepada masyarakat, maka diperlukan suatu tindakan pengawasan terhadap PPAT
tersebut, agar dalam melaksanakan jabatannya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan Kode Etik PPAT.
Namun dalam menjalankan fungsi dan tanggungjawabnya tidak jarang
Notaris/PPAT berurusan dengan proses hukum. Sehingga Notaris harus
memberikan kesaksian dan keterangan menyangkut isi akta yang dibuatnya.
Dengan diletakkannya tanggungjawab secara hukum dan etika kepada Notaris,
maka kesalahan yang sering terjadi pada Notaris banyak disebabkan oleh
keteledoran Notaris/PPAT sedangkan kesalahan yang terjadi akibat bujukan nilai
hororrarium yang tinggi sudah jarang terjadi karena hak tersebut tidak lagi
mengindahkan aturan hukum dan nilai-nilai etika. Oleh karenanya agar nilai-nilai
etika dan hukum yang seharusnya dijunjung tinggi oleh Notaris dapat berjalan
sesuai undang-undang yang ada, maka sangat diperlukan adanya pengawasan.3
Sebagai konsekuensi dengan adanya tanggung jawab Notaris/PPAT kepada
masyarakat, maka haruslah dijamin adanya pengawasan dan pembinaan yang terus
menerus agar tugas Notaris selalu sesuai dengan kaidah hukum yang mendasari
kewenangannya dan dapat terhindar dari penyalahgunaan kewenangan atau
kepercayaan yang diberikan.4
Adapun tujuan pengawasan Notaris/PPAT adalah agar Notaris/PPAT
bersungguh-sungguh memenuhi persyaratan-persyaratan dan menjalankan
tugasnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Perundang-undangan yang
berlaku, demi pengamanan kepentingan masyarakat umum. Sedangkan yang
menjadi tugas pokok pengawasan Notaris/PPAT adalah agar segala hak dan
kewenangan maupun kewajiban yang diberikan kepada Notaris/PPAT dalam
menjalankan tugasnya sebagaimana yang diberikan oleh peraturan dasar yang
bersangkutan, senantiasa dilakukan diatas jalur yang telah ditentukan bukan saja

3
Sambutan Menteri Hukum dan HAM RI, dalam acara pembukaan Pra Kongres Ikatan
Notaris Indonesia pada tanggal 13-16 Juli 2005 di Makassar
4
Winanto Wiryomartani, Tugas dan Kewenangan Majelis Pengawas Notaris, Makalah
disampaikan pada Kongres INI Indonesia, pada tanggal 13-16 Juli 2015 di Makassar.
4
hukum tetapi juga atas dasar moral dan etika profesi demi terjaminnya perlindungan
dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Mekanisme pengawasan yang dilakukan secara terus menerus terhadap
Notaris didalam menjalankan tugas dan jabatannya, dilaksanakan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan Peraturan
Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.RP.08.10 Tahun 2004
tentang tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan
Organisasi, Tata Kerja, dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas. Menurut
ketentuan Pasal 1 angka 8 Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI Nomor M-
01.HT.03.01 Tahun 2003 tentang Kenotariatan disebutkan bahwa Pengawasan
adalah kegiatan administrasi yang bersifat preventif dan represif oleh Menteri yang
bertujuan untuk menjaga agar para Notaris dalam menjalankan jabatannya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pengawasan Notaris sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 tentang Jabatan Notaris dilakukan oleh pihak Pengadilan Negeri dalam hal ini
oleh hakim, namun setelah keberadaan Pengadilan Negeri diintegrasikan satu atap
dibawah Mahkamah Agung (MA), maka kewenangan pengawasan dan pembinaan
Notaris beralih ke Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Pengawasan Notaris tersebut dilakukan oleh Menteri dengan membentuk
Majelis Pengawas Notaris yang terdiri dari Majelis Pengawas Daerah (selanjutnya
disingkat MPD) di Kabupaten/Kota, Majelis Pangawas Wilayah (selanjutnya
disingkat dengan MPW) di Provinsi dan Majelis Pengawasn Pusat (selanjutnya
disingkat dengan MPP) di Jakarta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 68
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notarsi yang dilakukan oleh Majelis
Pengawas tersebut dimana didalamnya ada unsur Notaris, dengan demikian
setidaknya Notaris diawasi dan diperiksa oleh anggota Majelis Pengawas yang
memahami dunia Notaris. Adanya anggota Majelis Pengawas dari kalangan Notaris
merupakan pengawasna internal, artinya dilakukan oleh sesama Notaris yang

5
memahami dunia Notaris luar-dalam. Sedangkan unsur lainnya merupakan unsur
eksternal yang mewakili dunia akademik, Pemerintah, dan masyarakat.
Perpaduan keanggotaan Majelis Pengawas diharapkan dapat memberikan
sinergi pengawasan dan pemeriksaan yang objektif, sehingga setiap pengawasan
dilakukan berdasarkan aturan hukum yang berlaku, dan para Notaris dalam
menjalankan tugas jabatannya tidak menyimpang dan UUJN karena diawasi secara
internal dan eksternal.
Majelis Pengawasan Notaris, tidak hanya melakukan pengawasan dan
pemeriksaan terhadap Notaris, tapi juga berwenang untuk menjatuhkan sanksi
tertentu terhadap Notaris, tapi juga berwenang untuk menjatuhkan sanksi tertentu
terhadap Notaris yang telah terbukti melakukan pelanggaran dalam menjalankan
tugas jabatan Notaris. Pada dasarnya yang mempunyai wewenang melakukan
pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris adalah Menteri Hukum dan HAM
yang dalam pelaksanaannya Menteri membentuk Majelis Pengawas Notaris.
Menteri sebagai kepala Departemen Hukum dan HAM mempunyai tugas
membantu Presiden dalam menyelenggarakan sebagaian urusan Pemerintah
dibidang hukum dan HAM. Dengan demikian kewenangan pengawasan terhadap
Notaris ada pada Pemerintah, sehingga berkaitan dengan cara Pemerintah
memperoleh wewenang pengawasan tersebut.
Berdasarkan gambaran keadaan dan permasalahan tentang tugas dan jabatan
Notaris/PPAT dan hadirnya mekanisme baru terhadap pengawasan Notaris yang
diatur oleh UUJN yakni Undang-Undnag Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan
Notarsi dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pembuat Akta Tanah, maka kami merasa tertarik untuk mengadakan penelitian dan
melakukan analisis dengan judul: “Perbandingan Pengawasan Notaris dan
PPAT”

6
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang ingin dicapai adalah :
1. Bagaimanakan perbandingan pengawasan terhadap Notaris dengan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)?
2. Bagaimana mekanisme penjatuhan sanksi terhadap Notaris dan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang melakukan pelanggaran?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan paper ini adalah:
1. Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Peraturan Jabatan dan Etika
Profesi Notaris.
2. Untuk mengetahui perbandingan pengawasan terhadap Notaris
dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

1.4 Manafaat Penelitian


Adapun tujuan dari penulisan paper diharapkan dapat memberi manfaat baik
secara teoritis maupun praktis.
a. Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi sumbang saran dalam
khasanah ilmu pengetahuan hukum kenotariatan khususnya
pengawasan terhadap Notaris/PPAT dalam menjalankan tugasnya
sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik.
b. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan bagi
Pemerintah untuk mengawasi Notaris/PPAT dalam menjalankan
jabatan dan tugasnya sehingga sesuai dengan peraturan hukum yang
berlaku

7
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengawasan Notaris/ Pengawas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)


Berdasarkan peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan
Anggota, Pemberhentian Anggota Susunan Organisasi, Tata Cara Kerja dan Tata
Cata Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris Pasal 1 angka 5 menjelaskan
mengenai pengertian dari pengawasan yang berbunyi sebagai berikut :
“Pengawasan adalah kegiatan yang bersifat prefentif dan kuratif termasuk
kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap
Notaris.”

Wewenang pengawasan atas notaris ada di tangan Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia. Tetapi dalam praktek, Menteri melimpahkan wewenang itu kepada
Majelis Pengawas Notaris (MPN) yang dia bentuk. Ketentuan Pasal 67 UUJN
menegasan bahwa Menteri melakukan pengawasan terhadap notaris dan
kewenangan Menteri untuk melakukan pengawasan ini oleh UUJN diberikan dalam
bentuk pendelegasian delegatif kepada Menteri untuk membentuk MPN, bukan
untuk menjalankan fungsi-fungsi MPN yang telah ditetapkan secara eksplisit
menjadi kewenangan MPN.
Pengawas tersebut termasuk pembinaan yang dilakukan oleh Menteri terhadap
notaris seperti menurut penjelasan Pasal 67 ayat (1) UUJN. Ketentuan Pasal 1 angka
(1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor
M.02.PR.08.10 Tahun 2004, menegaskan yang dimaksud dengan pengawasan
adalah kegiatan prefentif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang dilakukan
oleh Majelis Pengawas terhadap notaris, dengan demikian ada 3 (tiga) tugas yang
dilakukan oleh MPN, yaitu:
a. Pengawasan Preventif;
b. Pengawasan Kuratif;
c. Pembinaan.

8
Tujuan dari pengawasan yang dilakukan terhadap notaris adalah supaya notaris
sebanyak mungkin memenuhi persyaratan-persyaratan yang dituntut kepadanya.
5
Persyaratan-persyaratan yang dituntut itu tidak hanya oleh hukum atau undang-
undang saja, akan tetapi juga berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh klien
terhadap notaris tersebut. Tujuan dari pengawasan itupun tidak hanya ditujukan
bagi penataan kode etik notaris akan tetapi juga untuk tujuan yang lebih luas, yaitu
agar para notaris dalam menjalankan tugas jabatannya memenuhi persyaratan-
persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang demi pengamanan atas
kepentingan masyarakat yang dilayani.
Dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai Pejabat Umum,
tidak jarang Notaris/PPAT berurusan dengan proses hukum. Pada proses hukum ini
Notaris/PPAT harus memberikan keterangan dan kesaksian menyangkut isi akta
yang dibuatnya. Dengan diletakkannya tanggung jawab secara hukum dan etika
kepada Notaris/PPAT, maka kesalahan yang sering terjadi pada Notaris/PPAT
banyak disebabkan oleh keteledoran Notaris/PPAT tersebut, karenanya sangat
diperlukan adanya pengawasan. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai
pengawasan terhadap Notaris/PPAT, maka perlu diuraikan terlebih dahulu
mengenai masing-masing jabatan tersebut.

2.2 Perbandingan Pengawas Notaris dengan Pengawas Pejabat Pembuat Akta


Tanah (PPAT)
Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah dua profesi hukum
yang mempunyai nama berbeda, aturan hukum yang berbeda, bentuk akta yang
berbeda dan dalam hal tertentu dua profesi hukum ini dijabat oleh orang yang sama
yaitu lulusan Program Spesialis Notariat (Sp.N atau CN) atau Program Magister
Kenotariatan (MKn) sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo Pasal 17 huruf g dan Pasal
90 UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan telah menegaskan bahwa untuk dapat
diangkat sebagai notaris salah satu syaratnya adalah berijazah Sarjana Hukum,

5
Lumban Tobing, G. H. S. 1983, Peraturan Jabatan Notaris, cetakan ke-3, Jakarta:
Erlangga, hlm 17
9
lulusan jenjang Strata 2 kenotariatan (MKn) atau lulusan program Spesialis Notaris
(Sp.N).
Keberadaan Notaris dan PPAT identik dengan Akta Otentik, yang bersumber
dari Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal ini hanya
merumuskan penaertian atau definisi akta otentik dan menghendaki adanya Pejabat
Umum dan bentuk Akta Otentik yang diatur dalam bentuk Undang-Undang,
sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengatur siapa yang
disebut Pejabat Umum dan bagaimana bentuk Akta Otentik dan untuk mengetahui
tentang Pejabat Umum dan bentuk Akta Otentik harus berpijak pada UU organik
yang mengatur tentang Pejabat Umum, dimana satu-satunya adalah Undang-
Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang menggantikan
Peraturan Jabatan Notaris (Stbl.1860:3).
Berdasarkan uraian di atas, pengawasan terhadap notaris dalam menjalankan
tugas dan jabatannya dilakukan oleh dua lembaga, yaitu Majelis Pengawas (Majelis
Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat) dan
Dewan Kehormatan (Dewan Kehormatan Daerah, Dewan Kehormatan Wilayah
dan Dewan Kehormatan Pusat). Majelis Pengawas Notaris dibentuk berdasarkan
ketentuan Pasal 67 sampai dengan Pasal 81 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris dan Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 tentang Pedoman
Pelaksanaan Tugas Majelis Pengawas Notaris sebagai peraturan pelaksanaannya.
Ketentuan-ketentuan ini merupakan salah satu upaya untuk mengantisipasi
kelemahan dan kekurangan dalam sistem pengawasan terhadap Notaris, sehingga
diharapkan dalam menjalankan profesi jabatannya, Notaris dapat lebih
meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Selanjutnya untuk Dewan Kehormatan merupakan implementasi pengawas
terhadap Notaris oleh organisasi notaris, yaitu Ikatan Notaris Indonesia. Dewan
Kehormatan merupakan alat perlengkapan perkumpulan yang terdiri dari beberapa
orang anggota yang dipilih dari anggota biasa dan werda Notaris, yang berdedikasi
tinggi dan loyal terhadap perkumpulan, berkepribadian baik, arif dan bijaksana,

10
sehingga dapat menjadi panutan bagi anggota dan diangkat oleh kongres untuk
masa jabatan yang sama dengan masa jabatan kepengurusan.
Dewan Kehormatan berwenang melakukan pemeriksaan atas pelanggaran
terhadap Kode Etik dan menjatuhkan sanksi kepada pelanggarannya sesuai dengan
kewenangannya dan bertugas untuk:6
a. melakukan pembinaan, bimbingan, pengawasan, pembenahan anggota
dalam menjunjung tinggi Kode Etik;
b. memeriksa dan mengambil keputusan atas dugaan pelanggaran ketentuan
Kode Etik yang bersifat internal atau yang tidak mempunyai masyarakat
secara langsung;
c. memberikan saran dan pendapat kepada majelis pengawas atas dugaan
pelanggaran Kode Etik dan Jabatan Notaris.
Pengawasanan atas pelaksaanaan Kode Etik dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
a. Pada tingkat pertama oleh Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia dan
Dewan Kehormatan Daerah;
b. Pada tingkat banding oleh Pengurus Wilayah Ikatan Notaris Indonesia dan
Dewan Kehormatan Wilayah;
c. Pada tingkat terakhir oleh Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia dan
Dewan Kehormatan Pusat.
Berkaitan dengan eksistensi Pejabat Pembuat Akta Tanah selaku Pejabat
Umum, hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan PPAT dan pelaksanaannya dituangkan dalam Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun tentang
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 1998. PPAT yang dalam
melaksanakan tugasnya wajib mengikuti aturan, ketentuan-ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 (PP No. 24 tahun 1997), serta
ketentuan dan petunjuk yang diberikan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk

6
Anonim, Himpunan Etika Profesi 2006: Berbagai Kode Etik Asosiasi Indonesia,
Pustaka. Yogyakart Yustisia, , hlm. 123.
11
dikenakan tindakan administratif berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari
jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti
kerugian oleh pihak-pihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh
diabaikannya ketentuan- ketentuan tersebut.
Selanjutnya, dalam peraturan jabatan PPAT ( Pasal 10 PP No. 37 tahun 1998
yo. PerKBPN No. 1 tahun 2006) menjelaskan ada dua klasifikasi pemberhentian
dari jabatan PPAT, diberhentikan dengan hormat dan diberhentikan dengan tidak
dengan hormat. PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. permintaan sendiri;
b. tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan
atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan
yang berwenang atas permintaan menteri atau pejabat yang ditunjuk;
c. melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai
PPAT;
d. diangkat sebagai pegawai negeri sipil atau ABRI;
Sedangkan PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, karena:
a. melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai
PPAT;
b. dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan perbuatan
pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-
lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan
yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan ketentuan pertanahan, pelanggaran dibedakan menjadi 2 jenis yang
menjadi dasar pemberhentian PPAT.
1. Pelanggaran ringan antara lain:
a) Memungut uang jasa melebihi ketentuan peraturan perundang-
undangan;
b) Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah berakhirnya cuti tidak
melaksanakan tugasnya kembali;
c) Tidak menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya;

12
d) Merangkap jabatan.
3. Pelanggaran berat antara lain:
a) Membantu melakukan permufakatan jahat yang mengakibatkan
sengketa atau konflik pertanahan;
b) Melakukan pembuatan akta sebagai permufakatan jahat yang
mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan;
c) Melakukan pembuatan akta diluar daerah kerjanya kecuali yang
dimaksud dalam Pasal 4 dan 6 ayat (3);
d) Memberikan keterangan yang tidak benar didalam akta yang
mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan;
e) Membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lainnya yang
terletak diluar dan atau didalam daerah kerjanya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46;
f) Melanggar sumpah jabatan sebagai PPAT;
g) Pembuatan akta PPAT yang dilakukan, sedangkan diketahui oleh
PPAT yang bersangkutan bahwa para pihak yang berwenang
melakukan perbuatan hukum atau kuasanya sesuai peraturan
perundang-undangan tidak hadir dihadapannya;
h) Pembuatan akta mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan
rumah susun yang oleh PPAT yang bersangkutan diketahui masih
dalam sengketa yang mengakibatkan penghadap yang bersangkutan
tidak berhak untuk melakukan perbuatan hukum yang dibuktikan
dengan akta;
i) PPAT tidak membacakan aktanya dihadapan para pihak maupun
pihak yang belum atau tidak berwenang melakukan perbuatan hukum
sesuai akta yang dibuatnya;
j) PPAT membuat akta dihadapan para pihak yang tidak berwenang
melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya;
k) PPAT membuat akta dalam masa dikenakan sanksi pemberhentian
sementara atau dalam keadaan cuti;

13
dan Lain-lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan.
Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 66 ayat (3) peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional ini pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT oleh Kepala
Kantor Pertanahan sebagai berikut:
1. Membantu menyampaikan dan menjelaskan kebijakan dan peraturan
pertanahan serta petunjuk tehnis pelaksanaan tugas PPAT yang telah
ditetapkan oleh Kepala Badan dan peraturan perundang-undangan;
2. Memeriksa akta yang dibuat PPAT dan memberitahukan tercara tertulis
kepada PPAT yang bersangkutan apabila ditemukan akta yang tidak
memenuhi syarat untuk digunakan sebagai dasar pendaftaran haknya;
3. Melakukan pemeriksaan mengenai pelaksanaan kewajiban operasional
PPAT.
Pihak-Pihak yang berwenang melakukan pengawasan terhadap PPAT dalam
melaksanakan jabatannya adalah Badan Pertanahan Nasional dan Ikatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (IPPAT). Adapun peranan Badan Pertanahan Nasional dalam
hal ini adalah memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT agar dalam
melaksanakan jabatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Sedangkan peranan IPPAT dalam hal ini adalah memberikan bimbingan
dan pengawasan terhadap PPAT agar dalam melaksanakan jabatannya sesuai
dengan Kode Etik PPAT.
Berdasarkan hal tersebut pada kenyataannya untuk pengawasan terhadap notaris
tidak menjadi masalah, hal ini dikarenakan sudah ada lembaga yang bertugas untuk
melakukan pengawasan, yaitu Majelis Pengawas (MPD, MPW dan MPP). Namun
demikian, untuk pengawasan terhadap PPAT, masih terjadi masalah dalam arti
tidak terdapat lembaga khusus yang bertugas mengawasi PPAT dalam menjalankan
tugas dan jabatannya, sehingga dalam kenyatannya apabila terdapat pelanggaran
yang dilakukan oleh PPAT masih terjadi “salah laporan” karena pihak yang merasa
dirugikan melaporkannya kepada MPD atau Pengurus IPPAT. Hal ini tentunya
menimbulkan masalah tersendiri dalam pelaksanaan pengawasan terhadap PPAT
dalam menjalankan tugas dan jabatannya.

14
Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional terhadap PPAT
hanyalah bersifat fungsional saja, dalam arti hanya memberikan pembinaan dan
pengawasan terhadap PPAT dalam melaksanakan jabatannya. Pengawasan yang
dilakukan oleh Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah hanya terhadap PPAT yang
menjadi anggota IPPAT saja dan berimplikasi terhadap pemberian sanksi, dalam
arti apabila PPAT tersebut diketahui melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik
PPAT, maka akan langsung diperiksa dan apabila terbukti melanggar Kode Etik
PPAT, maka akan diberikan sanksi sesuai dengan jenis pelanggaran yang
dilakukannya.7

2.3 Mekanisme Penjatuhan sanksi terhadap Notaris dan Pejabat Pembuat


Akta Tanah (PPAT) yang melakukan pelanggaran
a. Notaris
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004
tentang Jabatan Notaris, pasal 65 A apabila seorang notaris melanggar
ketentuan-ketentuan dapat dikenakan sanksi berupa:
a. peringatan tertulis ;
b. pemberhentian sementara;
c. pemberhentian dengan hormat; atau
d. pemberhentian dengan tidak hormat.
Majelis Pengawas Notaris sebagai satu-satunya instansi yang
berwenang melakukan pengawasan, pemeriksaan dan menjatuhkan
sanksi terhadap Notaris, tiap jenjang Majelis Pengawas (MPD, MPW,
dan MPP) mempunyai wewenang masing- masing, yaitu :
Majelis Pengawas Daerah
Wewenang MPD diatur dalam UUJN, Peraturan Menteri Hukum
dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004,

7
Chomzah, Ali Achmad, 2004, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia) Hukum
Pendaftaran Tanah dan Ke-PPAT-an, Jilid 2, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher,) hlm 30
15
dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia
Nomor M.39-PW.07.10.Tahun 2004. Dalam Pasal 66 UUJN diatur
mengenai wewenang MPD yang berkaitan dengan:
1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut
umum, atau hakim dengan persetujuan MPD berwenang:
2) Mengambil fotokopi Minuta Akta dan surat-surat yang
dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam
Penyimpanan Notaris.
3) Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang
berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris
yang berada dalam penyimpanan Notaris.
Pasal 70 UUJN mengatur wewenang MPD yang berkaitan dengan:
a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan
pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan
jabatan Notaris;
b. Melakukan pemeriksaan terhadap Protokol Notaris secara
berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu
yang dianggap perlu;
c. Memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam)
bulan;
d. Menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul
Notaris yang bersangkutan;
e. Menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang
pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25
(dua puluh lima) tahun atau lebih;
f. Menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang
sementara Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat
negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (4);
g. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan
pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan

16
dalam undang-undang ini;
h. Membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dan
g kepada Majelis Pengawas Wilayah.
Kemudian pasal 71 UUJN mengatur wewenang MPD yang
berkaitan dengan:
a. Mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol
Notaris dengan menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah
akta serta jumlah surat di bawah tangan yang disahkan dan
yang dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir;
b. Membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikan
kepada MPW setempat, dengan tembusan kepada Notaris
yang bersangkutan, Organisasi Notaris, dan MPP;
c. Merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan;
d. Menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan
daftar lain dari Notaris dan merahasiakannya;
e. Menerima laporan masyarakat terhadap Notaris dan
menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada MPW
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, dengan tembusan kepada
pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan, MPP,
dan Organisasi Notaris;
f. Menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan
penolakan cuti
Hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa sebagaimana tersebut di atas
wajib dibuat Berita Acara dan dilaporkan kepada MPW, pengurus
organisasi jabatan Notaris dan MPW, hal ini berdasarkan Pasal 17
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor
M.02.PR.08.10 Tahun 2004, yaitu:
1) Hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 dituangkan dalam berita acara pemeriksaan

17
yang ditandatangani oleh Ketua Tim Pemeriksa dan Notaris
yang diperiksa;
2) Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada MPW setempat dengan
tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, Pengurus
Daerah Ikatan Notaris Indonesia, dan MPP.
Majelis Pengawas Wilayah
Kewenangan MPW di samping diatur dalam UUJN, juga diatur dalam
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor
M.02.PR.08.10 Tahun 2004 dan Keputusan Menteri Hukum dan
HAM Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004.
Dalam Pasal 73 ayat (1) UUJN diatur mengenai wewenang MPD
yang berkaitan dengan :
a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan
mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang
disampaikan melalui MPW

b. Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan


atas sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. Memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1
(satu) tahun;
d. Memeriksa dan memutus atas keputusan MPD yang
memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis;
e. Mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada
MPP berupa :
(1) Pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan
6 (enam) bulan, atau
(2) Pemberhentian dengan tidak hormat.
f. Membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan
sanksi sebagaimana dimaksud pada huruf d dan huruf e.

18
Majelis Pengawas Pusat
Kewenangan MPP di samping diatur dalam UUJN, juga diatur dalam
Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor
M.02.PR.08.10 Tahun 2004 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM
Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004. Dalam Pasal
77 UUJN diatur mengenai wewenang MPP yang berkaitan dengan :
a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan
mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap
penjatuhan sanksi dan penolakan cuti;
b. Memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. Menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara;
d. Mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian
dengan tidak hormat kepada Menteri.
Penjatuhan Sanksi
Majelis Pengawas Notaris mempunyai wewenang untuk menjatuhkan sanksi
terhadap Notaris. Sanksi ini disebutkan atau diatur dalam UUJN, juga disebutkan
kembali dan ditambah dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004. Dengan pengaturan
seperti itu ada pengaturan sanksi yang tidak disebutkan dalam UUJN tapi ternyata
diatur atau disebutkan juga dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004, yaitu :
1. Mengenai menjatuhkan sanksi, dalam Pasal 73 ayat (1) huruf e UUJN, bahwa
wewenang MPW untuk MPW berwenang untuk menjatuhkan sanksi berupa
teguran lisan dan teguran secara tertulis, tapi dalam Keputusan Menteri angka
2 butir 1 menetukan bahwa MPW juga berwenang untuk menjatuhkan
(seluruh) sanksi sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 85 UUJN. Adanya
pembedaan pengaturan sanksi menunjukkan adanya inkonsistensi dalam
pengaturan sanksi, seharusnya yang dijadikan pedoman yaitu ketentuan Pasal
73 ayat (1) huruf a UUJN tersebut, artinya selain dari menjatuhkan sanksi

19
berupa teguran lisan dan teguran secara tulisan, MPW tidak berwenang.
2. Mengenai wewenang MPP, yaitu mengenai penjatuhan sanksi dalam Pasal
84 UUJN. Dalam angka 3 butir 1 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 bahwa
MPP mempunyai kewenangan untuk melaksanakan sanksi yang tersebut
dalam Pasal 84 UUJN. Pasal 84 UUJN merupakan sanksi perdata, yang
dalam pelaksanaannya tidak memerlukan (perantara) MPP untuk
melaksanakannya dan MPP bukan lembaga eksekusi sanksi perdata, bahwa
pelaksanaan sanksi tersebut tidak serta merta berlaku, tapi harus ada proses
pembuktian yang dilaksanakan di pengadilan umum, dan ada putusan dari
pengadilan melalui gugatan, bahwa akta Notaris mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta batal demi hukum.
Keputusan Menteri yang menentukan MPP berwenang untuk melaksanakan
Pasal 84 UUJN telah menyimpang dari esensi suatu sanksi perdata.
Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 seperti itu tidak perlu untuk
dilaksanakan.
b. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Dasar hukum pengawasan Pejabat Pembuat Akta Tanah oleh Kepala
Badan Pertanahan terdapat dalam Pasal 65 ayat (2) Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah yang menegaskan bahwa pembinaan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah
dilakukan oleh Kepala Badan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor
Pertanahan. dalam membina dan mengawasi Pejabat Pembuat Akta Tanah,
melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Membantu menyampaikan dan menjelaskan kebijakan dan peraturan
pertanahan serta petunjuk teknis pelaksanaan tugas Pejabat Pembuat

20
akta Tanah yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan dan peraturan
perundang-undangan;
b. Memeriksa akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah dan
memberitahukan secara tertulis kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah
yang bersangkutan apabila ditemukan akta yang tidak memenuhi
syarat untuk digunakan sebagai dasar pendaftaran haknya; dan
c. Melakukan pemeriksaan mengenai pelaksanaan kewajiban
operasional Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Peranan badan pertanahan dalam mengawasi Pejabat Pembuat Akta
Tanah untuk mencapai optimalisasi peranannya maka faktor-faktor
yang mempengaruhi menjadi pertimbangan yang harus disikapi
secarsa logis sesuai dengan kondisi dari gerak dinamika organisasi
badan pertanahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi peranan badan
pertanahan dalam mengawasi Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu
substansi aturan kewenangan pengawasan Pejabat Pembuat Akta
Tanah oleh badan pertanahan, sumber daya manusia dan sarana dan
prasarana. Pengawasan yang dilakukan antara lain :
1. Pengawasan
a. Pemeriksaan buku daftar akta
b. Pemeriksaan hasil penjilidan akta
c. Pemeriksaan bukti-bukti pengiriman akta

2. Penjatuhan sanksi
Sanksi Administratif Penerapan Fungsi Pembinaan dan
Pengawasan PPAT oleh Optimalnya Penerapan Fungsi
Pembinaan dan Pengawasan PPAT oleh Pejabat pada Badan
Pejabat pada Badan Pertanahan Pertanahan.
Mengenai sanksi yang dapat dikenakan terhadap PPAT juga
ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1) Kode Etik PPAT yakni bagi
anggota yang melakukan pelanggaran kode etik dapat dikenakan
sanksi berupa:
21
a. teguran;

b. Peringatan;

c. Schorsing (pemecatan sementara) dari keanggotan IPPAT;

d. Onzetting (pemecatan) dari keanggotan IPPAT;

e. Pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotan IPPAT.

Sementara mekanisme proses pemberhentian diakibatkan pelanggaran


yang dilakukan oleh PPAT didalam menjalankan tugasnya diatur secara
terperinci di dalam Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Perlu
menjadi sebuah catatan penting bahwa kode etik senyatanya berada ditangan
oraganisasi profesi untuk menggelarnya dan menegakkannya, kode etik
profesi tidak sama dengan undang-undang hukum, seorang ahli profesi yang
melanggar kode etik profesi menerima sanksi dan atau denda dari induk
organisasi profesinya.8
Sedangkan pelanggaran terhadap peraturan hukum perundang-undangan
dihakimi/diadili oleh lembaga peradilan yang berwenang untuk itu, seperti
Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Agama (PA), Pengadilan Tata Usaha
Negara dan badan vertikal seperti lembaga departemen (Kementerian) dan
lembaga non departemen seperti Badan Pertanahan Nasional RI. Untuk
menghindari penafsiran dan persefsi yang mendua, perlu dipertegas
kedudukkan dari pelaksana penegakkan etik pada Ikatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (IPPAT) yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan oraganisasi
tersebut hamper sama kedudukkannya dengan Majelis Pengawas pada
Notaris. Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris menentukan
bahwa yang melakukan pengawasan terhadap Notaris dilakukan oleh
Menteri. Dalam melaksanakan pengawasan tersebut Menteri membentuk

8
Suhrawardi K. Lubis, 2008, Etika Profesi Hukum, Cetakan Ke-5 (SinarGrafika:Jakarta,
,hlm 14.
22
Majelis Pengawas (Pasal 67 ayat (2) Undang-Undang jabatan notaris. 9 84
Begitu juga dengan IPPAT beserta alat kelengkapannya yaitu Dewan
Kehormatan Cabang, Dewan Kehormatan Wilayah, dan Dewan Kehormatan
Pusat yang merupakan wadah organisasi Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah
yang mendapatkan delegasi kewenangan dari pejabat terkait yaitu Kepala
Badan Pertanahan Nasional. Penegakkan disiplin pada Ikatan Pejabat
Pembuat Akta yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan IPPAT tidak terlepas
dari aturan Kode Etik PPAT Pasal 10, Pasal 11 serta Pasal 13.

9
Habib Adjie, 2011, Majelis Pengawas Notaris, Sebagai Pejabat Tata Usaha Negara,
Cetakan Kesatu ,Bandung: Refika Aditam, hlm 3.
23
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Dalam rangka pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris, Majelis
Pengawas Notaris berkedudukan sebagai pihak yang melakukan
pengawasan tidak hanya ditujukan dalam pentaatan terhadap kode etik
tetapi juga bertujuan yang lebih luas yaitu agar Notaris dalam menjalankan
tugas jabatannya memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh
peraturan perundang-undangan demi perlindungan atas kepentingan
masyarakat yang dilayaninya. Majelis Pengawas Notaris berwenang
melakukan pengawasan, pemeriksaan dan menjatuhkan sanksi terhadap
Notaris. Sedangkan PPAT, Pengawasan dilakukan oleh Badan Pertanahan
Nasional. Pengawasan terhadap PPAT hanyalah bersifat fungsional saja,
dalam arti hanya memberikan pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT
dalam melaksanakan jabatannya. Pengawasan yang dilakukan oleh Ikatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah hanya terhadap PPAT yang menjadi anggota
IPPAT saja dan berimplikasi terhadap pemberian sanksi, dalam arti apabila
PPAT tersebut diketahui melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik PPAT,
maka akan langsung diperiksa dan apabila terbukti melanggar Kode Etik
PPAT, maka akan diberikan sanksi sesuai dengan jenis pelanggaran yang
dilakukannya.
2. Penjatuhan sanksi dalam notaris disebutkan atau diatur dalam UUJN, dan
disebutkan kembali dan ditambah dalam Keputusan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun
2004, dalam peraturan tersebut MPW dan MPP berwenang dalam
menjtuhkan sanksi dan proses pembuktian dilaksanakan di pengadilan
24
umum, dan ada putusan dari pengadilan melalui gugatan, bahwa akta
Notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau
akta batal demi hukum.
Pembinaan dan pengawasan PPAT dalam pelaksanaannya dilakukan oleh
Kepala Badan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pertanahan.
Penjatuhan sanksi yang dapat dikenakan terhadap PPAT oleh Pejabat pada
Badan Pertanahan dan penjatuhan sanksi juga ditetapkan dalam Pasal 6 ayat
(1) Kode Etik PPAT dan proses pemberhentian diakibatkan pelanggaran
yang dilakukan oleh PPAT diatur secara terperinci di dalam Kode Etik
Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Saran
Perlu adanya standar prosedur operasional pengawasan Notaris secara
nasional yang diatur oleh peraturan perundang-undangan secara tegas, misalnya
dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) atau Petunjuk Teknis/Petunjuk Pelaksana
(Juknis/Juklak) tentang prosedur operasional pengawasan Notaris dan perlunya
ditingkatkan koordinasi antara MPD dan MPW dengan pihak Kepolisian,
Kejaksaan, dan Hakim untuk menghindari kesalahpahaman yang terjadi apabila
MPD atau MPW tidak memberikan persetujuan untuk memeriksa Notaris.

25
PERBEDAAN PENGAWASAN TERHADAP
JABATAN NOTARIS - JABATAN PPAT

NOTARIS PPAT
Notaris adalah pejabat umum yang PPAT merupakan pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta diberi kewenangan
otentik sejauh pembuatan akta otentik untuk membuat akta akta otentik
tertentu tidak dikhususkan mengenai perbuatan hukum tertentu
bagi pejabat umum lainnya. mengenai hak atas tanah atau hak
Pembuatan akta otentik ada yang milik atas satuan rumah susun.
diharuskan oleh peraturan perundang
undangan dalam rangka menciptakan PPAT juga memiliki peranan penting
kepastian, ketertiban, dan dalam pelaksanaan
perlindungan hukum. Administrasi pertanahan data
pendaftaran tanah. Menurut PP Nomor
24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, peralihan dan
pembebanan hak atas tanah hanya
dapat didaftar apabila dibuktikan
dengan akta PPAT.
MPD - Pengawasan terhadap IPPAT - Pengawasan terhadap
pelanggaran peraturan perundang- pelanggaran Angaran
undangan, khususnya berkaitan Dasar Organisasi dan
dengan akta yang dibuat Notaris. Kode Etik Profesi terhadap PPAT .

INI- Pengawasan terhadap Kepala Kantor BPN Kab/Kota-


pelanggaran Angaran Dasar Pengawasan yang bersifat fungsional,
Organisasi dan Kode Etik Profesi dalam arti hanya
Tehadap notaris memberikan pembinaan

26
dan pengawasan terhadap PPAT
dalam melaksanakan jabatannya.
Dalam Mekanisme Penjatuhan Sanksi, Pembinaan dan pengawasan PPAT
Majelis Pengawas Notaris sebagai dalam pelaksanaannya oleh Kepala
satu-satunya instansi yang berwenang Badan, Kepala Kantor Wilayah dan
melakukan pengawasan, pemeriksaan Kepala Kantor Pertanahan. Penjatuhan
dan menjatuhkan sanksi terhadap sanksi yang dapat dikenakan terhadap
Notaris, tiap jenjang Majelis PPAT oleh Pejabat pada Badan
Pengawas (MPD, MPW, dan MPP) Pertanahan dan penjatuhan sanksi juga
mempunyai wewenang masing- ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1)
masing sesuai dengan peraturan Kode Etik PPAT dan proses
perundang-undangan. pemberhentian diakibatkan
pelanggaran yang dilakukan oleh
PPAT diatur secara terperinci di dalam
Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah.

27
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Anshori, Abdul Ghofur. 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif


Hukum dan Etika. Yogyakarta: UII Press. Hlm 20

Anonim, Himpunan Etika Profesi 2006: Berbagai Kode Etik Asosiasi


Indonesia, Pustaka. Yogyakart Yustisia

Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan


UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan Jakarta

Chomzah, Ali Achmad, 2004, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia)


Hukum Pendaftaran Tanah dan Ke-PPAT-an, Jilid 2, Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher

Habib Adjie, 2011, Majelis Pengawas Notaris, Sebagai Pejabat Tata Usaha
Negara, Cetakan Kesatu, Bandung: Refika Aditam

Suhrawardi K. Lubis, 2008, Etika Profesi Hukum, Cetakan Ke-5


(SinarGrafika: Jakarta, hlm 14.

Lumban Tobing, G. H. S. 1983, Peraturan Jabatan Notaris, cetakan ke-3,


Jakarta: Erlangga, hlm 17

B. Makalah, Jurnal, Tulisan Ilmiah, dan Artikel

Sambutan Menteri Hukum dan HAM RI, dalam acara pembukaan Pra
Kongres Ikatan Notaris Indonesia pada tanggal 13-16 Juli 2005 di Makassar

Winanto Wiryomartani, Tugas dan Kewenangan Majelis Pengawas Notaris,


Makalah disampaikan pada Kongres INI Indonesia, pada tanggal 13-16 Juli 2015
di Makassar

28
C. Undang-undang
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, LNRI
Tahun 2004 Nomor 117, TLNRI Nomor 4432

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan


Pejabat Pembuat Akta Tanah, LNRI Tahun 1998 Nomor 52.

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftran Tanah,


LNRI Tahun 1961 Nomor 28, TLNRI Nomor 2171.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang


Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

29

Anda mungkin juga menyukai