Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Klaim Negara Pesisir atas lautan tersebut telah diakomodasi oleh


Konvensi Hukum Laut 1982 (LOSC) meskipun adanya pengaturan quid pro
quo, yaitu sesuatu yang diberikan sebagai imbalan atas sesuatu. Meskipun
Negara-negara Pesisir telah diberi kedaulatan pada tingkat tertentu atas lautan
di sekitarnya, namun kepentingan negara-negara lain juga harus dihormati,
yang mencakup hak navigasi serta hak penggunaan sumber daya laut.

Meskipun pengaturan seperti itu dapat dilihat sebagai ‘paket-penawaran’


yang ditawarkan oleh LOSC, namun, praktiknya tidak akan pernah semudah
yang seharusnya. Komplikasi yang timbul dari pengaturan LOSC bervariasi,
dari kondisi geografis dari kedua negara pesisir dan laut itu sendiri, demi
kepentingan yang lebih luas dari negara-negara lain, dalam hal ini pengguna
negara maritim. Selain itu, masalah penetapan batas pembatas antara negara-
negara yang berdekatan juga menimbulkan masalah lain.

Penetapan batas maritim serta akses ke sumber daya laut, telah menjadi
masalah di Laut China Selatan yang tidak kunjung selesai. Laut China Selatan
adalah laut semi-tertutup yang dikelilingi oleh setidaknya delapan Negara;
China, Vietnam, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei, Filipina dan Taiwan.

Lokasi geografis seperti itu membuat Laut China Selatan dikelilingi oleh
wilayah darat banyak negara, dan dengan demikian kedaulatan serta hak
kedaulatan negara-negara sekitarnya atas Laut China Selatan menjadi rumit.
Selain itu, area Laut China Selatan terdiri dari empat pulau, yang meliputi
Prata, Macclesfield Bank, Paracel dan Spratly.

Dengan corak geografis seperti itu, China menyatakan klaimnya atas


Laut China Selatan berdasarkan peta yang dikenal sebagai sembilan garis

1
putus-putus yang melingkari hampir seluruh Laut China Selatan dan di mana
China mengklaim sebagai perairan historis China yang memiliki kedaulatan.
Di sisi lain, negara-negara pesisir lainnya juga mengklaim kedaulatan atas
pulau-pulau kecil di Laut China Selatan, yaitu, Vietnam mengklaim Pulau
Spartly, sementara Filipina dan Brunei mengklaim Kelompok Pulau Kalayan
(KIG).

Walaupun masih terus ada klaim yang tumpang tindih, pada Mei 2009
China mengajukan klaim di hadapan PBB, mengklaim beberapa pulau, yang
meliputi Spartly, Scarborough Shoal, Paracel dan lain-lain untuk dimasukkan
ke dalam wilayahnya berdasarkan peta sembilan-garis-putus-putus,
dikombinasikan dengan referensi “perairan historis.”

Pada bulan April 2012, Angkatan Laut Filipina menangkap delapan kapal
penangkap ikan China di perairan Scarborough Shoal, yang berjarak 220
kilometer di lepas pantai Filipina. Harus diingat bahwa Scarborough Shoal
diklaim oleh beberapa negara, yaitu China, Filipina, dan Taiwan. Pada bulan
Januari 2013, Filipina mengajukan keberatannya atas sembilan-garis-putus-
putus China ke Pengadilan Permanen Arbitrase yang menuntut pembatalan
peta sembilan garis putus-putus yang diusulkan oleh China.

Pengadilan Permanen Arbitrase (PCA) menetapkan bahwa klaim China


tidak sah, China telah menegaskan bahwa mereka tidak akan berpartisipasi di
persidangan dan tidak mematuhi keputusan akhir dari PCA.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah implikasi hukum atas penolakan China pada putusan PCA
atas keamanan daerah perbatasan Indonesia di perairan yang ada di sekitar
Kepulauan Natuna?
2. Apa yang harus dilakukan oleh Indonesia dalam mengantisipasi
konsekuensi hukum maupun politik dari reaksi tegas yang diambil China?

2
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui implikasi hukum atas penolakan China pada putusan
PCA atas keamanan daerah perbatasan Indonesia di perairan yang ada di
sekitar Kepulauan Natuna.
2. Untuk mengetahui hal yang perlu dilakukan oleh Indonesia dalam
mengantisipasi konsekuensi hukum maupun politik dari reaksi tegas yang
diambil oleh China.
D. Manfaat Penulisan
1. Memberikan informasi dan pengetahuan tentang implikasi hukum atas
penolakan China pada putusan PCA atas keamanan daerah perbatasan
Indonesia di perairan yang ada di sekitar Kepulauan Natuna.
2. Memberikan informasi dan pengetahuan tentang hal yang perlu dilakukan
oleh Indonesia dalam mengantisipasi konsekuensi hukum maupun politik
dari reaksi tegas yang diambil oleh China.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) adalah zona yang luasnya 200 mil dari
garis dasar pantai, yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai
mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan
kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun
melakukan penanaman kabel dan pipa. Konsep dari ZEE muncul dari
kebutuhan yang mendesak.Sementara akar sejarahnya berdasarkan pada
kebutuhan yang berkembang semenjak tahun 1945 untuk memperluas batas
jurisdiksi negara pantai atas lautnya, sumbernya mengacu pada persiapan untuk
UNCLOS III.

Sebagai negara yang memiliki wilayah atau zona ekonomi eksklusif,


Indonesia memiliki hak atas ZEE sebagai berikut:

a. Berhak untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, pengelolaan, dan


konservasi sumber daya alam.
b. Berhak melakukan penelitian, perlindungan, dan pelestarian laut.
c. Mengizinkan pelayaran internasional melalui wilayah ini dan
memasang berbagai sarana perhubungan laut.

Berdasarkan undang-undang dasar Republlik Indonesia nomor 5 tahun


1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia menyebutkan bahwa : “Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut
wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang
berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya
dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis
pangkal laut wilayah Indonesia”.

4
Zona Ekonomi Eklusif adalah zona yang luasnya 200 mil laut dari garis
dasar pantai, yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai
hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan
hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan
penanaman kabel dan pipa. Konsep dari ZEE muncul dari kebutuhan yang
mendesak. Sementara akar sejarahnya berdasarkan pada kebutuhan yang
berkembang semenjak tahun 1945 untuk memperluas batas jurisdiksi negara
pantai atas lautnya, sumbernya mengacu pada persiapan untuk UNCLOS III.

Konsep dari ZEE telah jauh diletakkan di depan untuk pertama kalinya
oleh Kenya pada Asian-African Legal Constitutive Committee pada Januari
1971, dan pada Sea Bed Committee PBB pada tahun berikutnya. Proposal
Kenya menerima dukungan aktif dari banyak Negara Asia dan Afrika. Dan
sekitar waktu yang sama banyak Negara Amerika Latin mulai membangun
sebuah konsep serupa atas laut patrimonial. Dua hal tersebut telah muncul
secara efektif pada saat UNCLOS dimulai, dan sebuah konsep baru yang
disebut ZEE telah dimulai.

Ketentuan utama dalam Konvensi Hukum Laut yang berkaitan dengan


ZEE terdapat dalam bagian ke-5 konvensi tersebut. Sekitar tahun 1976 ide dari
ZEE diterima dengan antusias oleh sebagian besar anggota UNCLOS, mereka
telah secara universal mengakui adanya ZEE tanpa perlu menunggu UNCLOS
untuk mengakhiri atau memaksakan konvensi. Penetapan universal wilayah
ZEE seluas 200 mil laut akan memberikan setidaknya 36% dari seluruh total
area laut. Walaupun ini porsi yang relatif kecil, di dalam area 200 mil laut yang
diberikan menampilkan sekitar 90% dari seluruh simpanan ikan komersial,
87% dari simpanan minyak dunia, dan 10% simpanan mangan.

Lebih jauhnya, sebuah porsi besar dari penelitian scientific kelautan


mengambil tempat di jarak 200 mil laut dari pantai, dan hampir seluruh dari
rute utama perkapalan di dunia melalui ZEE negara pantai lain untuk mencapai
tujuannya. Melihat begitu banyaknya aktivitas di zona ZEE, keberadaan rezim
legal dari ZEE dalam Konvensi Hukum Laut sangat penting adanya.

5
B. Sejarah Perkembangan ZEE di Indonesia

Pada tanggal 28 September 1945 Presiden Amerika Seriakt “Harry S.


Truman” telah mengeluarkan suatu proklamasi No. 2667, ‘Policy of the United
States with respect to the Natural Resources of the Subsoil and Seabed of the
Continental Shelf”.

Dengan proklamasi Presiden Truman tahun 1945 di atas dimulailah


suatu perkembangan dalam hukum Laut yakni pengertian geologi “continental
shelf” atau daratan kontinen. Tindakan Presiden Amerika serikat ini bertujuan
mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut dan tanah dibawahnya yang
berbatasan dengan pantai Amerika Serikat untuk kepentingan rakyat dan
bangsa Amerika Serikat, terutama kekayaan mineral khususnya minyak dan
gas bumi. Hal tersebut sesuai dengan isi dari proklamasi tersebut yang pada
pokoknya adalah : Sudah selayaknya tindakan demikian diambil oleh negara
pantai karena “continental shelf” dapat dianggap sebagai kelanjutan alamiah
daripada wilayah daratan dan bagaimanapun juga usaha-usaha untuk
mengelola kekayaan alam yang terdapat didalamnya memerlukan kerjasama
dan perlindungan dari pantai. Dnagn demikian maka demi keamanan
penguasaaan sember daya alam yang terdapat dari dalam continental shelf,
seyogyanya kekuasaan untuk mengaturnya ada pada negara pantai yang
berbatasan dengan daratan yang bersangkutan”.

Tindakan sepihak Amerika Serikat mengenai landas Kontinen dan


perikanan sebagaimana disebutkan di atas, berpengaruh terhadap
perkembangan rezim hukum ZEE 200 mil tersebut. Hal ini terbukti bahwa
negara-negara Amerika Latin dalam mengajukan tuntutan mereka telah
mengemukakan beberapa argumentasi yang bertujuan untuk melindungi
sumber-sumber kekayaan alam yang banyak terdapat diperairan sejauh 200
mil, termasuk dasar laut dan tanah di abwahnya. Argentina menagjukan teori
“Epi Continental Sea”, kemudian Ekuador, Chili dan Peru mengemukakan
teori “Bloma”, yang selanjutnya diikuti oleh negara-negara Amerika Latin

6
lainnya, yakni Meksiko (1946), Honduras (1950), Costa Rica (1950), El
Salvador (1950).

Sebagai tindak lanjut dari tuntutan negara-negara Amerika Latin maka


pada tahun 1952 lahirlah suatu deklarasi baru yakni “Deklarasi Santiago” yang
ditandatangani oleh Negara-Negara : Chili, Ekuador dan Peru: sebagai
motivasi utama tuntutan ketiga Negara peserta deklarasi Santiago ini adalah
pelaksanaan jurisdiksi ekslusif terhadap sumber-sumber kekayaan alam (daya
hayati maupun non hayati) yang terdapat diperairannya yang sejauh 200 mil
laut.

Selanjutnya Winston C.E. menjelaskan bahwa dalam lingkaran sejauh


200 mil itu hak-hak lintas damai (innocent passage) tidak terganggu
(inoffensive) dan tetap diakui sebagaimana mestinya. Sehubungan dengan
klaim beberapa negara mengenai ZEE 200 mil laut ini, PBB telah
menyelenggarakan Konferensi Hukum Laut (UNCLOS) 1 tahun 1958
UNCLOS II tahun 1960 di Jenewa, terutama bertujuan untuk menetapkan lebar
laut wilayah, namun usaha PBB tersebut ternyata gagal. Kegagalan ini
mengakibatkan meluasnya praktek Negara-negara dalam mengklaim
kedaulatan mereka di laut yang berbatasan dengan pantainya.Termasuk klaim
yurisdiksi 200 mil. Klaim-klaim ini berkembang (meluas) sekitar tahun 1960-
1970, terutama yang mengklaim jurisdiksi 200 mil dan tidak terbatas hanay
pada Nnegara-negara Amerika Latin saja, melainkan juga meluas sampai pada
negara-negara Asia Afrika.

Menurut Winston C.E., walaupun Negara-negara seperti Benin,


Brazilia, Ekuador, Guinea, panama, Peru, Siera Leone dan Somalia tetap
mengklaim jurisdiksi 200 mil laut sebagai laut wilayah, negara-negara seperti:
Argentina, Bangladesh, Chili, Costa Rica, El Salvador, Guatemala, Honduras,
India, Iceland, Meksiko, Nicaragua, Uruguay dan Amerika serikat mengajukan
klaim mereka yang sejalan dan selaras dengan tuntunan yang telah diajukan
oleh Negara-negara peserta deklarasi Santiago tahun 1952 (Chili, Ekuador,
Peru). Perlu dijelaskan dalam studi ini bahwa dalam perkembangannya,

7
delegasi Kenya secara resmi telah mengajukan usul draft article yang
mengatur tentang ZEE dalam persidangan Seabed Committee 18 Agustus
1972, yang selanjutnya dimasukkan dalam List of Subjects and Issues dan
dibahas dalam UNCLOS III 1974. Ternyata diantara negara-negara yang
mengklaim yurisdiksi laut 200 mil tersebut mempunyai pendapat-pendapat
yang berbeda tentang apa yang telah dideklarasikan sebelumnya. Hal ini
terbukti dengan terjadinya perdebatan sengit diantara negara-negara peserta
UNCLOS III, masing-masing negara dengan gigih mempertahankan
kepentingannya yang menjadi latar belakang klaimnya itu.Perdebatan
dimaksud merupakan bagian laut bebas, ataukah memiliki rezim hukum
spesifik.

Dalam hal ini negara-negara maritim yang kuat, seperti Amerika


Serikat, Uni Soviet, Inggris, Jepang dan Jerman Barat bersitegang dengan
pendapatnya bahwa ZEE 200 mil harus merupakan laut bebas dengan
ketentuan :

a. Negara-negara pantai diberi wewenang tertentu kekayaan alamnya.


b. Kebebasan lautan, termasuk kebebasan menggunakannya untuk
kepentingan militer, tetap terjamin bagi semua bangsa.

Sedangkan Negara-negara pantai terutama negara-negara yang


tergabung dalam kelompok 77 dengan gigih pula tetap mempertahankan
pendapatnya bahwa konsep ZEE merupakan suara konsepsi suigeneris yang
memiliki rezim khusus mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban
negaranya. Dengan demikian negara-negara yang tergabung dalam kelompok
77 dengan tetap menentang dipertahankannya status laut bebas bagi ZEE,
walaupun mengakui beberapa kebebasan dilaut lepas dengan ketentuan bahwa
hak-hak tersebut harus diperinci secara jelas dan tegas.

Menurut Hasjim Djalal dalam bukunya “Perjuangan Indonesia dibidang


Hukum Laut”. Meyatakan bahwa, negara-negara tak berpantai (landlocked
States) dan negar-negara secara geografis tidak beruntung (geographically

8
disadvantaged States) menuntut hak-hak yang sama dengan negara-negara
pantai, tidak saja dibidang perikanan tetapi juga terhadap sumber-sumber
kekayaan laut lainnya di dasar laut.

Namun negara-negara pantai hanya bersedia memberikan surplus


perikanan yang tidak dapat diambil oleh negara-negara pantai, dalam hal ini
negara-negara yang tergolong landlocked dan geographically disanvantage
yang mendasarkan tuntutan mereka atas dasar prinsip “common heritage of
mankind” yang mengklaim hak yang sama dengan negara-negara pantai untuk
mengambil kekayaan alam di ZEE tersebut. Sebagai ilustrasi disini, negara-
negara tak berpantai dan secara geografis tidak beruntung misalnya Singapura,
Nepal, dan Zambia, sedangkan ketiga lainnya yang termasuk dalam ketegori
“distant”. Penyelesaian yang selalu menjadi tujuan hukum pada akhirnya
perbedaan dan pertentangan pendapat yang pada mulanya tegang itu, dengan
jalan perundingan dan mufakat kemudian dapat dipertemukan, sehingga
perjuangan mengenai rezim hukum ZEE 200 mil akhirnay dapat dirumuskan,
kepentingan semua pihak dapat dapat ditampung tanpa saling merugikan. ZEE
200 mil dengan demikian tidak dikualifikasikan sebagai laut bebas dan tidak
pula sebagai laut wilayah, namun sebagai suatu rezim sul generis, yang
diartikan ZEE mempunyai ketentuan hukum sendiri.

Kemudian setelah mengalami amandemen-amandemen


dalam Informal Single Negotiating Text (INST) dan Revised Singel
Negotiating Text (RSNT), ketentuan-ketentuan mengenai ZEE 200 mil dimuat
dalam pasal 55-75 Bab V Informal Composite Negotiating Text. (ICNT).
Menlu RI Mochtar Kusumaatmadja, dalam penjelasannya mengenai
Pengumuman Pemerintah tentang ZEE Indonesia pada tanggal 21 Maret 1980,
telah menegaskan bahwa walaupun ketentuan-ketentuan tentang ZEE dalam
bab V ICNT ini belum berhasil diresmikan menjadi suatu konvensi Hukum
Laut Internasional, dengan makin banyaknya negara-negara yang
mengumumkan ZEE 200 mil, maka rezim itu melalui proses pembentukan
hukum kebiasaan internasional, dewasa ini telah menjadi Hukum Laut

9
Internasional yang abru, Konvensi Hukum laut III ini telah ditandatangani di
Montego Bay, Jama tanggal 10 Desember 1982.

C. Hak Berdaulat, Kewajiban Yurisdiksi, dan Hak-hak lain di ZEE

Hal ini di atur dalam Bab III pasal 4 UU no.5 Tahun 1983 Tentang Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia yang menyebutkan bahwa :

1. Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Republik Indonesia mempunyai


dan melaksanakan :
a. Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi,
pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati dan non
hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta air di atasnya dan
kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi
ekonomis zona tersebut, seperti pembangkitan tenaga dari air, arus
dan angin;
b. Yurisdiksi yang berhubungan dengan :
1. Pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-
instalasi dan bangunan-bangunan lainnya;
2. penelitian ilmiah mengenai kelautan;
3. perlindungan dan pelestarian lingkungan taut;
c. Hak-hak lain dan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan
Konvensi Hukum Laut yang berlaku.
2. Sepanjang yang bertalian dengan dasar laut dan tanah di bawahnya, hak
berdaulat, hak hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan menurut peraturan
perundang-undangan Landas Kontinen Indonesia, persetujuan-
persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara-negara tetangga
dan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang berlaku.
3. Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, kebebasan pelayaran dan
penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan
pipa bawah laut diakui sesuai dengan prinsip-prinsip hukum laut
internasional yang berlaku.

10
Di Zona Ekonomi Eksklusif setiap Negara pantai seperti Indonesia ini
mempunyai hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi, eksploitasi,
konservasi, dan mengelola sumber daya alama baik hayati maupun
nonhayati di perairannya, dasar hukum laut dan tanah dibawahnya serta
untuk keperluan ekonomi di zona tersebut seperti produksi energi dari
air, arus, dan angin.

Hak berdaulat Indonesia yang dimaksud oleh undang-undang ini tidak


sama atau tidak dapat disamakan dengan kedaulatan penuh yang dimiliki dan
dilaksanakan oleh Indonesia atas laut wilayah, perairan Nusantara dan perairan
pedalaman Indonesia. Berdasarkan hal tersebut diatas maka sanksi-sanksi yang
diancam di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia berbeda dengan sanksi-sanksi
yang diancam di perairan yang berada dibawah kedaulatan Republik Indonesia
tersebut.

Sedangkan jurisdiksi Indonesia di zona itu adalah jurisdiksi membuat


dan menggunakan pulau buatan, instalasi, dan bangunan, riset ilmiah kelautan,
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Dalam melaksanakan hak
berdaulat dan jurisdiksinya di zona ekonomi eksklusif itu, Indonesia harus
memperhatikan hak dan kewajiban Negara lain.Hal yang tidak kalah
pentingnya adalah kewajiban menetapkan batas-batas zona ekonomi eksklusif
Indonesia dengan negara tetangga berdasarkan perjanjian, pembuatan peta dan
koordinat geografis serta menyampaikan salinannya ke Sekretaris Jenderal
PBB.

Hak dan kewajiban negara lain di zona ekonomi eksklusif diatur oleh
Pasal 58 Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu sebagai berikut:

1. Di zona ekonomi eksklusif, semua negara, baik negara berpantai atau


tak berpantai, menikmati, dengan tunduk pada ketentuan yang relevan
konvensi ini, kebebasan-kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta
kebebasan meletakkan kebel dan pipa bawah laut yang disebutkan
dalam pasal 87 dan penggunaan laut yang berkaitan dengan

11
pengoperasian kapal, pesawat udara, dan kebel serta pipa di bawah laut,
dan sejalan dengan ketentuan-ketentuan lain konvensi ini.
2. Pasal 88 sampai pasal 115 dan ketentuan hukum internasional lain yang
berlaku diterapkan bagi zona ekonomi eksklusif sepanjang tidak
bertentangan dengan bab ini.
3. Dalam melaksanakan hak-hak memenuhi kewajiban berdasarkan
konvensi ini dizona ekonomi eksklusif, negara-negara harus
memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara
pantai dan harus mentaati peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan oleh negara pantai sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan
peraturan hukum internasional sepanjang ketentuan tersebut tidak
bertentangan dengan ketentuan bab ini.

Di zona ekonomi eksklusif Indonesia, semua Negara baik Negara pantai


maupun tidak berpantai mempunyai hak kebebasan pelayaran dan
penerbangan, kebebasan memasang kabel dan pipa bawah laut dan penggunaan
sah lainnya menurut hukum internasional dan Konvensi Hukum Laut 1982.
Dalam melaksanakan hak-hak dan kebebasan tersebut, Negara lain harus
menghormati peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai negara pantai
yang mempunyai zona ekonomi eksklusif tersebut.

Negara pantai dapat menegakan peraturan perundang-undangannya


sebagaimana di cantumkan dalam pasal 73 yaitu:

1. Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk


melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber
kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif mengambil tindakan
demikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan
melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin
ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai
dengan ketentuan konvensi ini.

12
2. Kapal-kapal yang ditangkap dan awaknya kapalnya harus segera
dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk
jaminan lainya.
3. Hukuman negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran
peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif
tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya
antara negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman
badan lainnya.
4. Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing negara pantai harus
segera memberitahukan kepada negara bendera, melalui saluran yang
tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman
yang kemudian dijatuhkan.

Aparatur penegak hukum di bidang penyidikan di Zona Ekonomi


Eksklusif Indonesia adalah Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut
yang ditunjuk oleh Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Pengadilan yang berwenang mengadili pelanggaran terhadap ketentuan
undang-undang ini adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi
pelabuhan dimana dilakukan penahanan terhadap kapal dan/atau orang-orang.

D. Kegiatan-kegiatan ZEE di Indonesia

Masalah kegiatan-kegiatan ini diatur di dalam pasal 5 UU no.5 tahun


1983 tentang zona ekonomi eksklusif Indonesia. Kegiatan untuk eksplorasi
dan/atau eksploitasi sumber daya alam atau kegiatan-kegiatan lainnya untuk
eksplorasi dan/atau eksploitasi ekonomis seperti pembangkitan tenaga dari air,
arus dan angin di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang dilakukan oleh
warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia harus berdasarkan izin
dari Pemerintah Republik Indonesia.

Sedangkan kegiatan-kegiatan tersebut di atas yang dilakukan oleh negara


asing, orang atau badan hukum asing harus berdasarkan persetujuan

13
internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dengan negara asing yang
bersangkutan.

Dalam syarat-syarat perjanjian atau persetujuan internasional


dicantumkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi oleh
mereka yang melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di zona tersebut,
antara lain kewajiban untuk membayar pungutan kepada Pemerintah Republik
Indonesia.

Sumber daya alam hayati pada dasarnya memiliki daya pulih kembali,
namun tidak berarti tak terbatas.Dengan adanya sifat-sifat yang demikian,
maka dalam melaksanakan pengelolaan dan konservasi sumber daya alam
hayati, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan tingkat pemanfaatan baik
di sebagian atau keseluruhan daerah di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.

Dalam hal usaha perikanan Indonesia belum dapat sepenuhnya


memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan yang diperbolehkan tersebut, maka
selisih antara jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan jumlah kemampuan
tangkap (capacity to harvest) Indonesia, boleh dimanfaatkan oleh negara lain
dengan izin Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan persetujuan
internasional. Misalnya jumlah tangkapan yang diperbolehkan ada 1.000
(seribu) ton sedangkan jumlah kemampuan tangkap Indonesia baru mencapai
600 (enam ratus) ton maka negara lain boleh ikut memanfaatkan dari sisa 400
(empat ratus) ton tersebut dengan izin Pemerintah Republik Indonesia
berdasarkan persetujuan internasional.

E. Batas Luar dan Lebarnya ZEE

Angka yang dikemukakan mengenai lebarnya zona ekonomi eksklusif


adalah 200 mil atau 370,4 km. kelihatannya angka ini tidak menimbulkan
kesukaran dan dapat diterima oleh negara-negara berkembang dan negara-
negara maju.semenjak dikemukakannya gagasan zona ekonomi, angka 200 mil
dari garis pangkal sudah menjadi pegangan.sekiranya lebar laut wilayah 12 mil
sudah diterima, seperti kenyataannya sekarang ini, sebenarnya lebar zona

14
ekonomi eksklusif adalah 200-12 = 188 mil. Sebagaimana telah dikemukakan
hak-hak negara pantai atas kedua laut tersebut berbeda yaitu kedaulatan penuh
atas laut wilayah(teritorial) dan hak-hak berdaulat atas zona ekonomi untuk
tujuan eksploitasi sumber kekayaan yang terdapat di daerah laut tersebut.

Batas dalam ZEE adalah batas luar dari laut territorial.Zona batas luas
tidak boleh melebihi kelautan 200 mil dari garis dasar dimana luas pantai
territorial telah ditentukan. Kata-kata dalam ketentuan ini menyarankan bahwa
200 mil adalah batas maksimum dari ZEE, sehingga jika ada suatu negara
pantai yang menginginkan wilayahnya ZEE-nya kurang dari itu, negara itu
dapat mengajukannya. Di banyak daerah tentu saja negara-negara pantai tidak
akan memilih mengurangi wilayah ZEEnya kurang dari 200 mil, karena
kehadiran wilayah ZEE negara tetangga. Kemudian timbul pertanyaan
mengapa luas 200 mil menjadi pilihan maksimum untuk ZEE. Alasannya
adalah berdasarkan sejarah dan politik : 200 mil tidak memiliki geographis
umum, ekologis dan biologis nyata. Pada awal UNCLOS zona yang paling
banyak di klaim oleh negara pantai adalah 200 mil, diklaim negara-negara
amerika latin dan Afrika. Lalu untuk mempermudah persetujuan penentuan
batas luar ZEE maka dipilihlah figur yang paling banyak mewakili klaim yang
telah ada.Tetapi tetap mengapa batas 200 mil dipilih sebagai batas luar jadi
pertanyaan. Menurut Prof. Hollick, figure 200 mil dipilih karena suatu
ketidaksengajaan, dimulai oleh negara Chili. Awalnya negara Chili mengaku
termotifasi pada keinginan untuk melindungi operasi paus lepas
pantainya.Industri paus hanya menginginkan zona seluas 50 mil, tapi
disarankan bahwa sebuah contoh diperlukan.Dan contoh yang paling
menjanjikan muncul dalam perlindungan zona adalah diadopsi dari Deklarasi
Panama 1939.Zona ini telah disalahpahami secara luas bahwa luasnya adalah
200 mil, padahal faktanya luasnya beranekaragam dan tidak lebih dari 300 mil.

F. Delimitasi Zona Ekonomi Eksklusif

Batas dalam ZEE adalah batas luar dari laut teritorial.Zona batas luas
tidak boleh melebihi kelautan 200 mil laut dari garis dasar dimana luas pantai

15
teritorial telah ditentukan. Kata-kata dalam ketentuan ini menyarankan bahwa
200 mil laut adalah batas maksimum dari ZEE, sehingga jika ada suatu negara
pantai yang menginginkan wilayahnya ZEE-nya kurang dari itu, negara itu
dapat mengajukannya. Di banyak daerah tentu saja negara-negara pantai tidak
akan memilih mengurangi wilayahnya ZEE kurang dari 200 mil laut, karena
kehadiran wilayah ZEE negara tetangga. Kemudian timbul pertanyaan
mengapa luas 200 mil laut menjadi pilihan maksimum untuk ZEE. Alasannya
adalah berdasarkan sejarah dan politik: 200 mil laut tidak memiliki geografis
umum, ekologis, dan biologis nyata. Pada awal UNCLOS zona yang paling
banyak diklaim oleh negara pantai adalah 200 mil laut, diklaim negara-negara
Amerika Latin dan Afrika.Lalu untuk mempermudah persetujuan penentuan
batas luar ZEE maka dipilihlah figur yang paling banyak mewakili klaim yang
telah ada.Tetapi tetap mengapa batas 200 mil laut dipilih sebagai batas luar jadi
pertanyaan. Menurut Prof. Hollick, figur 200 mil laut dipilih karena suatu
ketidaksengajaan, dimulai oleh negara Chili. Awalnya negara Chili mengaku
termotivasi pada keinginan untuk melindungi operasi paus lepas
pantainya.Industri paus hanya menginginkan zona seluas 50 mil laut, tapi
disarankan bahwa sebuah contoh diperlukan.Dan contoh yang paling
menjanjikan muncul dalam perlindungan zona diadopsi dari Deklarasi Panama
1939.Zona ini telah disalahpahami secara luas bahwa luasnya adalah 200 mil
laut, padahal faktanya luasnya beraneka ragam dan tidak lebih dari 300 mil
laut.

16
BAB III

PEMBAHASAN

A. Filipina dengan China di Depan Pengadilan Permanen Arbitrase


Internasional

Walaupun konflik antara negara-negara pesisir atas Laut China Selatan


masih terus berlanjut, pada tahun 2013 Filipina membawa kasus ini ke
Pengadilan Arbitrase Permanen. Sengketanya yaitu tentang dasar hukum dan
hak maritim di Laut China Selatan, status fitur geografis tertentu di Laut China
Selatan dan keabsahan tindakan tertentu yang diambil oleh China di Laut China
Selatan.

Singkatnya, pada dasarnya ada 4 (empat) klaim yang diajukan oleh


Filipina ke PCA, yaitu

1. Filipina meminta saran dari PCA untuk menyelesaikan sengketa


yang ada atas Laut China Selatan terkait hak untuk menduduki Laut
China Selatan. Lebih khusus lagi, Filipina meminta PCA untuk
menyatakan bahwa hak untuk menempati Laut China Selatan harus
didasarkan pada Konvensi Hukum Laut 1982 (LOSC) bukan
berdasarkan pada ‘hak historis’.
2. Filipina meminta saran dari PCA untuk menyelesaikan sengketa
penetapan batas maritim atas Scarborough Shoal dan sumber daya
tertentu di Kepulauan Spratly, yang telah diklaim oleh Filipina dan
China.
3. Filipina meminta PCA untuk menyelesaikan masalah yang terkait
dengan validitas klaim China atas Laut China Selatan. Filipina
mengharuskan PCA untuk memberikan keputusan bahwa China
telah melakukan kesalahan atas tindakan mereka, sebagai berikut:

17
a. Mengintervensi hak Filipina sesuai dengan LOSC terkait dengan
penangkapan ikan, navigasi dan eksplorasi dan eksploitasi
sumber daya alam lainnya serta pembentukan pulau buatan;
b. Telah gagal menyelamatkan lingkungan laut dengan
memberikan dukungan kepada nelayan China, yang telah
menangkap spesies yang terancam punah serta penggunaan
metode memancing yang tidak ramah lingkungan yang
mengarah pada penghancuran ekosistem terumbu karang di Laut
China Selatan; dan
c. Menyebabkan kerusakan lingkungan laut dengan pembentukan
pulau buatan serta reklamasi di tujuh kawasan terumbu karang
di Kepulauan Spratly.
d. China telah memperburuk sengketa dengan membatasi akses
Filipina ke Detasemen Marinir di Thomas Shoal.

Kasus Laut China Selatan antara Filipina dan China, sebenarnya


melibatkan berbagai aspek hukum. Namun, aspek penting yang layak untuk
dibahas adalah konsep ‘hak historis’ yang telah digunakan sebagai dasar
hukum oleh China untuk mengklaim kedaulatannya atas Laut China Selatan.
Di sisi lain, PCA menggunakan LOSC sebagai dasar hukum yang sah dalam
memutuskan kasus. PCA selanjutnya menyatakan bahwa:

“Arbitrase ini menyangkut peran hak historis dan sumber hak maritim di Laut
China Selatan, status fitur maritim tertentu dan hak maritim yang mampu
mereka hasilkan, dan keabsahan tindakan tertentu oleh China yang dituduhkan
oleh Filipina yang melanggar Konvensi. Mengingat keterbatasan pada
penyelesaian sengketa wajib di bawah Konvensi, Pengadilan telah menekankan
bahwa tidak ada aturan tentang masalah kedaulatan atas wilayah darat dan tidak
membatasi batas antara kedua belah Pihak”.

Dalam keputusannya, PCA dengan suara bulat memberikan keputusan


kepada Filipina dan menyatakan bahwa “Pengadilan menyimpulkan bahwa,
selama China memiliki hak historis untuk membangun kembali di perairan

18
Laut China Selatan, hak-hak tersebut dipadamkan jika pembangunan itu tidak
sesuai dengan zona ekonomi eksklusif yang disediakan dalam Konvensi.
Meskipun keputusan tersebut dengan jelas menyatakan bahwa ‘hak historis’
tersebut tidak sesuai dengan LOSC, menarik untuk mengetahui asal ‘klaim
historis’ serta menganalisis apakah istilah ‘hak historis’ dan ‘perairan historis’
pernah ada dalam LOSC dan hukum laut internasional lainnya.

B. Implikasi Hukum atas Penolakan China pada Putusan PCA dan Langkah
yang Harus Dilakukan oleh Indonesia

Setelah keputusan PCA, Pemerintah China bersikeras bahwa mereka


tidak akan mematuhi Keputusan PCA karena ketiadaannya selama
persidangan. Sikap ini dinyatakan dengan jelas oleh China melalui catatan
diplomatik berjudul “Sikap Pemerintah Republik Rakyat China Mengenai
Masalah Yurisdiksi di Laut China Selatan Diprakarsai Arbitrase oleh Republik
Filipina” tertanggal 7 Desember yang diajukan ke pengadilan dan Pemerintah
Belanda. Singkatnya, catatan diplomatik itu menyatakan tentang pandangan
China bahwa Pengadilan Arbitrase secara nyata tidak memiliki yurisdiksi atas
arbitrase ini, yang secara sepihak diinisiasi oleh Filipina, berkaitan dengan
sengketa antara China dan Filipina di Laut China Selatan.

Hal yang mendasari pernyataan tersebut adalah:

1. esensi dari subjek-subjek arbitrase adalah kedaulatan teritorial atas


fitur-fitur maritim yang relevan di Laut China Selatan, yang berada
di luar cakupan Konvensi dan tidak berkaitan dengan interpretasi atau
penerapan Konvensi.
2. ada kesepakatan antara China dan Filipina untuk menyelesaikan
sengketa mereka di Laut China Selatan melalui negosiasi,
sebagaimana yang terkandung dalam instrumen bilateral dan DOC.
Jadi, inisiasi sepihak dari arbitrase saat ini oleh Filipina jelas telah
melanggar hukum internasional.

19
3. bahkan mengasumsikan bahwa pokok bahasan arbitrase memang
menyangkut interpretasi atau penerapan Konvensi, itu telah
dinyatakan oleh deklarasi 2006 yang diajukan oleh China
berdasarkan Pasal 298 Konvensi, karena itu menjadi bagian integral
dari sengketa delitisasi maritim antara kedua Negara.
4. China tidak pernah menerima prosedur wajib dari Konvensi
sehubungan dengan klaim arbitrase Filipina. Majelis Arbitrase akan
sepenuhnya menghormati hak Negara-Negara Bersengketa pada
Konvensi untuk memilih cara penyelesaian sengketa atas
kesepakatan mereka sendiri, dan menggunakan kompetensinya untuk
memutuskan yurisdiksinya dalam batas-batas Konvensi.

Dimulainya arbitrase saat ini oleh Filipina adalah penyalahgunaan


prosedur penyelesaian sengketa wajib di bawah Konvensi. Ada dasar yang kuat
dalam hukum internasional untuk penolakan dan non-partisipasi China dalam
arbitrase saat ini.

Selain itu, China menambahkan lebih banyak pernyataan “ini tidak bisa
diartikan sebagai partisipasi China dalam proses persidangan arbitrase dalam
bentuk apapun.” Mengetahui hal tersebut, Pasal 288 dari LOSC dan Pasal 9
dari LOSC ini Lampiran VII menyatakan:

1. Pasal 288 dari Konvensi menyatakan bahwa “Jika ada sengketa mengenai
apakah pengadilan memiliki yurisdiksi, masalah akan diselesaikan dengan
keputusan pengadilan tersebut.
2. Pasal 9 dari Lampiran VII pada Konvensi menetapkan bahwa “Jika salah
satu pihak dalam sengketa tidak muncul di pengadilan arbitrase atau gagal
membela kasusnya, pihak lain dapat meminta majelis untuk melanjutkan
proses dan membuat putusannya. Ketiadaan salah satu pihak atau
kegagalan salah satu pihak untuk mempertahankan kasusnya tidak akan
menjadi sebuah hambatan pada prosesnya. Sebelum membuat putusannya,
majelis arbitrase harus yakin tidak hanya bahwa ia memiliki yurisdiksi atas
sengketa tetapi juga bahwa klaim tersebut berdasar pada fakta dan hukum.”

20
Dinyatakan dengan jelas bahwa dalam situasi apa arbitrase memiliki
kompetensi dalam memutuskan kasus tertentu, otoritas untuk memutuskan ada
di arbitrase itu sendiri dan bukan di tangan para pihak. Selain itu, dengan tidak
hadirnya salah satu pihak dalam sengketa, pihak lain memiliki hak untuk
meminta arbitrase untuk melanjutkan proses. Dengan demikian, disampaikan
bahwa ketiadaan salah satu pihak tidak dapat menghambat berlanjutnya proses.

Untuk keputusan mengenai yurisdiksi, PCA mempertimbangkan


penerapan Pasal 281 dan 282 dari LOSC, yang memungkinkan negara untuk
menerapkan metode penyelesaian sengketa lain di luar LOSC, jika para pihak
setuju. Pasal 281 dan 282 dari LOSC berbunyi:

“Jika Negara-negara Pihak yang merupakan pihak-pihak yang bersengketa


mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini telah sepakat untuk
mengupayakan penyelesaian sengketa melalui cara-cara damai pilihan mereka
sendiri, prosedur yang disediakan dalam Pasal ini hanya berlaku jika tidak ada
penyelesaian yang telah dilakukan atau dicapai dengan jalan lain menuju
kesepakatan antara para pihak.

Jika Negara-negara Pihak yang merupakan pihak yang bersengketa mengenai


penafsiran atau penerapan Konvensi ini telah setuju, melalui kesepakatan
umum, regional atau bilateral atau sebaliknya, bahwa sengketa tersebut harus,
atas permintaan pihak manapun atas sengketa, diserahkan kepada sebuah
prosedur yang memerlukan keputusan yang mengikat, prosedur itu harus
berlaku sebagai pengganti prosedur yang diatur dalam Pasal ini, kecuali para
pihak yang bersengketa menyetujui sebaliknya.”

PCA mempertimbangkan penerapan Pasal 281 dan 282 pada dokumen-


dokumen berikut untuk mengetahui apakah kedua belah pihak telah sepakat
mengenai metode penyelesaian sengketa lainnya; (a) Deklarasi China-ASEAN
2002 tentang Perilaku Para Pihak di Laut China Selatan (“DOC”), (b)
serangkaian pernyataan bersama yang dikeluarkan oleh Filipina dan China
yang mengacu pada penyelesaian sengketa melalui negosiasi, (c) Perjanjian

21
Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara, dan (d) Konvensi
Keanekaragaman Hayati (“CBD”).

Namun demikian, PCA menolak argumen China yang menyatakan


bahwa Dokumen Perilaku (DOC) yang disepakati antara ASEAN dan China
adalah perjanjian politik dan tidak dimaksudkan untuk menjadi perjanjian yang
mengikat yang berlaku dalam metode resolusi sengketa. Karena DOC tidak
memiliki suara pada mekanisme penyelesaian yang mengikat, dan tidak
mengecualikan metode penyelesaian sengketa lainnya, dapat dikatakan bahwa
PCA dapat memutuskan berdasarkan Pasal 281 dan 282 LOSC. PCA juga
menemukan kesimpulan yang sama terkait dengan Pernyataan Bersama yang
disebutkan dalam Catatan Diplomatik China.

Sehubungan dengan Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama di Asia


Tenggara dan CBD, PCA menyatakan walaupun kedua perjanjian tersebut
mengikat para pihak dalam penyelesaian sengketa, tidak ada mekanisme yang
mengikat dalam perjanjian tersebut. Kesimpulannya, di perjanjian itu tidak ada
larangan bagi Filipina untuk membawa kasus ini ke PCA.

Maka dari itu, PCA memberi keputusan kepada Filipina dan menyatakan
bahwa Klaim China atas Laut China Selatan dengan sembilan-garis-putus-
putusnya ilegal dan menyatakan bahwa China bersalah karena melakukan
kegiatan maritim ilegal di dalam zona ekonomi eksklusif Filipina. Setelah
keputusan tersebut, seperti yang dinyatakan sebelumnya, China menolak untuk
menerapkan keputusan dalam hal apapun. Selain itu, alih-alih menyingkir dari
daerah yang disengketakan, militer China dan kapal non-militer secara teratur
melakukan kegiatan untuk memperkuat kontrol de facto mereka atas daerah
tersebut.

China tampaknya membangun ketegasan pasif atas wilayah tersebut dan


menghindari tindakan tegas yang dapat menyebabkan konflik langsung,
sementara juga memperluas gerakannya di Laut China Selatan. Kondisi ini

22
membawa beberapa implikasi hukum kepada negara tetangga yang berdekatan
di sekitar Laut China Selatan, terutama untuk negara-negara anggota ASEAN.

Hal ini termasuk peningkatan kekuatan maritim China di kawasan Asia


Selatan, yang juga mempengaruhi Wilayah Tenggara. Selain itu, diasumsikan
bahwa China akan memperkuat hukum nasionalnya untuk mengklaim
beberapa area di Laut China Selatan. Dengan cara ini, sengketa yang kuat
mungkin muncul antara China dan negara-negara penuntut lainnya, khususnya
negara-negara anggota ASEAN.

Tanggapan China yang agresif terhadap keputusan PCA mungkin juga


membawa implikasi hukum lebih lanjut bagi negara yang kurang terkena
dampaknya, seperti Indonesia. Meskipun sengketa Laut China Selatan tidak
secara langsung mempengaruhi Indonesia saat ini, Indonesia mungkin akan
terkena dampaknya dalam waktu dekat.

Sebagai negara kepulauan, Indonesia berhak untuk menggambar garis


pangkal kepulauan yang menghubungkan titik terluar dari pulau terluarnya.
Terlepas dari kenyataan bahwa Indonesia tidak mengklaim salah satu pulau
yang disengketakan yang terletak di Laut China Selatan, Indonesia memiliki
beberapa pulau di sekitar Laut China Selatan, yaitu Kepulauan Natuna.
Kepulauan ini digunakan sebagai pangkal Indonesia.

Mengingat kedaulatan Indonesia atas Kepulauan Natuna, Indonesia


memiliki hak atas beberapa wilayah perairan yang diukut dari garis pangkal
Natuna sesuai dengan hukum internasional. Dari garis pangkal ini Indonesia
juga memiliki hak atas berbagai zona maritim yang didirikan oleh LOSC. Maka
dari itu, Indonesia memiliki perairan yang tumpang tindih dengan negara-
negara tetangga yang juga merupakan negara-negara penuntut dalam sengketa
Laut China Selatan, yaitu Malaysia dan Vietnam.

Walaupun kesepakatan telah dicapai mengenai penetapan batas landas


kontinen antar negara, penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) tetap
belum terselesaikan. Jika China memperkuat klaim sembilan garis putus-

23
putusnya dan terus menegaskan kekuatan militernya di wilayah tersebut, ada
kemungkinan China dan Indonesia akan terlibat dalam sengketa tentang
penetapan batas maritim di sekitar Kepulauan Natuna.

24
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebelum keputusan PCA ini, Presiden Indonesia, Joko Widodo,


berkomentar tentang masalah sengketa Laut China Selatan yang mengatakan
walaupun letak Indonesia dekat dengan Laut China Selatan, Indonesia tidak
memiliki kepentingan langsung di Laut China Selatan. Namun, perkembangan
terkini menunjukkan posisi yang berbeda.

Selama kunjungan Presiden Jokowi ke Kepulauan Natuna, Presiden


mengingatkan bahwa pada tahun 1996 China telah mengakui perairan Natuna
sebagai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.

Walaupun sengketa Laut China Selatan sejauh ini tidak berdampak


langsung terhadap Indonesia, namun, beberapa wilayah ZEE Indonesia di
Kepulauan Natuna tumpang tindih dengan sembilan garis putus-putus China.
Karena China telah menyatakan penolakannya terhadap keputusan PCA,
Indonesia harus membuat kerangka hukum dan kebijakan lebih lanjut untuk
mengimplementasikan hak kedaulatannya atas ZEE di Kepulauan Natuna.
Selain itu, pernyataan politik yang kuat juga harus diambil untuk
mengantisipasi pergerakan China di Laut China Selatan melalui klaim
sembilan garis putus-putusnya.

B. Saran

Dalam makalah ini penulis berkeinginan supaya makalah ini bermanfaat


bagi pembaca dan dapat menambah pengetahuan tentang Analisis Putusan
PCA terhadap China dan Filipina dan Implikasinya terhadap Daerah
Perbatasan di Indonesia.

25
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Chairul. 1989. Horizon Baru Hukum Laut Internasional. Jakarta:


Djambatan.

Mauna, Boer. 2005. Hukum Internasional (Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam
Era Dinamika Global, Edisi Kedua). Bandung: PT. Alumni.

Prijanto, Heru. 2007. Horizon Baru Hukum Laut Internasional. Malang:


Bayumedia Publishing.

https://www.matamatapolitik.com/analisis-6-pertanyaan-yang-harus-dijawab-
sebelum-memulai-perang/ (diakses tanggal 17 Desember 2018)

26

Anda mungkin juga menyukai