Anda di halaman 1dari 30

Makalah Hukum Kesehatan

PENYELESAIAN KELALAIAN TENAGA KESEHATAN MELALUI


MEDIASI

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Kesehatan
Semester Genap Tahun Ajaran 2018/2019
Dosen Pengampu : Sartika Dewi, SST.,MHKes.
Disusun oleh :
Kelompok 1

Sutardi (17416274201105)
Asep Setiana (17416274201045)
Hilmy Al Fariz (17416274201126)
Ferry Ferdian (17416274201102)
Nanang Damanik (17416274201021)
Annisa (17416274201010)
Fitria Dwi M. (17416274201005)

UNIVERSITAS BUANA PERJUANAGAN KARAWANG


FAKULTAS BISNIS DAN ILMU SOSIAL
2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas limpahan Karunia,
Rahmat, dan Hidayah-Nya yang berupa kesehatan, sehingga makalah tentanng
Penyelesaian Kelalaian Tenaga Kesehatan Melalui Mediasi ini dapat terselesaikan
tepat pada waktunya. Makalah ini disusun sebagai tugas mata kuliah Hukum
Kesehatan. Kami ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak
memiliki kekurangan baik dari segi penulisan maupun segi penyusunan. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang bersifat membangun akan kami terima dengan senang hati
demi perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bisa memberikan informasi
mengenai orang sebagai subjek hukum dan hukum dikaitkan dengan hak dan kewajiban
dapat bermanfaat bagi para pembacanya. Atas perhatian dan kesempatan yang
diberikan untuk membuat makalah ini kami ucapkan terima kasih.

Karawang, 12 April 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

PENYELESAIAN KELALAIAN TENAGA KESEHATAN MELALUI


MEDIASI ...................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................................. i
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A. Latar Belakang...................................................................................................... 1
B. Rumusan masalah ................................................................................................. 2
C. Tujuan ................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 3
A. Pengertian Kelalaian dan Hubungan dengan Mediasi .......................................... 3
B. Perbandingan Mediasi dan Litigasi ...................................................................... 7
C. Prinsip Penyelesaian Sengketa Kelalaian Melalui Mediasi ................................ 11
D. Peran Mediator dan Manfaat Mediasi ................................................................ 13
E. Mediasi Pilihan Utama Dalam Penyelesaian Kelalaian Tenaga Kesehatan ....... 16
F. Prinsip Penyelesaian Malparktik/Kelallaian Melalui Mediasi ............................ 21
BAB III PENUTUP ................................................................................................... 25
Kesimpulan .............................................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 27

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berkaitan dengan dampak buruk dari hubungan hukum dokter dengan pasien
sebagai akibat dan tidak terpenuhinya suatu prestasi dari dokter yang dalam hal ini
selaku debitor.
Kelalaian medis adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus
merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya
kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu tindakan
yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya
dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sma pada suatu keadaan dan
situasi yang sama.
Kelalaian medis adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus
merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya
kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu tindakan
yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya
dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sma pada suatu keadaan dan
situasi yang sama.
Mediator berada pada posisi di “ tengah dan netral” anata para pihak yang
bersengketa, dan mengupayaklan menemukan sejumlah kesepakatan sehingga
mencapai hasil yang memmuaskan para pihak yang bersengketa. Penjelasan
kebahasaan ini masih sangat umum sifat nya dan belum menggambarkan seacara
konkret esensi dan kegiatan mediasi secara menyeluruh. Oleh karenanya perlu di
kemukakan pengertian mediasi secra terminology yang diungkapkan para ahli resolusi
konflik.
Tujuan utama dari konsep win-win solution adalah untuk mnghindari terjadinya
kerugian pada salah satu pihak, sehingga dalam proses penyelenggaraannya dibuthkan

1
sikap-sikap yang kooperatif dari kedua belah pihak. Sangat penting bagi para pihak
untuk melepaskan diri dari sifat ego posisi ingin menang sendiri. Pendekatan moral
yang digunakan oleh mediator akan membangun komunikasi yang saling mengisi
untuk mencapai manfaat yang maksimal.
B. Rumusan masalah
a. Apa pengertian Kelalaian dan Hubungan dengan Mediasi ?
b. Apa perbandingan Mediasi dan Litigasi ?
c. Apa prinsip Penyelesaian Sengketa Kelalaian Melalui Mediasi ?
d. Apa peran Mediator dan Manfaat Mediasi ?
e. Apa mediasi Pilihan Utama Dalam Penyelesaian Kelalaian Tenaga Kesehatan?
f. Apa prinsip Penyelesaian Malparktik/Kelallaian Melalui Mediasi ?
C. Tujuan
a. Mengetahui pengertian Kelalaian dan Hubungan dengan Mediasi
b. Mengetahui perbandingan Mediasi dan Litigasi
c. Mengetahui prinsip Penyelesaian Sengketa Kelalaian Melalui Mediasi
d. Mengetahui peran Mediator dan Manfaat Mediasi
e. Mengetahui mediasi Pilihan Utama Dalam Penyelesaian Kelalaian Tenaga
Kesehatan
f. Mengetahui prinsip Penyelesaian Malparktik/Kelallaian Melalui Mediasi

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kelalaian dan Hubungan dengan Mediasi


Riati Anggriani mengemukakan bahwa kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk,
yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan
tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atau improper),
misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai, pilihan tindakan
medis tersebut sudah improper. Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis
yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (imporper performance), yaitu
misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur. Nonfeasance adalah
tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya.
Bentuk-bentuk kelalaian diatas sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes,
slips and lapses), namun pada kelalaian harus memenuhi keempat unsur kelalalian
dalam hukum khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan
kerugian. Demikian pula adanya latent error yang tidak secara langsung menimbulkan
dampak buruk.
Berkaitan dengan dampak buruk dari hubungan hukum dokter dengan pasien
sebagai akibat dan tidak terpenuhinya suatu prestasi dari dokter yang dalam hal ini
selaku debitor, saya setuju dengan apa yang dikemukakan oleh Agus Yudha Hernoko1,
bahwa terkait dengan wanprestasi (lalainya debitor) Pasal 6:58 NBW, menyatakan
bahwa “debitor adalah lalai memenuhi perikatannya apabila tidak melakukan upaya
seperlunya atau terhalangnya prestasi yang disebabkan olehnya, kecuali terhalangnya
pelksanaan prestasi itu tidak dapat dibebankan kepada dirinya”. Jika kita hubungkan
dengan hubungan hukum dokter dan pasien, kerugian yang diderita oleh pasien sebagai
akibat yang ditimbulkan langsung oleh dokter, maka mewajibkan bagi dokter untuk
memberikan ganti rugi.

1
Agus Yudha Hernoko, Op Cit, h,238.

3
Kelalaian medis adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus
merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya
kelalaian terjadi apabila seseorang dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu tindakan
yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya
dilakukan oleh orang lain yang memiliki kualifikasi yang sma pada suatu keadaan dan
situasi yang sama.
Riati Anggriani menyebutkan “suatu perbuatan atau sikap dokter atau dokter gigi
dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur dibawah ini yaitu :
a) Duty atau kewajiban dokter dan dokter gigi untuk melakukan sesuatu tindakan
atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu
pada situasi dan kondisi tertentu.
b) Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.
c) Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai
kerugian akibat dari layanan kesehatan/kedokteran yang diberikan oleh
pemberi layanan.
d) Direct casual relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal
ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban
dengan kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”
Walter G. Alton2 berpendapat tentang malpraktik dia menyebutkan bahwa
“When we talk about a medical malpractice suit, what are wi talking about ? What kind
of suit is ? In legal terminology, it is a civil suit for money darmages, not criminal
action. It is not brought by the stateto jail or disenfranchise a physiciam. It is broughtby
a a patiens or his relatives to recover monetary compensation for injuries or death
alleged to have resulted from the physician’s malpractice.
Pengertian yang dikemukakan oleh Walter G. Alton diatas ini kalau kita
terjemahkan secara bebas memberikan arti bahwa ketika kita sedang berbicara tentang
malpraktik medis, dalam terminology hukum, malpraktik itu adalah gugatan perdata

2
Walter G. Alton, Op Cit. P.9

4
untuk uang ganti rugi, bukan tindak pidana. Hal ini tidak dibawa oleh negara ke penjara
atau mencabut hak dokter. Hal ini dibawa oleh pasien atau kelurganya untuk
memulihkan kompensasi biaya untuk cedera atau kematian diduga telah dihasilkan dari
malpraktik dokter atau rumah sakit.
Pengertian lainnya istilah kelalaian medis tersirat dan penegrtian malpraktik
medis menurut World Medical Law Assosiation yaitu : “medical malpractice involves
the plysician’s faihare to conform to the standard of car for treatment of the patient’s
condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the
direct cause of an injury to the patient”
World Medical Law Association (WMLA) yang dikutip oleh Riani Anggraini
mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malparktik
medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable)
yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan
cidera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktik atau kelalaian
medik. “An injury occurring in the course of medical treatment whicj could not be
foreseen and was not the result of the black of skill or knowledge on the part of the
treating physiciam is untoward result, for which the physician should not bear any
liability”.
Kelalaian juga merupakan masalah moral yang berkaitan dengan hubungan
tanggung jawab dan dalam beberapa kasus, (bersifat) menyalahkan. Untuk mengatakan
bahwa kecelakaan dapat dihindari dan bahwa keslahan selalu akan dibuat, meskipun
sangat benar, tidak bermakna bahwa pasien cidera agar mendapat penjelasan dan
permintaan maaf atas luka-lukanya, dan (mendapat) kepuasan (dengan) mengetahui
bahwa ada langkah-langkah yang telah timbul untuk mencegah terulangnya keslahan
tersebut. Ketika pasien merasa dirugikan dari kelalalian yang ditimbulkan oleh tenaga
kesehatan, rumusan dalam Pasal 29 undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
kesehatan, menyebutkan “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian
dalam menjalankan profsinya, kelalaian tersebut harus di selesaikan terlebih dahulu
melalui mediasi”.

5
Rumusan Pasal diatas mengharuskan upaya mediasi yang harus lebih dahulu di
tempuh jika terjadi kelalaian, di dalam penjelasannya Pasal ini menegaskan pula bahwa
“Mediasi dilakukan bila timbul sengketa antara tenaga kesehatan pemberi pelayanan
kesehatan dengan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. Mediasi dilakukan
bertujuan untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan oleh mediator yang di
sepakati oleh para pihak”. Kelalalian yang disebutkan dalam Pasal 29 tersebut, harus
ditafsirkan sebagai bentuk kelalaian yang diatur dalam ruang lingkup keperdataan.
Pada dasarnya kelalaian itu menurut rumusan Pasal 1366 BW adalah sikap
kurang berhati hati seseorang professional untuk bekerja sesuai dengan standar yang
diharpakan dari profesinya itu yang menimbulkan kerugian bagi orang lain. Kelalaian
ini bisa terjadi karena ketidak sengajaan (culpa), kurang hati hati, tidak peduli.
Sebenarnya akibat yang timbul itu bukan merupakan tujuan tindakan tersebut, yang
penting suatu kesalahan atau kelalaian yang kecil/sepele dalam lapangan kedokteran
bisa berakibat serius atau sampai fatal.
Pengertian mediasi secara yuridis di Indonesia dapat kita temukan dalam Pasal 1
butir 7 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di
pengadilan menyebutkan “Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh
mediator”.
Kimberlly mengemukakan bahwa mediasi, sebagai proses penyelesaian komflik,
telah mendapatkan popularitas dan penrimaaan di Amerika serikat sejak Tahun 1976.
Hal ini terutama muncul sebagai bagian dari tren untuk mengeksplorasi, terutama
dalam sengketa hukum, menjadi alternatif untuk proses pengadilan formal yang mahal.
Eksplorasi alternatif telah menjadi akibat langsung dari perasaan frustasi dan
kekecewaan yang sering kescewa dalam proses litigasi. Hal ini merupakan bagian
perkembangan gerakan Penyelesaian Sengketa Alternatif, Alternative Dispute
Resolution (ADR)
Takdir rahmadi memberikan pengertian mediasi adalah berasal dari ksoa kata
Ingris, yaitu mediation dan bahasa Latin, mediare yang berate berada di tengah, secara

6
tegas di maknakan adalah suatu proses penyelesaian sengketa dua pihak atau lebih
melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak
memilki kewenangan memutus. Menurut saya makna ini menunjuk pada peran yang
ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya memimpin
dan menyelesaikan sengekta anata pihak, berada di tengah juga bermakna mediator
harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia
harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama,
sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) bagi para pihak yang bersengketa.
B. Perbandingan Mediasi dan Litigasi
Laurance Boulle, memberikan gambaran perbedaan prinsip antara Litigasi
danMediasi, seperti termuat pada table di bawah ini :

LITIGATION MEDIATION
Right enforcemnet Interest accommodation
Value claiming Value creating
Coercive and binding Voluntary and consensual
Due process of law Prosedural flexibility
Privity of involvement Widely participatory
Formality Informality
Norm imposing Norm creating
Consistency and precedencial Situational and individualized
Act – centred Person – contred
Fact – oriented Relationship – oriented
Past focus Future focus
Profesionalized Peer – based
Public and accountable Private and confidential
Adversarial Collaborative
Tabel 1. Cobtrasting principles by Laurence Boulle

7
Membandingkan perbedaan pada table diatas terdapat beberapa prinsip yang
menggambarkan bahwa penyelesaian perkara yang ditempuh melalui mediasi lebih
efektif dan efisien dari pada ditempuh melalui jalur litigasi. Sedikitnya ada 14 alasan
yang menjadi dasar pilihan utama dalam menyelsaikan sengketa hukum, khusunya
perkara perdata. Berorientasi pada kepentingan para pihak, atas kesepaktan dan
sukarela, prosedur yang flexible, informal, focus pada permaslahan, bersifat tertutup
dan rahasia dan lain sebagainya.
Dalam Black’s Law Dicionary, dikatakan bahwa “mediation is a method of
nonbinding, dispute resolution involving a natural third party who treis to help the
disputing partoes reach a mutualy agreeable solution. Pada pengertian ini kata “
mediasi “ diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian
suatu perselisihan sebagai pihak yang netral. Sementara pengertian mediasi yang
diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandukng tiga unsur penting. Pertama,
mediasi merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara
dua pihak atau lebih. Kedua, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah
pihak-pihak yang berasala dari luar pihak yang bersengketa. Ketiga, pihak yang terlibat
dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak ebagai penasihat dan tidak memiliki
kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan, dan dalam kamus hukum berasal
dari kata medium yang berarti perantara.
Dalam Collins English Dictionary and Thesaurus disebutkan bahwa mediasi
adalah kegiatan menjembatani antara dua pihak yang bersengketa guna menghasilakn
kesepakatan (agreement). Kegitan ini dilakukan oleh mediator sebagai pihak yang ikut
membantu mencari sebagai alternatif penyelesaian sengketa. Posisi mediator dalam hal
ini adalah mendorong para pihak untuk mencapai kesepaktan-kesepakatan yang dapat
mengakhiri peserelisihan dan persengketaan. Ia tidak dapat memaksa para pihak untuk
menerima tawaran penyelesaian sengketa darinya. Para pihak lah yang menentukan
kesepakatan-kesepakatan apa yang mereka inginkan. Mediator hanya mambantu
mencari alternatif dan mendorong mereka secara bersama-sama ikut menyelesaikan
sengketa.

8
Penjelasan mediasi dari sisi kebahasaan ( etimologi) lebih menekankan pada
keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk
menyelesaikan perselisihannya. Penjelasan ini amat penting guna membedakan dengan
bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya sepertia abitrase, negisiasi,
adjudikasi dan lain-lain.
Mediator berada pada posisi di “ tengah dan netral” anata para pihak yang
bersengketa, dan mengupayaklan menemukan sejumlah kesepakatan sehingga
mencapai hasil yang memmuaskan para pihak yang bersengketa. Penjelasan
kebahasaan ini masih sangat umum sifat nya dan belum menggambarkan seacara
konkret esensi dan kegiatan mediasi secara menyeluruh. Oleh karenanya perlu di
kemukakan pengertian mediasi secra terminology yang diungkapkan para ahli resolusi
konflik.
Menurut saya, konsep mediasi pada penyelesaian malparktik medik berbeda dari
beberapa pendapat para ahli yang sering mengemukakan bahwa mediasi bersifat suka
rela dan merupakan sebuah alternatif, tetapi secara yuridis jelas rumusan Pasal 29
UU/36 adalah suatu keharusan. Dalam penyelasiannya dipengaruhi oleh duduk
perkaranya, status soisal, status ekonomi dan tidak bisa menggunakan satu metode
penyelesaian saja hal ini sangat kasuistik. Prosedur penyelesaian sengketa mediasi
tidak mengabaikan fakta bahwa konflik yang diselesaikan dapat malhirkan konsep dan
metode baru dan kreatif untuk menyelesaikan sengketa.
Berdasarkan bukti empiris, di dalam menyelesaikan sengketa medik melalui
mediasi, hampir 90% (12 dari 16 jumlah sengketa) jika dikaitkan dnegan pendapa yang
dikemukakan oleh Kimberly diatas bahwa konsep mediasi adalah melahirkan metode
baru dan kreatif adalah proses mediasi adalah diperlukan kemampuan seorang mediator
dalam memahami pokok permaslahan dari sengketa itu sendiri yang kedua adalah
diperlukan kemampuan negosiasi mediator pada saat melakukan kaukus. Selain itu
dalam proses mediasi khususnya malpraktik medik, bagi seorang mediator juga
dituntut memahami aspek hukum dalam kedokteran dan memahami kultur budaya para
pihak.

9
Syahrizal abbas mengatakan bahwa mediasi jika dibandingkan dengan proses
litigasi atau melalui jalur pengadilan memmiliki keuntungan :
a) Bersifat luwes, sukarela, cepat, murah, sesuai, kebutuhan netral, rahasia
didasari hubungan baik.
b) Memeperbaiki komunikasi anatar para pihak yang bersengketa.
c) Membantu melepaskan kemarahan terhadap pihak lawan.
d) Mengetahui hal-hal atau isu-isu yang tersembunyi yang terkait dengan sengketa
yang sebelumnya tidak didasari.
e) Tidak ada pihak yang merasa menang atau kalah.
Saat ini semangat menggunakan mediasi sebagai model penyelesaian sengketa
hukum menjadi pilihan yang didahulukan dan lebih banyak orang yang di didik dan
dilatih dalam proses tersebut, pemahaman masyarakat tentang apa itu mediasi menjadi
lebih jelas dan perlunya keterlibatan seorang mediator yang memiliki keterampilan
merupakan aspek penting dari mediasi. Namun sangat sedikit yang ditetapkan dalam
literatur tentang keterampilan apa itu, atau apa yang seharusnya.
Keterampilan mediator sering dicatat meliputri komunikasi, kemmpuan analitis
dan kesabaran. Penekanan sering ditempatkan pada “keterampilan orang”, meskipun
memiliki beberapa pengetahuan subsatntif tentang konflik juga menjadi penting,
terutama dalam hal-hal yang sangat teknis atau kompleks. Selama beberapa tahun
terakhir, beberapa upaya telah dilakukan untuk menentukan atribut khusus bagi
mediator yang efektif.
Penulis mencatat dari tahun 2006 samapai dengan maret 2014 tercatat 17 kasus
dugaan malpraktik di Kalimantan Selatan, dari 17 kasus tersebut 16 kasus dapat
diselesaikan dengan mediasi, 1 kasus gagal mediasi karena pelapor menarik
permintaannya. Berdasarkan fakta ini, 90 persen opini malpraktik yang didalilkan
masyarakat pada umumnya sesungguhnya adalah kelalaian ringan dan pelanggaran
etika profesi yang faktor utamanya adalah kurangnya penjelasan (komunikasi) dari
dokter kepada pasien dan tidak ditemukan unsur kesengajaan (menrea-dolus). Dari
kelalaian ini terdapat kerugian yang dialami pasien hak berupa materil maupun

10
immaterial, akan tetapi kerugian juga dialami oleh dokter, pencemaran nama baik
karena terlanjur terekspose di media cetak maupun elektronik, terbebaninya pikiran
dalam memeberikan pelayanan sebelum pengaduan pasien dapat diselesaikan.
Berdasarkan tinjauan yuridis pada bab diatas dan data yang ada serta fakta
lapangan yang menulis dapatkan, jika terdapat laporan dugaan malpraktik yang
dikeluhkan pasien baik yang disampaikan melalui pimpinan rumah sakit, ombudsman
atau kepada mediator langsung, prinsipnya dokter merasa hal tersebut sangat
mengganggu konsentrasi dalam memberikan pelayanan kepada pasien lainnya terlepas
benar atau slahnya laporan tersebut, sebaliknya jika seseorang pasien telah mendalilkan
seseorang dokter melakukan malpraktik pada tahap selanjutnya akan mengalami
kesulitan untuk membuktikannya.
Pada berbagai literatur ditemukan jumlah prinsif mediasi secara umum, namun
pada penelitian ini menulis memaparkan beberapa prinsip dasar mediasi dalam
sengketa malpraktik medis. Prinsip dasar (basic principles) adalah lanadasan filosofis
dari diselenggarakannya kegiatan mediasi. Prinsip atau filosofis ini merupakan
kerangka kerja yang harus diketahui oleh mediator, sehingga dalam menjalankan
mediasi rtidak keluar dari arah filosofi yang melatarbelakangi lahirnya instusi mediasi.
C. Prinsip Penyelesaian Sengketa Kelalaian Melalui Mediasi
Untuk mewujudkan tujuan peradilan yang sederhana cepat dan biaya ringan,
Mahkamah Agung sebagai penyelenggara peradilan tertinggi di Indonesia mulai
menggagas beberapa metode untuk mempersingkat proses penyelesaian sengketa di
pengadilan, namun dapat memberikan hasil yang lebih optimal. Salah satu gagasan
yang cukup progresif anatara lain dengan mengoptimalkan lemabaga mediasi pada
perkara-perkara perdata. Hal ini dimaksudkan agar para pihak yang berperkara tidak
harus menempuhseluruh tahapan proses persidangan yang panjang dan memakan
waktu yang lama, namun hanya cukup pada tahap para pemeriksa saja jika para pihak
berhasil mencapai kesepakatan perdamaian melaluli mediasi dari awal persidangan.
Proses penyelesaian sengketa dapat digunakan dua jalur yaitu litigasi
(pengadilan) dan non litigasi. Kita semua dapat memahami bahwa proses perkara di

11
pengadilan adalah proses yang membutuhkan biaya dan memakan waktu. Karena
system pengadilan konvensional secara alamiah berlawanan, seringkali menghasilakan
satu pihak sebagai pemenang dan pihak lainnya sebagai pihak yang kalah.
Sementara itu keritik tajam terhadap lemabga pengadilan dalam menjalankan
fungsinya yang dianggap terlampau padat, lamban dan buang waktu, mahal dan kurang
tanggap, terhadap kepentimngan umum serta dianggap terlampau formalistic dan
terlampau teknis. Itu sebabnya maslah peninjauan kembali perbaikan system peradilan
kearah yang efektif dan efisien terjadi dimana-mana.
Bedasarkan hal-hal diatas muncul ide untuk menyelesaikan sengketa dugaan
malpraktik tersebut secara win-win solution, salah satu nya adalah dengan mediasi.
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundinagan untuk
memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediasi itu sendiri
dapat dilakukan melalui jalur pengadilan maupun diluar pengadilan dengan
menggunakan mediator yang telah mempeunyai sertifikat mediator. Mediator adalah
pihak netral yang membenatu para pihak dalam proses perundingan guna mencari
berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau
memaksakan sebuah penyelesaian.
Denga ditetapka peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia (perma)
Nomor 01 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di pengadilan, telah menjadi
perubahan fundamental dalam praktik peradilan di Indonesia. Pengadilan tidak hanya
bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang
diterimanya, tetapi juga berkewajiban mengupayaklan pedamaian antara pihak-pihak
yang berperkara. Pengadilan yang selama ini berkesan sebagai lembaga penegakan
hukum dan keadilan, sekarang menampakan diri sebagai lembaga yang mencarikan
solusi damai antara pihak-pihak yang bertikai.
Ciri khas dari proses penyelesaian sengketa diluar pengadilan (selain arbitrase)
adalah adanya “win-win solution” yaitu suatu metode penyelesaian dimana masing-
masing pihak akan mendapatkan kemanfaatan secara berimbang sesuai kehendak yang
disepakati. Jika dalam proses litigasi akan ada pihak yang menang dan kalah, pada

12
proses mediasi tidak aka ada istilah yang mennag atau kalah, karena semua pihak akan
akan menjadi pemenang. Kondisi ini jelas akan lebih menguntungkan kedua belah
pihak karena tidak aka nada yang merasa direndahkan harga dirinya, sehingga
penyelesaian akhir semua permsalahan yang terjadi tanpa ada embel-embel dendam
dikemudian hari.
Tujuan utama dari konsep win-win solution adalah untuk mnghindari terjadinya
kerugian pada salah satu pihak, sehingga dalam proses penyelenggaraannya dibuthkan
sikap-sikap yang kooperatif dari kedua belah pihak. Sangat penting bagi para pihak
untuk melepaskan diri dari sifat ego posisi ingin menang sendiri. Pendekatan moral
yang digunakan oleh mediator akan membangun komunikasi yang saling mengisi
untuk mencapai manfaat yang maksimal.
D. Peran Mediator dan Manfaat Mediasi
Mediator adalah pihak ketiga yang membantu penyelesaian sengketa para pihak,
yang mana ia tidak melakukan intervensi terhadap pengambilan keputusan. Mediator
menjembatani pertemuan para pihak, melakukan negosiasi, menjaga dan mengontrol
negosiasi, menawarkan alternatif solusi dan secara bersama-sama para pihak
merumuskan kesepakatan penyelesaian sengketa.
Nurnaningsing Amriani menyebutkan salah satu efektifitas dari proses
penyelesaian sengketa melalui mediasi adalah adanya diskusi yang terbuka antara para
pihak yang bersengketa, dalam mencapai kesepakatan. Hal-hal yang sulit dan tidak
mungkin terungkap dalam negosisai dalam proses antara para pihak sendiri, dengan
bantuan dan keahlian mediator, dapat diungkap kan dalam proses mediasi.
Keterbukaan ini terjadi karena para pihak yakin dan percaya akan netralitas dari
mediator sehingga tidak ragu ragu untuk mengemukakan informasi informasi penting
yang kepada penasihat hukumnya pun tidak akan diungkapkan.
Salah satu keluhan principal dalam proses mediasi yang penulis alami, adalah
jaminan kerahasaiaan sehubungan dengan keterbukaan informasi dalam proses
mediasi, dapat menimbulkan maslah mengenai kerahasiaan informasi yang diberikan
yaitu apakah ada jaminan bahwa informasi yang diberikan selama proses mediasi

13
mendapat perlindungan hukum untuk tidak dapat diungkapkan dalam proses
penyelesaian hukum untuk tidak diungkapkan dalam proses penyelesaian sengketa lain
pada kasus yang sama atau kepada pihak ketiga.
Persyaratan bagi seorang mediator dapat dilihat dari dua sisi, sisi internal
mediator dan sisi eksternal mediator. Sisi internal berkaitan dengan kemampuan
personal mediator dalam menjalankan misinya menjembatani dan mengatur proses
mediasi, sehingga para pihak berhasil mencapai kesepakan eksternal berkaitan dengan
persyaratan formal yang harus dimilki mediator dalam hubungannya dengan sengketa
yang ia tangani.
Persyaratan mediator berupa kemampuan personal antara lain, kemampuan
membenagun kepercayaan para pihak, kemampuan menunjukan sikap empati, tidak
menghakimi dan memberikan reaksi positif terhadap sejumlah pernyataan yang
dismapaikan para pihak dalam proses mediasi, walaupun ia sendiri tidak setuju dengan
pernyataan tersebut. Persyaratan lain bagi seorang mediator :
1. Keberadaan mediator diseyujui oleh kedua belah pihak.
2. Tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau smenda samapai dengan
derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa.
3. Tidak memiliki hubungan kerja dengan slah satu pihak yang bersengketa.
4. Tidak mempunyai kepentingan finansial, atau kepentingan lain terhadap
kesepaktan para pihak.
5. Tidak memilki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya.
Gery goodpaster menyebutkan bahwa mediator dapat dipandang sebagai seorang
“terapis negosiasi”. Terapis ini menyangkut tindakan menganalisis dan mendiagnosis
suatu sengketa dan kemudian mendisain serta mengendalikan proses serta intervensi
lain dengan tujuan menuntun para pihak untuk mencapai suatu mufakat yang sehat.
Terkaitan dengan hal diatas, terdapat beberapa peran penting seorang moderator
antara lain :
a. Melakukan diagnosis konflik.
b. Mengidentifikasi masalah serta kepentingan-kepentingan kritis.

14
c. Menyusun agenda.
d. Memperlancar dan mengendalikan komunikasi.
e. Mengajar para pihak dalam proses dan keterampilan tawar menawar.
f. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting.
g. Penyelesaian masalah untuk menciptakan pilihan-pilihan.
h. Diagnosis sengketa untuk memudahkan penyelesaian problem.
Menurut penulis, mediator memilki peran menentukan dalam suatu proses
mediasi. Gagal tidaknya mediasi juga sangat ditentukan oleh peran yang ditampilkan
mediator. Ia berperan aktif dalam menjembatani sejumlah pertemuan antar para pihak.
Mendesain pertemuan, memimpin dan mengendalikan pertemuan menjaga
keseimbangan proses mediasi dan menuntut para pihak mencapai suatu kesepaktan
merupakan peran utama yang haruis dimainkan oleh mediator. Pada posisi ini, mediator
menjadi katalisator yang mendorong lahirnya diskusi-diskusi kondtruktif dimana para
pihak terlibat secara aktif dalam membicarakan akar persengketaan mereka, seringkali
muncul suatu konsep baru dalam setiap sengketa yang dimediasi hal ini juga
dipengaruhi dengan kasus yang dihadapi.
Mediator menurut fuller memilki beberapa fungsi antara lain :
a. Sebagai katalisator.
b. Sebagai pendidik
c. Sebagai penerjemah
d. Sebagai narasumber
e. Sebagai penyandang berita jelek
f. Sebagai agen realitas
g. Sebagai kambing hitam
Pada faktanya dalam praktik sering ditemukan sejumlah peran mediator yang
muncul ketika proses mediasi berjalan. Peran tersebut antara lain :
1. Menumbuhkan dan mempertahankan kepercayaan diri antara para pihak;
2. Menerangkan proses dan mendidik para pihak dalam hal komunikasi dan
menguatkan suasana yang baik;

15
3. Membantu para pihak untuk menghadapi suasi atau kenyataan;
4. Mengajar para pihak dalam proses dan keterampilan tawar menawar; dan
5. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting, dan menciptakan
pilihan-pilihan untuk memudahkan penyelesaian problem.
Mediasi dapat memberikan sejumlah keuntungan antara lain :
1. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara cepat dan relatif
murah dibandingkan dengan membawa perselisihan tersebut kepengadilan
atau kelembaga arbitrase.
2. Mediasi akan memfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan mereka
secara nyata dan pada kebutuhan emosi dan piskologis mereka, sehingga
mediasi bukan hanya tertuju pada hak-hak hukumnya.
3. Mediasi memberikan kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara
langsung dan secara informal dalam menyelesaikan perselisihan mereka.
4. Mediasi memberikan kesempatan para pihak, kemampuan untuk melakukan
kontrol terhadap proses dan hasilnya.
5. Mediasi dapat mengubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase sulit
diprediksi dengan suatu kepastian melalui suatu konsesnsus.
6. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan saling
pengertian yang lebih baik diantara para pihak yang bersengketa karena
mereka sendiri yang memutuskannya.
7. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang hampir selalu
mengiringi setiap putusan yang bersifat memaksa yang dijatuhkan oleh hakim
di pengadilan atau arbiter pada lembaga arbitrase.
E. Mediasi Pilihan Utama Dalam Penyelesaian Kelalaian Tenaga Kesehatan
Manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) yang hidup secara berkelompok
dan saling memilki ketergantungan antara satu dengan yang lain, kondisi
ketrgantungan itu merupakan kodrat alam yang terbentuk oleh adanya kepentingan-
kepentingan secara timbal balik dalam ruang lingkup komunitas. Pertentangan,

16
perselisihan dan perdebatan argument merupakan salah satu uapaya mempertahankan
pendirian dan pengakuan dalam proses pencapaian suatu kepentingan.
Beberapa alsan yang dikemukakan oleh Khotibul Umam mengapa alternatif
penyelesaian sengketa mulai menadapat perhatian di Indonesia, yaitu :
1. Faktor ekonomis, alternatif penyelesaian sengketa memiliki potensi sebagai
sarana untuk menyelesaikan sengketa yang lebih ekonomis, baik dari sudut
pandang baiaya maupun waktu yang diperlukan.
2. Faktor ruang lingkup yang dibahasa, alternativf penyelesaian sengketa memiliki
kemampuan untuk membahas agenda permaslahan secara lebih luas,
komprehensif dan fleksibel.
3. Faktor pembinaan hubungan baik, alternatif penyelesaian sengketa yang
mengandalkan cara-cara penyelesaian yang koopratif sangat cocok bagi mereka
yang menekankan pentingnya hubungan baik antara manusia, yang telah
berlangsung ataupun yang akan datang.
Proses mediasi dapat ditempuh dengan sangat rileks tidak perlu adanya
penyebutan identitras sebagai penggugat atau tergugat. Masing-masing pihak dapat
bebas mengajukan usulan dan penawaran, termasuk mereka yang berkedudukan
sebagai tergugat. Seorang mediator yang berasal dari luar Hakim Pengadilan dapat
melakukan pertemuan ditempat-tempat yang representatif dan mednukung suasana
yang kondusif.
Syahrizal Abbas mengatakan bahwa mediasi jika dibandingkan dengan proses
litigasi atau melalui jalur pengadilan memilki keuntungan :
a. Bersifat luwes, sukarela, cepat, murah, sesuai kebutuhan, netral, rahasia, di
dasari hubungan baik.
b. Memperbaiki komunikasi antara para pihak yang bersengketa.
c. Membentu melepaskan kemarahan terhadap lawan.
d. Mengetahui hal-hal atau isu-isu yang tersembunyi yang terkaitdengan sengketa
yang sebelumnya tidak didasari.
e. Tidak ada pihak yang merasa menang atau kalah.

17
Ketika proses mediasi, hal yang terpenting dan sangat mempengaruhi
keberhasilan penyelesaian masalah melalui mediasi adalah keterampilan atau
kecakapan/skill seorang mediator sangatlah menetukan, terutama skill dalam
bernegosiasi dan skill dalam memimpin pertemuan pra dan saat mediasi.
Perbedaan waktu dengan litigasi, proses mediasi waktu yang ditempuh relatif
jauh lebih singkat, apalagi sejak awal sudah terbentuk antusias dari kedua belah pihak
untuk menyelesaikan sengketanya secara damai. Waktu yang dibutuhkan dalam proses
mediasi yang relatif tidak akan melebihi satu bulan untuk sampai pada tahap
penyelesaian sengketa secara tuntas. Menurut Pasal 18 PERMA No 01/2008. Mediasi
disebutkan bahwa waktu pelaksanaan mediasi dilakukan selama 40 (empat puluh) hari
kerja dan bisa diperpanjang untuk waktu selama 14 (empat belas) hari kerja berikutnya.
Beban biaya yang dikeluarkan dalam proses mediasi bersifat relatif artinya jika
para pihak memilih moderator dari luar Hakim Pengadilan maka para pihak akan
dibebani untuk membayar honorarium sebagai jasa pelayanan mediator yang mereka
pilih. Sebenarnya yang dimaksud baiaya mediasi dikatakn lebih murah dibandingkan
dengan proses litigasi adalah karena proses penyelenggaraan mediasi memilki jangka
waktu yang tidak terlalu lama dibandingan kan dengan proses litigasi. Dengan tentang
waktu yang jauh lebih seingkat secara logika akan menekan biaya operasional menjadi
jauh lebih murah dibandingkan jika harus menempuh proses litigasi yang proses
penyelesaiannya bisa sampai bertahun-tahun.
Dasar hukum pelaksanaan mediasi di pengadilan adalah Peraturan Mahkamah
Agung RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang merupakan
hasil revisi dari Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 (PERMA No. 2 Th.
2003), diamna dalam PERMA No. 2 Tahun 2003 masih banyak kelemahan-kelemahan
normative yang membuat PERMA tersebut tidak mencapai sasaran maksimal yang
diinginkan, dan juga berbagai masukan dari kalangan Hakim tentang permaslahan-
permaslahan dalam PERMA tersebut.
Latar belakang mengapa Mahkamah Agung RI (MA-RI) mewajibkan para pihak
menempuh mediasi sebelum perkara diputus oleh hukum diuraikan dibawah ini.

18
Kebijakan MA-RI memberlakukan mediasi kedalam proses perkara di Pengadilan
didasari atas beberapa alasan sebagai berikut :
Petama, proses mediasi diharapakan dapat mengatasi maslah penumpukan
perkara. Jika para pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh
hakim, jumlah perkara yang harus diperiksa oleh hakim akan berkurang pula. Jika
sengketa dapat diselesaikan melalui perdamaian, para pihak tidak akan menempuh
upaya hukum kasasi karena perdamaian merupakan hasil dari kehendak bersma para
pihak, sehingga mereka tidak akan mengajukan upaya hukum.
Sebaliknya, jika perkara di putus oleh hakim maka putusan merupakan hasil dari
pandangan dan penilaian hakim terhadap fakta dan kedudukan hukum para pihak.
Pandangan dan penilaian hakim belum tentu sejalan dengan panadangan para pihak,
terutama pihak yang kalah, sehingga pihak yang kalah selalu menempuh uapaya hukum
banding dan kasasi. Pada akhirnya semua perkara bermuara ke Mahkamah Agung yang
mengakibatkan terjadinya penumpukan perkara.
Kedua, Proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih
cepat dan murah dibandingkan proses litigasi. Di Indonesia memang belum ada
penelitian yang membuktikan asumsi bahwa mediasi merupakan proses yang cepat dan
murah dibandingkan proses litigasi. Akan tetapi, jika didsarkan pada logika seperti
yang telah diuraikan pada alasan pertama bahwa jika perkara diputus, pihak yang kalah
seringkali mengajukan upaya hukum, banding maupun kasasi. Hal ini membawa
konsekuensipenyelesaian atas perkara yang bersangkutan dapat memakan waktu
bertahun-tahun, dari sejak pemeriksaan di Pengadilan tingkat pertama hingga
pemeriksaan tingkat kasasi Mahkamah Agung.
Ketiga, pewmberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagi para
pihak untuk memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak hanya dapat diperoleh
melalui proses litigasi, tetapi juga melalui proses musyawarah mufakat oleh para pihak.
Dengan diberlakukannya mediasi kedalam system peradilan formal, masyarakat
pencari keadilan pada umumnya dan para pihak yang bersengketa pada khususnya
dapat terlebih dahulu mengupayakan penyelesaian atas sengketa mereka melalui

19
pendeketan musyawarah mufakat yang dibantu oleh seorang penengah yang disebut
mediator.
Keempat, institunasionalisasi proses mediasi kedalam system peradilan dapat
memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam menyelesaikan
sengketa. Jika pada masa-masa lalu fungsi lembaga pengadilan yang lebih menonjol
adalah fungsi memutus, dengan diberlakukan nya PERMA tentang Mediasi diharapkan
fungsi mendamaikan atau memediasi dapat berjalan seiring dan seimbang dengan
fungsi memutus, PERMA tentang mediasi diharapkan dapat mendorong perubahan
cara pandang para pelaku dalam proses peradailan perdata yaitu hakim dan advokat
bahwa lembaga pengadilan tidak hanya memutus, tetapi juga mendamaikan.PERMA
tentang mediasi memberikan panduan untuk dicapainya perdamaian.
Ada kalanya hubungan dokter dengan pasien tidak selalu berjalan dengan baik.
Terkadang harapan pasien untuk mendapatkan kesembuhan dari penyakit yang
dideritanya tidak terpenuhi dan bisa jadi justru memperparah kondisi tubuhnya, bahkan
dapat menimbulkan kematian. Pasien atau keluarganya kemudian menganggap bahwa
mungkin telah terjadi suatu kelalaian medik atau yang oleh media tersebut dengan
malpraktik medik.
Walaupun setiap resiko pengobatan yang tidak di inginkan tidak dapat dikatakan
sebagai malparktik medik, serta masih kaburnya ukuran malparktik propesi
kedokteran, namun sebagai sebuah peristiwa hukum, malpraktik medik telah banyak
terjadi di Indonesia. Hal demikian dapat dicermati baik seperti yang ramai diberitakan
media massa, yang sedang atau telah melakukan upaya hukum di pengadilan, atau
hanya didiamkan saja oleh para pihak yang berkepentingan.
Penyelesaian sengketa yang dianggap ideal bagi para pihak adalah penyelesaian
yang melibatkan para pihak secara langsung sehingga memungkinkan dialog terbuka,
dengan demikian keputusan bersama kemungkinan besar dapat tercapai. Dismaping itu
karena pertemuan para pihak bersifat tertutup maka akan memberikan perasaan
nyaman, aman kepada para pihak yang terlibat sehingga kekhawatiran terbukanya

20
rahasia dan nama baik yang sangat dibutuhkan oleh dokter maupun sarana pelayanan
kesehtan dapat dihindari.
Merujuk Pasal 29 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan,
menyebutkan “ Dalam hal tenaga kesehtan diduga melakukan kelalalian, dalam
menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui
mediasi “.
F. Prinsip Penyelesaian Malparktik/Kelallaian Melalui Mediasi
Berdasarkan analisis diatas, dalam penelitian ini penulis memmaparkan tujuh
prinsip yang harus dipedomani oleh mediator dalam penyelesaian sengketa medik
melalui mediasi agar tujuan win win solution bisa di capai. Tujuh prinsip ini disebut
juga dengan tujuh dasar filsafat mediasi sengketa medik. Ketujuh prinsip tersebut saya
kenalkan dengan istilah PRINSIP IKNEMOOK yang terdiri dari : Prinsip itikad baik
para pihak, Prinsip kepercayaan, Prinsip netralitas, Prinsip eksklusif mediator (med
power), Prinsip open mind, Prinsip otonomi principal dan Prinsip kerahasiaan.
1. Prinsip itikad baik para pihak
Masing-masing pihak yang sengketa harus didasari adanya kesmaan dari dalam
hati dan pikirannya untuk menempuh penyelesaian sengketa melalui mediasi sebagai
pilihan yang dikehendaki secara sadar atas keinginan dan kemauan mereka sendiri
secara sukarela dan tidak ada paksaan dan tekanan dari pihak-pihak lain atau pihak luar
atau advokat. Prinsip itikad baik ini dibangun atas dasar bahwa para pihak
sesungguhnya saling membutuhkan, dokter tidak ada niat mencelakakan pasiennya dan
memiliki kesamaan pandangan bahwa motivasi penyelesaian sengketa semata-mata
adalah ingin mencapai kedamaian.
2. Prinsip kepercayaan (trust)
Prinsip ini dimaksudkan adalah membangun komitmen anatar pasien, dokter dan
mediator harus saling percaya, prinsip ini tidak bisa berdiri sendiri, prinsip dibangun
oleh mediator dengan bersamaan dengan prinsip lainnya yaitu menunjukan sikap
netralitasnya seorang mediator dalam memimpin proses mediasi.
3. Prinsip netralitas (neutrality)

21
Didalam mediasi penerapan prinsip ini penting dinyatakan secara tegas ketika
pertama kali mediator menyampaikan tata tertib mediasi atau pada saat perkenalan,
yang perlu disadari oleh mediator bahwa peran seorang mediator hanya memfasilitasi
prosesnya saja dan hanya tetap menjadi milik para pihak yang bersengketa. Mediator
hanyalah berwenang memimpin dan mengontrol proses berajalan tidak nya mediasi.
Dalam mediasi, seorang mediator tidak bertindak layaknya seorang hakim atau juri
yang memutuskan salah satu benarnya salah satu pihak atau mendukung pendapat dari
salah satunya, atau memaksakan pendapat dan penyelesaiannya kepada kedua belah
pihak, tetapi mediator juga berperan mengendalikan proses mediasi jika situasi
principal memansa dan terjadi suasana yang tidak kondusif maka mediator dapat
menghentikan atau menunda/mensekor proses mediasi dan menjadwalkan ulang pada
waktu yang ditentukan bersama.
4. Prinsip eksklusif mediator (med-power)
Prinsip ini merupakan prinsip yang membedakan secara khusus dibandingkan
dengan proses mediasi pada perkara-perkara perdata pada umumnya, prinsip ini
memberikan penegasan bahwa mediator yang menyelesaikan perkara malpraktik
medik harus memilki pengetahuan dalam bidang ilmu kesehatan dan juga memiliki
wawasan/pengetahuan dalam bidang ilmu hukum pada umunya lebih khusus pada
hukum kesehatan. Pada prinsip ini lah kemampuan seorang mediator dalam
mengendalikan proses mediasi dituntut untuk dapat mempengaruhi (meluruskan
paham yang keliru) para pihak, bahwa dia mengetahui duduk perkara yang sedang
disengketakan, jika prinsip ini tidak dipenuhi, maka proses mediasi pada sengketa
malpraktik medik akan sulit diselesaikan oleh mediator biasa, jika tidak ada maka
proses mediasi dapat dilakukan oleh mediator (Sarjana Hukum) pada umumnya tetapi
harus dia damping oleh Co Mediator dari tenaga kesehatan baik seorang dokter atu
perawat, alsannya dalam proses mediasi pearan mediator sebagai pemimpin dan yang
dipimpin dalam proses mediasi adalah seorang dokter yang seringkali menganggap
dirinyalah yang paling tahu tentang penyaklit dan perjalanan penyakit pasiennya dan
bisa saja untuk kepentingan membela diri seorang dokter tersebut menyatakan bahwa

22
pelayanannya sudah sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) sedangkan
fakta hukumnya belum tentu demikian, sehingga seorang medistor dituntut untuk
memiliki kemampuan menguji dan menyamakan pemahaman dengan profesi ini
sekaligus menjelaskan kepada dokter tersebut juga kepada pasien duduk perkara
hukumnya.
5. Prinsip membuka pikiran (open mind)
Bahwasanya seorang pasien yang melakukan gugatan kepada dokterseringkali
pasien tidak mengetahui proses, sifat dan objek hubungan hukum antara pasien dengan
dokter, begitu juga sebaliknya, mereka tidak memahami manfaat mediasi. Penerapan
prinsip ini menuntut mediator untuk membuka wawasan principal tentang aspek
hukum malpraktik medik dan menjelaskan manfaat-manfaat mediasi serta perlu juga
menjelaskan gambaran panjangnya waktu dan besarnya baiaya kalau sengeketa
ditempuh dengan jalur litigasi, dan mediator di tuntut dan diaharapak dapat melakukan
pendekatan religi humanistic dengan menyebutkan dalil ajaran agama yang
mengharuskan perdamaian, misalnya khusus bagi yang beragama Islam menyebutkan
satu surah dalam Al-Qur’an yang paling sering penulis pakai dalam proses mediasi
yakni QS. Al Hujurat (49) : 10.
6. Prinsip otonomi principal
Prinsip ini didasari oleh keyakinan bahwa pasien dan dokter memiliki hak asasi
yang melekat pada dirinya yang tidak boleh terintevensi oleh pihak manapun, termasuk
juga penasihat hukumnya mediator memberikan kebebasan mutlak dan terarah kepada
pengerucutan permaslahan yang dialaminya, mengecilkan perbedaan-perbedaan
diantara para pihak dan yang paling penting mediator membimbing para pihak untuk
mengikuti bisikan nuraninya sendiri dan mediator membangun kesdaran hakikat
penciptaan jati diri sebagai manusia yang saling membutuhkan dan mencintai
kedamaian.
7. Prinsip mediasi malpraktik medik
Adalah kerahasiaan atau confidentiality. Prinsip ini memberikan jaminan kepada
parapihak yang bersengketa bahwa yang terjadi dalam pertemuan yang

23
diselenggarakan oleh mediator dan pihak-pihak yang bersengketa tidak boleh disiarkan
kepada public atau proses oleh masing-masing pihak. Demikian juga mediator
menjamin rahasia parapihak akan dijaga dan jika perlu dimusnahkan.
Selain prinsip tersebut diatas, sesungguhnya dalam praktik kedokteran, seorang
dokter telah disumpah sebelum dia menjalankan tugas profesinya, pekerjaan yang
dilaksanakan dokter tidak mengenal waktu, sewaktu-waktu perawat memintanya untuk
datang kerumah sakit untuk memenuhi kebutuhan pasien yang mengalami kegawatan
medis dokter wajib datang, dokter secara moral telah mewajibkan dirinya untuk
senantiasa mendahulukan kepentingan penderita diataskepentingan pribadi dan
keluarga serta golongan.
Penerapan temuan prinsip penyelesaian sengketa medis melalui mediasi ini tidak
bisa terlepas dariprinsip dasar dari asuhan praktik kedokteran tersebut dalam
memberikan pelayanan, seorang dokter yang bersungguh-sungguh menolong pasien
tanpa memperhitungkan imbalan jasa lebih dahulu (I’tikad baik), upaya yang dilakukan
sudah maksimal, pelayanan yang diberikan sesuai dengan kompetensinya serta sesuia
standar prosedur operasional dan kehati-hatian namun ternyata hasilnya tidak sesuai
dengan keinginannya, tentu hal ini tidak patut dijadikan landasan gugatan oleh seorang
pasien, karena prinsip hubungan hukum dokter dengan pasien adalah tidak
memperjanjikan hasil, namun demikian jika terdapat adanya unsur kelalaian tanpa
adanya meansrea, penyelesaian mediasi adalah merupakan solusi terbaik bagi pasien
maupun dokter itu sendiri.

24
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat saya simpulakan bahwa selain karena
sifat hubungan hukum dokter dengan pasien tidak memperjanjikan hasil, pada
hakikatnya keharusan penyelesaian setiap sengketa medik diselesaikan melalui mediasi
karena dilandasi oleh prinsip niat ikhlas tanpa pamrih dalam pelayanan kesehtan yang
diberikan dokter kepada pasien, dilaksnakan juga dengan prinsip hati-hati dan sesuai
dengan standar komperensi dokter tersebut serta sesuai Standar Prosedur Operasional
(SPO), sehingga prinsip ini lah yang menjadi filosofis dari keharusan penyelesaian
sengekta medik yang diselesaikan dengan mediasi sebagai pilihan utama.
Kenyataan dilapangan tenaga kesehatan (khususnya dokter/dokter gigi) yang
ingin menjaga reputasinya dan tidak ingin berperkara cendetung berdamai namun
karena belum diatur dalam sebuah system yangterstruktur baik, seringkali
dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dan berubah menjadi
perbuatan yang tidak terpuji seperti suap menyuap dan gratifikasi. Sengketa yangterjadi
anatara dokter dengan pasien biasanya disebabkan oleh kurangnya informasi dari
dokter, padahal informasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dnegan tindakan
medis yang dilakukan oleh dokter merupakan hak pasien yang dilindungi undang-
undang, hal tersebut terjadi karena pola paternalistic yang masih melekat dalam
hubungan tersebut.
Bagi pihak dokter atau sarana pelayanan kesehatan, penyelesaian sengketa medik
melalui pengadilan/secara litigasi berarti mempertaruhkan reputasi yang telah
dicapainya dengan susah payah, dan dapat menyebabkan kehilangan nama baik.
Meskipun belum diputus bersalah atau bahkan putusan akhir dinyatakan tidak bersalah,
nama baik dokter atau sarana pelayanan kesehatan sudah terkesan jelek karena sudah

25
secara terbuka di media diberitakan telah diduga melakukan kesalahan dan akan
menjadi stigma yang jelek pula dalam masyarakat.

26
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Mochli Riyadi, SH.,MH., & Lidia Widia., S.ST.MKes, Etika & Hukum Kebidanan
Agus Yudha Hernoko,OP Cit. h.238
Walter G Alton, OP Cit. P.9

27

Anda mungkin juga menyukai