Chapter II PDF
Chapter II PDF
TINJAUAN PUSTAKA
jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu yang dapat di ukur
dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur
tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Jadi dapat
(Soetjiningsih, 1995).
faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu faktor dalam (internal)
yang terdiri dari dari perbedaan ras/etnik atau bangsa, keluarga, umur, jenis kelamin,
kelainan genetik, dan kelainan kromosom dan faktor luar (eksternal/lingkungan) yang
pertumbuhan anak. Sebelum lahir, anak tergantung pada zat gizi yang terdapat dalam
darah ibu. Setelah lahir, anak tergantung pada tersedianya bahan makanan dan
pada usia 6-18 bulan. Penyebab gagal tumbuh tersebut adalah keadaan gizi ibu
selama hamil, pola makan bayi yang salah, dan penyakit infeksi.
11
Universitas Sumatera Utara
Gangguan pertumbuhan merupakan suatu keadaan apabila pertumbuhan anak
secara bermakna lebih rendah atau pendek dibandingkan anak seusianya yang
berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) berada dibawah – 2 SD kurva
secara dini, sehingga upaya pencegahan dapat diberikan dengan indikasi yang jelas
pada masa-masa kritis proses pertumbuhan sesuai dengan umur anak, dengan
demikian dapat tercapai kondisi pertumbuhan yang optimal (Tim Dirjen Pembinaan
pertumbuhan fisik salah satunya adalah melalui pemantauan tinggi badan anak.
Dengan mengukur tinggi badan anak, pertumbuhan anak dapat dinilai dan
anak tumbuh secara normal atau mempunyai masalah pertumbuhan atau ada
Penilaian tersebut mempunyai parameter dan alat ukur tersendiri. Dasar utama
dalam menilai pertumbuhan fisik anak adalah penilaian menggunakan alat baku
dengan teliti dan rinci. Pengukuran perlu dilakukan dalam kurun waktu tertentu untuk
fisik adalah tinggi badan, berat badan, lingkar kepala, lipatan kulit, lingkar lengan
Dini Tumbuh Kembang Balita (Tim Dirjen Pembinaan Kesmas, 1997) dan Narendra
keadaan gizi balita. Balita ditimbang setiap bulan dan dicatat dalam Kartu
Menuju Sehat Balita (KMS Balita) sehingga dapat dilihat grafik pertumbuhannya
Pengukuran tinggi badan pada anak sampai usia 2 tahun dilakukan dengan
pengukuran setiap bulan dapat dicatat pada dalam KMS yang mempunyai grafik
PLKA adalah cara yang biasa dipakai untuk mengetahui pertumbuhan dan
standar.
pertumbuhan anak. Menurut Soetjiningsih (2003) bila grafik berat badan anak lebih
mengalami kurang gizi, menderita penyakit kronis, atau kelainan hormonal. Anak
yang kurang gizi akan berpotensi mengalami gangguan pertumbuhan fisik dan
perkembangan mentalnya.
kualitas SDM di masa depan, karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh
kondisinya saat masa janin dalam kandungan. Akan tetapi perlu diingat bahwa
keadaan kesehatan dan status gizi ibu hamil ditentukan juga jauh sebelumnya, yaitu
pada saat remaja atau usia sekolah. Demikian seterusnya status gizi remaja atau usia
sekolah ditentukan juga pada kondisi kesehatan dan gizi saat lahir dan balita. Hal ini
Pada gambar 2.1, dijelaskan bahwa masalah gizi dapat terjadi pada seluruh
siklus kehidupan. Selajutnya untuk memberikan gambaran keadaan masalah gizi pada
Kehidupan manusia dimulai sejak masa janin dalam rahim ibu. Sejak itu,
manusia kecil telah memasuki masa perjuangan hidup yang salah satunya
menghadapi kemungkinan kurangnya zat gizi yang diterima dari ibu yang
mengandungnya. Jika zat gizi yang diterima dari ibunya tidak mencukupi maka janin
tersebut akan mengalami kurang gizi dan lahir dengan berat badan rendah yang
menjadikan asupan zat gizi ibu hamil dari masyarakat kurang mampu khususnya
menurun secara signifikan dan menjadikan mereka mengalami Kurang Energi Kronis
(KEK) yang didefinisikan dengan Lingkar Lengan Atas (LILA) < 23,5 cm. Meskipun
tidak ada penelitian khusus yang mendokumentasikan efek dan krisis ekonomi
menunjukkan dengan jelas bahwa bayi yang lahir dari ibu-ibu yang mengalami KEK
mempunyai rata-rata berat badan lahir 2.568 gram atau 390,9 gram lebih rendah
dibandingkan rata-rata berat badan lahir bayi yang lahir dari ibu-ibu yang tidak
mengalami KEK. Ibu Hamil yang mengalami KEK mempunyai risiko melahirkan
bayi dengan BBLR 5 kali lebih besar dibandingkan ibu hamil yang tidak KEK
(Mustika 2004). Tingginya angka kurang gizi pada ibu hamil ini mempunyai
350.000 bayi setiap tahunnya (Depkes, 2004). Anemia merupakan masalah kesehatan
lain yang paling banyak ditemukan pada ibu hamil. Kurang lebih 50% atau 1 diantara
2 ibu hamil di Indonesia menderita anemia yang sebagian besar karena kekurangan
zat besi. Konsekuensi lain dari anemia pada ibu hamil adalah tingginya risiko
melahirkan bayi prematur dan bayi BBLR. Selain KEK dan anemia defisiensi besi,
ibu hamil juga rawan terhadap kekurangan zat gizi lain seperti vitamiin A, yodium,
dan zinc. Kekurangan zat-zat gizi ini secara bersama-sama akan membawa dampak
yang lebih serius baik bagi ibunyamaupun bagi bayi yang dikandungnya.
kehidupan masa depan yang kurang baik. Bayi BBLR mempunyai risiko lebih tinggi
untuk meninggal dalam lima tahun pertama kehidupan. Mereka yang dapat bertahan
hidup dalam lima tahun pertama akan mempunyai risiko lebih tinggi untuk
mengalami hambatan dalam kehidupan jangka panjangnya. Bagi bayi non BBLR,
pada umumnya mereka mempunyai status gizi saat lahiryang kurang lebih sama
dengan status gizi bayi di negara lain. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya
umur, disertai dengan adanya asupan zat gizi yang lebih rendah dibandingkan
kebutuhan serta tingginya beban penyakit infeksi pada awal-awal kehidupan maka
sebagian besar bayi Indonesia terus mengalami penurunan status gizi dengan puncak
penurunan pada umur kurang lebih 18-24 bulan. Pada kelompok umur inilah
prevalensi balita kurus (wasting) dan balita pendek (stunting) mencapai tertinggi
(Hadi, 2001). Setelah melewati umur 24 bulan, status gizi balita umumnya
mengalami perbaikan meskipun tidak sempurna. Balita yang kurang gizi mempunyai
risiko meninggal lebih tinggi dibandingkan balita yang tidak kurang gizi. Kekurangan
gizi pada balita ini meliputi kurang energi dan protein serta kekurangan zat gizi
Masa balita menjadi lebih penting lagi oleh karena merupakan masa yang
kritis dalam upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Terlebih lagi
6 bulan terakhir masa kehamilan dan dua tahun pertama pasca kelahiran merupakan
masa emas dimana sel-sel otak sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan
yang optimal. Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada masa-masa emas
menderita kurang gizi (stunted) berat mempunyai rata-rata IQ 11 point lebih rendah
dibandingkan rata-rata anak-anak yang tidak stunted (UNICEF, 1998 dikutip oleh
Hadi, 2005).
Masalah kurang gizi lain yang dihadapi anak usia balita adalah kekurangan zat
gizi mikro seperti vitamin A, zat besi, yodium dan sebagainya. Lebih dan 50% anak
balita mengalami defisiensi vitamin A subklinis yang ditandai dengan serum retinol
<20 mcg/dl (Hadi, 2000) dan satu diantara dua (48.1%) dari mereka menderita
anemia kurang zat besi (SKRT, 2001). Seperti telah diketahui bahwa anak-anak yang
kurang vitamin A meskipun pada derajat sedang mempunyai risiko tinggi untuk
Sebagai akibat lebih lanjut dari tingginya angka BBLR dan kurang gizi pada
masa balita dan tidak adanya pencapaian perbaikan pertumbuhan (catch-up growth)
yang sempurna pada masa berikutnya, maka tidak heran apabila pada usia sekolah
banyak ditemukan anak yang kurang gizi. Lebih dari sepertiga (36,1%) anak usia
merupakan indikator adanya kurang gizi kronis. Prevalensi anak pendek ini semakin
meningkat dengan bertambahnya umur dan gambaran ini ditemukan baik pada laki-
laki maupun perempuan. Jika diamati perubahan prevalensi anak pendekdari tahun ke
tahun maka prevalensi anak pendek ini praktis tidak mengalami perubahan oleh
Gagal tumbuh antar generasi ibu hamil yang mengalami kurang gizi
mempunyai risiko lebih tinggi untuk melahirkan bayi BBLR dibandingkan ibu hamil
yang tidak menderita kurang gizi. Apabila tidak meninggal pada awal kehidupan,
bayi BBLR akan tumbuh dan berkembang dengan tingkat pertumbuhan dan
perkembangan lebih lambat, terlebih lagi apabila mendapat ASI Ekslusif yang kurang
dan makanan pendamping ASI yang tidak cukup. Oleh karena itu bayi BBLR
cenderung besar menjadi balita dengan status gizi yang lebih jelek. Balita yang
kurang gizi biasanya akan mengalami hambatan pertumbuhan juga terutama apabila
konsumsi makanannya tidak cukup dan pola asuh tidak benar. Oleh karena itu balita
pertumbuhan dan mempunyai produktivitas yang rendah. Jika remaja ini tumbuh
dewasa maka remaja tersebut akan menjadi dewasa yang pendek dan apabila itu
wanita maka jelas wanita tersebut akan mempunyai risiko melahirkan bayi BBLR
penetapan tujuan yang jelas, penentuan stategi intervensi yang tepat sasaran,
identifikasi kegiatan yang tepat serta adanya kejelasan tugas pokok dan fungsi
tiga puluh tahun yang lalu. Upaya yang dilakukan difokuskan untuk mengatasi
masalah gizi utama yaitu: Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA),
Anemia Gizi Besi (AGB) dan Gangguan Akibat Kurang Yodium (GAKY) melalui
tinggi dan tablet besi), fortifikasi garam beryodium, pemberian makanan tambahan
termasuk Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI), tatalaksana gizi buruk
(Depkes RI, 2010). Upaya tersebut telah berhasil menurunkan keempat masalah gizi
KEP merupakan suatu bentuk masalah gizi yang termasuk dalam kategori
kurang gizi yang disebabkan oleh berbagai faktor, terutama faktor makanan yang
tidak memenuhi kebutuhan anak akan energi dan protein serta karena infeksi, yang
berdampak pada penurunan status gizi anak dari bergizi baik atau normal menjadi
bergizi kurang atau buruk. Untuk mengetahui ada tidaknya KEP pada anak perlu
di Indonesia, yaitu gizi kurang, pendek dan kurus. Ke-tiga bentuk masalah KEP
gizi kurang tahun 2007 secara nasional sebesar 18,4% sedangkan pada tahun 2013
sebesar 19,6%. Prevalensi gizi kurang juga sangat bervariasi antar perkotaan -
perdesaan, antar tingkat ekonomi, dan antar tingkat pendidikan. Selain masalah gizi
kurang riskesdas juga mengungkap tingginya prevalensi pendek pada anak balita
2007 sebesar 36,8% dan 37,2% pada tahun 2013, prevalensi kurus 2007 sebesar
13,6% dan 12,1% tahun 2013. Status gizi anak sangat terkait dengan status gizi ibu
hamil. Prevalensi ibu hamil yang mengalami Kurang Energi Kronik (KEK) 2007
diperkirakan sebesar 13,6%. Ibu hamil KEK akan beresiko melahirkan bayi berat
badan dan tinggi badan atau panjang badan yang dapat dilakukan baik di posyandu
maupun diluar posyandu. Kegiatan ini dilakukan secara rutin setiap bulan. Tujuan
dari pemantauan pertumbuhan adalah untuk menentukan apakah anak tumbuh secara
pertumbuhan tersebut. Menilai pertumbuhan jika tidak didukung oleh tindak lanjut
yang sesuai tidak dapat meningkatkan status gizi dan kesehatan anak.
Hasil pemantauan dinilai melalui indikator D/S, K/S dan N/D. Indikator D/S
indikator K/S untuk mengetahui cakupan program penimbangan dan indikator N/D
kali selama sebulan terakhir) di posyandu sebesar 74,5%. Frekuensi kunjungan balita
gambaran proporsi anak 6-11 bulan yang ditimbang di posyandu 91,3%, pada anak
usia 12-23 bulan turun menjadi 83,6%, dan pada usia 24-35 bulan turun menjadi
73,3%.
sarana dan prasarana serta bahan penyuluhan belum memadai, pengetahuan kader
akan manfaat posyandu serta masih terbatasnya pembinaan kader (Minarto, 2011).
ASI Eksklusif adalah pemberian hanya ASI saja kepada bayi sejak dilahirkan
selama 6 bulan tanpa diberikan makanan dan minuman lain, kecuali obat, vitamin dan
mineral. Menurut Lancet (2010) yang dikutip oleh Depkes RI (2013), pemberian ASI
Eksklusif dapat menurunkan angka kematian bayi sebesar 13% dan dapat
dan melatih tenaga konselor untuk memberikan konseling dan penyuluhan kepada ibu
pengetahuan ibu dalam pemberian ASI karena ASI merupakan makanan terbaik bayi.
pemberian ASI eksklusif pada bayi 0-6 bulan turun dari 62,2% tahun 2007 menjadi
56,2% pada tahun 2008. Sedangkan cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi
sangat terbatasnya tenaga konselor ASI, belum adanya Peraturan Pemerintah tentang
Pemberian ASI serta belum maksimalnya kegiatan edukasi, sosialisasi, advokasi, dan
kampanye terkait pemberian ASI, masih kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana
Gizi buruk terjadi akibat dari kekurangan gizi tingkat berat, yang bila tidak
Perawatan gizi buruk dilaksanakan dengan pendekatan tatalaksana anak gizi buruk
rawat inap di Puskesmas Perawatan, Rumah Sakit dan Pusat Pemulihan Gizi
perawatan rawat jalan di Puskesmas, Poskesdes dan Pos Pemulihan Gizi berbasis
Kenyataan di lapangan, kasus gizi buruk sering ditemukan terlambat dan atau
ditangani tidak tepat. Hal ini terjadi karena belum semua Puskesmas terlatih untuk
melaksanakan tatalaksana gizi buruk. Selain itu kurangnya ketersediaan sarana dan
prasana untuk menyiapkan formula khusus untuk balita gizi buruk, serta kurangnya
Vitamin A merupakan vitamin yang larut dalam lemak. Ada 3 fungsi vitamin
A dalam tubuh yaitu fungsi dalam proses melihat, fungsi dalam metabolisme umum,
pertumbuhan ini karena hambatan sintesa protein. Gejala ini tampak terutama pada
anak-anak (balita), yang sedang ada dalam periode pertumbuhan yang sangat pesat.
Sintesa protein memerlukan vitamin A sehingga pada defisiensi vitamin ini terjadi
adalah kapsul yang mengandung vitamin A dosis tinggi. Sasarannya adalah bayi (6-
11 bulan), anak balita (12-59 bulan) dan ibu nifas (0-42 hari).
Suplementasi kapsul vitamin A pada balita dan ibu nifas bertujuan tidak hanya
kapsul vitamin A sebanyak 2 kali setahun pada balita merupakan salah satu
intervensi kesehatan yang berdaya ungkit tinggi bagi pencegahan kekurangan vitamin
A dan kebutaan serta penurunan kejadian kesakitan dan kematian pada balita (Depkes
RI, 2009).
Secara nasional masalah kekurangan vitamin A pada balita secara klinis sudah
dan indeks serum retinol kurang dari 20 µg/dl adalah 14,6%. Hasil studi tersebut
secara nasional pada anak umur 6-59 bulan adalah 71,5%. Masih ada 3 propinsi
dengan cakupan di bawah 60%, 16 propinsi di bawah 70% dan hanya 4 propinsi dapat
mencapai 80%. Berdasarkan laporan dari provinsi tahun 2009, cakupan pemberian
kapsul vitamin A pada anak umur 12-59 bulan sebesar 79,2%. Provinsi dengan
cakupan > 85 % adalah DIY, Jawa Timur, Kepulauan Riau, dan Kalimantan Selatan
sedangkan provinsi Papua Barat, Papua dan Maluku cakupan pemberian kapsul
itu belum optimal pelaksanaan kampanye bulan kapsul vitamin A di setiap jenjang
administrasi.
Kesehatan 2010-2014 telah ditetapkan salah satu sasaran pembangunan yang akan
mencapai RPJMN tersebut, dalam Rencana Aksi Pembinaan Gizi Masyarakat telah
ditetapkan 8 indikator kinerja program perbaikan gizi, yaitu: 1) Balita ditimbang berat
vitamin A, 4) Bayi usia 0-6 bulan mendapat ASI Eskklusif, 5) Ibu hamil mendapat 90
surveilans gizi, 8) Penyediaan stock cadangan (buffer stock) MP-ASI untuk daerah
bencana.
Tabel 2.1. Indikator Kinerja dan Target Kegiatan Pembinaan Gizi Program
Perbaikan Gizi Tahun 2010-2014
Target
No Indikator Kinerja
2010 2011 2012 2013 2014
Persentase balita ditimbang berat
1. 65 70 75 80 85
badannya (% D/S)
2. Balita gizi buruk mendapat perawatan 100 100 100 100 100
Persentase balita 6-59 bulan mendapat
3. 75 78 80 83 85
kapsul vitamin A
Persentase bayi usia 0-6 bulan mendapat
4. 65 67 70 75 80
Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif
Persentase ibu haml mendapat 90 tablet
5. 84 86 90 93 95
Fe
Cakupan rumah tangga yang
6. 75 77 80 85 90
mengkonsumsi garam beryodium
Persentase kabupaten/kota melaksanakan
7. 100 100 100 100 100
surveilans gizi
Persentase penyediaan buffer stock
8. Makanan Pendamping Air Susu Ibu 100 100 100 100 100
(MP-ASI) untuk daerah bencana
Sumber : Depkes RI, 2012
Selain indikator diatas yang perlu dicapai, ada juga indikator gizi lainnya yang
antropometri, 2) prevalensi status gizi anak usia sekolah, remaja dan dewasa, 3)
ibu hamil, 4) prevalensi anemia gizi besi dan Gangguan Akibat Kurang Yodium
(GAKY), kurang Vitamin A (KVA) dan masalah gizi mikro lainnya, 5) tingkat
konsumsi zat gizi makro (energi dan protein) dan mikro (defisiensi zat besi dan
Menurut Azwar (1988), ada 4 unsur pokok dalam sistem pelayanan kesehatan
diselenggarakan, yaitu unsur masukan (input), unsur proses (process), unsur keluaran
pelayanan gizi, yang terdiri dari 6 M yaitu man (orang), money (dana), material
(sarana dan prasarana), metode (cara), market (sasaran), minute (jangka waktu
pelaksanaan kegiatan).
b. Proses adalah semua tindakan yang dilakukan dalam pelayanan gizi yang terdiri
dan pengendalian.
c. Keluaran (output) adalah yang menunjuk pada hasil pelayanan yang dilakukan
perbaikan gizi dalam pencegahan dan penanggulangan masalah gizi dapat terlaksana
dengan baik bila tersedia sumber daya yang cukup sesuai kebutuhan. Sumber daya
program gizi terdiri dari sumber daya manusia (TPG Puskesmas), sarana dan
prasarana serta biaya. Semua sumber daya ini merupakan masukan (input) sedangkan
kegiatan pokok program perbaikan gizi merupakan proses yang bertujuan untuk
menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk cakupan hasil kegiatan program dan
gizi selain peningkatan ketersediaan tenaga gizi dan sarana. Namun demikian,
pengembangan SDM bidang gizi akan sangat tergantung dengan latar belakang
pendidikan yang dimliki, motivasi yang dimiliki serta kebijakan pimpinan puskesmas
Hadi (2005), masalah gizi dan kesehatan di masa yang akan datang di Indonesia akan
semakin komplek, satu sama lain saling terkait dan oleh karena itu
Sakit di seluruh Indonesia sebagian besar lulusan D3 dan Dl. Kompetensi minimal
yang dimiliki oleh sebagian besar tenaga gizi Indonesia belum memenuhi tantangan
masalah gizi dan kesehatan saat ini dan apalagi untuk menangani masalah gizi dan
kesehatan 10-20 tahun mendatang. Oleh karena itu perguruan tinggi perlu mengambil
memenuhi tuntutan zaman. Peran perguruan tinggi juga sangat penting dalam
kesehatan tidak menyimpang dan tuntutan masalah yang riil berada di tengah-tengah
masyarakat.
masa depan karena tumbuh kembang anak sangat ditentukan oleh kondisinya saat
masa janin dalam kandungan. Ibu yang dalam masa kehamilannya kurang gizi
Badan Lahir Rendah/BBLR. Apabila tidak meninggal pada awal kehidupan, bayi
perkembangan lebih lambat yang dapat menyebabkan gagal tumbuh pada anak,
terlebih lagi apabila mendapat ASI Eksklusif yang kurang dan makanan pendamping
sumberdaya manusia yang berkualitas karena dua tahun pertama pasca kelahiran
merupakan masa emas dimana sel-sel otak sedang mengalami pertumbuhan dan
perkembangan yang optimal. Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada
masa-masa emas ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang sulit
diperbaiki apalagi ditambah dengan masalah kurang gizi lain yaitu kekurangan zat
gizi mikro seperti vitamin A, zat besi, yodium dan sebagainya.Balita yang kurang gizi
rendah. Jika remaja ini tumbuh dewasa maka remaja tersebut akan menjadi dewasa
yang pendek, dan apabila itu wanita maka jelas wanita tersebut akan mempunyai
risiko melahirkan bayi BBLR lagi, dan seterusnya (Hadi, 2005). Tidak terlaksananya
program penanggulangan untuk masalah ini dan tidak adanya pencapaian perbaikan
secara bermakna lebih rendah atau pendek dibandingkan anak seusianya yang
berdasarkan indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) berada dibawah – 2 SD kurva
pertumbuhan WHO 2005 (Depkes RI, 2010). Keadaan ini dapat diketahui melalui
pemantauan Tinggi Badan Anak. Dengan mengukur tinggi badan anak, pertumbuhan
untuk menentukan apakah anak tumbuh secara normal atau mempunyai masalah
(WHO, 2010).
Besar dan luasnya masalah gizi pada setiap kelompok umur menurut siklus
kehidupan seperti KEP pada balita, ibu hamil KEK, kurang zat gizi mikro (vitamin A,
zat besi, yodium) dapat menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak,
maka diperlukan kebijakan dan strategi baru perbaikan gizi di setiap siklus
kehidupan. Program perbaikan gizi merupakan salah satu strategi yang digunakan
tiga puluh tahun yang lalu. Upaya yang dilakukan di fokuskan untuk mengatasi
masalah gizi utama yaitu: Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA),
Anemia Gizi Besi (AGB) dan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)
tinggi dan tablet besi), pemantauan garam beryodium, pemberian makanan tambahan
termasuk Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) dan tatalaksana gizi buruk
(Depkes RI, 2010). Upaya tersebut telah berhasil menurunkan keempat masalah gizi
dengan baik bila tersedia sumber daya yang cukup sesuai kebutuhan. Sumber daya
program gizi terdiri dari sumber daya manusia (petugas gizi puskesmas), sarana dan
prasarana serta biaya. Semua sumber daya ini merupakan masukan (input) sedangkan
bertujuan untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk cakupan hasil kegiatan
dinyatakan berjalan dengan baik apabila capaiannya sesuai dengan target yang telah
ditentukan dan jika sebaliknya maka akan menyebabkan masalah gizi yang salah
perbaikan gizi dalam pencegahan dan penanggulangan masalah gizi diharapkan dapat
Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-
penanggulangan AGB melalui pemberian tablet tambah darah (Fe) kepada ibu hamil,
dengan melihat capaian target yang telah ditetapkan sebelumnya dan hasilnya
target yang telah ditetapkan. Selain itu, peran tenaga gizi puskesmas sangat penting
berhadapan dengan masyarakat. Capaian program yang rendah salah satunya dapat
disebabkan karena kinerja petugas gizi yang kurang baik (Agustijani, 2005). Selain
itu, sarana dan prasarana juga dibutuhkan sebagi pendukung dari kegiatan program
maka peneliti merasa perlu dilakukan penelitian terhadap pelaksanaan program gizi
yang dilihat dari komponen input (tenaga, sarana dan prasarana), proses (yang
difokuskan pada pelaksanaan program gizi balita) yang dibandingkan dengan hasil
(outcome) dari program tersebut yaitu gangguan pertumbuhan pada anak. Adapun
kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Program Gizi
1. Pemantauan Gangguan
Tenaga Gizi Pertumbuhan Capaian Pertumbuhan
2. ASI Eksklusif Program pada Anak
Sarana dan 3. Tatalaksana Gizi baru Masuk
Prasarana Buruk Sekolah
4. Pemberian Kapsul
Vitamin A
Gambar 2.3. Bagan Kerangka Pikir Analisis Pelaksanaan Program Gizi dalam
Upaya Perbaikan Gangguan Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah
di Kabupaten Karo
Pada gambar 2.3, dijelaskan kegiatan program gizi balita di Kabupaten Karo
mencakup penimbangan berat badan dan pengukuran panjang atau tinggi badan dan
untuk mengidentifikasi anak-anak yang kurang gizi dan yang perlu intervensi
kepada ibu hamil dan ibu yang baru melahirkan. Untuk konseling dilakukan kepada
buruk dilaksanakan setelah dilakukan identifikasi balita yang menderita gizi buruk.
Jika ditemukan balita gizi buruk dilakukan perawatan dengan pendekatan tatalaksana
anak gizi buruk. Anak gizi buruk tanpa komplikasi di lakukan perawatan rawat jalan
anak gizi buruk dengan komplikasi dirawat di rumah sakit umum. Pemberian vitamin
A dosis tinggi dilakukan 2 kali setahun pada bulan Februari dan Agustus kepada bayi
umur 6-11 bulan (kapsul vitamin A warna biru 100.000 SI) dan anak balita umur 12-