PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penetapan batas maritim serta akses ke sumber daya laut, telah menjadi
masalah di Laut China Selatan yang tidak kunjung selesai. Laut China Selatan
adalah laut semi-tertutup yang dikelilingi oleh setidaknya delapan Negara;
China, Vietnam, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei, Filipina dan Taiwan.
Lokasi geografis seperti itu membuat Laut China Selatan dikelilingi oleh
wilayah darat banyak negara, dan dengan demikian kedaulatan serta hak
kedaulatan negara-negara sekitarnya atas Laut China Selatan menjadi rumit.
Selain itu, area Laut China Selatan terdiri dari empat pulau, yang meliputi
Prata, Macclesfield Bank, Paracel dan Spratly.
1
putus-putus yang melingkari hampir seluruh Laut China Selatan dan di mana
China mengklaim sebagai perairan historis China yang memiliki kedaulatan.
Di sisi lain, negara-negara pesisir lainnya juga mengklaim kedaulatan atas
pulau-pulau kecil di Laut China Selatan, yaitu, Vietnam mengklaim Pulau
Spartly, sementara Filipina dan Brunei mengklaim Kelompok Pulau Kalayan
(KIG).
Walaupun masih terus ada klaim yang tumpang tindih, pada Mei 2009
China mengajukan klaim di hadapan PBB, mengklaim beberapa pulau, yang
meliputi Spartly, Scarborough Shoal, Paracel dan lain-lain untuk dimasukkan
ke dalam wilayahnya berdasarkan peta sembilan-garis-putus-putus,
dikombinasikan dengan referensi “perairan historis.”
Pada bulan April 2012, Angkatan Laut Filipina menangkap delapan kapal
penangkap ikan China di perairan Scarborough Shoal, yang berjarak 220
kilometer di lepas pantai Filipina. Harus diingat bahwa Scarborough Shoal
diklaim oleh beberapa negara, yaitu China, Filipina, dan Taiwan. Pada bulan
Januari 2013, Filipina mengajukan keberatannya atas sembilan-garis-putus-
putus China ke Pengadilan Permanen Arbitrase yang menuntut pembatalan
peta sembilan garis putus-putus yang diusulkan oleh China.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah implikasi hukum atas penolakan China pada putusan PCA
atas keamanan daerah perbatasan Indonesia di perairan yang ada di sekitar
Kepulauan Natuna?
2. Apa yang harus dilakukan oleh Indonesia dalam mengantisipasi
konsekuensi hukum maupun politik dari reaksi tegas yang diambil China?
2
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui implikasi hukum atas penolakan China pada putusan
PCA atas keamanan daerah perbatasan Indonesia di perairan yang ada di
sekitar Kepulauan Natuna.
2. Untuk mengetahui hal yang perlu dilakukan oleh Indonesia dalam
mengantisipasi konsekuensi hukum maupun politik dari reaksi tegas yang
diambil oleh China.
D. Manfaat Penulisan
1. Memberikan informasi dan pengetahuan tentang implikasi hukum atas
penolakan China pada putusan PCA atas keamanan daerah perbatasan
Indonesia di perairan yang ada di sekitar Kepulauan Natuna.
2. Memberikan informasi dan pengetahuan tentang hal yang perlu dilakukan
oleh Indonesia dalam mengantisipasi konsekuensi hukum maupun politik
dari reaksi tegas yang diambil oleh China.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Zona Ekonomi Eklusif (ZEE) adalah zona yang luasnya 200 mil dari
garis dasar pantai, yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai
mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan
kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun
melakukan penanaman kabel dan pipa. Konsep dari ZEE muncul dari
kebutuhan yang mendesak.Sementara akar sejarahnya berdasarkan pada
kebutuhan yang berkembang semenjak tahun 1945 untuk memperluas batas
jurisdiksi negara pantai atas lautnya, sumbernya mengacu pada persiapan untuk
UNCLOS III.
4
Zona Ekonomi Eklusif adalah zona yang luasnya 200 mil laut dari garis
dasar pantai, yang mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai
hak atas kekayaan alam di dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan
hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan
penanaman kabel dan pipa. Konsep dari ZEE muncul dari kebutuhan yang
mendesak. Sementara akar sejarahnya berdasarkan pada kebutuhan yang
berkembang semenjak tahun 1945 untuk memperluas batas jurisdiksi negara
pantai atas lautnya, sumbernya mengacu pada persiapan untuk UNCLOS III.
Konsep dari ZEE telah jauh diletakkan di depan untuk pertama kalinya
oleh Kenya pada Asian-African Legal Constitutive Committee pada Januari
1971, dan pada Sea Bed Committee PBB pada tahun berikutnya. Proposal
Kenya menerima dukungan aktif dari banyak Negara Asia dan Afrika. Dan
sekitar waktu yang sama banyak Negara Amerika Latin mulai membangun
sebuah konsep serupa atas laut patrimonial. Dua hal tersebut telah muncul
secara efektif pada saat UNCLOS dimulai, dan sebuah konsep baru yang
disebut ZEE telah dimulai.
5
B. Sejarah Perkembangan ZEE di Indonesia
6
lainnya, yakni Meksiko (1946), Honduras (1950), Costa Rica (1950), El
Salvador (1950).
7
delegasi Kenya secara resmi telah mengajukan usul draft article yang
mengatur tentang ZEE dalam persidangan Seabed Committee 18 Agustus
1972, yang selanjutnya dimasukkan dalam List of Subjects and Issues dan
dibahas dalam UNCLOS III 1974. Ternyata diantara negara-negara yang
mengklaim yurisdiksi laut 200 mil tersebut mempunyai pendapat-pendapat
yang berbeda tentang apa yang telah dideklarasikan sebelumnya. Hal ini
terbukti dengan terjadinya perdebatan sengit diantara negara-negara peserta
UNCLOS III, masing-masing negara dengan gigih mempertahankan
kepentingannya yang menjadi latar belakang klaimnya itu.Perdebatan
dimaksud merupakan bagian laut bebas, ataukah memiliki rezim hukum
spesifik.
8
disadvantaged States) menuntut hak-hak yang sama dengan negara-negara
pantai, tidak saja dibidang perikanan tetapi juga terhadap sumber-sumber
kekayaan laut lainnya di dasar laut.
9
Internasional yang abru, Konvensi Hukum laut III ini telah ditandatangani di
Montego Bay, Jama tanggal 10 Desember 1982.
Hal ini di atur dalam Bab III pasal 4 UU no.5 Tahun 1983 Tentang Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia yang menyebutkan bahwa :
10
Di Zona Ekonomi Eksklusif setiap Negara pantai seperti Indonesia ini
mempunyai hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi, eksploitasi,
konservasi, dan mengelola sumber daya alama baik hayati maupun
nonhayati di perairannya, dasar hukum laut dan tanah dibawahnya serta
untuk keperluan ekonomi di zona tersebut seperti produksi energi dari
air, arus, dan angin.
Hak dan kewajiban negara lain di zona ekonomi eksklusif diatur oleh
Pasal 58 Konvensi Hukum Laut 1982, yaitu sebagai berikut:
11
pengoperasian kapal, pesawat udara, dan kebel serta pipa di bawah laut,
dan sejalan dengan ketentuan-ketentuan lain konvensi ini.
2. Pasal 88 sampai pasal 115 dan ketentuan hukum internasional lain yang
berlaku diterapkan bagi zona ekonomi eksklusif sepanjang tidak
bertentangan dengan bab ini.
3. Dalam melaksanakan hak-hak memenuhi kewajiban berdasarkan
konvensi ini dizona ekonomi eksklusif, negara-negara harus
memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban negara
pantai dan harus mentaati peraturan perundang-undangan yang
ditetapkan oleh negara pantai sesuai dengan ketentuan konvensi ini dan
peraturan hukum internasional sepanjang ketentuan tersebut tidak
bertentangan dengan ketentuan bab ini.
12
2. Kapal-kapal yang ditangkap dan awaknya kapalnya harus segera
dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk
jaminan lainya.
3. Hukuman negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran
peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi eksklusif
tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya
antara negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman
badan lainnya.
4. Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing negara pantai harus
segera memberitahukan kepada negara bendera, melalui saluran yang
tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman
yang kemudian dijatuhkan.
13
internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dengan negara asing yang
bersangkutan.
Sumber daya alam hayati pada dasarnya memiliki daya pulih kembali,
namun tidak berarti tak terbatas.Dengan adanya sifat-sifat yang demikian,
maka dalam melaksanakan pengelolaan dan konservasi sumber daya alam
hayati, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan tingkat pemanfaatan baik
di sebagian atau keseluruhan daerah di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
14
ekonomi eksklusif adalah 200-12 = 188 mil. Sebagaimana telah dikemukakan
hak-hak negara pantai atas kedua laut tersebut berbeda yaitu kedaulatan penuh
atas laut wilayah(teritorial) dan hak-hak berdaulat atas zona ekonomi untuk
tujuan eksploitasi sumber kekayaan yang terdapat di daerah laut tersebut.
Batas dalam ZEE adalah batas luar dari laut territorial.Zona batas luas
tidak boleh melebihi kelautan 200 mil dari garis dasar dimana luas pantai
territorial telah ditentukan. Kata-kata dalam ketentuan ini menyarankan bahwa
200 mil adalah batas maksimum dari ZEE, sehingga jika ada suatu negara
pantai yang menginginkan wilayahnya ZEE-nya kurang dari itu, negara itu
dapat mengajukannya. Di banyak daerah tentu saja negara-negara pantai tidak
akan memilih mengurangi wilayah ZEEnya kurang dari 200 mil, karena
kehadiran wilayah ZEE negara tetangga. Kemudian timbul pertanyaan
mengapa luas 200 mil menjadi pilihan maksimum untuk ZEE. Alasannya
adalah berdasarkan sejarah dan politik : 200 mil tidak memiliki geographis
umum, ekologis dan biologis nyata. Pada awal UNCLOS zona yang paling
banyak di klaim oleh negara pantai adalah 200 mil, diklaim negara-negara
amerika latin dan Afrika. Lalu untuk mempermudah persetujuan penentuan
batas luar ZEE maka dipilihlah figur yang paling banyak mewakili klaim yang
telah ada.Tetapi tetap mengapa batas 200 mil dipilih sebagai batas luar jadi
pertanyaan. Menurut Prof. Hollick, figure 200 mil dipilih karena suatu
ketidaksengajaan, dimulai oleh negara Chili. Awalnya negara Chili mengaku
termotifasi pada keinginan untuk melindungi operasi paus lepas
pantainya.Industri paus hanya menginginkan zona seluas 50 mil, tapi
disarankan bahwa sebuah contoh diperlukan.Dan contoh yang paling
menjanjikan muncul dalam perlindungan zona adalah diadopsi dari Deklarasi
Panama 1939.Zona ini telah disalahpahami secara luas bahwa luasnya adalah
200 mil, padahal faktanya luasnya beranekaragam dan tidak lebih dari 300 mil.
Batas dalam ZEE adalah batas luar dari laut teritorial.Zona batas luas
tidak boleh melebihi kelautan 200 mil laut dari garis dasar dimana luas pantai
15
teritorial telah ditentukan. Kata-kata dalam ketentuan ini menyarankan bahwa
200 mil laut adalah batas maksimum dari ZEE, sehingga jika ada suatu negara
pantai yang menginginkan wilayahnya ZEE-nya kurang dari itu, negara itu
dapat mengajukannya. Di banyak daerah tentu saja negara-negara pantai tidak
akan memilih mengurangi wilayahnya ZEE kurang dari 200 mil laut, karena
kehadiran wilayah ZEE negara tetangga. Kemudian timbul pertanyaan
mengapa luas 200 mil laut menjadi pilihan maksimum untuk ZEE. Alasannya
adalah berdasarkan sejarah dan politik: 200 mil laut tidak memiliki geografis
umum, ekologis, dan biologis nyata. Pada awal UNCLOS zona yang paling
banyak diklaim oleh negara pantai adalah 200 mil laut, diklaim negara-negara
Amerika Latin dan Afrika.Lalu untuk mempermudah persetujuan penentuan
batas luar ZEE maka dipilihlah figur yang paling banyak mewakili klaim yang
telah ada.Tetapi tetap mengapa batas 200 mil laut dipilih sebagai batas luar jadi
pertanyaan. Menurut Prof. Hollick, figur 200 mil laut dipilih karena suatu
ketidaksengajaan, dimulai oleh negara Chili. Awalnya negara Chili mengaku
termotivasi pada keinginan untuk melindungi operasi paus lepas
pantainya.Industri paus hanya menginginkan zona seluas 50 mil laut, tapi
disarankan bahwa sebuah contoh diperlukan.Dan contoh yang paling
menjanjikan muncul dalam perlindungan zona diadopsi dari Deklarasi Panama
1939.Zona ini telah disalahpahami secara luas bahwa luasnya adalah 200 mil
laut, padahal faktanya luasnya beraneka ragam dan tidak lebih dari 300 mil
laut.
16
BAB III
PEMBAHASAN
17
a. Mengintervensi hak Filipina sesuai dengan LOSC terkait dengan
penangkapan ikan, navigasi dan eksplorasi dan eksploitasi
sumber daya alam lainnya serta pembentukan pulau buatan;
b. Telah gagal menyelamatkan lingkungan laut dengan
memberikan dukungan kepada nelayan China, yang telah
menangkap spesies yang terancam punah serta penggunaan
metode memancing yang tidak ramah lingkungan yang
mengarah pada penghancuran ekosistem terumbu karang di Laut
China Selatan; dan
c. Menyebabkan kerusakan lingkungan laut dengan pembentukan
pulau buatan serta reklamasi di tujuh kawasan terumbu karang
di Kepulauan Spratly.
d. China telah memperburuk sengketa dengan membatasi akses
Filipina ke Detasemen Marinir di Thomas Shoal.
“Arbitrase ini menyangkut peran hak historis dan sumber hak maritim di Laut
China Selatan, status fitur maritim tertentu dan hak maritim yang mampu
mereka hasilkan, dan keabsahan tindakan tertentu oleh China yang dituduhkan
oleh Filipina yang melanggar Konvensi. Mengingat keterbatasan pada
penyelesaian sengketa wajib di bawah Konvensi, Pengadilan telah menekankan
bahwa tidak ada aturan tentang masalah kedaulatan atas wilayah darat dan tidak
membatasi batas antara kedua belah Pihak”.
18
Laut China Selatan, hak-hak tersebut dipadamkan jika pembangunan itu tidak
sesuai dengan zona ekonomi eksklusif yang disediakan dalam Konvensi.
Meskipun keputusan tersebut dengan jelas menyatakan bahwa ‘hak historis’
tersebut tidak sesuai dengan LOSC, menarik untuk mengetahui asal ‘klaim
historis’ serta menganalisis apakah istilah ‘hak historis’ dan ‘perairan historis’
pernah ada dalam LOSC dan hukum laut internasional lainnya.
B. Implikasi Hukum atas Penolakan China pada Putusan PCA dan Langkah
yang Harus Dilakukan oleh Indonesia
19
3. bahkan mengasumsikan bahwa pokok bahasan arbitrase memang
menyangkut interpretasi atau penerapan Konvensi, itu telah
dinyatakan oleh deklarasi 2006 yang diajukan oleh China
berdasarkan Pasal 298 Konvensi, karena itu menjadi bagian integral
dari sengketa delitisasi maritim antara kedua Negara.
4. China tidak pernah menerima prosedur wajib dari Konvensi
sehubungan dengan klaim arbitrase Filipina. Majelis Arbitrase akan
sepenuhnya menghormati hak Negara-Negara Bersengketa pada
Konvensi untuk memilih cara penyelesaian sengketa atas
kesepakatan mereka sendiri, dan menggunakan kompetensinya untuk
memutuskan yurisdiksinya dalam batas-batas Konvensi.
Selain itu, China menambahkan lebih banyak pernyataan “ini tidak bisa
diartikan sebagai partisipasi China dalam proses persidangan arbitrase dalam
bentuk apapun.” Mengetahui hal tersebut, Pasal 288 dari LOSC dan Pasal 9
dari LOSC ini Lampiran VII menyatakan:
1. Pasal 288 dari Konvensi menyatakan bahwa “Jika ada sengketa mengenai
apakah pengadilan memiliki yurisdiksi, masalah akan diselesaikan dengan
keputusan pengadilan tersebut.
2. Pasal 9 dari Lampiran VII pada Konvensi menetapkan bahwa “Jika salah
satu pihak dalam sengketa tidak muncul di pengadilan arbitrase atau gagal
membela kasusnya, pihak lain dapat meminta majelis untuk melanjutkan
proses dan membuat putusannya. Ketiadaan salah satu pihak atau
kegagalan salah satu pihak untuk mempertahankan kasusnya tidak akan
menjadi sebuah hambatan pada prosesnya. Sebelum membuat putusannya,
majelis arbitrase harus yakin tidak hanya bahwa ia memiliki yurisdiksi atas
sengketa tetapi juga bahwa klaim tersebut berdasar pada fakta dan hukum.”
20
Dinyatakan dengan jelas bahwa dalam situasi apa arbitrase memiliki
kompetensi dalam memutuskan kasus tertentu, otoritas untuk memutuskan ada
di arbitrase itu sendiri dan bukan di tangan para pihak. Selain itu, dengan tidak
hadirnya salah satu pihak dalam sengketa, pihak lain memiliki hak untuk
meminta arbitrase untuk melanjutkan proses. Dengan demikian, disampaikan
bahwa ketiadaan salah satu pihak tidak dapat menghambat berlanjutnya proses.
21
Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara, dan (d) Konvensi
Keanekaragaman Hayati (“CBD”).
Maka dari itu, PCA memberi keputusan kepada Filipina dan menyatakan
bahwa Klaim China atas Laut China Selatan dengan sembilan-garis-putus-
putusnya ilegal dan menyatakan bahwa China bersalah karena melakukan
kegiatan maritim ilegal di dalam zona ekonomi eksklusif Filipina. Setelah
keputusan tersebut, seperti yang dinyatakan sebelumnya, China menolak untuk
menerapkan keputusan dalam hal apapun. Selain itu, alih-alih menyingkir dari
daerah yang disengketakan, militer China dan kapal non-militer secara teratur
melakukan kegiatan untuk memperkuat kontrol de facto mereka atas daerah
tersebut.
22
membawa beberapa implikasi hukum kepada negara tetangga yang berdekatan
di sekitar Laut China Selatan, terutama untuk negara-negara anggota ASEAN.
23
putusnya dan terus menegaskan kekuatan militernya di wilayah tersebut, ada
kemungkinan China dan Indonesia akan terlibat dalam sengketa tentang
penetapan batas maritim di sekitar Kepulauan Natuna.
24
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
25
DAFTAR PUSTAKA
Mauna, Boer. 2005. Hukum Internasional (Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam
Era Dinamika Global, Edisi Kedua). Bandung: PT. Alumni.
https://www.matamatapolitik.com/analisis-6-pertanyaan-yang-harus-dijawab-
sebelum-memulai-perang/ (diakses tanggal 17 Desember 2018)
26