Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Croup merupakan penyakit saluran pernafasan yang umum pada anak anak.
Kata croup sendiri berasal dari anglo-saxon kropan, yang berarti “to cry aloud”.
Penyakit ini biasanya menyerang anak anak dengan manifestasi klinis yang timbul
adalah batuk menggonggong, suara serak, dan stridor inspirasi; dan beberapa variasi
dari gejala distress pernafasan.1

Istilah lain untuk croup adalah laringitis akut yang menunjukkan lokasi
inflamasi, yang jika meluas sampai trakea disebut laringotrakeitis, dan jika sampai ke
bronkus digunakan istilah laringotrakeobronkitis. Sindroma croup atau
laringotrakeobronkitis akut disebabkan oleh virus yang menyerang saluran pernafasan
bagian atas. Penyakit ini dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas, obstruksi ini
dapat ringan sampai berat.1,2

Sifat penyakit ini adalah self limited, tetapi kadang cenderung mejadi berat
bahka fatal. Sebelum kortikosteorid digunaka , 30% kasus croup harus dirawat di RS
dan 1,7% memerlukan intubasi endotrakea. Akan tetapi, setelah kortikosteroid telah
digunakan secara luas, kasus croup yang memerlukan perawatan di RS menurun
drastis, dan intubasi jarang dilakukan.2

Penyakit ini biasanya menyerang anak pada usia 6 bulan sampai 3 tahun
degan puncaknya usia 1-2 tahun. Akan tetapi, sindroma croup dapat juga terjadi pada
anak usia 3 bulan dan diatas 15 tahun. 2

1
BAB II

ANATOMI

A. Anatomi Saluran Nafas


2.1 Anatomi saluran pencernaan atas

Fungsi utama saluran pernafasan atas sebagai berikut:

A. Air conduction (penyalur udara), sebagai saluran yang meneruskan udara


menuju saluran napas bagian bawah untuk pertukaran gas.
B. Protection ( perlindungan), sebagai pelindung saluran napas bagian bawah
agar terhindar dari masuknya benda asing.
C. Warming, filtrasi, dan humudifikasi yakni sebagai bagian yang
menghangatkan, menyaring, dan memberi kelembaban udara yang diinspirasi
(dihirup).3
2.1.1 Lubang Hidung
Lubang hidung (cavum nasalis) Hidung dibentuk oleh tulang sejati (os)
dan tulang rawan (kartilago). Hidung dibentuk oleh sebagian kecil tulang
sejati, sisanya terdiri atas kartilago dan jaringan ikat (connective tissue).
Bagian dalam hidung merupakan suatu lubang yang dipisahkan menjadi
lubang kiri dan kanan oleh sekat (septum). Rongga hidung mengandung
rambut (fimbriae) yang berfungsi sebagai penyaring (filter) kasar terhadap
benda asing yang masuk. Pada permukaan (mukosa) hidung terdapat epitel
bersilia yang mengandung sel goblet. Sel tersebut mengeluarkan lendir
sehingga dapat menangkap benda asing yang masuk ke dalam saluran
pernapasan. Kita dapat mencium aroma karena di dalam lubang hidung
terdapat reseptor. Reseptor bau terletak pada cribriform plate, di dalamnya
terdapat ujung dari saraf kranial I (Nervous Olfactorius).3

2
2.1.2 Faring

Faring merupakan pipa berotot berbentuk cerobong yang letaknya


bermula dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan esofagus
pada ketinggian tulang rawan (kartilago) krikoid. Faring digunakan pada saat
‘digestion’ (menelan) seperti pada saat bernapas. Berdasarkan letaknya
faring dibagi menjadi tiga yaitu di belakang idung (naso-faring), belakang
mulut (oro-faring), dan belakang laring (laringofaring). Naso-faring terdapat
pada superior di area yang terdapat epitel bersilia (pseudo stratified) dan
tonsil (adenoid), serta merupakan muara tube eustachius. Tenggorokan
dikelilingi oleh tonsil, adenoid, dan jaringan limfoid lainnya. Struktur
tersebut penting sebagai mata rantai nodus limfatikus untuk menjaga tubuh
dari invasi organisme yang masuk ke dalam hidung dan tenggorokan. Oro-
faring berfungsi untuk menampung udara dari naso-faring dan makanan dari
mulut. Pada bagian ini terdapat tonsili platina (posterior) dan tonsili lingualis
(dasar lidah).3

2.1.3 Laring

Laring adalah kotak suara yang memungkinkan kita untuk berbicara,


berteriak, berbisik, dan bernyanyi. Laring terletak di bagian anterior leher,
bagian inferior dari faring dan bagian superior dari trakea. Laring terdiri dari
kerangka tulang rawan yang didalamnya terdapat pita suara (plica vocalis)
yang ditutupi oleh lapisan lendir. Otot di dalam laring menyesuaikan posisi,
bentuk, dan ketegangan dari pita suara, memungkinkan kita untuk membuat
suara yang berbeda dari berbisik hingga bernyanyi. Setiap perubahan dalam
aliran udara (yang dihasilkan oleh paru-paru menghembuskan napas udara)
di pita suara akan mempengaruhi suara dan kualitas suara. Laring terletak di
antara faring dan trakea serta memiliki penutup disebut epiglotis.2,3

3
Fungsi utama laring adalah untuk melindungi saluran napas bagian
bawah dengan menutup secara tiba-tiba pada stimulasi mekanik,
sehingga menghentikan respirasi dan mencegah masuknya benda asing ke
dalam saluran napas. Fungsi lain dari laring selain produksi suara (fonasi)
adalah batuk, manuver Valsalva, kontrol ventilasi, dan bertindak sebagai
organ sensorik. Laring terdiri dari 3 pasang kartilago (krikoid, tiroid,
epiglotis); 3 pasang kartilago yang lebih kecil (arytenoids, corniculate,
cuneiform); dan sejumlah otot intrinsik. Tulang hyoid, sementara secara
teknis bukan bagian dari laring,namun merupakan insersi otot dari atas
yang membantu dalam gerakan laring.2,4

2.2. Anatomi saluran pernafasan bawah

Anatomi saluran pernapasan bagian bawah (tracheobronchial tree) terdiri atas:

2.2.1 Trakhea

Trakhea merupakan perpanjangan laring pada ketinggian tulang vertebre

Gambar 1. Anatomi saluran pernafasan atas

4
torakal ke-7 yang bercabang menjadi dua bronkhus. Ujung cabang
trakhea disebut carina. Trakhea bersifat sangat fleksibel, berotot, dan
memiliki panjang 12 cm dengan cincin kartilago berbentuk huruf C.3

2.2.2 Bronkus dan Bronkhiolus

Cabang bronkhus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan cenderung lebih
vertikal daripada cabang yang kiri. Hal tersebut menyebabkan benda
asing lebih mudah masuk ke dalam cabang sebelah kanan daripada
bronkhus sebelah kiri. Segmen dan subsegmen bronkhus bercabang lagi
dan berbentuk seperti ranting masuk ke setiap paru-paru. Bronkhus
disusun oleh jaringan kartilago sedangkan bronkhiolus, yang berakhir di
alveoli, tidak mengandung kartilago. Tidak adanya kartilago
menyebabkan bronkhiolus mampu menangkap udara, namun juga dapat
mengalami kolaps. Agar tidak kolaps alveoli dilengkapi dengan
poros/lubang kecil yang terletak antar alveoli yang berfungsi untu
mencegah kolaps alveoli. Saluran pernapasan mulai dari trakhea sampai
bronkhus terminalis tidak mengalami pertukaran gas dan merupakan area
yang dinamakan Anatomical Dead Space. Awal dari proses pertukaran
gas terjadi di bronkhiolus respiratorius.3,5

B. Fisiologi
2.3 Hidung

Hidung berfungsi sebagai indra penghidu , menyiapkan udara inhalasi agar dapat
digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel
olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam
sel-sel syaraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi,
memanaskan dan melembabkan udara inspirasi akan melindungi saluran napas
dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang besarnya 5-6 mikrometer atau lebih, 85 % -
90% disaring didalam hidung dengan bantuan TMS. Fungsi hidung terbagi atas

5
beberapa fungsi utama yaitu (1)Sebagai jalan nafas, (2) Alat pengatur kondisi udara,
(3) Penyaring udara, (4) Sebagai indra penghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut
membantuproses bicara,(7) Reflek nasal.7

2.4 Laring

Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi

disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut : 6,7

- Fungsi Fonasi.
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara
dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi
antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan
udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi
seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada
dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik
laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk
dan massa ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati. Ada 2 teori yang
mengemukakan bagaimana suara terbentuk :

Teori Myoelastik – Aerodinamik.


Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak langsung
menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-otot laring akan
memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan menegangkan
plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan tekanan pasif dari
proses pernafasan akan menyebabkan tekanan udara ruang subglotis meningkat,
dan mencapai puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga celah glotis terbuka.
Plika vokalis akan membuka dengan arah dari posterior ke anterior. Secara
otomatis bagian posterior dari ruang glotis yang pertama kali membuka dan yang
pertama kali pula kontak kembali pada akhir siklus getaran. Setelah terjadi

6
pelepasan udara, tekanan udara ruang subglotis akan berkurang dan plika vokalis
akan kembali ke posisi saling mendekat (kekuatan myoelastik plika vokalis
melebihi kekuatan aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah akibat aliran
udara yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan negatif pada dinding
celah (efek Bernoulli). Plika vokalis akan kembali ke posisi semula (adduksi)
sampai tekanan udara ruang subglotis meningkat dan proses seperti di atas akan
terulang kembali.

Teori Neuromuskular.
Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa awal dari getaran
plika vokalis adalah saat adanya impuls dari sistem saraf pusat melalui N. Vagus,
untuk mengaktifkan otot-otot laring. Menurut teori ini jumlah impuls yang
dikirimkan ke laring mencerminkan banyaknya / frekuensi getaran plika vokalis.
Analisis secara fisiologi dan audiometri menunjukkan bahwa teori ini tidaklah
benar (suara masih bisa diproduksi pada pasien dengan paralisis plika vokalis
bilateral).

- Fungsi Proteksi.
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-otot
yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan,
pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada
pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid
melalui serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan
epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah
proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke
lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.

7
- Fungsi Respirasi.
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar rongga
dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga kontraksinya
menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2
dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan menghambat pembukaan rima
glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan merangsang pembukaan rima glotis.
Hiperkapnia dan obstruksi laring mengakibatkan pembukaan laring secara
reflektoris, sedangkan peningkatan pO2 arterial dan hiperventilasi akan
menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial CO2 darah dan pH darah berperan
dalam mengontrol posisi pita suara.

- Fungsi Sirkulasi.
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian
tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding
laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti
jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor
dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui
N. Laringeus Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila
serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut
jantung.

- Fungsi Fiksasi.
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal agar tetap tinggi,
misalnya batuk, bersin dan mengedan.

- Fungsi Menelan.
Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat
berlangsungnya proses menelan, yaitu :

8
Pada waktu menelan faring bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior,
M. Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang
kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju
basis lidah, kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan
faringoesofageal.

Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran


pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh
epiglotis.

C. Histologi

Mukosa laring dibentuk oleh epitel berlapis silindris semu bersilia kecuali pada
daerah pita suara yang terdiri dari epitel berlapis gepeng tak bertanduk. Diantara

sel-sel bersilia terdapat sel goblet.4

Gambar 2 : Laryngeal mucosa

9
Membrana basalis bersifat elastis, makin menebal di daerah pita suara. Pada
daerah pita suara sejati, serabut elastisnya semakin menebal membentuk
ligamentum tiroaritenoidea. Mukosa laring dihubungkan dengan jaringan
dibawahnya oleh jaringan ikat longgar sebagai lapisan submukosa.4

Kartilago kornikulata, kuneiforme dan epiglotis merupakan kartilago hialin.


Plika vokalis sendiri tidak mengandung kelenjar. Mukosa laring berwarna merah

muda sedangkan pita suara berwarna keputihan.4

2.5 Sindrom Croup


2.5.1 Definisi

Simdrom croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu kelompok


penyakit heterogen yang mengenai laring, infra/subglotis, trakea dan bronkus.
Karakteristik sindrom croup adalah batuk yang menggonggong, suara serak,
stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas. 2,4
Pada sindrom croup ini terdapat suatu kondisi pernafasan yang biasanya
dipicu oleh infeksi virus akut saluran napas bagian atas. Infeksi menyebabkan
pembengkakan di dalam tenggorokan, yang mengganggu pernapasan normal.
Selain itu juga terjadi suatu pembengkakan di sekitar pita suara, pada umumnya
terjadi pada bayi dan anak-anak dengan berbagai penyebab. Infeksi juga bias
terjadi pada parenkim paru.2,4
Infeksi virus akut adalah penyebab tersering terjadinya sindrom croup, tetapi
dapat juga disebabkan oleh bakteri dan agen atipikal. Secara umum laringotrakeitis
akut dan spasmodic croup disebabkan oleh virus, tetapi bakteri dan virus
menyebabkan penyakit ini menyebar ke traktus respiratori bagian bawah seperti
laringotrakeabronkitis dan laringotrakeabronkopneumonitis. Trakeitis bakteri
disebut juga croup bakteri, yang disebabkan oleh infeksi bakteri seperti
Staphilococcou aureus, Hemophilus influenza, dan Corynobacterium diphteriae. 2

10
2.5.2 Klasifikasi

klasifikasi berdasarkan derajat keparahan batuk atau derajat kegawatan,


dikelompokkan menjadi 4 kategori : 5,6
1. Ringan: Ditandai dengan kadang-kadang batuk menggonggong, stridor tidak
dapat terdengar saat pasien istirahat/tidak beraktivitas atau tidak ada kegiatan
dan terdapat retraksi dada ringan.
2. Moderat/Sedang: Ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul,
Stridor lebih bisa terdengar ketika pasien beristirahat atau tidak aktivitas,
retraksi dinding dada yang sedikit terlihat, tetapi tanpa gangguan pernapasan
yaitu gawat napas (repiratory distress).
3. Berat: Ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, inspirasi
stridor lebih bisa terdengar saat aktivitas pasien atau kurang istirahat, akan
tetapi, lebih terdengar jelas ketika pasien beristirahat, dan kadang-kadang
disertai dengan stridor ekspirasi, retraksi dinding dada, juga terdapat
gangguan pernapasan.
4. Gagal napas mengancam: Batuk kadang-kadang tidak jelas, stridor positif
(kadang sangat jelas ketika pasien beristirahat), terdapat sedikit gangguan
kesadaran (letargi), dan kelesuan.

2.5.3 Epidemiologi

Sindrom croup terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai 3 tahun dengan
puncaknya pada usia 1-2 tahun. Akan tetapi sindrom croup dapat juga terjadi pada
anak berusia 3 bulan dan di atas 15 tahun. Penyakit ini lebih sering terjadi pada
anak laki-laki daripada anak perempuan dengan rasio 1,4:1. Angka kejadian
meningkat di musim dingin dan musim gugur, tetapi penyakit ini tetap dapat
terjadi sepanjang tahun. Pasien croup merupakan 15% dari seluruh pasien dengan
infeksi respiratori yang berkunjung ke dokter. Kekambuhan sering terjadi pada

11
usia 3-6 tahun dan berkurang sejalan dengan pematangan struktur anatomi saluran
respiratori atas. Hampir 15% pasien memiliki riwayat keluarga dengan penyakit
yang sama.6

2.5.4 Etiologi

Sindrom croup ini dianggap terjadi karena infeksi virus. Nama lain
menggunakan istilah yang lebih luas, untuk menyertakan laringotrakeitis akut,
batuk tidak teratur, difteri laring, trakeitis bakteri , laringotrakeo-bronkitis, dan
laringotrakeobronkopneumonitis. Dari macam-macam penyakit tersebut terdapat
kondisi yang melibatkan infeksi virus dan umumnya lebih ringan sehubungan
dengan simptomatologi, akan tetapi dapat pula disebabkan oleh infeksi bakteri dan
biasanya dengan tingkat keparahan lebih besar. Selain dapat disebabkan virus
dan bakteri, sindrom croup juga bisa dikarenakan infeksi jamur yaitu berupa
Candida albican. 2

a) Viral
Viral croup / laringotrakeitis akut yang disebabkan oleh Human
Parainfluenza Virus terutama tipe 1 (HPIV–1), HPIV-2, HPIV-3, dan HPIV-4
terdapat pada sekitar 75% kasus. Etiologi virus lainnya adalah Influenza A dan B,
virus campak , Adenovirus dan Virus pernapasan / Respiratory Syncytial Virus
(RSV). Batuk hebat disebabkan oleh kelompok virus yang sama seperti
laringotrakeitis akut, tetapi tidak memiliki tanda-tanda infeksi biasa (seperti
demam, sakit tenggorokan, dan meningkatkan jumlah sel darah putih). Perawatan,
dan respon terhadap pengobatan, juga serupa. 2

b) Bakteri
Bakteri yang dapat menyebabkan batuk dapat dibagi menjadi beberapa
antara lain, difteri laring, trakeitis bakteri, laryngotrakeobronkitis, dan
laryngotrakeobronkopneumonitis. Difteri laring disebabkan Corynebacterium

12
diphtheriae sementara trakeitis bakteri, laryngotrakeobronkitis, dan
laryngotrakeobronkopneumonitis biasanya karena infeksi virus primer dengan
pertumbuhan bakteri sekunder. Sebagian besar bakteri yang umum terlibat adalah
Staphylococcus aureus , Streptococcus pyogenes, Streptococcus pneumoniae ,
Hemophilus influenzae , dan Catarrhalis moraxella.2

2.5.5 Patogenesis

Virus (terutama parainfluenza dan RSV) dapat terjadi karena inokulasi


langsung dari sekresi yang membawa virus melalui tangan atau inhalasi besar
terjadi partikel masuk melalui mata atau hidung. infeksi virus di laringotrakeitis,
laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumonitis biasanya dimulai dari
nasofaring atau orofaring yang turun ke laring dan trakea setelah masa inkubasi 2-
8 hari. Peradangan difus yang menyebabkan eritema dan edema pada dinding
mukosa dari saluran pernapasan serta menganggu mobilitas pita suara. Laring
adalah bagian tersempit saluran pernafasan atas yang membuatnya sangat mudah
untuk terjadinya obstruksi. Penyempitan saluran udara ini menyebabkan bunyi
stridor inspirasi dapat didengar, dan pita suara yang edema menyebabkan suara
serak. 5
Edema mukosa yang sama pada orang dewasa dan anak-anak akan
mengakibatkan perbaikan yang berbeda. Edema mukosa dengan ketebalan 1 mm
akan menyebabkan penyempitan saluran udara sebesar 44% pada anak-anak dan
75% pada bayi. Edema mukosa dari daerah glotis akan menyebabkan gangguan
mobilitas pita suara. Edema pada daerah subglotis juga dapat menyebabkan gejala
sesak napas. 5
Selama perlangsungan penyakit, lumen pada trakea menjadi semakin
tersumbat dengan eksudat fibrin dan pseudomembran. Pada pemeriksaan histologi
pada laring dan trakea menunjukkan adanya edema, dengan infiltrat sel histiosit,
limfosit, plasma, dan leukosit polimorfonuklear. 5

13
Penyebaran penyakit dari trakea ke bronkus dan alveoli sehingga
menyebabkan laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumonitis.
Bagaimanapun, obstruksi yang progresif pada tahap ini akan menyebabkan infeksi
bakteri sekunder. 5
Pergerakan dinding dada dan juga dinding abdomen yang tidak teratur
menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea. Pada
keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan juga terjadi henti napas. 5

Pada spasmodic croup, gambaran histologi dari jaringan subglotis


menunjukkan edema non inflamasi. Ini menunjukkan tidak ada infeksi viral secara
langsung pada epitel trakeal, dan obstruksi yang terjadi disebabkan karena
terjadinya edema non inflamasi pada sub mukosa di trakea subglottic. Walaupun
dikatakan terdapat hubungan dengan virus yang sama menyebabkan
laringotrakeitis, tetapi penyebab terjadi edema secara tiba-tiba masih belum
diketahui. Dikatakan penyebab terjadinya spasmodic croup adalah karena reaksi
alergi pada antigen virus.
Seperti infeksi respiratori pada umumnya, infeksi virus pada laring dimulai dari
nasofaring dan menyebar ke epitel laring. Peradangan difus, eritema dan edema
yang terjadi pada daerah infeksi menyebabkan terganggunya mobilitas pita suara
serta area subglotis mengalami iritasi. Hal ini menyebabkan suara pasien menjadi
serak (parau). Aliran udara yang melewati saluran respiratori atas mengalami
turbulensi sehingga menimbulkan stridor, diikuti dengan retraksi dinding dada
(selama inspirasi).5,6,7 Stridor inspirasi menunjukkan adanya obstruksi pada
laring.5 Pergerakan dinding dada dan abdomen yang tidak teratur menyebabkan
pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea. Pada keadaan ini
dapat terjadi gagal napas atau bahkan henti napas. 5,6,8

14
2.5.6. Manifestasi Klinis

Gejala klinis di awali dengan suara serak, batuk menggonggong dan stridor
inspirasi. Bila terjadi obstruksi, stridor menjadi semakin berat, tetapi dalam
kondisi yang sudah parah stridor melemah. Dalam waktu 12-48 jam sudah terjadi
gejala obstruksi saluran napas atas. Pada beberapa kasus hanya didapati suara
serak dan batuk menggonggong, tanpa obstruksi napas. Keadaan ini akan
membaik dalam waktu 3 sampai 7 hari. Pada kasus lain terjadi obstruksi napas
yang makin berat, ditandai dengan takipneu, takikardia, sianosis dan pernapasan
cuping hidung. Pada pemeriksaan toraks dapat ditemukan retraksi supraklavikular,
suprasternal, interkostal, epigastrial. 6
Bila anak mengalami hipoksia, anak tampak gelisah, tetapi jika hipoksia
bertambah berat anak tampak diam, lemas, kesadaran menurun. Pada kondisi yang
berat dapat menjadi gagal napas. Pada kasus yang berat proses penyembuhan terjadi
setelah 7-14 hari. 6

Tabel 1 Manifestasi klinik pada sindroma croup1

Sifat Laringotrakeitis Laringotrakeobronkit Spasmodic Epiglotitis


akut is/ pnemonitis croup

Prodrome Gejala Saluran Gejala Saluran None atau None atau Gejala
pernafasan atas pernafasan atas minimal Saluran
pernafasan atas
ringan

Usia 3 bulan – 3 tahun 3 bulan – 3 tahun 3 bulan – 3 1-8 tahun


tahun

Onset Gradual (12-48 jam) lambat (12jam – 7hari) Tiba tiba, Cepat (4- 12 jam)

15
dimalam hari

Demam Variable Biasanya tinggi tidak tinggi

Suara serak, Ya Ya Ya tidak


batuk
menggonggong

Stridor Ya, minimal sampai Ya, biasanya berat Ya , biasanya Tidak


insiprasi berat sedang

Disfagia Tidak Tidak Tidak Ya

Etiologi Infeksi virus Infeksi virus dengan Infeksi virus Infeksi bakteri
superinfeksi bakteri dengan dengan kultur
komponen tenggorokan dan
alergi darah yang positif

 Laringotrakeitis akut
Laringotrakeitis akut ditandai dengan rinorae, faringitis dan demam yang
tidak terlalu tinggi dalam beberapa hari. Batuk yang ringan biasanya berulang.
Bagaimanapun setelah periode singkat biasanya 12 sampai 48 jam,tanda dan
gejala obstruksi saluran safas bagian atas. Pemeriksaan fisik didapatkan suara
serak, coryza, normal atau inflamasi ringan pada faring, dan peningkatan
frekuensi nafas. Kecepatan progresifitas dan derajat distres pernafasan
befariasi. Paling banyak kasus hanya ditandai dengan suara serak dan batuk
menggonggong, tanpa adanya tanda tanda obstruksi pernafasan. Penyakit ini
biasanya berlangsung 3 sampai degan 7 hari. Beberapa kasus obstruksi saluran
nafas ditandai dengan peingkatan denyut jantung dan frekuensi nafas, nafas
cuping hidung, dan sianosis dengan retraksi supra / infra sternal.1

16
Durasi penyakit paling sering menyerang anak dengan jangka waktu 7
sampai 14 hari. Pemeriksaan laboratorium hanya sedikit membantu dalam
laringotraeitis akut dan tidak rutin digunakan karena diagnosis dibuat
berdasarkan maifestasi klinis. Ketika digunakan terjadi peningkatan sel darah
putih meningkat di atas 10.000/ul dengan selPMN yang dominan, jika
didapatkan nilai sel darah putih yang menigkat di atas 20.000 menandakan
terjadi superinfeksi bakteri, dan dapat didiagnosis dengan epiglotitis.1

 Laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumoniitis


Laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumoniitis adalah
infeksi yang lebih jarang dari pada laringotrakeitus akut dan spasmodic croup.
Penyait ini merupakan kelanjutan dari laringotrakeitis akut. Biasanya pada
anak ditandai dengan gejala laringotrakeitis, dengan gejala ringan sampai
sedang pada 5 samapai 7 hari pertama yang dapat menjadi progresif ke berat.
Keluhan ini ditandai dengan demam biasanya tinggi dan peningkatan usaha
nafas. Pada presentasi, anak tersebut tampak demam tinggi dan memiliki
tanda dan gejala obstruksi jalan napas atas dan bawah. Peningkatan laju
pernafasan, rales, wheezing, dan udara yg terperangkap . Radiografi dada
dapat mengungkapkan infiltrat paru. Obstruksi jalan nafas biasanya
membutuhkan intubasi atau trakeostomi. Beberapa contoh
laryngotracheobronchitis / laryngotracheobronchopneumonitis yang terkait
dengan sindrom syok toksik telah dicatat.1

 Spasmodic croup

Kelompok spasmodik cenderung terjadi pada malam hari di anak-anak


muda antara 3 bulan dan 3 tahun. Seringkali, sulit di awali untuk membedakan
laryngotracheitis dengan kelompok spasmodik. Anak mungkin memiliki
gejala dingin dan terlihat sehat. Awalnya, anak terbangun di malam hari

17
dengan dispnea mendadak, batuk menggonggong , dan stridor inspirasional.
Demam tidak ada, dan pemberian udara lembab dapat memberi kelegaan.
Gejalanya adalah hasil edema subglotis mendadak, dan anak tersebut dapat
melakukan serangan berulang pada malam yang sama dan untuk tiga atau
empat malam berikutnya berturut-turut. Kelompok spasmodik dapat
dibedakan dari laryngotracheitis dengan pemeriksaan endoskopi. Mukosa
laring tampak pucat dan berombak pada kelompok spasmodik dan eritematosa
dan meradang pada laringotrakeitis akut.1

Pada bayi dan anak kecil, tanda-tanda dan gejala klasik dari laringitis
disebabkan oleh infeksi antara lain:3,8

 Batuk yang disertai sesak napas/ stridor yang timbul lambat


 Batuk menggonggong (Hoarse Barky cough)
 Demam.
Sedangkan ketika penyebab laringitis adalah non infeksi, maka batuk bisa
merupakan gejala yang signifikan bersama dengan suara serak. Pasien juga
dapat mengeluhkan terasa penuh di tenggorokan atau mungkin mengeluhkan
kesulitan menelan dan sesak napas. Pada kasus yang jarang, pasien dapat
batuk mengeluarkan air ludah bercampur darah jika peradangan sampai
menyebabkan pendarahan kecil.3

2.5.7. Diagnosis

Diagnosis laringitis akut dapat ditegakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang

1. Anamnesis

Dari anamnesis didapatkan selain gejala infeksi saluran pernapasan atas


(yaitu, demam, batuk, rhinitis), pasien juga mengalami disfonia atau suara serak.

18
Gejala-gejala ini konsisten dengan laringitis namun tidak spesifik untuk laringitis
akut atau kronis. Pasien dengan laringitis juga bisa mengalami odynophonia, disfagia,
odynophagia, dyspnea, rhinorrhea, postnasal discharge, sakit tenggorokan, hidung,
kelelahan, dan malaise. Gangguan suara biasanya berakhir 7-10 hari. Jika gejalanya
menetap lebih dari 3 minggu, maka didiagnosis sebagai laringitis kronis.5

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisis ditemukan suara serak, hidung berair, dan frekuensi
napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien bervariasi sesuai dengan derajat stress
pernapasan yang diderita. Pemeriksaan langsung area laring tidak terlalu diperlukan,
akan tetapi jika diduga terdapat epiglotitis (serangan akut, gawat napas, disfagia)
maka pemeriksaan tersebut sangat diperlukan.`6 Pemeriksaan tidak langsung jalan
napas dengan cermin atau pemeriksaan langsung dengan nasolaryngoscope
mengungkapkan eritema dan edema dari plica vocalis, sekresi, dan permukaan yang
ireguler dari plica vocalis. Perhatikan juga adanya mobilitas plica vocalis yang
normal dan ada tidaknya obstruksi jalan napas. Selain temuan infeksi saluran
pernapasan bagian atas umum, pasien mungkin tampak sehat.5

Sistem paling sering digunakan untuk mengklasifikasikan beratnya sindrom croup


adalah Skor Westley. Hal ini terutama digunakan untuk tujuan penelitian, jarang
digunakan dalam praktek klinis. Ini adalah jumlah poin yang dipaparkan untuk lima
faktor: tingkat kesadaran, sianosis, stridor, masuknya udara, dan retraksi. Hal-hal
yang diberikan untuk setiap faktor terdaftar dalam tabel, dan skor akhir berkisar dari
0 sampai 17 (tabel 1). 1,4,7
 Skor ≤ 2 diklasifikasikan sebagai croup ringan.
 Skor 3-5 diklasifikasikan sebagai croup moderat.
 Skor > 6 diklasifikasikan sebagai croup berat.

19
85% dari anak-anak yang datang ke bagian darurat dengan penyakit
ringan, batuk parah sangat jarang (<1%).

Skor Westley: Klasifikasi keparahan batuk (1,4,7)


Jumlah poin yang ditugaskan untuk fitur ini
Ciri
0 1 2 3 4 5
Retraksi Dinding Tidak
Ringan Moderat Parah
dada ada
Tidak Dengan
Stridor Diam
ada agitasi
Tidak Dengan
Sianosis Diam
ada agitasi
Tingkatkesadaran Normal Bingung
Menurun
Udara masuk Normal Penurunan
tajam

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologis


tidak perlu dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya dengan
anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan fisik.6

Bila ditemukan peningkatan leukosit >20.000/mm3 yang didominasi PMN,


kemungkinan telah terjadi superinfeksi, misalnya epiglotitis. 6

20
Gambar 2. Penyebaran subglotis tipis pada jalan napas pada radiografi, menunjukkan
tanda "menara" klasik di croup

Jika pasien memiliki eksudat di orofaring atau melapisi plica vocalis, maka
dapat diambil sampel untuk dilakukan pemeriksaan gram dan kultur bakteri.5

Pada pemeriksaan radiologis leher posisi postero-anterior ditemukan


gambaran udara steeple sign (seperti menara) yang menunjukkan adanya
penyempitan kolumna subglotis yang mana gambaran radiologis ini hanya ditemukan
pada 50% kasus.6

2.5.8. Tatalaksana
a. Konservatif
- Non Medikamentosa
Laringitis akut dapat sembuh sendiri seiring berjalannya waktu. Pasien
dianjurkan untuk menjaga kelembaban jalan napas dengan istirahat total
penggunaan suara.5,10 Jika harus berbicara maka dianjurkan menggunakan
suara dengan fonasi yang lembut atau bersuara biasa, namun tidak berbisik.
Hal ini disebabkan jika berbisik dapat meningkatkan kerja dari laring.5 Saat
berbisik pita suara akan meregang maksimal dan membutuhkan lebih banyak
kerja dari otot-otot laring sehingga dapat memperpanjang waktu pemulihan.3

21
Selain itu, menghindari iritasi pada laring, misalnya makanan pedas,
makanan berlemak serta makanan atau minuman yang dingin juga dapat
membantu penyembuhan laringitis akut. Antipiretik, antinyeri dan
dekongestan dapat diberikan untuk kenyamanan pasien.5,10

- Medikamentosa

Terapi uap (Nebulizer)

Pengobatan andalan untuk anak-anak yang memiliki croup adalah


manajemen jalan nafas. Sejak abad ke-19, pengobatan uap telah digunakan
untuk mengobati gejala croup. Pemakaian uap dingin lebih baik daripada uap
panas, karena kulit akan melepuh akibat paparan uap panas. Uap dingin
menghirup sekresi jalan nafas dan menenangkan mukosa yang meradang.
Juga, kelembaban menurunkan viskositas sekresi lendir trakea. Penelitian
pada hewan menunjukkan bahwa uap dapat mengaktifkan mechanoreceptors
di laring yang menghasilkan pelambatan refleks laju alir pernafasan. Anak-
anak muda mentolerir uap dingin yang diberikan aerosol sambil duduk di
pangkuan orang tua. Meskipun terapi uap ini dapat menjadi pilihan yang
praktis pada sindrom croup, kelembaban yang ditimbulkan oleh terapi uap
dapat pula memperberat keadaan bronkospasme yang disertai dengan asma,
seperti laringotrakeobronkitis atau pneumonia. Anak-anak ini harus memiliki
percobaan uap dingin yang dihentikan jika mengi terus atau memburuk.1

Sebagian besar pasien tidak perlu dirawat di Rumah Sakit, melainkan


cukup dirawat di rumah. Pasien dirawat di rumah sakit bila dijumpai salah
satu dari gejala-gejala berikut.

- Anak berusia di bawah 6 bulan


- Terdengar stridor progresif
- Stridor terdengar ketika sedang beristirahat

22
- Terdapat gejala gawat napas
- Hipoksemia
- Gelisah
- Sianosis
- Gangguan kesadaran
- Demam tinggi
- Anak tampak toksik
- Tidak ada respon terhadap terapi.6

Jika terdapat tanda-tanda sesak napas atau tanda gagal napas maka
tatalaksana utama adalah mengatasi obstruksi jalan napas.6

- Mempertahankan jalan napas terbuka, dapat dilakukan dengan alat


penyangga oropharyngeal airway (guedel), penyangga nasopharyngeal
airway atau pipa endotrakea.
- Terapi oksigen
Teknik pemberian oksigen disesuaikan dengan situasi klinis dan
kondisi pasien. Berbagai teknik pemberian sebagai berikut: kanul nasal,
oxygen hood/head box, masker dan bantuan ventilator.8

Epinefrin
Terapi farmakologi juga kadang diperlukan. Salah satunya nebulisasi
epinefrin. Nebulasi epinefrin akan menurunkan permeabilitas vascular epitel
bronkus dan trakea, memperbaiki edema mukosa laring dan meningkatkan
laju udara pernapasan.6

Epinefrin racemic adalah campuran 1:1 dari isomer d dan l epinefrin.


Mekanisme tindakan diyakini merupakan stimulasi reseptor alfa-adrenergik
dengan penyempitan arteriole kapiler selanjutnya. Hal ini menyebabkan
resorpsi fluida bukan kebocoran kapiler dari ruang interstisial dan akibatnya
terjadi penurunan edema mukosa laring. Penelitian tambahan telah

23
menunjukkan bahwa dosis yang sama hanya lomeromer epinefrin memiliki
efek menguntungkan yang sama dengan bentuk rasemat. Informasi ini sangat
penting di luar Amerika Serikat, di mana epinefrin rasemat tidak tersedia.
Meskipun epinefrin nebulisasi mungkin memiliki efek dramatis pada gejala
kroup, mengurangi stridor inspirasi dan retraksi interkostal, reaksi merugikan
umum terhadap bentuk rasemat dan l-isomer, termasuk takikik dan hipertensi,
dapat membatasi kegunaannya. 1

Selain itu, nebulisasi epinefrin ini timbul dalam waktu 30 menit dan
bertahan selama dua jam, Epinefrin yang dapat digunakan antara lain sebagai
berikut:6,13

1. Racemic epinephrine (campuran 1:1 Isomer d dan 1 epinefrin) dengan


dosis 0,5 ml larutan racemic epinephrine 2,25% yang telah dilarutkan
dalam 3ml salin normal. Larutan tersebut diberikan melalui nebulizer
selama 20 menit
2. L-epinephrine 1:100 sebanyak 5 ml, diberikan melalui nebulizer. Efek
terapi terjadi dalam 2 jam.

Racemic epinephrine merupakan pilihan utama, efek terapinya lebih besar


dan mempunyai sedikit efek terhadap kardiovascular seperti takikardi dan
hipertensi. Nebulisasi epinefrin masih dapat diberikan pada pasien dengan
takikardi dan kelainan jantung seperti tetralogi Fallot.6

Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid dapat mengurangi edema pada mukosa laring
melalui mekanisme anti radang. Uji klinis menunjukkan adanya perbaikan
pada pasien laringitis ringan sedang yang diobati dengan steroid oral atau
parenteral dibandingkan dengan placebo. Kortikosteroid yang dapat diberikan
yaitu deksametason dengan dosis 0,6 mg/kgBB per oral/ intramuskular
sebanyak 1 kali dan dapat diulang dalam 6-24 jam. Efek klinis akan tampak

24
dalam 2-3 jam setelah pengobatan. Selain deksametason, dapat juga diberikan
prednison atau prednisolone dengan dosis 1-2mg/kgBB6 atau metilprednisolon
11
1-2mg/kbBB kemudian diikuti 0,5mg/kgBB setiap 6-8 jam. Selain itu,
nebulasi budesonid juga dipakai sejak tahun 1990. Larutan 2-4mg budesonid
(2 ml) diberikan melalui nebulizer dan dapat diulang pada 12 sampai 48 jam
pertama. Efek terapi nebulisasi budesonid terjadi dalam 30 menit sedangkan
kortikosteroid sistemik terjadi dalam satu jam. Pemberian terapi ini mungkin
akan lebih bermanfaat pada pasien dengan gejala muntah dan gawat napas
yang hebat. Namun pada sebagian besar kasus pemakaian budesonid tidak
lebih baik daripada deksametason oral. Budesonid dan epinefrin dapat
digunakan secara bersamaan.6,13

Keuntungan pemakaian kortikosteroid adalah sebagai berikut:


 Mengurangi rata-rata tindakan intubasi
 Mengurangi rata-rata lama rawat inap
 Menurunkan hari perawatan dan derajat penyakit.

Kombinasi Oksigen-Helium
Kombinasi oksigen dan helium (Heliox) digunakan oleh beberapa sentra
untuk mengatasi sindrom croup. Helium bersifat inert, tidak beracun, serta
mempunyai densitas dan viskositas yang rendah. Hal ini sangat membantu
mengurangi obstruksi jalan napas, yaitu dengan meningkatkan aliran gas dan
mengurangi kerja otot-otot respiratorius. Bila helium dikombinasikan dengan
oksigen, maka oksigenasi darah akan meningkat.2,13
Dengan terapi oksigen-helium ini, pasien sindrom croup berat akan merasa
nyaman dan kemungkinan besar tidak memerlukan tindakan intubasi. Efek
klinis pemberian kombinasi oksigen-helium hampir sama dengan pemberian
nebulisasi epinefrin.2

25
Antibiotik
Pemberian antibiotik tidak diperlukan kecuali pada pasien dengan
laringitis yang disertai infeksi bakteri. Pasien diberi terapi empiris sambil
menunggu hasil kultur. Terapi awal dapat menggunakan sefalosporin generasi
ke-2 atau ke-3.6

Sebuah review sistematis yang sangat baik mencoba untuk menjawab


pertanyaan apakah antibiotik yang direkomendasikan dalam kasus laringitis
akut. Para penulis mengutip 2 studi oleh kelompok riset yang sama. Dalam
satu studi, pasien menerima baik penisilin V (800 mg selama 5 hari) atau
plasebo. Dua kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam
gejala atau gangguan pita suara. Kelompok riset menerbitkan sebuah studi
kedua dimana eritromisin diberikan. Mereka yang menerima eritromisin
menunjukkan perbaikan kualitas suara setelah satu minggu dan gejala batuk
sedikit lebih baik setelah 2 minggu. Kesimpulan keseluruhan dari Cochrane
Systematic Review database adalah bahwa antibiotik tidak diindikasikan
untuk sebagian besar kasus laringitis akut dan tidak boleh diresepkan sebagai
pengobatan lini pertama untuk laringitis akut.5

b. Operatif
- Trakeostomi dan Intubasi endotrakeal

Jika terdapat tanda tarikan dinding dada bagian bawah kedalam yang
berat dan gelisah merupakan indikasi dilakukan trakeostomi dari pada
oksigen. Intubasi endotrakeal dilakukan pada kasus yang berat yang tidak
responsif terhadap terapi yang lain. Intubasi endotrakeal merupakan terapi
alternatif selain trakeostomi untuk mengatasi obstruksi jalan napas. Indikasi
melakukan endotrakeal adalah adanya hiperkarbia dan adanya ancaman gagal
napas. Selain itu, peningkatan stridor, peningkatan frekuensi napas,
peningkatan frekuensi nadi, retraksi dinding dada, sianosis, letargi atau

26
penurunan kesadaran. Intubasi hanya diperlukan untuk jangka waktu yang
singkat yaitu hingga edema laring hilang atau teratasi.6,13

27
Dibawah ini diuraikan algoritma penatalaksanaan sindrom croup sebagai

berikut: 4
CROUP Diagnosis banding
- Aspirasi benda asing
- Abnormalitas kongenital
- epiglotitis
Obstruksi jalan napas
yangmengancam jiwa
- Sianosis
- Penurunan kesadaran
- O2 100% dengan sungkup muka dan nebulisasi adrenalin (5ml)
1:1000
TIDAK YA - Intubasi anak sesegera mungkin (oleh seorang yang
berpengalaman)
- Hubungi pusat rujukan pelayanan kesehatan anak
-

Croup derajat berat


Croup derajat ringan Croup derajat sedang - Stridor menetap saat istirahat
- Batuk menggonggong - Stridor saat inspirasi - Tracheal tug dan retraksi dinding
- Tanpa retraksi dada - Terdapat retraksi dinding dada maksimal dada terlihat jelas.
- Tanpa sianosis - Mampu berinteraksi - Apatis dan gelisah
- Pulsus paradoksus

- Edukasi orang tua Kortikosteroid deksametason 0,15-


- Pertimbangkan kortikosteroid 0,30mg/kg - Minimal handling
dosis tunggal (oral) ATAU prednison 1-2mg/kg (oral) - O2 4 lpm dan nebulisasi adrenaline
- Periksa kemampuan orang tua ATAU nebulisasi Budesonid 2mg dan kortikosteroid sistemik (dosis
dan kemampuan dalam jika kortikosteroid oral tidak sama dengan croup derajat sedang)
menyediakan transport berpengaruh - Intubasi
DIPULANGKAN OBSERVASI >4JAM RAWAT RS

MEMBAIK
- Dipulangkan bila tidak ada TIDAK MEMBAIK
stridor saat istirahat - Evaluasi ulang
- Edukasi orang tua pasien Perbaikan - Rawat
- Hubungi konsulen
- Evaluasi diagnosis

- Rawat/observasi IGD
- Ulangi kortikosteroid oral/12 - Nebulisasi adrenalin (dosis
2.3.8. Komplikasi Sebagian sama) DAN kostokosteroid
jam
- Edukasi orang tua pasien sistemik (dosis sama)
- Sediakan penjelasan tertulis - Persiapkan pelayanan untuk
untuk dokter umum yang tindakan darurat
akan follow up - Pertimbangkan intubasi

28
Pada 15% kasus dilaporkan terjadi komplikasi misalnya otitis media,
dehidrasi dan pneumonia (jarang terjadi). Sebagian kecil pasien memerlukan
tindakan intubasi. Gagal jantung dan gagal napas dapat terjadi pada pasien yang
perawatan dan pengobatannya tidak adekuat.6 Pada kasus yang jarang, dapat terjadi
respiratory distress (RD) yang berat yang memerlukan perhatian medis segera.10

2.5.9. Prognosis

Laringitis akut merupakan self-limited dengan prognosis yang baik.5,6 Namun


penyakit ini juga dapat menimbulkan obstruksi saluran pernapasan yang cenderung
menjadi berat bahkan fatal yakni dapat terjadi gagal napas atau bahkan henti napas.
5,6,8

2.5.10. Pencegahan 10,12

1. Pencegahan dengan vaksin Haemophilus influenza pada anak-anak


2. Menghindari orang-orang yang menderita infeksi saluran napas
3. Menghindari asap rokok yang dapat menyebabkan iritasi pada laring
4. Sering mencuci tangan
5. Menjaga agar tidak menggunakan suara secara berlebihan seperti berteriak
dan menangis.

29
BAB III

Kesimpulan

Istilah lain untuk croup adalah laringitis akut yang menunjukkan lokasi
inflamasi, yang jika meluas sampai trakea disebut laringotrakeitis, dan jika sampai ke
bronkus digunakan istilah laringotrakeobronkitis. Sindroma croup atau
laringotrakeobronkitis akut disebabkan oleh virus yang menyerang saluran pernafasan
bagian atas. Penyakit ini dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas, obstruksi ini
dapat ringan sampai berat.1,2

Sifat penyakit ini adalah self limited, tetapi kadang cenderung mejadi berat
bahka fatal. Sebelum kortikosteorid digunakan. Namun penyakit ini juga dapat
menimbulkan obstruksi saluran pernapasan yang cenderung menjadi berat bahkan
fatal yakni dapat terjadi gagal napas atau bahkan henti napas. Oleh karena itu,
pencegahan dan penatalaksanaan yang tepat sangat dibutuhkan.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Malhotra, Amisha and Leonard R. Krilo. 2017. Viral Croup. American


Academy od Pediatric : April 2017. Diunduh tanggal 22 April 2017.
http://pedsinreview.aappublications.org/content/pedsinreview/22/1/5.full.pdf
2. Anonim, 2013. Anatomi dan fisiologi sistem saluran pernafasan. Diunduh
tanggal 22 april 2017.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/21820/Chapter%20II.p
df;jsessionid=DC9AC540C6C956A7165C8D40C2FC139C?sequence=4
3. Wedro B, Stoppler MC. Laryngitis. [serial online] 2014 [cited 30 Oktober
2014]. Didapat dari http://www.medicinet.com/script/main/art.asp?articleke
y=100434&pf=2
4. Vashishta R. Larynx anatomy. [serial online] 21 Juni 2014 [cited 5 November
2014]. Didapat dari http://emedicine.medscape.com/article/1949369-
overview#showall
5. Shah RK. Acute laryngitis.[serial online] 11 Agustus 2014 [cited 30 Oktober
2014]. Didapat dari http://emedicine.medscape.com/article/864671
6. Malhotra Amisha, Krilov Leonard R. Viral Croup. American Academy of
Pediatrics. 2013;1-6
7. Benson BE. Stridor. [serial online] 14 Agustus 2012 [cited 30 Oktober 2014].
Didapat dari http://emedicine.medscape.com/article/995267
8. Badan penerbit ikatan dokter anak Indonesia. Pedoman pelayanan
medis.2009;84-8
9. Departemen kesehatan RI. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah
sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten/kota. Jakarta: 2008;104-5
10. Laryngitis. [serial online] 11 Oktober 2012 [cited 30 Oktober 2014]. Didapat
dari http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001385.htm

31
11. Badan penerbit ikatan dokter anak Indonesia. Formularium spesialistik ilmu
kesehatan anak.2013;142
12. Feierabend RH, Shahram MN. Hoarseness in adults. Am Fam Physician. 2009
Aug 15;80(4):363-70. Dalam Shah RK. Laryngitis [serial online] 8 September
2012 [cited 5 November 2014]. Didapat dari
http://www.emedicinehealth.com/script/main/art.asp?articlekey=58797&pf=3
&page=11
13. Croup. Buku saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO.
DEPKES dan IDAI. 2009; 104-105

32

Anda mungkin juga menyukai