Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perawat adalah salah satu profesi yang menyediakan pelayanan jasa
keperawatan dan langsung berinteraksi dengan banyak orang dalam hal ini adalah
klien.
Profesi perawat juga menjalin hubungan kolaboratif antar tim kesehatan, baik itu
dengan dokter, laboran, ahli gizi, apoteker, dan semua yang terlibat dalam pelayanan
kesehatan. Dalam menjalankan pekerjaannya, perawat akan saling berinteraksi
dengan tim kesehatan tersebut dan ketika tim ini memandang suatu masalah atau
situasi dari sudut pandang yang berbeda maka dapat terjadi sebuah konflik (CNO,
2009). Perawat seringkali mengambil tindakan menghindar dalam menyelesaikan
permasalahan atau konflik yang terjadi dengan tujuan mempertahankan status
nyaman dan mencegah perpecahan dalam kelompok (Hudson, 2005).

Ironisnya, strategi tersebut memberikan dampak destruktif terhadap


perkembangan individu dan organisasi.Perawat sebagai pengelola, dalam hal ini sebagai
manajer, memegang peranan penting dalam menentukan strategi penyelesaian konflik antar
anggotanya. Seorang pemimpin yang dianggap berkompeten dalam menyelesaikan konflik
(a conflict-competent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami dinamika
terjadinya suatu konflik, memahami reaksi yang ditimbulkan dari suatu konflik,
mendorong respon konstruktif, dan membangun suatu organisasi yang mampu
menangani konflik secara efektif (a conflict-competent organization) (Runde and
Flanagan,2007).

Penyelesaian konflik diharapkan bersifat sealami mungkin dengan tujuan


meningkatkan proses belajar dan pemahaman individu atau organisasi dalam
menyelesaikan konflik saat ini ataupun yang akan datang (Shetach, 2012).Menurut
Rahim (2002), gaya kepemimpinan (demokratis, autokratis, dan Laissez 5 faire)
sangat mempengaruhi pemilihan strategi penyelesaian konflik (integrating (problem
solving), obliging, compromising, dominating (forcing) avoiding), dimana setiap
strategi tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing tergantung pada
batasan dan sumber konflik, serta tujuan yang ingin dicapai apakah berorientasi pada
hubungan antar anggota (concern for others) atau berorientasi pada diri sendiri
(concern for self). Oleh karena itu
seorang pemimpin perlu memiliki pemahaman yang cukup tentang pengaruh gaya
kepemimpinan terhadap penyelesaian konflik individu ataupun organisasi.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah terjadinya managemen konflik?
2. Apa definisi dari managemen konflik?
3. Apa saja unsur-unsur dalam konflik?
4. Apa saja kategori konflik?
5. Bagaimana siklus konflik?
6. Apa fungsi dan disfungsi konflik?
7. Bagaimana proses konflik?
8. Bagaimana langkah-langkah penyelesaian konflik?
9. Bagaimana strategi penyelesaian konflik?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk menghasilkan dekripsi tentang sejarah terjadinya managemen konflik.
2. Untuk menghasilkan deskripsi tentang definisi managemen konflik
3. Untuk menghasilkan deskripsi tentang unsur-unsur dalam konflik.
4. Untuk menghasilkan deskripsi tentang kategori konflik.
5. Untuk menghasilkan deskripsi tentang siklus konflik.
6. Untuk menghasilkan deskripsi tentang fungsi dan disfungsi konflik.
7. Untuk menghasilkan deskripsi tentang proses konflik.
8. Untuk menghasilkan deskripsi tentang langkah-langkah penyelesaian konflik.
9. Untuk menghasilkan deskripsi tentang strategi penyelesaian konflik.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KEPEMIMPINAN
1. Definisi
Kepemimpinan adalah suatu seni untuk memotivasi sekelompok orang untuk
bertindak dalam mencapai tujuan bersama (Marquis & Huston,2012).

2. Teori Kepemimpinan
Ada beberapa macam teori kepemimpinan yaitu:
a. The Great Man Theory
The Great Man Theory menyimpulkan bahwa pemimpin sejati sudah
mempunyai bakat sejak lahir. Menurut teori ini, seorang pemimpin harus
memiliki karisma, kecerdasan, dan kebijaksanaan (Russel,2011).
b. Trait Theories
Trait Theories merupakan cabang dari Great Man Theory. Teori ini
menyimpulkan bahwa sifat-sifat tertentu dari seorang individu memberikan
kecenderungan yang lebih baik untuk menjadi pemimpin.Teori ini
menekankan bahwa para pemimpin mempunyai ciri-ciri umum dan
karakteristik yang membuat mereka sukses (Russel, 2011).
c. Contingency Theories
Contingency Theories menyimpulkan bahwa seorang pemimpin menjadi
besar karena dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain seperti situasi, kualitas
para pengikut atau sejumlah variabel lainnya. Dalam teori ini tidak ada satu
cara yang tepat untuk memimpin karena factor internal dan eksternal dari
lingkungan memerlukan pemimpin untuk beradaptasi dengan situasi tertentu
(Fiedler, 1967 cit Waworuntu,2003).
d. Situasional Theories
Teori Situasional sangat mirip dengan teori contingency. Teori ini
menyimpulkan bahwa kinerja yang baik ditentukan oleh gaya kepemimpinan
yang baik. Kepemimpinan yang efektif ditentukan oleh pemimpin, kelompok
yang dipimpin dan kinerja yang baik (Russel,2011) .
e. Behavioral Theories
Teori ini bertolak belakang dengan Great Man Theory, Behavioral
Theories menyimpulkan bahwa seorang pemimpin menjadi besar karena
dibuat, tidak dilahirkan. Teori ini berfokus pada tindakan atau ciri-ciri prilaku
para pemimpin. Pemimpin dapat menjadi seorang pemimpin yang efektif
melalui pengamatan, pengalaman dan pembelajaran (Waworuntu, 2003).
f. Participative Theories
Teori Partisipatif menyimpulkan bahwa pemimpin yang baik
mempertimbangkan apa yang orang lain miliki sebagai masukan. Jenis
kepemimpinan pada teori ini memberikan kepercayaan terhadap bawahan
dengan maksud untuk mengumpulkan partisipasi kolaboratif aktif dalam

3
organisasi. Dengan membiarkan bawahan untuk terlibat dalam suatu
pekerjaan, maka akan meningkatkan pengetahuan mereka tentang cara kerja
dalam organisasi dan membantu mereka untuk memahami bagaimana proses
pengambilan keputusan oleh pemimpin.
Jenis kepemimpinan ini dapat mengakibatkan konsekuensi negatif jika
pemimpin sering meminta pendapat kepada bawahan kemudian mengabaikan
masukan dari bawahan (Russel, 2011) .
g. Management Theories
Teori Manajemen (sering disebut Teori Transaksional) menyimpulkan
bahwa kinerja yang optimal dapat dicapai melalui pemberian reward and
punisment. Teori-teori ini sering digunakan dalam manajemen perusahaan
atau institusi di mana karyawan diberikan reward berupa bonus/insentif dan
cuti ketika kinerja mereka dianggap baik oleh atasan dan diberi punishment
berupa teguran, penggantian jam kerja/lembur ketika kinerja mereka sangat di
bawah ekspektasi
(Zagorsek at all, 2009).
h. Relationship theories
Teori Hubungan (Teori Transformasional) menyimpulkan bahwa
pemimpin harus membuat perubahan positif kepada bawahan sehingga dapat
meningkatkan motivasi dan kinerja bawahan (Konorti, 2008).
Pemimpin harus memotivasi dan menginspirasi bawahan dengan membantu
mereka untuk memahami pentingnya tugas atau tujuan yang akan dicapai.
Pemimpin dalam model teoritis ini biasanya memiliki standar etika dan moral
yang tinggi dan berusaha untuk memastikan organisasi, kelompok dan
keberhasilan individu (Buckley & Brown, 2005)

3. Gaya Kepemimpinan
Beberapa gaya kepemimpinan menurut beberapa para ahli adalah:
a. Autocratic leadership
Kepemimpinan otokratis adalah bentuk paling ekstrim dari
kepemimpinan transaksional. Pemimpin memiliki kontrol mutlak dan
tidak membiarkan bawahan untuk memberikan masukan. Namun, jenis
kepemimpinan ini dapat menjadi efektif bila tenaga kerja tidak terampil
atau dalam situasi stres yang tinggi dan perlu dilakukan tindakan cepat.
Beberapa karakteristik autocratic leadership, yaitu:
1) Atasan memiliki kontrol mutlak
2) Bawahan bekerja karena adanya paksaan
3) Bawahan bekerja harus sesuai perintah atasan
4) Komunikasi dari atas ke bawah
5) Pengambilan keputusan tidak melibatkan bawahan
6) Penekanan pada perbedaan status “saya” dan “kamu”
7) Kritik bersifat destruktif

4
b. Democratic/participative leadership
Kepemimpinan demokratis atau partisipatif adalah pemimpin
mendorong partisipasi bawahan untuk berkontribusi pada proses pengambilan
keputusan. Kepemimpinan jenis ini memotivasi bawahan untuk bekerja lebih
keras agar mereka benar-benar merasa memiliki.Pemimpin masih membuat
keputusan akhir tapi semua orang terlibat dalam brainstorming dan diskusi.
Jenis kepemimpinan bekerja sangat baik ketika fokusnya adalah kualitas,
bukan kuantitas atau kecepatan.Bawahan harus mampu mengkomunikasikan
ide-ide atau pendapat mereka secara efektif sehingga pemimpin memahami
dan dapat menggunakan input bawahan untuk membantu menyelesaikan
tugas.
Beberapa karakteristik democratic leadership, yaitu:
1) Kontrol kurang dipertahankan
2) Reward diberikan untuk memotivasi bawahan
3) Atasan hanya memberikan arahan dan petunjuk
4) Komunikasi ke atas dan ke bawah
5) Pengambilan keputusan merupakan kesepakatan bersama
6) Penekanan pada “kami” bukan “saya” dan “kamu”
7) Kritik bersifat konstruktif
c. Laissez faire leadership
Kepemimpinan Laissez-faire menjelaskan bahwa semua tanggung
jawab untuk pengambilan keputusan diserahkan kepada bawahan. Atasan
memberikan bimbingan, melakukan monitoring dan memberikan bahan
kepada bawahan untuk dapat mengembangkan 10 program dan akhirnya
membuat keputusan. Jenis kepemimpinan ini
dapat diterapkan dengan efektif jika bawahan mempunyai pengetahuan dan
pengalaman.
Beberapa karakteristik laissez-faire leadership:
1) Permisif, dengan sedikit atau tanpa ada kontrol
2) Motivasi yang diberikan hanya ketika ada permintaan dari kelompok
atau individu
3) Memberikan sedikit atau tanpa arahan
4) Menggunakan komunikasi dari atas ke bawah antar anggota kelompok
5) Pengambilan keputusan diserahkan kepada kelompok
6) Penekanan pada kelompok
7) Tidak ada kritik

5
4. Peran Kepemimpinan
Menurut Mulyadi, dkk (2013) ada beberapa peran dari kepemimpinan yaitu:
a. Peran Interpersonal (The Interpersonal Roles)
Peran interpersonal terbagi menjadi 3, yaitu :
1) Simbol Organisasi (Figurehead).
Kegiatan yang dilakukan biasanya bersifat resmi, seperti menjamu
makan siang pelanggan.
2) Pemimpin (Leader).
Seorang pemimpin menggunakan pengaruhnya untuk memotivasi
dan mendorong karyawannya untuk mencapai tujuan organisasi.
3) Penghubung (Liaison).
Seorang pemimpin berperan sebagai penghubung dengan orang
diluar organisasinya dan penghubung antara manajer dalam
berbagai level dengan bawahannya.
b. Peran Informasional (The Informational Roles)
Peran informasional terbagi menjadi 3, yaitu:
1) Pengawas (Monitor)
Pemimpin harus melakukan pengamatan dan pemeriksaan secara
kontinyu terhadap lingkungannya untuk mendapatkan informasi
yang valid, yakni terhadap bawahan, atasan, dan selalu menjalin
hubungan dengan pihak luar.
2) Penyebar (Disseminator)
Pemimpin juga harus mampu menyebarkan informasi kepada
pihak-pihak yang memerlukannya.
3) Juru Bicara (Spokesperson)
Pemimpin berperan untuk menyediakan informasi bagi pihak luar.
c. Peran Pembuat Keputusan (The Decisional Roles)
1) Pengusaha (Entrepreneurial)
Pemimpin harus memiliki sikap pro aktif dalam mengembangkan
suatu proyek dan menyusun sumberdaya yang dibutuhkan.
2) Penghalau Gangguan (Disturbance Handler)
Pemimpin harus bersikap reaktif terhadap masalah dan tekanan
situasi.
3) Pembagi Sumber Dana (Resource Allocator)
Pemimpin harus dapat mendistribusikan sumber dana ke bagianbagian
dari organisasinya yang aling membutuhkan baik berupa
uang, waktu, perbekalan, tenaga kerja dan reputasi.
4) Pelaku Negosiasi (Negotiator)
Pemimpin harus mampu melakukan negosiasi pada setiap
tingkatan, baik dengan bawahan, atasan maupun pihak luar.

6
B. KONFLIK
1. Definisi Konflik
Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide, nilai-
nilai, dan perasaan antara dua orang atau lebih (Marquis & Huston,1996 dalam
Hendel dkk,2005).
Menurut Kazimoto (2013), konflik adalah adanya perselisihan yang terjadi ketika
tujuan, keinginan, dan nilai bertentangan terhadap individu atau kelompok.

2. Sumber Konflik
Shetach (2012) menyatakan bahwa konflik terjadi disebabkan karena:
a. Perbedaan interpersonal pada setiap dimensi-umur, jenis kelamin, ras,
pandangan, perasaan, pendidikan, pengalaman, tingkah laku,
pendapat,budaya, kebangsaan, keyakinan, dll,
b. Perbedaan kepentingan dalam hubungan antar manusia karena
perbedaan budaya, posisi, peran, status, dan tingkat hirarki.
Menurut Robbins (2008), konflik muncul karena ada kondisi yang
melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang
disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga
ketegori, yaitu :
 Komunikasi
Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang
menimbulkan kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat,
dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian
menunjukkan bahwa kesulitan semantik,pertukaran informasi
yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi
merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi
kondisi anteseden untuk terciptanya konflik
 Struktur
Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam artian yang
mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang
diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi
(wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan
kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat
ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan
bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan
variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar
kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin
besar pula kemungkinan terjadinya konflik.
 Variable Pribadi
Sumber konflik lainnya yang potensial adalah faktor pribadi,
yang
meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-tiap individu,
karakteristik

7
kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan
(idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain.
Kenyataan
menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya,
individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah
orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial.

3. Jenis-jenis konflik
Menurut Rigio (2003) jenis-jenis konflik yang ada antara lain konflik
intrapersonal, konflik interpersonal, konflik intra kelompok dan konflik antar
kelompok.
a. Konflik Intrapersonal
Konflik intrapersonal adalah konflik yang terjadi pada individu sendiri.
Keadaan ini merupakan masalah internal untuk mengklasifikasinilai dan
keinginan dari konflik yang terjadi. Hal ini sering dimanifestasikan sebagai
akibat dari kompetisi peran. Misalnya seorang manajer mungkin merasa
konflik intrapersonal dengan loyalitas terhadap profesi keperawatan, loyalitas
terhadap pekerjaan, dan loyalitas kepada pasien.
b. Konflik Interpersonal
Konflik interpersonal terjadi antara dua orang atau lebih, dimana nilai, tujuan,
dan keyakinan berbeda. Konflik ini sering terjadi karena seseorang secara
konstan berinteraksi dengan orang lain sehingga ditemukan perbedaan-
perbedaan. Sebagai contoh seorang manajer sering mengalami konflik
dengan teman sesame manajer, atasan, dan bawahannya.
c. Konflik Antar Kelompok
Konflik ini dapat timbul ketika masing-masing kelompok bekerja untuk
mencapai tujuan kelompoknya. Sumber konflik jenis ini adalah hambatan
dalam mencapai kekuasaan dan otoritas (kualitas jasa layanan), keterbatasan
prasarana.

4. Manajemen Konflik

a. Definisi Manajemen Konflik


Manajeman konflik merupakan langkah-langkah yang diambil para pelaku
atau pihak ketiga dalam rangka mengarahkan perselisihan kearah
penyelesaian yang konstruktif atau destruktif (Ross, 1993).
b. Gaya Penyelesaian Konflik
Terdapat 2 hal yang memegang peranan penting dalam keberhasilan
penyelesaian konflik, yaitu menentukan besarnya konflik dan gaya
penanganan konflik (Rahim, 2002). Yang dimaksud dengan besarnya konflik
terkait dengan jumlah individu yang terlibat, apakah konflik mengarah pada
intrapersonal, interpersonal, intra kelompok, atau antar kelompok. Kreitner
dan Kinicki (2005) mengungkapkan lima gaya penanganan konflik (Five
Conflict Handling Styles). Model ini
ditujukan untuk menangani konflik disfungsional dalam organisasi.
Menggambarkan sisi pemecahan masalah yang berorientasi pada orang lain
(concern for others) dan pemecahan masalah yang berorientasi pada diri

8
sendiri (concern for self). Kombinasi dari kedua variabel inimenghasilkan
lima gaya penanganan masalah yang berbeda, yaitu: integrating, obliging,
dominating, avoiding, dan compromising.
1) Integrating (Problem Solving)
Proses integrasi berkaitan dengan mekanisme pemecahan masalah (problem
solving), seperti dalam menentukan diagnosis dan intervensi yang tepat dalam
suatu masalah. Dalam gaya ini pihak-pihak yang berkepentingan secara
bersama-sama mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, bertukar
informasi,
kemudian mencari, mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif
pemecahan masalah. Gaya ini cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks
yang disebabkan oleh salah paham (misunderstanding), tetapi tidak sesuai
untuk memecahkan
masalah yang terjadi karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan utamanya
adalah memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian masalah (Rahim,
2002). Langkah-langkah untuk mencapai solusi ini antara lain adalah mulai
dengan berdiskusi,dengan waktu dan tempat yang kondusif, menghargai
perbedaan
individu, bersikap empati dengan semua pihak, menggunakan komunikasi
asertif dengan mamaparkan isu dan fakta dengan jelas, membedakan sudut
pandang, meyakinkan bahwa tiap individu dapat menyampaikan idenya
masing-masing, membuat kerangka isu utama berdasarkan prinsip yang
umum, menjadi pendengar yang baik. Setuju terhadap solusi yang
menyeimbangkan kekuatan dan memuaskan semua pihak sehingga dicapai
“win-win solution”.
2) Obliging (Smoothing)
Seseorang yang bergaya obliging lebih memusatkan perhatian pada upaya
untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Gaya ini sering pula
disebut smothing (melicinkan), karena berupaya mengurangi perbedaan-
perbedaan dan menekankan pada persamaan atau kebersamaan di antara
pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan strategi ini terletak pada upaya untuk
mendorong
terjadinya kerjasama. Kelemahannya, penyelesaian bersifat sementara dan
tidak menyentuh masalah pokok yang ingin dipecahkan.
3) Dominating (Forcing)
Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian terhadap
kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk menggunakan taktik
“saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut memaksa (forcing)
karena menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya
ini cocok digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan
dalam
penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan
harus mengambil keputusan dalam waktu yang cepat.
Namun, teknik ini tidak tepat untuk menangani masalah yang menghendaki
adanya partisipasi dari mereka yang terlibat dan juga tidak tepat untuk
konflik yang bersifat kompleks . Kekuatan utama gaya ini terletak pada
minimalnya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik.
Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk
menerima keputusan oleh
mereka yang terlibat.

9
4) Avoiding
Teknik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan
masalah yang sederhana, atau jika biaya yang harus dikeluarkan untuk
konfrontasi jauh lebih besar daripada keuntungan yang akan diperoleh. Gaya
ini tidak cocok untuk
menyelesaikan masalah-malasah yang sulit atau “buruk”. Teknik ini kurang
tepat pada konflik yang menyangkut isu-isu penting, dan adanya tuntutan
tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah secara tuntas (Rahim, 2002).
Kekuatan dari strategi penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang
membingungkan atau mendua (ambiguous situations). Sedangkan
kelemahannya, penyelesaian masalah hanya bersifat sementara dan tidak
menyelesaikan pokok masalah.
5) Compromising
Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang
memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini
merupakan pendekatan saling member dan menerima (give and take
approach) dari pihak-pihak yang terlibat. Kompromi cocok digunakan untuk
menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan
berbeda tetapi
memiliki kekuatan yang sama. Kekuatan utama dari kompromi adalah pada
prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan.
Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat sementara dan mencegah
munculnya kreativitas dalam penyelesaian masalah. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Hendel (2005), gaya ini merupakan gaya yang paling
banyak dipilih oleh perawat dalam menyelesaikan konflik yang terjadi.

10
c. Proses Manajemen Konflik
Proses manajemen konflik meliputi proses dari diagnosis, intervensi, dan
evaluasi (feedback). Penentuan diagnosis merupakan dasar dari keberhasilan
suatu intervensi. Berikut adalah skema proses manajemen konflik menurut
Rahim (2002):

Dagnosis Intervention Conflict Learning &


Efectiveness -Amount of
Measurement
- Analysis conflict
- Leadership - Conflict Individual
- Culture styles - Group
- Design - Organization

FEEDBACK

Gambar 2. Proses Manajemen Konflik (Rahim, 2002)

Dalam proses diagnosis yang perlu dilakukan adalah pengumpulan data-


data antara lain identifikasi batasan konflik, besarnya konflik, sumber konflik,
kemudian mengkaji sumber daya yang ada apakah menjadi penghalang atau dapat
dioptimalkan untuk membantu penyelesaian konflik (Huber, 2010). Setelah proses
identifika si (measurement), selanjutnya dilakukan proses analisis terhadap data data
yang telah dikumpulkan, hal ini bertujuan untuk menentukan strategi resolusi konflik
yang akan diambil disesuaikan berdasarkan besarnya konflik dan gaya manajemen
konflik yang akan dipakai (integrating, obliging, dominating, avoiding, dan
compromising).
Proses selanjutnya adalah intervensi. Terdapat bermacam-macam strategi intervensi
konflik, antara lain negosiasi, fasilitasi, konsiliasi,mediasi, arbitrasi, litigasi, dan
force. Intervensi ditentukan berdasarkan dua hal, yaitu proses dan struktural. Proses
yang dimaksud adalah intervensi yang dilaksanakan harus mampu memperbaiki
keadaan
dalam suatu organisasi, seperti misalnya intervensi mampu memfasilitasi keterlibatan
aktif dari individu yang berkonflik, dan juga penggunaan gaya penyelesaian konflik
diharapkan bersifat sealami mungkin dengan tujuan meningkatkan proses belajar dan
pemahaman individu atau organisasi dalam menyelesaikan konflik saat ini ataupun
yang akan datang (Shetach, 2012). Proses ini juga diharapkan dapat merubah pola
kepemimpinan seseorang dan budaya dalam menyelesaikan konflik. Dengan
demikian organisasi atau individu akan memperoleh keterampilan baru dalam
penanganan konflik.
Selain itu, intervensi juga diharapkan dapat memperbaiki struktur organisasi, seperti
dalam hal mekanisme integrasi dan diferensiasi,hirarki, prosedur, reward system, dan
lain sebagainya. Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan suatu

11
organisasi untuk menyelesaikan konflik berdasarkan berbagai sudut pandang
individu
yang terlibat di dalamnya menuju ke arah konstruktif (Rahim, 2002).
Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya proses
kreativitas di dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara bersama-sama,
dimana konflik dianggap sebagai suatu masalah yang berkualitas terhadap
perkembangan individu atau suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan
masalahnya (Hendel, 2005). Setelah intervensi, dilaksanakan suatu evaluasi terhadap
setiap tindakan yang
dilakukan, sekaligus hal ini sebagai feedback proses diagnosing pada konflik yang
sudah ada ataupun konflik yang baru.

d. Outcome Resolusi Konflik


Menurut Huber (2010) outcome conflict adalah hasil dari proses manajemen
konflik antara lain:
1) Win-lose
Salah satu pihak mendominasi dan pihak yang lain terabaikan.Yang
menduduki porsi lebih besar mendapatkan kemenangan dan sebaliknya yang
lebih sedikit mengalami kekalahan.

2) Lose-lose
Semua pihak yang bertentangan mengalami kerugian. Teknik penyuapan,
memperjualbelikan, menggunakan pihak ketiga untuk mengancam dapat
memuncullkan hasil resolusi ini.

3) Win-win
Resolusi ini dicapai saat semua pihak menyetujui dan mendapatkan manfaat
dari penyelesaian konflik

C. PENGARUH KEPEMIMPINAN DALAM MANAJEMEN KONFLIK


Pemimpin yang dikatakan mampu menerapkan manejemen konflik (a
conflictcompetent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami dinamika
terjadinya suatu konflik. Diversitas atau keragaman pihak yang terlibat dalam suatu
konflik juga perlu diidentifikasi karena merupakan sumber potensial terjadinya
konflik, antara lain budaya, gender, posisi (jabatan), dan umur (Ayoko and Hartel,
2006). Menurut Ayoko (2007) keragaman budaya yang tidak mendapatkan perhatian
dari pemimpin akan menimbulkan dampak destruktif pada suatu organisasi, seperti
terhambatnya komunikasi dan koordinasi.
Pemimpin juga harus mampu memahami reaksi yang ditimbulkan dari suatu konflik,
mendorong respon konstruktif, dan membangun suatu organisasi yang mampu
menangani konflik secara efektif (a conflict-competent organization) (Runde and
Flanagan, 2007).
Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya proses kreativitas
di dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara bersama-sama,dimana konflik

12
dianggap sebagai suatu masalah yang berkualitas terhadap perkembangan individu
atau suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan masalahnya (Hendel, 2005).
Menurut Ayoko dan Hartel (2006) untuk meningkatkan respon konstruktif, seorang
pemimpin juga harus mampu memanajemen timbulnya konflik emosional karena
akan menghambat terbentuknya persatuan dan perkembangan organisasi.
Gaya kepemimpinan sangat mempengaruhi pengambilan strategi penyelesaian
masalah atau konflik, seperti misalnya gaya kepemimpinan demokratis cenderung
memilih strategi integrating (problem solving), obliging, dan compromising yang
lebih menekankan pada kepentingan bersama, gaya kepemimpinan autokratis
cenderung memilih dominating (forcing), sedangkan gaya kepemimpinan Laissez
faire cenderung memilih strategi avoiding (Rahim,2002). Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Brewer (2002) dalam jurnal The International Journal of
Conflict Management, gender juga memegang peranan penting dalam pemilihan
strategi penyelesaian konflik, dimana
berdasarkan kuisioner yang dibagikan, feminine group cenderung memilih strategi
avoiding, masculine group memilih dominating, dan androgynous group
(transgender) cenderung memilih strategi integrating. Dalam penelitian tersebut
tidak ditemukan kelompok gender tertentu yang khusus memilih strategi
compromising dan obliging. Selain itu pemilihan strategi penyelesaian konflik juga
dipengaruhi oleh suasana saat berkomunikasi. Bila suasana komunikasi terjalin baik,
strategi yang bisa digunakan adalah obliging, integrating, dan compromising.
Sebaliknya, bila suasana komunikasi bersifat defensive, dominating dan avoiding
menjadi pilihan (Hassan, B. et al, 2011).
Pengaruh kepemimpinan dalam pemecahan masalah konflik juga bisa dilihat dalam
model “CAPI” yang dirumuskan oleh Shetach (2012). Dengan menerapkan CAPI
(Coaleshing Authority, Power, and Influence) model’s dalam manajemen
kelompok, diharapkan pemimpin mampu menggunakan kekuatan, otoritas, dan
pengaruhnya dalam memutuskan strategi penyelesaian konflik yang tepat.

13
BAB III
PEMBAHASAN

A. CONTOH KASUS
Perawat R (wanita) 32 tahun (S1 Keperawatan, pengalaman bekerja 10 tahun)
adalah Koordinator keperawatan di unit perawatan Instalasi Gawat Darurat (IGD) di
sebuah rumah sakit di Pekanbaru. Beliau memiliki keinginan untuk melakukan renovasi
pada unit perawatan yang dipimpinnya dan perawat R pun menemui Manager
keperawatan
di RS tersebut. Ketika bertemu dan menyampaikan keinginannya, ternyata menurut
Manager keperawatan, RS hanya memiliki biaya untuk merenovasi 1 unit
saja untuk tahun ini, dan Manager mengatakan sudah ada Perawat J (laki-laki) 40 tahun
(S1 Keperawatan, pengalaman bekerja 15 tahun) yang merupakan kodinator
keperawatan Kamar Operasi (OK) yang juga mengajukan proposal untuk renovasi.
Manager Keperawatan menyarankan mereka untuk bertemu satu sama lain untuk
membahas masalah yang terjadi agar mendapatkan keputusan yang tepat.
Perawat R dan Perawat J sebelumnya juga pernah berkonflik tentang penyusunan
standar tindakan keperawatan sehingga mereka jarang menjalin komunikasi secara
langsung. Perawat R pun merasa terpaksa harus menemui Perawat J, dan dalam
pertemuan tersebut terjadi perbedaan pendapat antara keduanya, dimana kedua belah
pihak beranggapan bahwa renovasi di unit perawatan mereka lebih penting dari
renovasi di unit perawatan lainnya. Perawat J juga menganggap perawat R tidak
berkewenangan untuk melakukan negosiasi dengannya, yang memiliki kewenangan
tersebut adalah Manager Keperawatan. Konflik ini
berdampak pula pada kinerja staf perawat yang bekerja di unit masing-masing terutama
dalam hal kolaborasi. Manager keperawatan merasa bertanggung jawab terhadap
kondisi ini, dan ingin segera menyelesaikannya.

B. ANALISA KASUS
1. Analisa Gaya Kepemimpinan
Konflik terjadi dari suatu ketidaksetujuan antara dua orang atau lebih dalam suatu
organisasi dimana seseorang tersebut merasa ada yang akan mengancam
kepentingannya. Sumber-sumber konflik di organisasi dapat ditemukan pada
kekuasaan, komunikasi, tujuan seseorang dan organisasi, ketersediaan sarana,
perilaku kompetisi dan personaliti serta peran yang membingungkan.

Seorang pemimpin harus bisa mempengaruhi orang lain sebagai modal utama
pemimpin dalam menyelesaikan konflik, untuk memperoleh kesan,rasa hormat,
kepatuhan, loyalitas, dan kerjasama serta menimbulkan harapan. Dengan
kemampuan ini pula seorang pemimpin dapat mengubah kepercayaan, nilai-nilai,
pendapat, sikap, dan prilaku orang lain. Tanpa kemampuan ini seorang pemimpin
tidak dapat menyelesaikan konflik dengan efektif (Harsono, 2010). Pemimpin juga
harus mampu menggunakan kekuatan, otoritas, dan pengaruhnya dalam memutuskan

14
strategi penyelesaian konflik yang tepat. Hal ini sesuai dengan model “CAPI”
(Coaleshing Authority, Power, and Influence) yang dicetuskan oleh Shetach (2012).
Menurut Hudson, dkk (2005), pemimpin, dalam kasus ini adalah direktur
keperawatan, harus memiliki kemampuan untuk memahami sumber- sumber konflik
dan mengelola konflik tersebut agar konflik bisa dijadikan sebagai ekplorasi ide-ide
yang kreatif, sehingga bisa meningkatkan kualitas dalam pemberian asuhan
keperawatan kepada klien.
Dalam kasus diatas teori keperawatan yang dapat diterapkan adalah
participative theories dimana pemimpin yang baik mempertimbangkan apa yang
orang lain miliki sebagai masukan. Jenis kepemimpinan pada teori ini memberikan
kepercayaan terhadap bawahan untuk bersama-sama menyelesaikan konflik.
Sedangkan gaya kepemimpinan yang sesuai dipakai oleh direktur keperawatan untuk
menyelesaikan kasus di atas adalah democratic style dimana pemimpin mendorong
partisipasi bawahan untuk berkontribusi pada proses pengambilan keputusan.
Manager keperawatan tetap membuat keputusan akhir tetapi kedua manajer
keperawatan terlibat dalam brainstorming dan diskusi.
Manager keperawatan juga harus menjalankan perannya sebagai seorang
pemimpin dalam menyelesaikan konflik pada kasus di atas, yaitu:

a. Peran interpersonal
Untuk menyelesaikan konflik pada kasus diatas, seorang direktur keperawatan
harus bisa menjalankan fungsinya sebagai seorang leader,dimana direktur
keperawatan harus bisa mengajak perawat R sebagai manajer keperawatan ruangan
neuroscience dan perawat J sebagai manajer ruangan orthopedic untuk duduk
bersama dalam menyelesaikan konflik. Selain itu direktur keperawatan harus
menjadi fasilitator antara kedua manager keperawatan dalam menyelesaikan konflik
tersebut.
b. Peran informasional
Direktur keperawatan harus melakukan pengamatan dan pemeriksaan langsung
ke ruangan neuroscience dan ruangan orthopedic untuk mendapatkan informasi yang
valid, yakni melihat ruangan mana yang lebih prioritas untuk dilakukan renovasi.
c. Peran pembuat keputusan
Direktur keperawatan harus menjalankan fungsinya sebagai pembuat keputusan,
dimana direktur keperawatan harus memilih ruangan mana yang akan di renovasi
terlebih dahulu agar tidak salah dalam mendistribusikan sumber dana yang ada.
Direktur keperawatan harus mampu melakukan negosiasi kepada perawat R dan
perawat J selaku
manager keperawatan terkait sumber dana yang ada, sehingga dihasilkan keputusan
yang win-win solution antara kedua belah pihak.
2. Analisa Strategi Penyelesaian Konflik
Pemimpin yang dikatakan mampu menerapkan manejemen konflik (aconflict-
competent leader) adalah pemimpin yang mampu memahami dinamika terjadinya
suatu konflik, memahami reaksi konflik, respon konstruktif, dan membangun suatu
organisasi yang mampu menangani konflik secara efektif (a conflict-competent

15
organization) (Runde and Flanagan, 2007). Menurut Rahim (2002) proses
manajemen konflik meliputi proses dari diagnosis, intervensi, dan evaluasi
(feedback).
Berdasarkan kasus di atas, berikut adalah langkah-langkah yang dilakukan sebagai
bentuk strategi penyelesaian konflik.

a. Diagnosis (Measurement dan analisis)

1) Identifikasi batasan konflik


Menurut Rigio (2003) jenis-jenis konflik yang ada antara lain konflik intrapersonal,
konflik interpersonal, konflik intra kelompok dan konflik antar kelompok.
Berdasarkan kasus di atas, terdapat 2 jenis konflik yang terjadi antara lain konflik
interpersonal dan konflik antar kelompok. Konflik interpersonal yang terjadi adalah
antara Perawat J dan Perawat R yang sebelumnya sudah pernah berkonflik dan
jarang menjalin komunikasi satu sama lain. Konflik kedua adalah konflik antar
kelompok. Konflik ini dapat timbul ketika masing-masing kelompok bekerja untuk
mencapai tujuan kelompoknya masingmasing,dalam kasus ini kelompok yang
dimaksud adalah kelompok perawat yang bekerja di unit perawatan IGD dan perawat
yang bekerja di unit perawatan Kamar Bedah yang sama-sama menuntut adanya
renovasi di unit perawatan masing-masing.

2) Identifikasi penyebab konflik


Konflik dapat muncul karena ada kondisi yang melatarbelakanginya (antecedent
conditions). Kondisi tersebut, yang disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik,
terdiri dari tiga ketegori, yaitu : komunikasi, struktur, dan variabel pribadi (Robbins,
2008). Dalam kasus di atas sumber terjadinya konflik adalah 3 kategori tersebut.
Kurangnya komunikasi yang terjalin antara Perawat J dan Perawat R menyebabkan
komunikasi dua arah sulit tercapai. Perbedaan jenis kelamin menjadi salah satu
penghambat dalam berkomunikasi asertif, dimana laki-laki cenderung agresif,
independen, dan jarang melibatkan emosi, sebaliknya wanita cenderung pasif,
dependen, dan melibatkan emosi (Brewer et al, 2002). Istilah struktur dalam konteks
ini mencakup adanya perbedaan tujuan dan kepentingan masing-masing kelompok,
sedangkan variabel pribadi yang dimaksud adalah tipe kepribadian masing-masing
pimpinan kelompok berbeda satu dengan yang lainnya. Menurut Shetach (2012)
konflik juga dapat disebabkan oleh perbedaan interpersonal dan perbedaan
kepentingan. Dalam kasus ini perbedaan interpersonal yang terjadi terkait pada
dimensi-umur, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, dan pengalaman bekerja.
Hal ini juga sesuai dengan pendapat Ayoko and Hartel, 2006 yang mengatakan
bahwa diversitas atau keragaman yang menjadi sumber konflik potensial adalah
budaya, gender, posisi (jabatan), pengalaman, dan umur. Kemudian untuk perbedaan
kepentingan dapat dilihat dari adanya dua kelompok perawat yang memiliki tujuan
dan kepentingan yang berbeda (terkait posisi, peran, status, dan tingkat hirarki).
3) Identifikasi sumber daya yang dapat dioptimalkan dan yang dapat menjadi
penghalang untuk manajemen konflik
16
Sebelum menentukan strategi-strategi dalam penyelesaian konflik,Manager
keperawatan harus melakukan pengkajian faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
penyelesaian konflik, salah satunya sumber daya manusia. Sumber daya manusia
yang dimaksud adalah pemimpin terkait kemampuan, peran dan fungsi
kepemimpinan, serta gaya kepemimpinannya yang selanjutnya mempengaruhi
pilihan strategi manajemen konflik yang dihadapi.
4) Identifikasi sumber daya yang dapat dioptimalkan dan yang dapat menjadi
penghalang untuk manajemen konflik Identifikasi strategi penyelesaian konflik
Konflik dapat menjadi konstruktif atau destruktif tergantung dari cara menyelesaikan
atau memanajemen konflik. Kondisi konstruktif dapat dirasakan ketika solusi yang
diambil memuaskan dan menguntungkan pihak-pihak yang mengalami konflik.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Brewer (2002), penentuan gaya
penyelesaian konflik ditentukan dari gender, yaitu feminine group cenderung
memilih gaya avoiding, masculine group memilih dominating, dan androgynous
group (transgender) cenderung memilih strategi integrating. Dalam penelitian
tersebut tidak ditemukan kelompok gender tertentu yang khusus memilih strategi
compromising dan obliging. Sedangkan menurut Hassan (2011) pemilihan strategi
penyelesaian konflik adalah berdasarkan suasana komunikasi. Bila suasana
komunikasi terjalin baik, strategi yang bisa digunakan adalah obliging, integrating,
dan compromising. Sebaliknya, bila suasana komunikasi bersifat defensive
dominating dan avoiding menjadi pilihan. Berdasarkan kasus di atas,gaya
penyelesaian konflik yang dipilih adalah berdasarkan suasana komunikasi bukan
berdasarkan gender, yaitu compromising. Gaya ini menempatkan seseorang pada
posisi moderat, yang secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan
kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi dan menerima
(give and take approach) dari pihak-pihak yang terlibat. Kompromi cocok digunakan
untuk menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan
berbeda tetapi memiliki kekuatan yang sama, dan penyelesaian masalah dianggap
sebagai prioritas agar tidak berkembang menjadi konflik baru yang melibatkan pihak
lain (Hoffmann, 2005). Kekuatan utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang
demokratis dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Outcome resolusi konflik
yang diharapkan dari kasus di atas adalah win-win solution.

b. Intervensi

Strategi intervensi penanganan konflik yang dipakai dalam kasus diatas adalah
fasilitasi, mediasi, dan arbitrasi. Ketiga strategi itu melibatkan pihak ketiga yang
dalam hal ini adalah Manager keperawatan. Fasilitasi dilakukan dengan cara
mempertemukan kedua
pihak yang berkonflik untuk membangun komunikasi dua arah,misalnya dalam suatu
rapat. Mediasi dimana pihak ketiga membantu menjalin hubungan yang baik antara
kedua belah pihak yang berkonflik. Kemudian arbitrasi adalah proses selanjutnya
dari mediasi,dimana pihak ketiga akan mendengarkan persepsi atau sudut pandang

17
kedua pihak. Hal ini juga membantu pemimpin untuk menentukan prioritas tindakan
dan membantu untuk tercapainya suatu kesepakatan yang adil. Ketiga proses ini juga
menjamin terbentuknya komunikasi yang baik sehingga kompromi merupakan hal
yang tepat untuk dipilih.
Dalam hal ini kesepakatan yang mungkin ditawarkan dengan menggunakan prinsip
kompromi adalah :
 Melakukan renovasi tahap pertama di kedua unit dengan biaya operasional
dibagi 2, yaitu 50% untuk unit IGD, kemudian 50% untuk unit Kamar
Operasi, kemudian di tahun selanjutnya renovasi dilanjutkan kembali.
 Unit perawatan bedah ortopedi melakukan renovasi fisik dengan biaya 75%,
sedangkan unit IGD membeli perlengkapan sekunder untuk unitnya dengan
biaya 25%, di tahun berikutnya dilakukan barter, unit IGD mendapatkan 75%
untuk renovasi fisik, dan unit Kamar Operasi mendapat 25% untuk
melengkapi sarana dan prasarana lainnya
.
c. Evaluasi

Setelah strategi-strategi manajemen konflik dilaksanakan, pemimpin melakukan


evaluasi:
1) Evaluasi proses
Evaluasi terhadap keseluruhan proses manajemen konflik yang terdiri dari:
- Bagaimana proses berjalan?
- Terdapat progress atau tidak?
- Berapa orang yang terlibat?
- Apakah option yang ditawarkan diterima oleh pihak yang berkonflik?
- Bagaimana reaksi pihak yang berkonflik (negatif/positif,verbal/nonverbal)?
- Apakah strategi yang dipilih mengarah pada penyelesaian masalah atau
memunculkan masalah baru?
- Apakah terdapat hambatan dalam implementasi strategi yang direncanakan
dalam intervensi?
2) Evaluasi hasil
Membandingkan hasil yang didapatkan dengan indikator yang telah
direncanakan dalam intervensi. Hal yang perlu dievaluasi adalah apakah hasil
manajemen konflik mengarah pada proses yang konstruktif atau destruktif.
Manajemen konflik yang konstruktif bisa diidentifikasi dari adanya proses
kreativitas di dalamnya, penyelesaian masalah dilakukan secara bersama-sama,
dimana konflik dianggap sebagai suatu masalah yang berkualitas terhadap
perkembangan individu atau suatu organisasi yang harus ditemukan pemecahan
masalahnya (Hendel, 2005). Sedangkan konflik bersifat destruktif bila berfokus
hanya pada satu individu saja, menggunakan emosi yang bersifat negatif, dan
menurunkan fungsi suatu grup atau organisasi
(Runde and Flanagan, 2007).

18
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Konflik adalah perselisihan internal yang dihasilkan dari perbedaan ide, nilai-
nilai, keyakinan, dan perasaan antara dua orang atau lebih. Seorang pemimpin
memiliki peran yang besar dalam mengelola konflik yang konstruktif dalam
pengembangan, peningkatan, dan produktivitas suatu organisasi. Gaya kepemimpinan
seseorang sangat mempengaruhi pemilihan strategi penanganan konflik (integrating,
obliging, dominating, avoiding, dan compromising). Salah satu model penyelesaian
konflik yang digunakan adalah Model Rahim (2002),yang terdiri atas proses diagnosis,
intervensi, dan evaluasi. Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan langkah-langkah
identifikasi, antara lain identifikasi batasan konflik, sumber konflik, potensi sumber
daya manusia, dan identifikasi strategi yang akan dilakukan. Proses selanjutnya adalah
intervensi. Terdapat bermacam-macam strategi intervensi konflik, antara lain negosiasi,
fasilitasi,konsiliasi, mediasi, arbitrasi, litigasi, dan force yang dapat dipilih berdasarkan
gaya kepemimpinan seseorang. Intervensi yang dipilih bersifat sealami mungkin dan
mampu memperbaiki keadaan dalam suatu organisasi dan meningkatkan proses belajar
dan pemahaman individu atau organisasi dalam menyelesaikan konflik saat ini ataupun
yang akan datang. intervensi juga diharapkan dapat memperbaiki struktur organisasi,
seperti dalam hal mekanisme integrasi dan diferensiasi, hirarki, prosedur, reward
system, dan lain sebagainya. Proses terakhir adalah evaluasi sebagai mekanisme umpan
balik terhadap proses diagnosis dan intervensi yang telah dilakukan.

B. SARAN
Perlu adanya kegiatan pelatihan dasar kepemimpinan yang berkelanjutan bagi profesi
keperawatan, khususnya sebagai perawat pengelola (manajer) untuk dapat menerapkan
gaya kepemimpinan yang baik dalam menentukan strategi penyelesaian konflik.

19

Anda mungkin juga menyukai