Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Perjanjian Internasional dewasa ini telah mengalami
perkembangan pesat seiring dengan perkembangan Hukum Internasional.
Hubungan Internasional akibat globalisasi telah ditandai dengan perubahan-
perubahan mendasar, antara lain munculnya subjek-subjek baru non-negara
disertai dengan meningkatnya interaksi yang intensif antara subjek-subjek baru
tersebut. Perubahan mendasar tersebut bersamaan dengan karakter pergaulan
internasional yang semakin tidak mengenal batas-batas negara, berpeluang
untuk melahirkan perkara-perkara hukum yang bersifat lintas negara.
Perjanjian – perjanjian dewasa ini khususnya di bidang ekonomi,
investasi dan perdagangan telah banyak menyentuh bukan hanya kepentingan
negara sebagai pihak perjanjian melainkan juga melahirkan hak dan kewajiban
terhadap individu – individu di negara pihak. Praktik di negara – negara yang
telah mengalami pasar bebas menunjukkan bahwa pemahaman hukum
perjanjian internasional oleh para praktisi hukum menjadi mutlak karena
perjanjian internasional telah menjadi kepentingan bagi para pelaku pasar,
investor, serta pedagang. Sebagai contoh dengan telah terbentuknya WTO
(World Trade Organization), APEC (Asian Pasific Economic Cooperation),
EEC (European Economic Council), dan masih banyak lagi perjanjian –
perjanjian bilateral dan multilateral lainnya.
Hukum Internasional pun telah menyediakan dasar hukum bagi
perjanjian internasional seperti yang diatur dalam Konvensi Wina 1969 tentang
Perjanjian Internasional, Konvensi Wina 1978 terkait dengan Suksesi Negara
terkait Perjanjian Internasional, serta Konvensi Wina 1986 tentang Perjanjian
Internasional dan Organisasi Internasional.
Indonesia sendiri merupakan negara yang memiliki politik luar negeri
bebas aktif yang berarti Indonesia tidak memihak dan juga terus berperan aktif
dalam melakukan hubungan internasional. Hubungan itu dapat diwujudkan
dalam bentuk perjanjian internasional. Dari perjanjian internasional yang
dilakukan tentu akan membawa perubahan bagi Indonesia, baik perubahan
dalam hubungannya dengan negara lain dalam dunia internasional dan juga
dalam menentukan kebijakan nasional yang dibuat.
Tidak dapat diragukan lagi pada era globalisasi ini bahwa batas – batas
teritorial suatu negara bukanlah sebagai penghalang bagi berbagai aktivitas
antar negara, apalagi dalam bidang ekonomi, investasi dan perdagangan.
Dalam perkembangan kehidupan masyarakat global yang semakin tidak
mengenal batas – batas negara ini, maka kesepakatan – kesepakatan antar
negara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dituangkan dalam bentuk
perjanjian – perjanjian internasional menjadi salah satu sumber hukum yang
penting. Dikarenakan, semakin banyak masalah – masalah transnasional yang
penyelesaiannya hanya dapat dijangkau dengan instrumen perjanjian
internasional.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah bentuk-bentuk perjanjian internasional?
2. Apakah macam-macam perjanjian internasional?
3. Apakah tahap tahap perjanjian internasional?

4. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk perjanjian internasional.
2. Untuk mengetahui macam-macam perjanjian internasional.
3. Untuk mengetahui tahap-tahap perjanjian internasional.
4. Manfaat Penulisan
1. Memberikan informasi dan pengetahuan tentang bentuk-bentuk perjanjian
internasional.
2. Memberikan informasi dan pengetahuan tentang macam-macam perjanjian
internasional.
3. Memberikan informasi dan pengetahuan tentang tahap-tahap perjanjian
internasional.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Hukum Perjanjian Internasional telah berkembang pesat dan telah


terkodifikasi ke dalam berbagai konvensi internasional seperti Konvensi Wina
1969 tentang Perjanjian Internasional, Konvensi Wina 1986 tentang Perjanjian
Internasional dan Organisasi Internasional, Konvensi Wina 1978 tentang
Suksesi Negara terkait Perjanjian Internasional. Dalam hukum internasional
dewasa ini ada kecenderungan mengatur hukum perjanjian antara organisasi
internasional dengan organisasi internasional atau antara organisasi
internasional dengan subjek hukum internasional lain secara tersendiri.

Menurut Mochtar Kusumaatmaja, perjanjian internasional adalah


perjanjian yang diadakan oleh masyarakat bangsa – bangsa dan bertujuan untuk
mengakibatkan akibat – akibat hukum tertentu. Dalam Pasal 2 Konvensi Wina
1969, perjanjian internasional didefinisikan sebagai suatu persetujuan yang
dibuat antara negara dalam bentuk tertulis, dan diatur oleh Hukum
Internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau lebih yang berkaitan dan
apapun nama yang diberikan padanya. Definisi perjanjian internasional
kemudian di kembangkan oleh Pasal 1 ayat (3) Undang – Undang Republik
Indonesia Nomor 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri dimana
dijelaskan bahwa perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan
sebutan apapun, yang diatur oleh Hukum Internasional dan dibuat secara
tertulis oleh pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara,
organisasi atau subjek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak
dan kewajiban pada pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum
publik.
Di dalam Pasal 1 ayat (1) Undang – undang Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional dikatakan bahwa perjanjian internasional
adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam Hukum
Internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban
di bidang hukum publik.

A. Bentuk-bentuk Perjanjian Internasional

Bentuk dan nama perjanjian internasional dalam praktiknya cukup


beragam, antara lain:

1. Traktat (Treaty)
Menurut pengertian umum, treaty mencakup segala macam bentuk
perjanjian internasional. Sedangkan menurut pengertian khusus, Treaty
merupakan perjanjian yang paling penting dan sangat formal dalam
urusan perjanjian. Dalam bahasa istilah, Treaty disebut sebagai
perjanjian internasional.
2. Konvensi (Convention)
Pasal 38 ayat (1) huruf a Statuta Mahkamah Internasional menyebut,
Konvensi Internasional sebagai salah satu sumber Hukum
Internasional. Istilah Konvensi juga mencakup Perjanjian Internasional
secara umum dan juga digunakan untuk perjanjian – perjanjian
multilateral yang beranggotakan banyak pihak.
3. Deklarasi (Declaration)
Deklarasi merupakan perjanjian yang berisi ketentuan – ketentuan
umum dimana para pihak berjanji untuk melakukan kebijaksanaan –
kebijaksanaan tertentu di masa yang akan datang. Deklarasi yang dibuat
tersebut biasanya hanya berisi prinsip pernyataan – pernyataan umum.
4. Pakta (Pact)
Pakta merupakan persetujuan yang lebih khusus jika dibandingkan
dengan traktat. Jadi, pakta merupakan traktat dalam arti sempit
sehingga pakta pun harus mendapat pengesahan (ratifikasi).
5. Perikatan (Arrangement)
Perikatan adalah suatu bentuk perjanjian yang tidak seresmi traktat atau
konvensi. Oleh karena itu, perikatan merupakan persetujuan yang
biasanya hanya digunakan bagi transaksi-transaksi yang bersifat
sementara.
6. Persetujuan (Agreement)
Persetujuan merupakan suatu perjanjian yang bersifat
teknis/administratif sehingga persetujuan tidak seresmi
traktat/konvensi cukup ditandatangani oleh wakil-wakil departemen
dan tidak perlu diratifikasi.
7. Piagam (Statute)
Piagam merupakan perjanjian yang menunjukkan himpunan peraturan
yang ditetapkan oleh perjanjian internasional untuk mengatur fungsi
lembaga internasional atau anggaran dasarnya, seperti piagam
mahkamah internasional (statute of the international court of justice).
8. Convenant
Convenant adalah suatu istilah yang digunakan oleh piagam Liga
Bangsa Bangsa (LBB) yang disebut dengan The Convenant of the
League of Nations tahun 1920.
9. Charter
Charter adalah istilah yang digunakan dalam perjanjian internasional
yang diadakan oleh PBB dan mempunyai fungsi administratif. Dengan
kata lain, PBB dalam membuat anggaran dasarnya berbentuk charter.
Misalnya, Atlantic Charter 1941, dan The Charter of the United Nations
1945.
10. Protokol (Protocol)

Protokol adalah perjanjian yang sifatnya kurang resmi dibandingkan


dengan traktat atau konvensi. Biasanya protokol digunakan sebagai
naskah tambahan dari konvensi. Namun, protokol tidak kalah
pentingnya daripada konvensi itu sendiri. Misalnya, protokol tambahan
terhadap Konvensi Jenewa 1949.

11. Modus Vivendi

Modus Vivendi adalah perjanjian internasional yang merupakan


dokumen untuk mencatat persetujuan tanpa memerlukan ratifikasi dan
bersifat sementara. Maksud sementara adalah sampai diwujudkan hasil
perjanjian yang lebih tetap (permanen) dan rind (sistematis).

12. Ketentuan Penutup (Final Act)

Ketentuan Penutup adalah dokumen dalam bentuk catatan ringkasan


dari hasil konferensi, seperti catatan mengenai negara peserta, para
utusan dari negara-negara yang turut dalam perundingan, dan segala
kesimpulan tentang hal-hal yang disetujui konferensi. Ketentuan
penutup ini tidak memerlukan ratifikasi.

13. Ketentuan Umum (General Act)


Artinya, traktat yang bersifat resmi atau tidak resmi. Liga bangsabangsa
pernah' fnenggunakan istilah ini, seperti dalam menyelesaikan
permasalahan secara damai dan pertikaian internasional (arbitrasi) pada
1928.

B. Macam-macam Perjanjian Internasional

Berikut ini adalah beberapa kriteria untuk mengelompokkan perjanjian


internasional :

1. Menurut jumlah pesertanya


a. Perjanjian bilateral, merupakan perjanjian yang hanya melibatkan
dua negara saja secara privat.
b. Perjanjian trilateral, merupakan perjanjian yang melibatkan tiga
negara secara privat.
c. Perjanjian multilateral, merupakan perjanjian yang melibatkan
lebih dari tiga negara.
2. Menurut strukturnya
a. Perjanjian Internasional yang bersifat law making artinya
mengandung kaidah hukum yang dapat berlaku bagi semua negara
di dunia.
b. Perjanjian internasional yang bersifat contract, yaitu hanya
menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat
perjanjian saja.

3. Dari segi obyeknya


a. Perjanjian yang berisi soal-soal politik.
b. Perjanjian yang berisi masalah-masalah ekonomi, budaya, dan
lain-lain.

4. Dari segi cara berlakunya


a. Perjanjian internasional yang bersifat self executing (berlaku
dengan sendirinya). Disebut self executing, bila sebuah perjanjian
internasional langsung berlaku setelah diratifikasi oleh negara
tertentu.
b. Perjanjian Internasional yang bersifat non self-executing. Bila
harus dilakukan perubahan UU terlebih dahulu sebelum berlaku,
maka perjanjian internasional itu disebut non self-executing.

C. Tahap-tahap Perjanjian Internasional


Mengingat pentingnya suatu perjanjian internasional, baik bagi suatu
negara maupun sebagai salah satu sumber hukum internasional, proses
pembuatan-perjanjian internasional tidaklah semudah seperti perjanjian
lainnya. Untuk itu, terdapat beberapa tahap dan persyaratan yang harus
dipenuhi oleh setiap negara yang akan membuat perjanjian internasional.
Adapun tahap dan proses yang perlu dan biasa dilakukan adalah sebagai
berikut.

1. Perundingan (Negotiation)
Pembuatan perjanjian internasional biasanya dimulai dengan
perundingan di antara negara-negara yang akan membuatnya. Hal ini
dilakukan dengan dasar kebutuhan atau kepentingan dan kemampuan
negara-negara yang bersangkutan agar kelak dapat dihindari adanya
masalah.

Isi dari perundingan yang dilakukan biasanya menyangkut


beberapa masalah pokok, antara lain menyangkut masalah politik,
masalah keamanan, masalah pertikaian, masalah perdagangan, masalah
pertikaian dalam bidang ekonomi, masalah pertikaian dalam bidang
sosial-budaya, masalah pertikaian dalam bidang pertahanan, serta
masalah-masalah lainnya yang menyangkut pembentukan dan
pelaksanaan perjanjian internasional.

Dalam rangka membentuk perjanjian internasional, tidak semua


orang dapat melakukan perundingan. Menurut ketentuan hukum
internasional tentang kuasa penuh (powerfull), seseorang hanya dapat
dianggap mewakili suatu negara dengan sah apabila is dapat
menunjukkan surat kuasa penuh (powerfull atau cretidential). Kecuali,
jika dari semula peserta konferensi sudah menentukan bahwa surat
kuasa penuh seperti yang dijelaskan tidak diperlukan. Keharusan
menunjukan surat kuasa penuh, tidak berlaku bagi kepala negara,
kepala pemerintahan (perdana menteri), menteri luar negeri, atau yang
karena jabatannya dianggap sudah mewakili negaranya dengan sah dan
dapat melakukan segala tindakan untuk mengikat negaranya pada
perjanjian yang diadakan, termasuk perwakilan diplomatik.
2. Penandatanganan (Signature)

Setelah perundingan selesai, dilanjutkan dengan pengesahan


bunyi naskah yang merupakan tindakan formal. Bagi perjanjian
multilateral (perjanjian yang dilakukan oleh beberapa negara),
penandatangan naskah perjanjian dapat dilakukan apabila disetujui
paling sedikit 2/3 (dua per tiga) suara peserta yang hadir. Kecuali, jika
ada ketentuan lain yang mengaturnya.

Adapun dalam perjanjian bilateral (perjanjian yang dilakukan


oleh dua negara), penerimaan secara bulat dan penuh mutlak diperlukan
oleh kedua belah pihak yang melakukan perundingan. Persetujuan dalam
bentuk penandatanganan merupakan suatu tindakan yang sangat penting
dalam rangka mengikatkan diri dalam suatu perjanjian internasional.
Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak saat ditandatanganinya tanpa
harus menunggu adanya ratifikasi (pengesahan).

3. Pengesahan (Ratification)

Dalam pelaksanaan suatu perjanjian, adakalanya suatu perjanjian


belum mengikat sepenuhnya sehingga diperlukan proses ketiga, yaitu
pengesahan. Pengesahan tanda tangan atau ratifikasi dilakukan oleh
wakil negara yang turut serta dalam perundingan. Maksudnya, untuk
meyakinkan bahwa utusan tersebut benar-benar melakukan tugasnya
serta tidak melampaui wewenangnya. Dengan kata lain, ratifikasi
sebenarnya memiliki arti sebagai persetujuan secara formal terhadap
perjanjian yang melahirkan kewajiban-kewajiban internasional agar
suatu perjanjian berlaku bagi setiap negara peserta.
4. Pengumuman (Publication)

Hal lain yang biasa ditemukan dalam perjanjian intemasional adalah


lembaga persyaratan. Keberadaan lembaga ini sangat'dibutuhkan oleh negara-
negara yang ikut serta dalam perjanjian internasional, khususnya perjanjian yang
sifatnya multilateral. Lembaga persyaratan dibutuhkan karena biasanya ada saja
negara-negara peserta.yang kurang sepenuhnya menerima isi materi perjanjian
atau kurang sesuai dengan kepentingan nasional negaranya. Selain itu,
dimungkinkan pula merugikan kepentingan nasional negaranya sehingga untuk
melaksanakannya dibutuhkan persyaratan-persyaratan tertentu.

Berdasarkan hal tersebut, lembaga persyaratan adalah pemyataan yang


diajukan oleh suatu negara untuk dapat terikat pada perjanjian. Artinya, dalam
melakukan perjanjian, negara yang mengajukan persyairatan tidak berarti hares
mengundurkan diri dari perjanjian, tetapi tetap terikat terhadap apa-apa yang
diajukan dan membawa keuntungan bagi negaranya.

Oleh karena itu, setiap pihak (negara) yang mengadakan perjanjian atau
turut serta dalam suatu perjanjian, berkeinginan agar apa yang dijanjikan dapat
terselenggara dengan baik atau dihormati dan ditaati oleh masing-masi.'ng pihak.
Namun, dalam kenyataannya semua perjanjian tidak dapat bertahan lama seperti
yang dikehendaki oleh para pihak. Hal ini bisa saja terjadi jika salah satu pihak
meminta pembatalan perjanjian yang telah mereka setujui. Tmdakan pembatalan
pada dasarnya tidak dilarang, bahkan diperkenankan asal pembatalan
dilaksanakan dengan itikad baik dan tindakan yang jujur.

Konvensi Wina 1969 menetapkan alasan-alasan yang dapat diajukan


oleh suatu negara untuk membatalkan persetujuan atau perjanjian yang telah
disepakati, di antaranya sebagai berikut.

a. Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum nasional


salah satu peserta yang berlcaitan dengan kewenangan (kompetensi)
kuasa penuh negara yang bersangkutan.
b. Terdapat unsur kesalahan (error) berkenaan dengan suatu fakta atau
keadaan pada waktu perjanjian dibuat.
c. Terdapat unsur penipuan oleh suatu negara peserta terhadap negara
peserta lain pada waktu pembejitukan perjanjian.
d. Terdapat kelicikan atau akal bulus, baik secara langsung maupun
tidak langsung terhadap mereka yang menjadi kuasa penuh dari
negara peserta tertentu.
e. Terdapat unsur paksaan dalam arti penggunaan kekerasan dan
ancaman kepada seorang kuasa penuh atau negara peserta tertentu.
f. Terdapat ketentuan yang bertentangan dengan suatu kaidah dasar
atau asas jus cogent. Maksud asas ini adalah kaidah atau nortna yang
telah diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara
keseluruhan yang tidak boleh dilanggar dan hanya dapat diubah oleh
suatu norma dasar hukum internasional umum yang baru dan
mempunyai sifat sama.

Adapun mengenai berakhir atau hapusnya suatu perjanjian internasional


secara umum dapat disebabkan oleh hal-hal berikut ini,

a. Telah tercapai tujuan perjanjian.


b. Habis masa berlakunya.
c. Salah satu pihak peserta perjanjian punah (misalnya, Negara tersebut
hancur akibat peperangan atau bencana alam).
d. Persetujuan dari para peserta untuk mengakhiri perjanjian.
e. Diadakannya perjanjian baru antarpeserta yang isinya meniadakan
perjanjian terdahulu.
f. Telah dipenuhinya tentang berakhirnya perjanjian sesuai dengan
ketentuan-ketentuan sendiri.
Suatu hal yang tidak dapat di pungkiri ialah saling membutuhkannya
antara negara yang satu dengan negara lainnya yang di berbagai lapangan
kehidupan, tentunya hal tersebut mengakibatkan hubungan yang terus – menerus
bahkan tetap antar bangsa – bangsa. Sehingga tentunya diperlukan suatu aturan
untuk memelihara dan mengatur hubungan yang demikian tersebut.

Seiring dengan pesatnya era globalisasi, perkembangan hukum


internasional pun telah mengalami perubahan-perubahan mendasar, antara lain
munculnya subjek-subjek baru non-negara yang pada awalnya negara adalah
satu – satunya subjek yang diakui dan kedudukannya tertinggi dalam dunia
internasional. Namun, globalisasi membawa perubahan hal tersebut dalam studi
hubungan internasional dan mengalami perubahan yang signifikan karenanya.
Perubahan akibat terglobalisasinya studi hubungan internasional, maka lahirlah
berbagai aktor – aktor baru selain negara seperti organisasi antarpemerintah
(IGO), organisasi nonpemerintah (NGO), serta korporasi multinasional (MNC).
Subjek – subjek baru ini kemudian diakui eksistensinya dalam kancah
internasional dan memiliki peranannya masing – masing dalam hubungan
internasional. Selain itu dengan meningkatnya interaksi yang intensif antar
subjek-subjek baru tersebut. Disebabkan oleh perubahan mendasar tersebut,
semakin berpeluang lahirnya perkara-perkara hukum yang bersifat lintas negara.
Sehingga hukum perjanjian internasional telah mengikat di semua sektor
kehidupan manusia.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Eksistensi perjanjian internasional semakin meningkat dalam era
globalisasi dikarenakan perkembangan kehidupan masyarakat global
yang semakin tidak mengenal batas – batas negara, maka kesepakatan –
kesepakatan antar negara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang
dituangkan dalam bentuk perjanjian – perjanjian internasional menjadi
salah satu sumber hukum yang penting. Dikarenakan pula, semakin
banyak masalah – masalah transnasional yang penyelesaiannya hanya
dapat dijangkau dengan instrumen perjanjian internasional. Indonesia
pun tidak bisa menghindar dari arus globalisasi tersebut, apalagi jika
meninjau semakin banyaknya perjanjian – perjanjian internasional yang
diikuti oleh Indonesia, baik perjanjian bilateral maupun multilateral.
2. Aktivitas internasional telah mempengaruhi arah dan perkembangan
hukum nasional bangsa-bangsa, termasuk Indonesia. Pengaruh itu
antara lain muncul dalam wujudnya kenyataan bahwa bidang hukum
internasional semakin mengalami proses nasionalisasi, sebaliknya arena
internasional bagi praktik-praktik hukum semakin terbuka luas, dan
semakin terasa betapa kekuatan-kekuatan dan logika-logika yang
bekerja dalam bidang ekonomi, negara, dan tatanan internasional, telah
berdampak pada bidang hukum. Oleh karena itu, interaksi antara hukum
internasional, dalam hal ini perjanjian internasional semakin kuat
eksistensinya terhadap hukum nasional Indonesia. Dibuktikan dengan
banyaknya konvensi – konvensi yang telah diratifikasi oleh instrumen
hukum nasional Indonesia.

B. Saran

Perkembangan hukum perjanjian internasional dalam era globalisasi


tentu banyak mempengaruhi pembentukan – pembentukan hukum nasional
negara – negara di dunia, tak terkecuali Indonesia. Hal ini pun akan
menyebabkan tumpang tindih antara hukum internasional dengan hukum
nasional sendiri. Indonesia harus tetap menyaring norma – norma internasional
yang sesuai dengan dasaar dari semua dasar hukum di Indonesia yaitu
Pancasila. Walaupun globalisasi sangat membawa dampak bagi kehidupan
internasional, baik itu antar negara maupun individu, sebaiknya norma – norma
internasional itu tidak melunturkan identitas bangsa Indonesia. Keselarasan
antara norma – norma internasional dengan norma – norma yang telah hidup
dalam bangsa Indonesia sejak lama itu harus dikondisikan dengan baik. Karena
identitas suatu bangsa adalah salah satu hal penting yang mendukung negara
tersebut tetap eksis dalam belantika kehidupan yang sudah hampir tidak
mengenal batas – batas teritorial negara ini.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, “Politik Hukum Perjanjian Internasional Indonesia : Suatu Usulan”


(http://www.slideshare.net/atsturdy/politik-hukum-perjanjian-internasional
indonesia, diakses pada 24 Maret 2018)

Devi Anggraini, “Globalisasi dalam Ruang Lingkup Hubungan Internasional”,


(http://devi anggraini-fisip12.web.unair.ac.id/, diakses pada 24 Maret 2018)

Dumoli Agusman, Damos. 2010. Hukum Perjanjian Internasional (Kajian Teori


dan Praktik Indonesia). PT Refika Aditama : Bandung

Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes. 2003 Pengantar Hukum


Internasional. PT Alumni : Bandung

Sefriani.. 2017. Hukum Internasional Suatu Pengantar. PT. RajaGrafindo Persada


: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai