Anda di halaman 1dari 40

REFERAT

Perceptor :
dr. High Boy Karumulborg Hutasoit, Sp.KJ

Oleh :

Nabila Fatimah Azzahra 1718012090


Nofia Dian Ardiani S 1718012102
Ocsi Zara Zettira 1718012119

KEPANITERAAN KLINIK KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT JIWA PROVINSI LAMPUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penyusun haturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karunia Nya sehingga referat ini dapat diselesaikan. Penyusun juga
ingin mengucapkan terima kasih kepada dr. High Boy Karumulborg Hutasoit,
Sp.KJ sebagai pembimbing yang telah membantu dalam penyusunan laporan
kasus ini.

Penyusunan laporan kasus ini disusun sebagai sarana diskusi dan pembelajaran
mengenai gangguan napza, serta diajukan guna memenuhi tugas Kepaniteraan
Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung. Semoga
refrat ini dapat bermanfaat bagi para pembaca sehingga dapat memberi informasi
kepada para pembaca.

Penyusun menyadari dalam penyusunan laporan kasus ini masih banyak


kekurangan. Oleh karena itu, penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak sehingga lebih baik pada penyusunan laporan
kasus berikutnya. Terima kasih.

Bandar Lampung, 6 Mei 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata pengantar ................................................................................ i

Daftar Isi ............................................................................... ii

Bab I Pendahuluan ............................................................................... 1

Bab II Tinjauan Pustaka ..............................................................................

Bab III Kesimpulan ...........................................................................

Daftar Pustaka ...........................................................................

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.2. Tujuan Penulisan

1.3. Metode Penulisan

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
NAPZA yaitu singkatan dari narkotik, psikotropik, dan zat adiktif yang
merupakan bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan
mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga
menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena
terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi)
terhadap NAPZA. NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu
zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku,
perasaan, dan pikiran (Husin & Siste, 2013).

2.2 Etilogi
Penyebab penyalahgunaan NAPZA sangat kompleks akibat adanya interaksi
antara berbagai faktor seperti faktor individu, faktor lingkungan dan faktor
tersedianya zat (NAPZA). Sehingga tidak adanya penyebab tunggal (single
cause). Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya penyalahgunaan
NAPZA adalah sebagai berikut (Nasution, 2016):
1. Faktor individu:
Kebanyakan penyalahgunaan NAPZA dimulai atau terdapat pada masa
remaja. Hal ini dikarenakan remaja yang sedang mengalami perubahan
biologik, psikologik maupun sosial yang pesat merupakan individu yang
rentan untuk menyalahgunakan NAPZA. Anak atau remaja dengan ciri-
ciri tertentu mempunyai risiko lebih besar untuk menjadi penyalahguna
NAPZA. Ciri-ciri tersebut antara lain:
1) Cenderung membrontak dan menolak otoritas
2) Cenderung memiliki gangguan jiwa lain (komorbiditas) seperti
depresi, cemas, psikotik, keperibadian dissosial
3) Perilaku menyimpang dari aturan atau norma yang berlaku
4) Rasa kurang percaya diri (low selw-confidence), rendah diri dan
memiliki citra diri negatif (low self-esteem)
5) Sifat mudah kecewa, cenderung agresif dan destruktif
6) Mudah murung,pemalu, pendiam
7) Mudah merasa bosan dan jenuh
8) Keingintahuan yang besar untuk mencoba atau penasaran
9) Keinginan untuk bersenang-senang (just for fun)
10) Keinginan untuk mengikuti mode, karena dianggap sebagai lambang
keperkasaan dan kehidupan modern.

4
11) Keinginan untuk diterima dalam pergaulan.
12) Identitas diri yang kabur, sehingga merasa diri kurang “jantan”
13) Tidak siap mental untuk menghadapi tekanan pergaulan sehingga sulit
mengambil keputusan untuk menolak tawaran NAPZA dengan tegas
14) Kemampuan komunikasi rendah
15) Melarikan diri sesuatu (kebosanan, kegagalan, kekecewaan, ketidak
mampuan, kesepianan kegetiran hidup, malu dan lain-lain)
16) Putus sekolah
17) Kurang menghayati iman kepercayaannya

2. Faktor Lingkungan:
Faktor lingkungan meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan
baik disekitar rumah, sekolah, teman sebaya maupun masyarakat. Faktor
keluarga, terutama faktor orang tua yang ikut menjadi penyebab seorang
anak atau remaja menjadi penyalahguna NAPZA antara lain adalah:
1) Lingkungan Keluarga
a. Komunikasi orang tua-anak kurang baik/efektif
b. Hubungan dalam keluarga kurang harmonis/disfungsi dalam
keluarga
c. Orang tua bercerai,berselingkuh atau kawin lagi
d. Orang tua terlalu sibuk atau tidak acuh
e. Orang tua otoriter atau serba melarang
f. Orang tua yang serba membolehkan (permisif)
g. Kurangnya orang yang dapat dijadikan model atau teladan
h. Orang tua kurang peduli dan tidak tahu dengan masalah NAPZA
i. Tata tertib atau disiplin keluarga yang selalu berubah (kurang
konsisten)
j. Kurangnya kehidupan beragama atau menjalankan ibadah dalam
keluarga
k. Orang tua atau anggota keluarga yang menjadi penyalahguna
NAPZA
2) Lingkungan Sekolah
a. Sekolah yang kurang disiplin
b. Sekolah yang terletak dekat tempat hiburan dan penjual NAPZA
c. Sekolah yang kurang memberi kesempatan pada siswa untuk
mengembangkan diri secara kreatif dan positif
d. Adanya murid pengguna NAPZA
3) Lingkungan Teman Sebaya
a. Berteman dengan penyalahguna
b. Tekanan atau ancaman teman kelompok atau pengedar
4) Lingkungan masyarakat/sosial
a. Lemahnya penegakan hukum
b. Situasi politik, sosial dan ekonomi yang kurang mendukung

3. Faktor Napza
1) Mudahnya NAPZA didapat dimana-mana dengan harga “terjangkau”

5
2) Banyaknya iklan minuman beralkohol dan rokok yang menarik untuk
dicoba
3) Khasiat farakologik NAPZA yang menenangkan, menghilangkan
nyeri, menidurkan, membuat euforia/ fly/stone/high/teler dan lain-lain.
2.3 Klasifikasi Gangguan Penggunaan Zat
Pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-V), yang
disebut gangguan akibat zat psikoaktif dan sindrom ketergantungan
mencakup dua kategori, yakni gangguan penyalahgunaan zat psikoaktif dan
gangguan akibat zat psikoaktif. Penyalahgunaan dan Ketergantungan adalah
istilah klinis/medik-psikiatrik yang menunjukan ciri pemekaian yang bersifat
patologik yang perlu di bedakan dengan tingkat pemakaian psikologik-sosial,
yang belum bersifat patologik
1. Penyalahgunaan NAPZA
Adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA secara berkala
atau teratur diluar indikasi medis, sehingga menimbulkan gangguan
kesehatan fisik, psikis dan gangguan fungsi sosial. Pola penggunaan zat
yang bersifat patologik dapat berupa intoksikasi sepanjang hari, terus
menggunakan zat tersebut walaupun penderita mengetahui bahwa dirinya
sedang menderita sakit fisik berat akibat zat tersebut, atau adanya
kenyataan bahwa ia tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa
menggunakan zat tersebut. Gangguan yang dapat terjadi adalah gangguan
fungsi sosial yang berupa ketidakmampuan memenuhi kewajiban
terhadap keluarga kawan-kawannya karena perilakunya yang tidak wajar,
impulsif, atau karena ekspresi perasaan agresif yang tidak wajar.

2. Ketergantungan NAPZA
Adalah keadaan dimana telah terjadi ketergantungan fisik dan psikis,
sehingga tubuh memerlukan jumlah NAPZA yang makin bertambah
(toleransi), apabila pemakaiannya dikurangi atau diberhentikan akan
timbul gejala putus zat (withdrawal syamptom). Oleh karena itu ia selalu
berusaha memperoleh NAPZA yang dibutuhkannya dengan cara apapun,
agar dapat melakukan kegiatannya sehari-hari secara “normal”.

Kedua istilah diatas memiliki perbedaan yang bermakna. Pada gangguan


penyalahgunaan zat psikoaktif menunjukkan reaksi negatif atas
penggunaan yang sering dan bersifat terus menerus dari zat tersebut.
Kondisi ini tidak menunjukkan efek secara langsung melainkan terjadi
secara bertahap bersamaan dengan proses ketergantungan. Sedangkan
gangguan akibat zat psikoaktif mengacu pada efek langsung dari
penggunaan zat, atau disebut intoksikasi, dan efek langsung dari putus
obat (withdrawal syndrome).

6
2.4 Klasifikasi Zat Psikoaktif
NAPZA secara umum dapat berasal dari tumbuh – tumbuhan (natural, alami)
seperti ganja, ada yang sintetis seperti shabu, dan ada yang semi sintetis
seperti putaw. Klasifikasi NAPZA berdasarkan undang – undang tahun 1997,
yaitu:
1. Narkotika (UU RI No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika)
Adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik
sintesis maupun semisitesis yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
a. Golongan I : merupakan narkotika yang hanya digunakan untuk tujuan
ilmu pengetahuan dan tidak ditujukan untuk terapi serta memiliki
potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan. (Contoh :
tanaman poppy, opium, kokain, ganja, heroin)
b. Golongan II : merupakan narkotika yang berkhasiat pengobatan
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi
atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta memiliki potensi
tinggi mengakibatkan ketergantungan. (Contoh : metadon, morfin,
petidin)
c. Golongan III : merupakan narkotika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan. (Contoh : kodein dan etilmorfina)
2. Psikotropika (UU RI No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika)
Adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktivittas mental dan perilaku.
a. Golongan I : merupakan psikotropika yang hanya dapat digunakan
untuk ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta
memiliki potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
(Contoh : LSD, MDMA, meskalin)
b. Golongan II : merupakan psikotropika yang berkhasiat untuk
pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi, dan/atau tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan. (Contoh : amfetamin, metilfenidat)
c. Golongan III : merupakan psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta memiiliki potensi sedang mengakibatkan
ketergantungan (Contoh : fenobarbital, flunitrazepam)
d. Golongan IV ; merupakan psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta memiliki potensi ringan mengakibatkan sindrom
ketergantungan (Contoh : diazepam, pil koplo, rohip)

7
Berdasarkan cara kerjanya, NAPZA dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
(Husin & Siste, 2013)
1. Golongan Depresan (Downer)
Merupakan jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional
tubuh. Golongan depresan membuat pemakainya merasa tenang, pendiam
dan bahkan membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri. Golongan ini
termasuk opioid, alkohol, benzodiazepin, solven, barbiturat, kanabis
(dosis rendah)
2. Golongan Stimulan (Upper)
Merupakan jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan
meningkatkan kegairahan kerja. Jenis ini akan membuat pemakainya
menjadi aktif, segar dan bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini
antara lain seperti amfetamin (shabu, esktasi), metamfetamin, nikotin,
kafein, kokain, khat, dan MDMA.
3. Golongan Halusinogen
Merupakan jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang
bersifat merubah perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya
pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu.
Golongan ini tidak digunakan dalam terapi medis. Yang termasuk dalam
golongan ini adalah kanabis (dosis tinggi), LSD, PCP, ketamin, mescalin,
dan magic mushrooms.

2.5 Mekanisme Kerja Zat Psikoaktif


Zat psikoaktif, khususnya NAPZA, memiliki sifat-sifat khusus terhadap
jaringan otak yang bersifat menekan aktivitas fungsi otak (depresan),
merangsang aktivitas fungsi otak (stimulansia), dan mendatangkan halusinasi
(halusinogenik). Karena otak merupakan sentral perilaku manusia, maka
interaksi antara NAPZA (yang masuk ke dalam tubuh manusia) dengan sel-
sel saraf otak dapat menyebabkan terjadinya perubahan perilaku manusia.
Perubahan-perubahan perilaku tersebut tersebut tergantung dari sifat-sifat dan
jenis zat yang masuk ke dalam tubuh (Husin & Siste, 2013).

Terdapat beberapa cara masuknya NAPZA kedalam tubuh seperti disedot


melalui hidung (snorting, sneefing), dihisap melalui bibir (inhalasi, merokok),
disuntikan dengan jarum suntikan melalui pembuluh darah balik atau vena,
ditempelkan pada kulit (terutama lrngan bagian dalam) yang telah diiris-iris
kecil dengan cutter, ada juga yang melakukannya dengan mengunyah dan
kemudian ditelan. Sebagian NAPZA sesuai dengan cara penggunaannya,
langsung masuk ke pembuluh darah dan sebagian lagi yang dicerna melalui
traktus gastro-intestinal diserap oleh pembuluh-pembuluh darah di sekitar

8
dinding usus. Karena sifat khususnya, NAPZA akan menuju reseptornya
masing-masing yang terdapat pada otak (Husin & Siste, 2013).

Beberapa jenis NAPZA menyusup kedalam otak karena mereka memiliki


ukuran dan bentuk yang sama dengan natural meurotransmitter. Di dalam
otak, dengan jumlah atau dosis yang tepat, NAPZA tersebut dapat mengkunci
dari dalam (lock into) reseptor dan memulai membangkitkan suatu reaksi
berantai pengisian pesan listrik yang tidak alami yang menyebabkan neuron
melepaskan sejumlah besar neurotransmitter miliknya. Beberapa jenis
NAPZA lain mengunci melalui neuron dengan bekerja mirip pompa sehingga
neuron melepaskan lebih banyak neurotransmitter. Ada jenis NAPZA yang
menghadang reabsorbsi atau reuptake sehingga menyebabkan kebanjiran
yang tidak alami dari neurotransmitter (Husin & Siste, 2013).

Bila seseorang menyuntik heroin (opioid atau putauw). Heroin segera


berkelana cepat di dalam otak. Konsentrasi opioid terdapat pada: VTA
(ventral tegmental area), nucleus accumbens, caudate nucleus dan thalamus
yang merupakan sentra kenikmatan yang terdapat pada area otak yang sering
dikaitkan dengan sebutan reward pathway. Opioid mengikat diri pada
reseptor opioid yang berkonsentrasi pada daerah reward system. Aktivitas
opioid pada thalamus mengindikasikan kontribusi zat tersebut dalam
kemampuannya untuk memproduksi analgesik. Neurotranmitter opioid
memiliki ukuran dan bentuk yang sama dengan endorfin, sehingga ia dapat
menguasai reseptor opioid. Opioid mengaktivasi sistem reward melalui
peningkatan neurotransmisi dopamin. Penggunaan opioid yang berkelanjutan
membuat tubuh mengadalkan diri kepada adanya drug untuk
mempertahankan perasaan rewarding dan perilaku normal lain. Orang tidak
lagi mampu merasakan keuntungan reward alami (seperti makanan, air, sex)
dan tidak dapat lagi berfungsi normal tanpa kehadiran opioid (Husin & Siste,
2013).

Tabel 1. Efek zat psikoaktif terhadap tubuh (WHO, 2004)


Mekanisme kerja Toleransi dan Penggunaan
Zat
primer putus obat jangka lama

9
Ethanol Meningkatkan Toleransi terjadi Menurunnya
aktivitas reseptor seiring dengan fungsi dan
GABA peningkatan struktur otak,
metabolisme terutama pada
hepar, dan prefrontal
perubahan korteks;
reseptor di otak. gangguan
Putus obat dari kognitif, dan
penggunaan menurunnya
kronis volum otak.
menyebabkan
tubuh gemetar,
berkeringat,
lemah, agitasi,
pusing, mual,
muntah, kejang,
dan delirium
tremens.
Hipnotik Benzodiazepin : Toleransi biasa Gangguan
dan sedatif membuka GABA berkembang memori.
chloride channel. dengan cepat
Barbiturat : karena adanya
berikatan dengan perubahan
spesific site pada reseptor otak.
GABA ionophore. Putus obat
ditandai dengan
cemas, bergairah,
tidak mudah
lelah, insomnia,
kejang, eksitasi.
Nikotin Mengaktivasi Toleransi Sama dengan
reseptor kolinergik berkembang pengaruh
nikotin. karena faktor kesehatan akibat
Meningkatkan metabolik, seperti merokok. Sulit
sintesis dan perubahan memisahkan efek
pelepasan dopamin. reseptor. nikotin dengan
Putus obat komponen
ditandai dengan tembakau lain.
iritabel, tidak
ramah, cemas,
disforia, mood
depresi,
peningkatan
denyut jantung,
dan peningkatan
nafsu makan.
Opioid Mengaktivasi Toleransi terjadi Perubahan
reseptor berupa karena adanya jangka panjang
reseptor opioid mu perubahan berupa adaptasi
dan delta. reseptor jangka menghargai,
pendek dan belajar, respon
panjang, dan stres.
adaptasi

10
penghantaran
intraselular.
Putus obat bisa
berat dengan
karakteristik mata
berair, hidung
berlendir,
menguap,
berkeringat, tidak
mudah lelah,
kedinginan,
kejang, dan
mialgia.
Kanabinoi Aktivasi reseptor Toleransi Gangguan
d kanabinoid. berkembang kognitif. Resiko
cepat pada eksaserbasi
kebanyakan efek. gangguan mental
Putus obat jarang, juga dapat
mungkin lamanya ditemukan.
sementara (half-
life).
Kokain Blokade transporter Toleransi akut Defisit kognitif,
neurotransmiter jangka pendek abnormalitas
seperti dopamin, dapat terjadi. Ada regio spesifik
norepinefrin, banyak buksi pada korteks,
serotonin dengan terkait putus obat, penurunan fungsi
cara memperpanjang adapun depresi motorik, dan
efeknya. paling sering penurunan waktu
terjadi pada reaksi juga
individu dengan ditemukan.
adiksi yang putus
obat.
Amfetami Meningkatkan Toleransi Gangguan tidur,
n pelepasan dopamin berkembang cemas,
dari saraf terminal dengan cepat penurunan nafsu
dan menghambat terhadap perilaku makan,
reuptake dopamin dan psikologis. perubahan
dan transmiter yang Putus obat reseptor dopamin
berkaitan. memiliki otak, pergantian
karakteristik metabolik,
mudah lelah, regional,
depresi, cemas, kerusakan
dan kompulsi. motorik dan
kognitif.
Ekstasi Meningkatkan Toleransi dapat Kerusakan
pelepasan serotonin berkembang pada sistem serotonin
dan blokade beberapa otak, yang
reuptake. individu. mengarah ke
Kebanyakan gangguan
gejala putus obat perilaku dan
berupa mual, psikologik.
kelemahan otot, Masalah fisik
pusing, mulut dan psikiatri

11
kering, depresi jangka panjang
dan insomnia. seperti kerusakan
memori,
pengambilan
keputusan dan
pengendalian
diri, paranoia,
depresi, dan
serangan panik.
Inhalan Mempengaruhi Beberapa Perubahan pada
penghambatan toleransi ikatan dan fungsi
transmiter berkembang, tapi reseptor
sulit dopamin,
memperkirakann penurunan fungsi
ya. Ada kognitif, masalah
peningkatan neurologis dan
kemungkinan psikiatri.
terjadi kejang
saat putus obat.
Halusinogen Berbeda Toleransi Episode psikotik
pengaruhnya berkembang akut atau kronik,
terhadap reseptor cepat terhadap flashback atau
tergantung kelas zat, efek fisik dan pengalaman
seperti serotonin, psikoogis. Tak kembali efek
glutamat, dan ada data untuk panjang zat
reseptor asetilkolin. putus obat. setelah
penggunaannya.

2.6 Gejala klinis


2.6.1 Perubahan Fisik
Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi
secara umum dapat digolongkan sebagai berikut:
 Pada saat menggunakan NAPZA: jalan sempoyongan, bicara pelo
(cadel), apatis (acuh tak acuh), mengantuk, agresif,curiga
 Bila kelebihan dosis (overdosis): nafas sesak, denyut jantung dan
nadi lambat, kulit teraba dingin, nafas lambat/berhenti, meninggal.
 Bila sedang ketagihan (putus zat/sakau): mata dan hidung berair,
menguap terus menerus, diare, rasa sakit diseluruh tubuh, takut air
sehingga malas mandi, kejang, kesadaran menurun.
 Pengaruh jangka panjang, penampilan tidak sehat, tidak peduli
terhadap kesehatan dan kebersihan, gigi tidak terawat dan kropos,
terhadap bekas suntikan pada lengan atau bagian tubuh lain (pada
pengguna dengan jarum suntik)
2.6.2 Perubahan Sikap dan Perilaku
 Prestasi sekolah menurun, sering tidak mengerjakan tugas sekolah,
sering membolos, pemalas, kurang bertanggung jawab.

12
 Pola tidur berubah, begadang, sulit dibangunkan pagi hari,
mengantuk dikelas atau tempat kerja.
 Sering berpegian sampai larut malam, kadang tidak pulang tanpa
memberi tahu lebih dulu
 Sering mengurung diri, berlama-lama dikamar mandi, menghindar
bertemu dengan anggota keluarga lain dirumah.
 Sering mendapat telepon dan didatangi orang tidak dikenal oleh
keluarga,kemudian menghilang
 Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan
tapi tak jelas penggunaannya, mengambil dan menjual barang
berharga milik sendiri atau milik keluarga, mencuri, terlibat tindak
kekerasan atau berurusan dengan polisi.
 Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar sikap
bermusuhan, pencuriga,tertutup dan penuh rahasia.

2.7 Gejala Klinis Berdasarkan Zat yang Digunakan


2.7.1 Tembakau
Tembakau digunakan dalam bentuk rokok, cerutu, tembakau pipa,
tembakau kunyah, dan susur. Paling umum adalah penggunaan rokok
baik rokok putih, kretek maupun cerutu. Zat berbahaya bagi kesehatan
yang dikandung rokok adalah nikotin, karbon monoksida, dan
hidrogen sianida yang diserap tubuh melalui paru. Nikotin, merupakan
zat adiktif dalam tembakau, karena efek toksiknya, digunakan juga
sebagai insektisida.

Tembakau bersifat stimulan dan depresan. Perokok pemula akan


mengalami euforia, kepala terasa melayang, pusing, pening, debar
jantung dan pernafasan meningkat, dan sensasi tingling pada tangan
dan kaki. Perokok kronis akan kurang peka terhadap cita rasa dan
pembauan.
Tak semua perokok pemula menjadi adiksi di kemudian hari, banyak
yang berhenti merokok karena berbagai alasan. Perokok
ketergantungan mengalami masa tak nyaman ketika ia menghentikan
rokok, terjadi gejala putus rokok seperti gelisah, ansietas, sulit tidur,
berkeringat, debar jantung dan tekanan darah menurun, tak bisa
konsentrasi, nafsu makan yang kompulsif, sakit kepala dan sensitif,
dapat terjadi. Simptom fisik putus nikotin terjadi selama satu sampai
tiga minggu.

Masalah medik terkait pengguna tembakau dirokok dalam jangka


panjang adalah gangguan pada sistim pernafasan, jantung dan
pembuluh darah, kanker, sistem digestif, gangguan makan, dan reaksi
alergi. Penggunaan tembakau tanpa dirokok seperti tembakau kunyah

13
dan hidung, juga mengganggu kesehatan seperti lesi mulut dan kanker
(Kemenkes RI, 2010).

Nikotin adalah obat/zat yang bersifat adiktif, sama seperti heroin dan
kokain. Nikotin merupakan komponen psikoaktif dari tembakau, yang
mempunyai efek pada sistem saraf pusat dengan bekerja sebagai suatu
agonis pada reseptor asetilkolin subtipe nikotinik. Kira-kira, 25 %
nikotin yang terinhalasi saat merokok akan mencapai darah dan akan
mencapai otak dalam waktu kira-kira 15 detik. Waktu paruh nikotin
adalah 2 jam.Nikotin dianggap mempunyai sifat mendorong posiitf
dan adiktif karena nikotin mengaktivasi jalur dopaminergik yang
keluar dari area tegmental ventral ke korteks serebral dan sistem
limbik. Disamping mengaktivasi sistem dopamin tersebut, nikotin
menyebabkan peningkatan konsentrasi norepinefrin dan epinefrin
dalam sirkulasi dan peningkatan pelepasan vasopresin, endorfin-beta,
hormon ACTH dan kortisol. Hormon-hormon tersebut diduga berperan
dalam efek stimulasi dasar dari nikotin pada sistem saraf pusat
(Kemenkes RI, 2010).

Secara perilaku, efek stimulasi dari nikotin menyebabkan peningkatan


perhatian, belajar, waktu reaksi dan kemampuan untuk memecahkan
masalah. Menghisap rokok juga dapat meningkatkan mood,
menurunkan ketegangan dan menurunkan perasaan depresif.Nikotin
juga bertindak sebagai relaksan otot skeletal (Kemenkes RI, 2010).

Nikotin adalah zat kimia yang sangat toksik. Pada dosis rendah, tanda
dan gejala toksisitas dari nikotin adalah mual, muntah, kelemahan,
nyeri abdominnal, diare, pusing, nyeri kepala, peningkatan tekanan
darah, atkikardia, tremor dan keringat dingin. Gangguan yang bisa
muncul akibat penggunaan nikotin adalah gangguan penggunaan
nikotin, ketergantungan nikotin, gangguan akibat nikotin, putus nikotin
dan gangguan behubungan nikotin yang tidak ditentukan (Kemenkes
RI, 2010).

Kriteria diagnostik putus nikotin berdasarkan DSM V adalah sebagai


berikut (Maslim, 2013):
A. Pemakaian nikotin setiap hari selama sekurangnya beberapa minggu
B. Penghentian pemakaian niktoin secara tiba-tiba, atau pengurangan
jumlah nikotin yang digunakan, diikuti oleh sekurangnya empat tanda
berikut dalam 24 jam
1. Mood disforik atau depresi
2. Insomnia
3. Iritabilitas, frustasi, atau rasa marah

14
4. Kecemasan
5. Sulit berkonsentrasi
6. Gelisah
7. Penurunan denyut jantung
8. Peningkatan nafsu makan dan penambahan berat badan
C. Gejala dalam kriteria B menyebabkan penderitaan yang bermakna
secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting yang lain.
D. Gangguan bukan karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan medik lain

2.7.2 Alkohol
Alkohol adalah zat yang memproduksi efek ganda pada tubuh: pertama
adalah efek depresan yang singkat dan kedua adalah efek agitasi pada
susunan saraf pusat yang berlangsung enam kali lebih lama dari efek
depresannya (Kemenkes RI, 2010). Umumnya digunakan dalam
bentuk minuman beralkohol. Di Indonesia terutama di daerah
Indonesia bagian Timur dan beberapa daerah di Sumatera terdapat 2-3
juta orang yang menggunakan minuman alohol dari ringan sampai
berat. Di Amerika terdapat 12-18 juta orang mengalami adiksi alkohol
dan probem dinkers (Husin & Siste, 2013).

Jenis jenis minuman beralkohol di Indonesia sangat bervariasi (dari


tradisional sampai fermentasi buatan, dari berkadar tinggi hingga
rendah). Misalnya:Green Sands Sandy, Bier, Brandy, Vodka, Mansion
House, Kontru, Jack Daniels, Napoleon, Drum, Whisky, Martini, Mac
D, Tomi’ (topi-miring) (Husin & Siste, 2013).

Alkoholisme merupakan penyakit dengan empat gambaran utama


berdasarkan Kepmenkes RI No.422/Menkes/SK/III/2010:
a. Craving - keinginan kuat untuk minum
b. Kehilangan kendali diri -tak mampu menghentikan kebiasaan
minum
c. Ketergantungan fisik - simtom putus alkohol seperti nausea,
berkeringat atau gemetar setelah berhenti minum
d. Toleran- kebutuhan untuk meningkatkan jumlah minum untuk
mendapatkan efek "high".

Alkoholisme memiliki berbagai dampak serius. Peminum berat


berisiko untuk terkena kanker, gangguan hati, otak dan organ lainnya
lebih besar daripada bukan peminum. Bayi yang dilahirkan dari ibu
pengguna alkohol juga dapat mengalami kecacatan sejak lahir. Mabuk
ketika mengemudi memiliki risiko besar untuk mengalami kecelakaan
lalu lintas, juga risiko membunuh orang lain atau diri sendiri
(Kemenkes RI, 2010; Husin & Siste, 2013).

15
a. Intoksikasi: euforia, cadel, nistagmus, ataksia, bradikardi,
hipotensi, kejang, koma. Pada keadaan intoksikasi berat, refleks
menjadi negatif
b. Keadaan putus alkohol: halusinasi, ilusi (bad dream), kejang,
delirium, tremens, gemetar, keluhan gastrointestinal, muka merah,
mata merah dan hipertensi
c. Gangguan fisik: mulai dari radang hati sampai kanker hati,
gastritis, ulkus peptikum, pneumonia, gangguan vaskuler dan
jantung, defisiensi vitamin, fetal alcohol syndrome
d. Gangguan mental: depresi hingga skizofrenia
e. Gangguan lain: kecelakaan lalu lintas, perkelahian, problem
domestik dan tindak kekerasan.

Tabel 2. Gambaran Umum Pada Peminum Berat


Gambaran Fisik Gambaran Psikososial
Sosial
Pemeriksaan fisik
 Problem perkawinan/pasangan
 Nafas berbau alkohol
 Kekerasan dalam keluarga
 Hepatomegali/hepatitis akut
(fisik/emosi)
 Tanda lain dari peny.hati kronik
 Absen kerja/sekolah
 Kekuningan
 Prestasi sekolah/kerja buruk
 Palmar erythema
 Mengemudi sambil mabuk
 Parotid swelling
 Kesulitan keuangan
 Jaundiced sclera
 Depresi/problem perilaku pada
 Telangiektasis wajah (pelebaran
suami istri/anak/anggota
kapiler wajah)
keluarga
Neurologi
 Tremor
 Ataksia
Musculoskeletal dan alat gerak Psikologis
 Trauma  Insomnia
 Keseleo dan tegang cedera  Fatigue
jaringan lunak ketika jatuh  Depresi
 Cedera/luka yang diakibatkan  Ansietas/agitasi
tindak kekerasan fisik (termasuk  Blackouts
kekerasan dalam rumah tangga)  Pikiran paranoid/cemburu
 Jaringan parut yang tidak  Pikiran bunuh diri
berkaitan dengan pembedahan.
Reproduksi
 Impotensi
 Menstruasi tidak teratur
 Infertilitas
 Poliuria

16
Gastrointestinal Perilaku/kebiasaan
 Gastritis  Ingkar janji
 Mual muntah pagi hari  Tidak menepati kesepakatan
 Dispepsia non spesifik rencana perawatan
 Diare berulang  Penyalahgunaan resep obat
 Pankreatitis
 Nafsu makan berkurang
Kardiovaskular
 Hipertensi
 Stroke hemoragik
 Takiaritmia/palpitations
 Berkeringat malam
 Kardiomiopati

2.7.3 Opioid
Termasuk dalam golongan opioid adalah morfin, petidin, heroin,
metado, kodein. Golongan opioid yang paling sering disalahguakan
adalah heroin. Di Indonesia, sekurangnya terdapat 300-500 ribu orang
dengan adiksi heroin. Akibat penyalahgunaan opioid adalah
a. Problem fisik:
 Abses pada kulit sampai septikemia
 Infeksi karena emboli, dapat sampai stroke
 Endokarditis
 Hepatitis B dan C
 HIV/AIDS
 Injeksi menyebabkan trauma pada jaringan syaraf lokal
 Opiate neonatal abstinence syndrome.

b. Problem psikiater:
 Gejala withdrawal menyebabkan perilaku agresif
 Suicide
 Depresi berat sampai skizofrenia

c. Problem sosial
 Gangguan interaksi di rumah tangga sampai lingkungan
masyarakat
 Kecelakaan lalu lintas
 Perilaku kriminal sampai tindak kekerasan
 Gangguan perilaku sampai antisosial (mencuri, mengancam,
menodong, menipu hingga membunuh)

d. Sebab-sebab kematian
 Reaksi heroin akut menyebabkan kolapsnya kardiovaskuler dan
akhirnya meninggal
 Overdosekarena heroin menekan susunan saraf pusat, sukar
bernafas dan menyebabkan kematian

17
 Tindak kekerasan
 Bronkhopneumonia
 Endokarditis

Kriteria diagnostik untuk intoksikasi opioid berdasarkan DSM V


adalah sebagai berikut.
a. Penggunaan opioid yang belum lama terjadi
b. Perubahan psikologis atau masalah tingkah laku yang bermakna
secara klinis (seperti euforia pada awalnya yang kemudian diikuti
dengan apatis, disforia, agitasi psikomotor atau retardasi, gangguan
penilaian) yang berkembang selama, atau setelah penggunaan
opioid
c. Kontriksi pupil (atau dilatasi pupil karena anoxia dari overdosis
yang berat) dan salah satu (atau lebih) dari tanda-tanda di bawah
ini yang berkembang selama, atau tidak beberapa lama setelah
penggunaan opioid, yaitu:
 Mengantuk atau koma
 Bicara cadel
 Gangguan perhatian dan memori
d. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medik umum dan tidak lebih
baik diterangkan oleh gangguan mental lain, termasuk intoksikasi
akibat zat lain (Maslim, 2013).

Kriteria diagnosis putus opioid berdasarkan DSM V adalah sebagai berikut :


A. Salah satu berikut ini
1. Penghentian atau pengurangan penggunaan opioid yang berat dan
berkepanjangan (misalnya dalam beberapa minggu atau lebih)
2. Penggunaan antagonis opioid setelah periode penggunaan opioid
B. Tiga (atau lebih) dari berikut ini, yang berkembang dalam beberapa
menit sampai beberapa hari setelah kriteria A:
1. Mood dismorfik
2. Mual atau muntah
3. Nyeri otot
4. Lakrimasi atau rinorea
5. Dilatasi pupil, piloereksi atau berkeringat
6. Diare
7. Menguap
8. Demam
9. Insomnia
C. Gejala dalam kriteria B menyebabkan penderitaan yang bermakna
secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan dan fungsi
penting lainnya
D. Gejala bukan karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik di

18
terangkan oleh gangguan mental lain

2.7.4 Ganja
Nama lain: Mariyuana, Grass, Hash, Herb, Pot, Weed, Bubble Gum,
Northern Lights, Fruity Juice, Afghani #1, dan Skunk Ganja
merupakan kumpulan daun, tangkai, buah kanabis sativa yang
dikeringkan dan dirajang. Ganja dapat pula diolah dalam bentuk
minyak hashish yang merupakan cairan pekat berwarna coklat.
Penggunaannya adalah dengan cara dirokok dengan atau tanpa
tembakau (dilinting), dengan pipa, atau digunakan dalam campuran zat
lainnya. Penggunaan dengan cara dicampur makanan dan diseduh
seperti teh juga ditemukan dibeberapa tempat, namun demikian
pengolahan ganja dengan cara dimasak seperti ini melarutkan sebagian
besar zat aktif ganja. Zat aktif dalam ganja adalah THC (delta-9-
tetrahydrocannabinol). Membran sel syaraf tertentu dalam otak yang
mengandung reseptor protein akan mengikat erat THC. Baunya
menyengat asam-manis.

Penggunaan yang terus menerus dalam waktu yang lama akan


mengakibatkan kerusakan memori, proses belajar dan perilaku sosial
sehingga penggunanya meninggalkan berbagai aktivitas sekolah/kerja
dan interaksi sosial. Karena reaksi terhadap rangsang melambat, maka
pengguna sering mengalami kecelakaan sehingga dapat terlibat pada
berbagai masalah hukum.

Penggunaan yang dirokok akan memberikan risiko kanker paru, dan


risiko infeksi dalam jangka panjang. Karena jumlah zat kimia serta tar
pada ganja lebih banyak dari tembakau, maka risiko penggunaannya
lebih besar dari penggunaan rokok tembakau itu sendiri. Sehingga
ganja tidak menyebabkan overdosis yang fatal.

Ganja akan memberikan dampak sebagai berikut (Kemenkes RI,


2010):
a. Sulit mengingat sesuatu
b. Waktu reaksi melambat
c. Sulit konsentrasi
d. Mengantuk dan tidur
e. Anxietas
f. Paranoid
g. Mempengaruhi persepsi seseorang atas waktu
h. Mata merah

Dampak bagi fisik adalah sebagai berikut (Kemenkes RI, 2010):


a. Tremor

19
b. Nausea
c. Sakit kepala
d. Menurunnya koordinasi
e. Gangguan pernafasan
f. Nafsu makan meningkat
g. Menurunkan aliran darah ke otak
h. Menurunkan aktivitas organ reproduksi.

Komplikasi fisik dan psikososial


1. Efek akut
Seperti umumnya dengan zat psikoaktif, efek dari kanabis
tergantung dengan dosis yang digunakan, karakteristik individu
dan kondisi situasi saat penggunaan zat tersebut. Beberapa hal
dibawah ini dianggap sebagai efek positif bagi pengguna, yaitu:
a. Perasaan tenang (relaksasi)
b. Euforia
c. Disinhibisi
d. Persepsi penglihatan dan pendengaran
e. Nafsu makan meningkat

2. Sedangkan efek akut negatif adalah:


a. Ansietas dan panik
b. Paranoia
c. Halusinasi pendengaran dan penglihatan
d. Gangguan koordinasi
e. Kehilangan memori jangka pendek
f. Takikardia dan aritmia supraventrikuler
g. Persepsi waktu yang salah
h. Gangguan konsentrasi

Kondisi gejala putus ganja adalah:


a. Ansietas, tidak dapat beristirahat dan mudah tersinggung
b. Anoreksia
c. Tidur terganggu dan sering mengalami mimpi buruk
d. Gangguan gastrointestinal
e. Keringat malam hari
f. Tremor

Kriteria diagnosis intoksikasi ganja berdasarkan DSM V adalah sebagai


berikut (Maslim, 2013).
A. Pemakaian ganja yang belum lama
B. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna
secara klinis (misalnya, gangguan koordinasi motorik, euforia,
kecemasan, sensasi waktu menjadi lambat, gangguan
pertimbangan, penarikan sosial) yang berkembang segera, atau

20
segera setelah, pemakaian kanabis
C. Dua (atau lebih) tanda berikut berkembang dalam pemakaian
ganja:
1. Injeksi konjungtiva
2. Peningkatan nafsu makan
3. Mulut kering
4. Takikardia
D. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih
baik diterangkan oleh gangguan mental lain

2.7.5 Amfetamin
Amfetamin merupakan golongan stimulansia. Nama generik
amfetamin adalah D-pseudo epinefrin yang di sintesa tahun 1887 dan
dipasarkan tahun 1932 sebagai dekongestan. Nama jalanannya adalah
speed, meth crystal, uppers, whizz dan sulphate. Bentuknya berupa
bubuk warna putih dan keabu-abuan.

Terdapat dua jenis amfetamin:


 MDMA (Methylene-dioxy-methamphetamine), mulai di kenal
sekitar tahun 1980 dengan nama Ecstacy atau Ekstasi yang
berbentuk pil atau kapsul. Nama lain : xtc, fantasy pils, inex, cece,
cein, i. Saat ini Ekstasi tidak selalu berisi MDMA karena
merupakan NAPZA yang dicampur zat lain (designer drugs) untuk
mendapatkan efek yang diharapkan / dikehendaki.
 Metamfetamin.

Efek Amfetamin (Kemenkes RI, 2010):


1) Efek Psikologis dan Fisik akut :
Dosis rendah Dosis tinggi
Susunan Saraf  Peningkatan stimulasi,  Stereotipi atau perilaku
Pusat, neurologi, insomnia, dizziness, yang sukar ditebak
perilaku tremor ringan  Perilaku kasar atau
 Euforia/disforia, irasional, mood yang
bicara berlebihan berubah-ubah, termasuk
 Meningkatkan rasa kejam dan agresif
percaya diri dan  Bicara tak jelas
kewaspadaan diri  Paranoid, kebingungan dan
 Cemas, panik gangguan persepsi
 Supresi nafsu makan  Sakit kepala, pandangan
 Dilatasi pupil kabur, dizziness
 Peningkatan energi,  Psikosis (halusinasi. delusi,
stamina dan paranoia)
penurunan rasa lelah  Gangguan cerebrovaskular
 Dengan penambahan  Kejang
dosis.dapat  Koma

21
meningkatkan libido  Gemerutuk gigi
 Sakit kepala  Distorsi bentuk tubuh
 Gemerutuk gigi secara keseluruhan
 Takikardia (mungkin  Stimulasi kardiak
Kardiovaskular juga bradikardi (takikardia, angina, Ml)
.hipertensi)  Vasokonstriksi/hipertensi
 Palpitasi, aritmia  Kolaps kardiovaskuler
 Peningkatan frekwensi
Pernapasan  Kesulitan bernapas/gagal
napas dan kedalaman
Napas
pernapasan
 Mual dan muntah  Mulut kering
Gastrointestinal
 Konstipasi, diare atau  Mual dan muntah
kram abdominal  Kram abdominal
 Kulit berkeringat,
 Kemerahan atau flushing
Kulit pucat
 Hiperpireksia, disforesis
 Hiperpireksia
Peningkatan refleks
Otot
tendon

2) Efek fisik dan psikologis jangka panjang :


a. Berat badan menurun, malnutrisi, penurunan kekebalan
b. Gangguan makan, anoreksia atau defisiensi gizi
c. Kemungkinan atrofi otak dan cacat fungsi neuropsikologis
d. Daerah injeksi: bengkak, skar, abses
e. Kerusakan pembuluh darah dan organ akibat sumbatan partikel
amfetamin pada pembuluh darah yang kecil.
f. Disfungsi seksual
g. Gejala kardiovaskular
h. Delirium dan beberapa gejala psikosis seperti paranoia, ansietas
akut dan halusinasi. Gejala psikosis akibat penggunaan
amfetamin ini (amphetamines induced psychosis) akan
berkurang bila penggunaan zat dihentikan, bersamaan dengan
diberikan medikasi jangka pendek.
i. Depresi, gangguan mood yang lain (misal distimia), atau
adanya gangguan makan pada kondisi gejala putus zat yang
berkepanjangan (protracted withdrawal).
j. Penurunan fungsi kognitif, terutama daya ingat dan
konsentrasi.

3) Gejala Intoksikasi:
a. Agitasi
b. Kehilangan berat badan
c. Takikardia
d. Dehidrasi
e. Hipertermi
f. Imunitas rendah
g. Paranoid
h. Delusi

22
i. Halusinasi
j. Kehilangan rasa lelah
k. Tidak dapat tidur
l. Kejang
m. Gigi gemerutuk, rahang atas dan bawah beradu
n. Stroke
o. Masalah kardiovaskular
p. Kematian

4) Perilaku sehubungan dengan kondisi intoksikasi:


a. Agresif/ perkelahian
b. Penggunaan alcohol
c. Berani mengambil risiko
d. Kecelakaan
e. Sex yang tidak aman
f. Menghindar dari hubungan sosial dengan sekitarnya
g. Penggunaan obat-obatan lain
h. Problem hubungan dengan orang lain

5) Gejala putus zat:


a. Depresi
b. Tidak dapat beristirahat
c. Craving
d. Ide bunuh diri
e. Penggunaan obat-obatan
f. Masalah pekerjaan
g. Pikiran-pikiran yang bizarre
h. Mood yang datar
i. Ketergantungan
j. Fungsi sosial yang buruk

Kriteria diagnostik intoksikasi stimulan menurut DSM V adalah


sebagai berikut :
A. Pemakaian amfetamin, kokain, atau zat lain (misalnya,
methylphenidate) yang belum lama terjadi
B. Perilaku maladaptif atau perubahan perilaku yang bermakna secara
klinis (misalnya, euforia atau penumpulan afektif; perubahan
sosiabilitas; kewaspadaan berlebihan; kepekaan interpersonal;
kecemasan; ketegangan; atau kemarahan; perilaku stereotipik;
gangguan pertimbangan; atau gangguan fungsi sosial atau
pekerjaan) yang berkembang selama atau segera setelah,
pemakaian amfetamin atau zat yang berhubungan
C. Dua (atau lebih) hal berikut, berkembang selama, atau segera
sesudah, pemakaian amfetamin atau zat yang berhubungan :
1. Takikardia atau bradikardia
2. Dilatasi pupil

23
3. Peningkatan atau penurunan tekanan darah
4. Berkeringat atau menggigil
5. Mual atau muntah
6. Tanda-tanda penurunan berat badan
7. Agitasi atau retardasi psikomotor
8. Kelemahan otot, depresi pernafasan, nyeri dada atau aritmia
jantung
9. Konfulsi, kejang diskinesia, distonia atau koma
D. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medik umum dan tidak lebih
baik diterangkan oleh gangguan mental lain, termasuk intoksikasi
akibat zat lain

Kriteria diagnosis putus stimulan berdasarkan DSM V adalah sebagai


berikut :
A. Penghentian (atau penurunan) amfetamin (atau zat yang
berhubungan) yang telah lama atau berat
B. Mood dismorfik dan dua (atau lebih) perubahan fisiologis berikut,
yang berkembang dalam beberapa jam sampai beberapa hari
setelah kriteria A :
1. Kelelahan
2. Mimpi yang gamblang dan tidak menyenangkan
3. Insomnia atau hipersomnia
4. Peningkatan nafsu makan
5. Retardasi atau agitasi psikomotor
C. Gejala dalam kriteria B menyebabkan penderitaan yang bermakna
secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lain
D. Gejala bukan karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain

2.7.6 Inhalan
Inhalan seringkali digunakan anak dan remaja karena keterjangkauan
harga dan tidak masuk dalam zat yang melanggar hukum jika
digunakan. Inhalan yang digunakan adalah zat hidrokarbon yang
mudah menguap yang bersifat toksik dan biasanya ada dalam
perangkat rumah tangga seperti lem, tiner untuk cat, produk pembersih
lainnya. Ada juga inhalan lainnya yang mengandung gas nitrous oxide
dan poppers, yang dapat membuat penggunanya dimasukan dalam
kategori diagnosis Inhalant Use Disorder, Other Substance Use
Disorder, atau Unknown Substance Use Disorder. Inhalant Use
Disorder merupakan kondisi psikologik akibat sengaja menggunakan
inhalansia, dan bukan akibat kecelakaan terhirup zat beracun, meski

24
zat inhalannya serupa dengan yang digunakan secara sengaja.
Penggunaan inhalan sangat membahayakan dan sering mengakibatkan
kematian. Pengguna inhalan merupakan orang bermasalah perilaku dan
sikapnya (APA, 2013)

Gejala Penggunaan Inhalan (APA, 2013)


a. Digunakan dalam waktu lebih lama dari yang diperkirakan dan
jumlahnya semakin banyak. Adanya keinginan menurunkan
penggunaan, namun tidak mampu melaksanakannya.
b. Waktu yang digunakan untuk mencari inhalasi dan pulih dari zat
makin meningkat, atau yang disebut ‘nagih’ inhalan.
c. Gagal melakukan tugas/kewajiban penting dalam hidupnya seperti
bekerja, bersekolah dan meninggalkan tugas-tugas penting lainnya
karena penggunaan inhalan.
d. Meski tahu risiko timbulnya masalah sosial, interpersonal, fisik dan
psikologik akibat penggunaan inhalan, namun ia tetap melanjutkan
penggunaan.
e. Mengambil tindakan berisiko menggunakan inhalan
f. Toleran pada inhalan, artinya dosis penggunaan makin hari makin
meningkat untuk mendapatkan efek yang sama.

Penggunaan inhalan dalam jumlah besar (seperti zat hydrocarbon yang


mudah menguap seperti lem, bensin, tiner) dalam waktu singkat yang
dapat disengaja atau kecelakaan. Simtom intoksikasi inhalan (APA,
2013):
 Euforia, elasi, sangat senang.
 Pening, gangguan koordinasi gerak, jalan mabuk seperti mabuk
alkohol
 Bicara cadel.
 Letargi, sangat lelah atau mengantuk
 Refleks menurun
 Gerak motorik menurun, pikiran dan gerakan melambat.
 Tremor.
 Otot lemas.
 Pandangan mata kabur, dobel (diplopia), dan nystagmus.

Bila mendapatkan gejala diatas, langsung pasien dikirim ke IGD RS,


sebab mudah menjadi stupor atau koma dan kehidupan terancam. Masa
kerja inhalan cepat dari beberapa menit hingga jam setelah gejala
intoksikasi inhalasi terlihat (APA, 2013)

2.7.7 Kokain
Kokain adalah zat yang paling adiktif yang sering disalahgunakan dan
merupakan zat yang paling berbahaya. Kokain masih digunakan

25
sebagai anestetik lokal, khususunya untuk pembedahan mata, hidung
dan tenggorok, karena memiliki efek vasokonstriktif. Efek
farmakodinamika utama dari kokain yang berhubungan dengan efek
perilakunya adalah hambatan kompetitif re-uptake dopamin oleh
reseptor dopamin. Hal ini menyebabkan peningkatan konsentrasi
dopamin di celah sinapstik dan meningkatkan aktivasi reseptor
dopamin tipe 1 (D1) dan dopamin tipe 2 (D2). Efek perilaku tersebut
berlangsung dalam waktu yang relative singkat (30-60 menit), jadi
diperlukan pemberian yang berulang untuk dapat mempertahankan
efek intoksikasi. Walaupun efek perilaku berlangsung singkat,
metabolit kokain dapat ditemukan di dalam darah dan urine selama 10
hari (Kemenkes RI, 2010)

Metode penggunaan kokain yang paling sering adalah dengan


menggunakan inhalasi bubuk yang halus ke dalam hidung (menghirup)
atau tooting. Metode lainnya adalah penyuntikan subkutan atau
intravena dan mengisap seperti rokok. Penyuntikan intravena dan
menghisap seperti rokok adalah cara yang paling berbahaya
(Kemenkes RI, 2010).

Efek merugikan yang umum berhubungan dengan pemakaian kokain


adalah kongesti hidung, peradangan, pembengkakan, perdarahan dan
ulserasi berat pada mukosa hidung. Pemakaian jangka panjang dapat
menyebabkan perforasi septum hidung, kerusakan membran bronkial
dan paru-paru. Pemakaian intravena dapat menyebabkan infeksi,
emboli dan HIV/AIDS. Komplikasi neurologis yang dapat terjadi
adalah perkembangan distonia akut, tics dan nyeri kepala mirip
migrain. Bisa juga terjadi efek serebrovaskular, epileptik dan jantung.
Efek serebrovaskular yang paling sering adalah infark serebral non
hemoragik. Efek lainnya bisa terjadi kejang, infark miokardium,
aritmia dan depresi pernafasan yang bisa berujung pada kematian
(APA, 2013).

Gejala intoksikasi adalah agitasi, iritabilitas, gangguan pertimbangan,


perilaku seksual yang impulsif dan kemungkinan berbahaya, agresif,
dan peningkatan aktivitas psikomotor menyeluruh, dan kemungkinan
adanya gejala mania. Gejala fisik utama yang menyertai adalah
takikardia, hipertensi dan midriasis (APA, 2013).

Kriteria diagnosis intoksikasi kokain berdasarkan DSM V adalah sebagai


berikut (Maslim, 2013).
A. Pemakaian kokain yang belum lama
B. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna

26
secara klinis (misalnya, euforia atau penumpulan afektif,
perubahan sosiabilitas, kewaspadaan berlebihan, kepekaan
interpersonal, kecemasan, ketegangan, atau kemarahan, perilaku
stereotipik, gangguan pertimbangan atau gangguan fungsi sosial
atau pekerjaan) yang berkembang selama, atau segera setelah,
pemakaian kokain
C. Dua (atau lebih) tanda berikut yang berkembang selama, atau
segera setelah pemakaian kokain yaitu:
1. Takikardia atau bradikardia
2. Dilatasi pupil
3. Peningkatan atau penurunan tekanan darah
4. Berkeringat atau menggigil
5. Mual atau muntah
6. Tanda-tanda penurunan berat badan
7. Agitasi atau retardasi psikomotor
8. Kelemahan otot, depresi pernafasan, nyeri dada atau aritmia
jantung
9. Konfulsi, kejang, diskinesia, distonia atau koma
D. Gejala bukan karena kondisi medis umum dan tidak dapat lebih
baik diterangkan oleh gangguan mental lain

Setelah menghentikan pemakaian kokain atau setelah intoksikasi akut,


biasanya terdapat suatu depresi pasca intoksikasi (crash) yang ditandai
dengan disforia, anhedonia, kecemasan, iritabilitas, kelelahan,
hipersomnolensi, dan kadang-kadang agitasi. Pada pemakaian kokain
ringan sampai sedang, gejala putus kokain tersebut akan menghilang
dalam 18 jam. Pada pemakaian berat, seperti yang terlihat pada
ketergantungan kokain, gejala putus kokain dapat berlangsung sampai
1 minggu, biasanya mencapai puncak pada 2-4 hari. Gejala putus
kokain juga dapat disertai dengan gagasan bunuh diri (APA, 2013)

Kriteria diagnosis putus kokain berdasarkan DSM V adalah sebagai berikut


(Maslim, 2013).
A. Penghentian (atau penurunan) pemakaian kokain yang telah lama
dan berat
B. Mood disforik dan dua (atau lebih) perubahan fisiologis berikut,
yang berkembang dalam beberapa jam sampai beberapa hari
setelah kriteria A
1. Kelelahan
2. Mimpi buruk dan tidak menyenangkan
3. Insomnia atau hipersomnia
4. Peningkatan nafsu makan

27
5. Retardasi atau agistasi psikomotor
C. Gejala dalam kriteria B menyebabkan penderitaan yang bermakna
secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial pekerjaan, atau
fungsi penting lainnya
D. Gejala bukan karena kondisi medis umum dan tidak dapat lebih
baik diterangkan oleh gangguan mental lain

2.7.8 Halusinogen
Halusinogen disebut sebagai psikedelik atau psikotomimetik, karena
disamping menyebabkan halusinasi, obat tersebut menyebabkan
hilangnya kontak dengan realita. Menurut FDA (Food and Drugs
Administration), obat tersebut tidak memiliki penggunaan secara medis
dan memiliki kemungkinan penyalahgunaan yang besar. Halusinogen
alami klasik adalah psilocybin (dari semacam jamur) dan mescalin
(dari kaktus peyote). Halusinogen sintetik klasik adalah lysergic acid
diethylamide (LSD) (APA, 2013).

Efek utama dari LSD yaitu mempengaruhi sistem serotonergik.


Toleransi pemakaian LSD dan jenis halusinogen lain sangat cepat dan
hampir lengkap setelah 3-4 hari pemakaian secara kontinu. Toleransi
juga pulih dengan cepat, biasanya dalam 4-7 hari. Tidak ada
ketergantungan fisik pada halusinogen, dan tidak ada gejala putus
halusinogen (Kemenkes RI, 2013).

Gangguan yang mungkin timbul akibat penggunaan halusinogen


adalah ketergantungan halusinogen, peyalahgunaan halusinogen,
gangguan akibat halusinogen, intoksikasi, gangguan persepsi menetap
(flashback), delirium intoksikasi halusinogen, gangguan psikotik
dengan waham, gangguan psikotik dengan halusinasi, gangguan mood,
dan gangguan kecemasan (APA, 2013).

Kriteria diagnosis intoksikasi halusinogen menurut DSM V adalah sebagai


berikut: (Maslim, 2013)
A. Pemakaian halusinogen yang belum lama
B. Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna
secara klinis (misalnya, kecemasan atau depresi yang nyata, ideas
of reference, ketakutan kehilangan pikiran, ide paranoid,
gangguan pertimbangan, atau gangguan fungsi sosial atau
pekerjaan) yang berkembang selama, atau segera setelah,
pemakaian halusinogen
C. Perubahan persepsi yang terjadi dalam keadaan terjaga penuh dan
sadar (misalnya, penguatan persepsi subjektif depersonalisasi,
derealisasi, ilusi, halusinasi , sinestesia) yang berkembang selama,

28
atau segera setelah, pemakaian halusinogen
D. Dua (atau lebih) tanda berikut,yang berkembang selama, atau
segera setelah, pemakaian halusinogen
1. Dilatasi pupil
2. Takikardia
3. Berkeringat
4. Palpitasi
5. Pandangan kabur
6. Tremor
7. Inkoordinasi
E. Gejala bukan karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain

2.8 Menetapkan Diagnosis


Dalam nomenklatur kedokteran, ketergantungan NAPZA adalah suatu jenis
penyakit atau “disease entity” yang dalam ICD-10 (international classification
of disease and health related problems-tenth revision 1992) yang dikeluarkan
oleh WHO digolongkan dalam “Mental and behavioral disorders due to
psychoactive substance use “.

Gambaran klinis utama dari fenomena ketergantungan dikenal dengan istilah


sindrom ketergantungan (PPDGJ-III, 1993). Sehingga diagnosis
ketergantungan NAPZA ditegakkan jika diketemukan tiga atau lebih dari
gejala-gejala di bawah selama masa setahun sebelumnya:
1. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulsi)
untuk menggunakan NAPZA
2. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan NAPZA sejak
awal, usaha penghentian atau tingkat penggunaannya
3. Keadaan putus NAPZA secara fisiologis ketika penghentian penggunaan
NAPZA atau pengurangan, terbukti orang tersebut menggunakan NAPZA
atau golongan NAPZA yang sejenis dengan tujuan untuk menghilangkan
atau menghindari terjadinya gejala putus obat.
4. Adanya bukti toleransi, berupa peningkatan dosis NAPZA yang
diperlukan guna memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh
dengan dosis yang lebih rendah.
5. Secara progressif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena
penggunaan NAPZA, meningkatnya jumlah waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan atu menggunakan NAPZA atau pulih dari akibatnya
6. Meneruskan penggunaan NAPZA meskipun ia menyadari dan memahami
adanya akibat yang merugikan kesehatan akibat penggunaan NAPZA
seperti gangguan fungsi hati karena minum alkohol berlebihan, keadaan
depresi sebagai akibat penggunaan yang berat atau hendaya fungsi

29
kognitif. Segala upaya mesti dilakukan untuk memastikan bahwa
pengguna NAPZA sungguh – sungguh menyadari akan hakikat dan
besarnya bahaya.
2.9 Terapi dan Upaya Pemulihan
Beberapa prinsip-prinsip yang diterapkan dalam identifikasi, penatalaksanaan
dan intervensi pada pengguna NAPZA sangat terkait dengan hal ini meliputi:
 Intoksikasi
 Penyalahgunaan
 Ketergantungan

Tidak semua gangguan penggunaan NAPZA terkait dengan masalah


ketergantungan atau adiksi. Banyak masalah gangguan penggunaan NAPZA
berkaitan dengan pola penggunaan yang tidak berada dalam taraf
ketergantungan tetapi mempunyai risiko untuk menjadi
ketergantungan.Intervensi yang diberikan harus disesuaikan dengan masalah,
pengalaman dan faktor risiko yang ada pada seseorang (Kemenkes RI, 2010).
1) Pengenalan dan Skrining
a. Pengenalan Awal
Pengenalan awal sangat penting karena dapat mencegah seseorang
menjadi ketergantungan atau terjadi perkembangan kerusakan yang
menetap. Akan tetapi masalah penggunaan NAPZA sangat sulit untuk
dideteksi secara dini, khususnya pada penggunaan tahap awal.
Beberapa alasan mengenai hal ini antara lain:
 Tidak memahami apa yang terlihat
 Kurang waspada
 Malu untuk menanyakan masalah ini
 Tidak tahu apa yang mesti dilakukan ketika mengenali masalah ini
 Individu menyangkal atau mengelak

b. Deteksi Dini Dapat Ditingkatkan Dengan Melakukan :


 Melakukan penyelidikan/wawancara rutin tentang penggunaan
NAPZA
 Skrining dengan kuesioner
 Skrining biologi (pemeriksaan laboratorium)
 Seringkali melakukan presentasi klinis tentang penggunaan
NAPZA

c. Wawancara Rutin Tentang Penggunaan NAPZA


Dokter mempunyai kesempatan yang sangat bervariasi untuk
melakukan wawancara mengenai penggunaan NAPZA, seperti
dibawah ini:
 Pasien baru, merupakan bagian dan pengambilan data awal
 Pengobatan pasien dengan gangguan kronis, misalnya pengguna
alkohol dengan keluhan gangguan jantung, diabetes, depresi

30
 Pengobatan pasien dengan kondisi akut, misalnya: trauma,
gangguan pencernaan, stress/kecemasan, masalah psikologis
 Asesmen sebelum tindakan pembedahan
 Klinik ibu dan anak serta antenatal care
 Orang yang akan mengikuti asuransi kesehatan

d. Kuesioner-Skrining
Penggunaan kuesioner secara umum meliputi : isu-isu tentang gaya
hidup seperti merokok, diet, olahraga, penggunaan NAPZA mungkin
bukan ancaman bagi mereka. Banyak alat yang dapat digunakan untuk
melakukan skrining penggunaan NAPZA pada individu seperti
ASSIST (Alcohol, Smoking, Substance Involvement Screening Test).
a) Skrining Biologik
 Beberapa Jenis Pemeriksaan Darah
Beberapa jenis pemeriksaan darah dapat digunakan untuk
skrining penggunaan NAPZA. Namun demikian hal ini sering
kurang sensitif maupun spesifik daripada penggunaan
kuesioner. Tes untuk skrining biologik termasuk:
 Pemeriksaan darah perifer lengkap termasuk MCV
 Tes Fungsi Hati termasuk gamma GT
 Trigliserid
 Tes Urin
Tes urin dapat mendeteksi adanya penggunaan berbagai jenis
NAPZA (alkohol, kokain, kanabis, benzodiazepin, barbiturat
dll.) berdasarkan sisa metabolitnya. Namun demikian
pemeriksaan urin harus disertai dengan wawancara untuk
mendeteksi adanya penggunaan zat lain yang akan
mempengaruhi hasil tes urin (misal: obat batuk yang
mengandung kodein, obat maag yang mengandung
benzodiazepin, obat flu yang mengandung fenilpropanolamin /
efedrin).
 Skrining Etiologik Untuk Pengguna NAPZA Termasuk:
 Pemeriksaan darah perifer lengkap termasuk hitung lekosit
 Tes Fungsi hati
 Hepatitis B, C dan HIV/AIDS

2) Asesmen
Asesmen secara khusus mempunyai beberapa tujuan :
 Mengidentifikasi perilaku penggunaan NAPZA awal
 Menemukan batas-batas masalah kesehatan akibat efek NAPZA
 Untuk menilai konteks sosial penggunaan NAPZA baik terhadap
pasien maupun orang lain yang bermakna
 Untuk menentukan intervensi yang akan diberikan

31
Ada empat fase penting dalam melakukan asesmen yang harus terpenuhi:
 Mengembangkan hubungan berdasarkan saling percaya, empati dan
sikap yang tidak menghakimi
 Membantu pasien secara akurat untuk menilai kembali penggunaan
 NAPZA mereka, yang mungkin akan menfasilitasi mereka untuk
berubah
 Menfasilitasi untuk mengingat kembali kejadian masa lalu dan masa
kini dan menghubungkan dengan penggunaan NAPZAnya saat ini
 Mendorong pasien untuk mereflekssi pilihan menggunakan NAPZA
dan konsekuensi dari perilaku penggunaan NAPZAnya.

3) Terapi Kondisi Intoksikasi


A. Intoksikasi/Overdosis Opioida :
 Merupakan kondisi gawat darurat yang memerlukan penanganan
secara cepat
 Atasi tanda vital (Tekanan Darah, Pernafasan, Denyut Nadi,
Temperatur suhu badan)
 Berikan antidotum Naloxon HCL (Narcan, Nokoba) dengan dosis
0,01 mg/kg.BB secara iv, im, sc
 Kemungkinan perlu perawatan ICU, khususnya bila terjadi
penurunan kesadaran
 Observasi selama 24 jam untuk menilai stabilitas tanda-tanda vital

B. Intoksikasi Amfetamin atau Zat yang Menyerupai


 Simtomatik tergantung kondisi klinis, untuk penggunaan oral ;
merangsang muntah dengan activated charcoal atau kuras lambung
adalah penting
 Antipsikotik ; Haloperidol 2-5 mg per kali pemberian atau
Chlorpromazine 1 mg/kg BB Oral setiap 4-6 jam
 Antihipertensi bila perlu, TD diatas 140/100 mHg
 Kontrol temperature dengan selimut dingin atau Chlorpromazine
untuk mencegah temperature tubuh meningkat
 Aritmia cordis, lakukan Cardiac monitoring; contoh untuk palpitasi
diberikan Propanolol 20-80 mg/hari (perhatikan kontraindikasinya)
 Bila ada gejala ansietas berikan ansiolitik golongan
Benzodiazepin ; Diazepam 3x5 mg atau Chlordiazepox de 3x25
mg
 Asamkan urin dengan Amonium Chlorida 2,75 mEq/kg atau
Ascorbic Acid 8 mg/hari sampai pH urin < 5 akan mempercepat
ekskresi zat.

C. Intoksikasi Kanabis
 Umumnya tidak perlu farmakoterapi dapat diberikan terapi
supportif dengan 'talking down'

32
 Bila ada gejala ansietas berat:
o Lorazepam 1-2 mg oral
o Alprazolam 0.5 - 1 mg oral
o Chlordiazepoxide 10-50 mg oral
 Bila terdapat gejala psikotik menonjol dapat diberikan Haloperidol
1-2 mg oral atau i.m ulangi setiap 20-30 menit

D. Intoksikasi Alkohol
 Bila terdapat kondisi Hipoglikemia injeksi 50 ml Dextrose 40%
 Kondisi Koma :
o Posisi menunduk untuk cegah aspirasi
o Observasi ketat tanda vital setiap 15 menit
o Injeksi Thiamine 100 mg i.v untuk profilaksis terjadinya
Wernicke Encephalopathy. Lalu 50 ml Dextrose 40% iv
(berurutan jangan sampai terbalik)
 Problem Perilaku (gaduh/gelisah):
o Petugas keamanan dan perawat siap bila pasien agresif
o Terapis harus toleran dan tidak membuat pasien takut atau
merasa terancam
o Buat suasana tenang dan bila perlu tawarkan makan
o Beri dosis rendah sedatif; Lorazepam 1-2 mg atau Haloperidol
5 mg oral, bila gaduh gelisah berikan secara parenteral (i.m)

E. Intoksikasi Halusinogen
Intervensi Non Farmakologik :
 Lingkungan yang tenang, aman dan mendukung
 Reassurance : bahwa obat tersebut menimbulkan gejala-gejala itu ;
dan ini akan hilang dengan bertambahnya waktu (talking down)
Intervensi Farmakologik:
 Pilihan untuk bad trip (rasa tidak nyaman) atau serangan panic
 Pemberian anti ansietas; Diazepam 10-30 mg oral /im/iv pelan atau
Lorazepam 1-2 mg oral.

4) Terapi Kondisi Putus Zat


A. Putus Zat Opioida
 Putus zat seketika (Abrupt Withdrawal)
 Simtomatik sesuai gejala klinis; Analgetika (Tramadol, Asam
Mefenamic, Paracetamol), Spasmolitik (Papaverin), Decongestan,
Sedatif-Hipnotik, Antidiare
 Subtitusi Golongan Opioida; Codein, Metadon, Bufrenorfin yang
diberikan secara tapering off. Untuk Metadon dan Buprenorfin
terapi dapat dilanjutkan untuk jangka panjang (Rumatan)
 Subtitusi nori opioida; Klonidin dengan dosis 17mcg/Kg.BB
dibagi dalam 3-4 dosis diberikan selama 10 hari dengan tapering

33
of 10%/hari, perlu pengawasan tekanan darah bila systole kurang
dari 100 mmHg atau diastole kurang 70mmHg harus dihentikan
 Pemberian Sedatif-Hipnotika, Neuroleptika (yang memberi efek
sedative, misal; Clozapine 25 mg, atau Chlorpromazine 100mg)
dapat dikombinasikan dengan obat-obat lain

B. Putus Zat Amfetamin atau Zat yang menyerupai


 Observasi 24 jam untuk menilai kondisi fisik dan psikiatrik
 Rawat inap diperlukan apabila gejala psikotik berat, gejala
depresi berat atau kecenderungan bunuh diri, dan komplikasi fisik
lain
 Terapi: Antipsikotik (Haloperidol 3 x 1,5-5mg, atau Risperidon 2
x 1,5-3 mg), Antiansietas (Alprazolam 2 x 0,25-0,5 mg, atau
Diazepam 3x5-10 mg, atau Clobazam 2x10 mg) atau Antidepresi
golongan SSRI atau Trisiklik/Tetrasiklik sesuai kondisi kiinis

C. Putus Alkohol
 Pemberian cairan atas dasar hasil pemeriksaan elektrolit dan
keadaan umum
 Atasi kondisi gelisah dan agitasinya dengan golongan
Benzodiazepin atau Barbiturat
 Pemberian vitamin B dosis besar (mis: Vitamin neurotropik)
kemudian dilanjutkan dengan vitamin B1, multivitamin dan Asam
Folat 1 mg oral
 Bila ada riwayat kejang putus zat atasi dengan Benzodiazepine
(Diazepam 10 mg iv perlahan)
 Dapat juga diberikan Thiamine 100 mg ditambah 4 mg
Magnesium Sulfat dalam 1 liter dari 5% Dextrose/normal saline
selama 1-2 jam
 Bila terjadi Delirium Tremens harus ada orang yang selalu
mengawasi.

D. Putus Zat Sedatif-Hipnotik


 Abrupt withdrawal (pelepasan mendadak) dapat berakibat fatal
karena itu tidak dianjurkan.
 Gradual withdrawal (pelepasan bertahap) dianggap lebih rasional,
dimulai dengan memastikan dosis toleransi, disusul dengan
pemberian suatu sedatif Benzodiazepin atau Barbiturat (Pentotal,
Luminal) dalam jumlah cukup banyak sampai terjadi gejala-
gejala intoksikasi ringan, atau sampai kondisi pasien tenang. Ini
diteruskan selama beberapa hari sampai keadaan pasien stabil,
kemudian baru dimulai dengan penurunan dengan kecepatan
maksimal 10%per 24 jam sampai dosis sedatif nol. Bila
penurunan dosis menyebabkan pasien gelisah/insomnia/agutatif

34
atau kejang, ditunda sampai keadaan pasien stabil, setelah itu
penurunan dosis dilanjutkan.
 Untuk keadaan putus Barbiturat, dapat diberikan obat yangnbiasa
digunakan oleh pasien. Penurunan dosis total 10 % per hari,
maksimal 100 mg/hari.
 Teknik substitusi Fenobarbital (Luminal):

Digunakan Luminal sebagai substituent, atau Barbiturat masa


kerja lama yang lain. Sifat long acting akan mengurangi fluktuasi
pada serum yang terlalu besar, memungkinkan digunakannya
dosis kecil yang lebih aman. Waktu paruhnya antara 12-24 jam,
dosis tunggal sudah cukup. Dosis lethal 5 kali lebih besar
daripada dosis toksis dan tanda-tanda toksisitasnya lebih mudah
diamati (sustained nystagmus, slurred speech dan ataxia).
Intoksikasi Luminal biasanya tidak menimbulkan disinhibisi,
karenanya jarang menimbulkan problema tingkah laku yang
umum dijumpai pada Barbiturat short acting. Kadang-kadang
pasien tidak bersedia dberikan Luminal. Dosis Luminal tidak
boleh melebihi 500 gram sehari. Berapa besarnya sekalipun dosis
Barbiturat yang diakui pasien dalam anmnesa. Rumus yang
dipakai:
Satu dosis sedatif = satu dosis hipnotik (short acting Barbiturat yang dipakai)

Kalau timbul toksisitas, 1-2 dosis Luminal berikut dihapus, lalu


dosis harian dihitung kembali
Daftar dosis ekivalen = (untuk detoksifikasi sedatif hipnotik lain)

30 mg Luminal kira-kira setara dengan:


- 100 mg Phentonal - 500 mg Chloralhydrate
- 400-600 mg Meprobamate - 250-300 mg Methaqualone
- 100 mg Chlordiazepoxide - 50 mg Chlorazepate
- 50 mg Diazepam - 60 mg Flurazepam

 Penatalaksanaan dengan Benzodiazepine tapering off:


a) Berikan salah satu Benzodiazepine (Diazepam, Klobazam
Lorazepam) dalam jumlah cukup.
b) Lakukan penurunan dosis (kira-kira 5 mg) setiap 2 hari
c) Injeksi Diazepam intramuskuler/iritravena 1 ampul (10 mg) bila
pasien kejang/agitasi: dapat diulangi beberapa kali dengan
selang waktu 30-60 menit.
d) Berikan vitamin B complex

35
e) Berikan hipnotika malam saja (misalnya ; Clozapine 25 mg,
Estazolam 1-2 mg)

36
BAB III
KESIMPULAN

1
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatry Association. 2013. The Diagnostic and Statistical Manual of


mental disorders, 5th ed. DSM V.Arlington, VA: American Psychiatric
Association.
Husin AB & Siste K. 2013. Gangguan Penggunaan Zat. Dalam: Elvira SD &
Hadisukanto G, penyunting. Buku Ajar Psikiatri. Edisi ke-2. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. 2010. Kaplan-Sadock Sinopsis Ilmu
Pengetahuan Perilaku/Psikiatri Klinis Jilid 1. Tanggerang: Binarupa
Aksara Publisher.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Pedoman Penatalaksanaan
Medik Gangguan Penggunaan NAPZA. Jakarta, Direktorat Jenderal Bina
Pelayanan Medik.
Maslim R. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan dari PPDGJ III
dan DSM V. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Unika Atmajaya.
Nasution HH, Lubis WH, Sudibrata A. 2016. Penyalahgunaan NAPZA.
Repository USU.
Undang Undang RI Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika
Undang Undang RI Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika
World Health Organization. 2004. Neuroscience of Psychoactive Subtance Use
and Dependence. Geneva: Who Library Cataloguing

1
2

Anda mungkin juga menyukai