Anda di halaman 1dari 6

LANDASAN SOSIOLOGIS PENYUSUNAN KURIKULUM

Artikel ini dibuat untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Kurikulum dan
Pembelajaran

Dosen Pengampu:
Dr. Fauzan

Disusun oleh:

Bella Dwi Pertiwi 11160110000114

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2017 M/1439 H
1

Kurikulum mempunyai suatu landasan yang akan menopang sebagai dasar


pengembangan kurikulum. Beberapa landasan kurikulum yang kita ketahui seperti
landasan filosofis, sosiologis, psikologis, bahkan landasan teknologispun ikut masuk
ke dalam suatu landasan kurikulum.

Sebelum kita masuk ke dalam landasan sosiologis, tentunya kita harus


mengetahui pengertian sosiologi itu sendiri. Durkheim berpendapat, bahwa sosiologi
ialah: “ilmu yang mempelajari fakta sosial”, yaitu cara beripikir, bertindak, dan
berperasaan yang berada di luar individu, dan mepunyai kekuatan memaksa yang
mengendalikannya, sedangkan menurut Weber, sosiologi ialah: “suatu ilmu yang
mempelajari tindakan sosial”, yaitu tindakan yang dilakukan dengan
mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain.1
Maka jika amati bersama pada pengertian di atas, sosiologi berperan aktif dalam
bertindak antara individu dengan masyarakat. Hal inilah yang menjadikannya penting
sebagai landasan kurikulum nantinya, sehingga seorang pendidik akan mendesain
bagaimana seorang anak dapat berinteraksi dan beradaptasi secara tepat dan baik
kepada masyarakat-masyarakat di seluruh penjuru dunia ini yang penuh akan sosial
dan budaya yang berbeda-beda.

Landasan sosiologis pengembangan kurikulum adalah asumsi-asumsi yang


berasal dari sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum. Hal
ini penting dikarenakan adanya pengaruh yang luar biasa terhadap anak saat nanti
terjun ke masyarakat. Anakpun tentunya memperoleh pengetahuan dan pendidikan
dari informal, dan formal dalam lingkungan masyarakat dan di arahkan untuk terjun
ke dalam kehidupan masyarakat. Karena itu kehidupan masyarakat dan budaya
dengan segala karekteristiknya menjadi titik tolak dalam melaksanakan
pengembangan kurikulum. Dipandang dari sosiologi, pendidikan adalah proses
mempersiapkan individu agar menjadi warga masyarakat yang diharapkan, karena

1
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia, 2004), Hal. 18.
2

pendidikan adalah proses sosialisasi, dan berdasarkan pandangan antropolgi,


pendidikan adalah “enkulturasi” atau pembudayaan. Dengan pendidikan, kita tidak
mengaharapkan muncul manusia-manusia yang lain dan asing terhadapa masyarakat,
tetapi manusia yang lebih bermutu, mengerti, dan mampu membangun masyarakat. 2
Maka bisa ketahui bersama, bahwa dengan beraneka ragamnya budaya yang ada pada
masyarakat, tentu itu akan mempengaruhi dalam melaksanakan penyusunan
kurikulum. Oleh karenanya, para intelektual pendidikan baik dari kalangan
pemerintah maupun masyarakat dan juga para pendidik serta lembaga-lembaga
pendidikan, seharusnya bersama-sama merumuskan dan menyusun pengembangan
kurikulum yang akan menjadi standarisasi bagi masyarakat tersebut, khususnya di
Indonesia ini. Namun, hal itu cukup menyulitkan dalam proses penyusunan
kurikulum tersebut, dikarenakan beraneka ragamnya budaya dan karekteristik
masyarakat tersebut, sebagaimana dijelaskan di atas. Sehingga bagaimana kita
menyusun suatu kurikulum untuk dijadikan standarisasi, sedangkan masyarakat di
setiap daerah berbeda-beda budaya dan masyarakatnya ?. Maka di sini kita harus jeli
dalam menyusun suatu kurikulum. Oleh karena itu, dibuatlah landasan sosiologis,
agar penyusunan kurikulum ini sesuai dengan apa yang diharapkan dan bisa menjadi
standarisasi untuk kurikulum yang akan berlaku di suatu negara.

Faktor-faktor sosial-budaya sangat penting dalam penyusunan kurikulum


yang relevan, karena kurikulum merupakan alat untuk merealisasikan sistem
pendidikan, sebagai salah satu dimensi dari kebudayaan. Maka ada empat implikasi
dasar, yaitu sebagai berikut:

1. Kurikulum harus disusun berdasarkan kondisi sosial-budaya masyarakat.


Kurikulum disusun bukan saja harus berdasarkan nilaim adat istiadat, cita-
cita dari masyarakat, tetapi juga harus berdasarkan semua dimensi

2
Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan Pembelajaran
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), Hal. 36-37
3

kebudayaan seperti kehidupan keluarga, ekonomi, politik, pendidikan dan


sebagainya.
2. Karena kondisi sosial budaya senantiasa berubah dan berkembang sejalan
dengan perubahan masyarakat, maka kurikulum harus disusun dengan
memperhatikan unsur fleksibilitas dan bersifat dinamis, sehingga
kurikulum tersebut senantiasa relevan dengan masyarakat.
3. Program kurikulum harus disusun dan mengandung materi sosial-budaya
dalam masyarakat. Ini bukan hanya dimaksudkan untuk membudayakan
anak didik, tetapi sejalan denganusaha mengawetkan kebudayaan- itu
sendiri. Kemajuan dalam bidang teknologi akan memberikan bahan yang
memadai dalam penyampaian teknologi baru pada para siswa, yang
sekaligus mempersiapkan siswa tersebut agar mampu hidup dalam
teknologi itu. Dengan demikian sekolah benar-benar dapat mengemban
peran dan fungsinya sebagai lembaga modernisasi.
4. Kurikulum di sekolah-sekolah kita harus disusun berdasarkan kebudayaan
nasional yang berlandasan pada falsafah pancasila, yang mencakup
perkembangan kebudayaan daerah. Integritas kebudayaan nasional akan
tercermin dalam isi dan organisasi kurikulum, karena sistem pendidikan
kita bermaksud membudayakan anak didik kita berdasarkan kebudayaan
masyarakat dan bangsa kita sendiri.3
Setiap masyarakat memiliki mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri. Dengan
demikian, yang membedakan masyarakat satu dengan masyarakat yang lainnya ialah
kebudayaannya. Hal ini mempunyai implikasi bahwa apa yang menjadi keyakinan
pemikiran seseorang, dan reaksi seseorang terhadap lingkungannya sangat tergantung
kepada kebudayaan di mana ia hidup. Menurut Daud Yusuf, terdapat tiga sumber
nilai yang ada dalam masyarakat untuk dikembangkan melalui proses pendidikan,
yaitu: logika, estetika, dan etika. Logika adalah aspek emosi atau perasaan, dan

3
Oermar Malik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2009), Hal. 102-103.
4

estetika berkaitan dengan aspek nilai. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan adalah nilai-
nilai yang bersumber pada logika (pikiran). Sebagai akibat dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi pada hakikatnya ialah hasil dari kebudayaannya, maka
kehidupan manusia semakin meluas, semakin meningkat, dan tentunya tuntutan hidup
semakin tinggi. Perkembangan masyarakat menuntut tersedianya proses pendidikan
yang relevan. Untuk terciptanya proses pendidikan yang sesuai denga perkembangan
masyarakat diperukan kurikulum yang landasannya pengembangannya
memperhatikan faktor perkembangan masyarakat.4

4
Tim Pengembangan MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Op.Chit., Hal. 37-39.
5

DAFTAR PUSTAKA

Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas


Ekonomi Universitas Indonesia, 2004.

Tim Pengembang MKDP Kurikulum dan Pembelajaran, Kurikulum dan


Pembelajaran, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012.

Malik, Oermar, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum, Bandung: Remaja


Rosdakarya, 2009.

Anda mungkin juga menyukai