Anda di halaman 1dari 7

LOMBA PENA MUSLIMAH

RUMAH CANTIK ANNISAA 2016


“Good Women, Good Mom, Good Nation”

Nama peserta : Nabiilah Ardini Fauziyyah


Tanggal lahir : 1 Maret 1997
Asal Instansi : ITB
Nomor Hp : 085810656774
Alamat : Jl. Taman Hewan No. 6 RT 3 / RW 7
Alamat email : nabiilah.ardini@gmail.com
Mengapa Surga Ada di Bawah Telapak Kaki Seorang Ibu
Oleh: Nabiilah Ardini Fauziyyah

Pagi ini langit begitu cerah. Sinar matahari dengan hangat menyapu lantai dan
langit-langit kamar suatu kos-kosan di Bandung. Indri, seorang mahasiswi tingkat tiga,
sedang berdiri di depan kaca, memastikan penampilannya cukup manis untuk acara
pentingnya hari ini. Indri, untuk yang ketiga kalinya, akan mengikuti SHARE!, acara
bakti sosial bulanan yang diadakan oleh Masjid Salman ITB, berupa acara bermain dan
belajar antara anak-anak dari suatu yayasan yatim piatu di Bandung dengan para
mahasiswa.
Baginya acara ini memberikan kesan tersendiri untuknya sehingga ia ketagihan
untuk terus mengikuti acara ini. Ia masih ingat pengalamannya di acara SHARE! yang
pertama, tepat satu bulan yang lalu, sungguh mengajarkannya akan sosok ibu yang baik
dan menjelaskannya akan arti lebih dalam dibalik pernyataan ‘surga ada di bawah telapak
kaki seorang ibu’.
--
Satu Bulan yang Lalu
Jam menunjukan pukul 10 pagi. Di lapangan hijau Masjid Salman ITB, Ibu Aliyah,
pengurus dari Rumah Yatim Piatu ‘Yayasan Aliyah’, sedang sibuk mengatur ke-20
anaknya yang sebentar lagi mengikuti acara SHARE!. Kali ini ia membawa anak-anaknya
yang berumur 4-7 tahun dengan harapan acara hari ini dapat berdampak positif pada
perkembangan moral dan mimpi anak-anaknya. Setelah memastikan semua anak telah
berada di tempat, Ia tersenyum dan mengisyaratkan kepada panitia bahwa mereka siap
mengikuti acara. Ia pun mulai beranjak ke belakang barisan untuk memerhatikan anak-
anaknya dari belakang.
Sementara itu para mahasiswa juga telah bersiap di belakang lapangan, menunggu
giliran mereka dipanggil untuk akhirnya bermain dan belajar bersama anak-anak. Tidak
terkecuali Indri. Jantung Indri berdegup kencang saat itu. Ia tidak bisa menutupi rasa
gugupnya sampai seseorang akhirnya menenangkannya dari samping. Orang itu meremas
tangan kanan Indri seraya berkata, “Jangan terlalu tegang,” lalu menepuk-nepuk bahu
Indri. Saat Indri menoleh, ternyata orang itu adalah Ibu Aliyah sendiri yang kini sedang
tersenyum manis padanya.
“Eh, ibu..,” Indri tersenyum malu dan mengangguk.
“Kamu Indri yang katanya semangat banget itu ya?” tanya Ibu Aliyah ramah.
Pertanyaan tadi membuat Indri makin tersipu malu. “Eh.., yang lain juga kok, Bu.
Hehe..,” ujarnya.
Ibu Aliyah tersenyum lebih hangat mendengar jawaban Indri yang tidak
menyombongkan diri itu. “Bagus lah kalau banyak yang semangat! Jadi saya tidak perlu
takut kehilangan para ‘Ibu yang baik’ untuk generasi kedepan!”
“Ibu yang baik, Bu?” Indri bertanya.
“Iya, Ibu yang baik. Yang surga saja bisa ada di bawah telapak kakinya,” Ibu Aliyah
tersenyum penuh arti. Memberikan pertanyaan tak henti di hati Indri. “Indri, bisa kah
kamu bayangkan seberapa besar tanggung jawab diemban seorang ibu bila sebuah surga
saja bisa di letakan di bawah telapak kakinya?” kini mata Ibu Aliyah menerawang ke
langit. Indri tertegun. Kalimat Ibu Aliyah terus terngiang-ngiang di benaknya sejak saat
itu.
--
Acara SHARE! berjalan dengan menyenangkan! Jam telah menunjukan pukul 11
siang dan sesi menggambar serta bermain bermusik telah diselesaikan dengan baik. Puas
sudah 1 jam Indri ikut berlari kesana-kemari mengikuti 5 anak Yayasan Aliyah yang
didampinginya, Bian, Azhar, Zayn, Syella, dan Anum yang tidak bisa diam. Berkat durasi
satu jam lebih mengobrol bersama mereka, ia mendapat pelajaran baru yang menarik
tentang anak-anak.
Kebanyakan anak-anak yang dimentorinya, dengan umur yang berkisaran pada
jenjang TK, ternyata masih amat polos. Tapi mereka amatlah pintar! Mereka langsung
menyerap segala informasi yang diberikan dan tak ragu untuk bertanya akan banyak hal.
Mereka mulai mengelompokkan hal yang salah dan benar menurut apa yang dinyatakan
orang-orang disekitar mereka. Kakak-kakak, teman-teman, Mbak pengasuh di Yayasan,
bahkan dari nasihat-nasihat Indri sendiri yang baru diberikan selama 1 jam tadi. Seperti
nasihat ‘membuang sampah pada tempatnya’, sekarang semua anak yang dimentorinya
selalu mencari tempat sampah dulu bila mereka ingin membuang sampah.
Namun acara belum selesai. Masih ada satu sesi terakhir yang amat penting berupa
sesi belajar tentang islam. Indri berdoa pada Allah agar diberi kelancaran dalam
pemberian materinya. Karena anak-anak yang polos ini dapat serta merta mengambil
segala informasi yang diberikan kepada mereka, Apa jadinya bila ia mengajarkan yang
salah tentang Islam kepada anak-anak polos ini. Dosanya bisa besar sekali. Dengan tulus,
ia mengucap ‘bismallah’ dalam hati sebelum akhirnya memulai materi terakhirnya.
Indri memaparkan pelajaran Islamnya tentang rukun islam dan rukun iman. Semua
anak-anak mendengarkan dengan seksama hingga 5 menit berlalu. Namun Indri merasa
ada yang tidak beres. Pemaparan materi berjalan tanpa ada pertanyaan seperti sesi-sesi
sebelumnya. Anak-anak pun cenderung pasif. Indri pun menghentikan pemaparannya
sejenak. Ia melihat sorot mata dan tingkah laku kelima anak di depannya. Benar saja
dugaannya, anak-anak tersebut sudah bosan. Pandangan mereka ke bawah, ada yang
mengantuk, ada juga yang bermain tangan.
Respon anak-anak yang bosan ini sesungguhnya wajar karena materi islam yang
dipaparkan Indri dilakukan dengan satu arah. Ia merasa tidak mampu melakukan
pemaparan materi islam secara diskusi karena pengetahuan islamnya yang menurutnya
masih randah. Hingga akhirnya Indri merasa bersalah pula.
“Kenapa, kok kalian kelihatan capek?” tanya Indri akhirnya kepada anak-anak.
Pikirnya, mungkin harus mulai dari saling mengerti keadaan masing-masing.
Kelima anak yang dimentorinya menundukan kepalanya dan hanya saling melihat
satu sama lain. Indri terus menunggu jawaban hingga tiba-tiba satu pernyataan dari Anum
memecah keheningan.
“Kak, udahan yuk belajar islamnya. Mau belajar yang lain aja kayak teman-teman
yang lain, ” ucap Anum sambil menunjuk ke arah spot-spot mentoring lainnya.
Indri kaget dan bingung harus menjawab apa untuk pertanyaan tersebut. Ia yang tak
bisa berkata apa-apa pun spontan menoleh ke arah yang ditunjuk Anum. Benar saja, spot-
spot lain tersebut sudah bermain bebas dan tidak membahas islam lagi, padahal waktu
untuk pemaparan islam ini masih banyak sekali tersisa.
Mulai terjadi pergolakan dalam hati Indri. Apakah menyudahi pengajaran tentang
islam itu pantas? Bagaimana kalau anak-anak ini akhirnya menganggap belajar islam
adalah sesuatu yang tidak penting. Pastinya Ia tidak ingin menanamkan sifat itu kepada
anak-anak.
Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke salah satu spot mentor lain untuk bertanya
secara langsung, apa pertimbangan mereka menyudahi materi islam ini. Sementara itu, ia
meminta panitia lain untuk menjaga anak-anak yang dimentorinya.
Sungguh kagetnya Indri saat mendengar pernyataan teman mentornya. “Yaudah lah
ntar juga gak dipakai banget. Ini kan dasar banget, abstrak, dan mereka juga udah hafal,”
ucap teman mentornya itu.
Indri mengerutkan kening tak habis pikir, “Lah, justru karena abstrak itu kan
mereka harus ngerti. Ini kan bukan kayak materi ujian yang sekali hafal trus boleh
langsung hilang habis ujian,” jelas Indri.
Temannya terdiam tidak bisa membalas. Di matanya terpancar rasa bersalah.
Sambil mengalihkan pandangan dan dengan suara yang lirih, temannya kemudian
berkata, “Terserah kamu deh. Tapi aku udah nggak bisa ngasih ilmu apa-apa lagi ke
merekanya. Sepengertian aku ya udah aku kasih. Sekarang aku cuma bisa pasrah dan
berdoa otak-otak mereka sampai untuk bisa mengembangkan pengetahuan dasar yang aku
kasih ke mereka, agar bisa lebih baik.., bahkan lebih baik mungkin dari pengertian yang
aku punya sekarang.” Temannya menjelaskan sambil menahan rasa tidak enak. “Sedih
juga aku nggak bisa ngajarin lebih, Ndri.., tapi ya emang gitu. Cuma bisa pendek doang
penjelasan aku,” jelasnya jujur.
Kini Indri yang terdiam. Tidak bisa lagi ia menyalahkan teman sesama mentornya
ini. Ia hanya bisa intropeksi diri, apakah keadaan dia seburuk itu pula. Ia akhirnya
mengangguk dan menepuk pundak teman sesama mentornya itu, saling menguatkan.
Setelah mendapat penjelasan itu pun ia kembali ke tempat mentoringnya.
Terasa sakit hatinya seperti tercabik duri. Baru sadar ia akan beban besar yang ia
bawa sebagai seorang pendidik. Beban dasar seorang ibu. Beban yang ibu emban adalah
menjawab pertanyaan anak-anaknya dengan benar akan Allah dan Islam, mengarahkan
mereka untuk terus belajar islam, dan mendidik mereka agar memiliki bekal yang cukup
untuk dapat memasuki surga. Bahkan lebih dari itu, Ibu mempunyai tanggung jawab
untuk mendidik sebuah generasi penerus manusia di bumi, untuk melanjutkan penyebaran
dan penegakkan islam di seluruh dunia. Misi yang diwariskan oleh Rasulullah kepada
umatnya setelah beliau meninggal. Iya bukan?
Bayangkan ketika ia menjadi seorang ibu yang tidak bisa menjawab pertanyaan
anaknya sendiri akan ketuhanan dan islam. Apa yang akan terjadi ketika ia tidak dapat
mendidik anaknya untuk menyadari betapa pentingnya belajar islam? Untuk membangun
dasar ketauhidan dan hukum islam ke dalam diri anaknya. Akan rusak dan hilangkah umat
islam yang sebenarnya suatu saat nanti? Bahkan saat ia tidak menyadarinya. Ia tertegun
dan terharu. Betapa besar beban dan tanggung jawab yang diemban para Ibu! Pantas saja
saat seorang wanita menjadi ibu, di bawah telapak kakinya terdapat surga.
Menyadari hal itu, Indri kembali melihat mata anak-anak yang dimentorinya dan
tersenyum sayang kepada mereka. Untuk menjawab pertanyaan Anum, Ia akhirnya
berkata, “Belajar islam itu sangat penting Anum dan adik-adik semuanya. Supaya kita tau
bagaimana cara hidup di dunia ini dengan benar, jadi bisa disayangi Allah dan dihindari
dari keburukan, jadi selamat di dunia dan di akhirat,” Indri tersenyum hangat mengakhiri
jawabannya.
Tanpa disadari, Ibu Aliyah ternyata berada dibelakang Indri sejak tadi Indri
berbicara. “Benar tuh yang dibilang Kak Indri, makanya kalian harus terus semangat ya
belajar tentang Islam, di rumah maupun dimana pun!” lanjutnya membantu Indri.
Indri terkejut. Antara merasa lega karena ada Ibu Aliyah yang membantunya
menjelaskan jawaban pertanyaan Anum tadi, tapi juga merasa bersalah karena tadi sempat
meninggalkan anak-anaknya duduk tanpa pengawasan. Sementara itu anak-anak menoleh
ke arah Ibu Aliyah. “Ibuu!” anak-anak berseru senang.
Ibu Aliyah berseru senang menjawab sapaan mereka. Lalu tersenyum manis ke arah
Indri sambil kemudian membisikan, “Ibu bantu ngejelasin islamnya ya?”
Indri mengangguk mantap. “Iya, Bu, terima kasih! Maaf juga, Bu, tadi sempat
ninggalin anak-anak sendiri,” ucapnya jujur.
Ibu Aliyah tertawa kecil, “Iya, gak papa cuma bentar. Ada panitia-panitia yang lain
yang ngejagain juga, kan,” ucap Ibu menenangkan.
Indri pun mengajak anak-anak untuk lebih dalam lagi memahami tentang apa itu
Tuhan, mengajak anak-anak untuk masuk ke dunia mereka dan berpikir, apakah mereka
telah menjalankan rukun islam dan rukun iman selama ini? Selain itu ditanya pula
pandangan anak-anak tentang rukun islam dan rukun iman yang selama ini mereka
pahami. Apakah sudah benar atau belum.
Dengan metode diskusi seperti ini, sepertinya anak-anak mulai tertarik
mendengarkan. Mereka mulai banyak bertanya, tentang Allah, rukun islam, rukun iman,
dan islam secara umum. Hingga akhirnya salah satu panitia menepuk pundak Indri dan
menyampaikan, “5 menit lagi, ya.”
Indri melihat jam tangannya, raut mukanya menjadi lega. Tidak terasa sesi terakhir
ini sebentar lagi akan selesai. Bersyukur sekali ia karena mentoring sesi ini juga akhirnya
berjalan lancar. Matanya tak sengaja beradu tatap dengan Ibu Aliyah. Indri tersenyum
malu karena tadi sempat bingung dan malah menggait Ibu Aliyah untuk ikut turun tangan,
namun ia sangat berterima kasih. Ibu Aliyah pun maklum dan membalas senyumannya
dengan tenang. Malah memberikan jempol padanya.
Ucapnya lagi sambil berbisik, “Selamat Indri, sudah mulai belajar menjadi ibu yang
baik!” kata Ibu Aliyah sambil mengedipkan matanya. Indri hanya tersenyum dan tersipu
malu. Di dalam hatinya, ia bersyukur telah mengikuti acara ini dan mendapatkan
pelajaran penting yang akan amat berguna di masa mendatang.
Setelah sesi belajar islam ditutup, anak-anak diarahkan untuk berkumpul kembali
di bagian tengah untuk makan siang. Sementara itu Indri beranjak ke belakang berkumpul
bersama panitia yang lain. Para mentor bersorak gembira karena berhasil menjalankan
tugas mereka semaksimal mungkin. Indri lebih bersyukur lagi karena juga mendapatkan
pelajaran mengenai sosok ibu yang baik. Sejak saat itu, ia pun bertekad untuk belajar
dengan sebaik-baiknya, tentang apa pun, terutama tentang ilmu islam. Sehingga semoga
saja, kelak surga akan benar-benar terletak di bawah telapak kakinya, dan saat itu tiba, ia
pun sanggup mempertanggung jawabkannya.

Anda mungkin juga menyukai