Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MAKALAH

Hukum Waris Adat

Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Adat

Dosen Pengampu : A. Turmudi, SH, Msi.

Disusun oleh :

Handika S. Diputra 122211035

M. Najib Himawan 122211056

Wahyu Supriyo 122211075

Fakultas Syari’ah & Ekonomi Islam

IAIN Walisongo Semarang

2013

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat, termasuk dalam hal pewarisan,
Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris diantaranya, diantaranya waris menurut hukum
BW, hukum Islam, dan adat. Masing-masing hukum tersebut memiliki karakter yang berbeda dengan
yang lain.

Hukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan individual. Sistem waris kolektif yaitu,
harta warisan dimiliki secara bersam-sama, dan ahli waris tidak diperbolehkan untuk memiliki secara
pribadi. Jika ingin memanfaatkan harta waris tersebut, harus ada musyawarah dengan ahli waris
yang lain. Sistem waris mayorat yaitu, harta waris dimiliki oleh ahli waris yang tertua, dikelola dan
dimanfaatkan untuk kepentingan ahli waris yang muda baik perempuan atau laki-lak sampai merka
dewasa dan mampu mengurus dirinya sendiri. Sistem waris individual yaitu, harta warisan bisa
dimliki secara pribadi oleh ahli waris, dan kepemilikkan mutlak ditangannya.

Harta warisan menurut hukum adat bisa dibagikan secara turun-temurun sebelum pewaris
meninggal dunia, tergantung dari musyawarah masing-masing pihak. Hal ini sangat berbeda dengan
kewarisan hukum BW dan hukum Islam yang mana harta warisan harus dibagikan pada saat ahli
waris telah meninggal dunia. Apabila harta warisan diberikan pada saat pewaris belum meninggal
dunia, maka itu disebut pemberian biasa atau dalam hukum Islam bisa disebut sebagai hibah.

Dengan adanya beragam bentuk sistem kewarisan hukum adat, menimbulkan akibat yang berbeda
pula, maka pada intinya hukum waris harus disesuaikan dengan adat dan kebudayaan masing-
masing daerah dengan kelebihan dan kekurangan yang ada pada sistem kewarisan tersebut.

B. Rumusan Masalah

Dari sedikit ulasan diatas dapat ditarik point pertanyaan yakni, bagaimana Hukum Waris Adat dan
pembagian-pembagiannya?

II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Waris Adat

Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlaku secara nasional belum terbentuk, dan hingga kini ada
3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat RI, yakni hukum waris yang
berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Burgerlijk Wetboek (BW)1. Hal ini adalah akibat
warisan hukum yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.

Menggunakan hukum waris menurut hukum adat, menurut Wirjono Projodikoro (19911 : 58),
hukum adat pada umumnya bersandar pada kaidah sosial normatif dalam cara berpikir yang konkret
yang sudah menjadi tradisi masyarakat tertentu2.

Menurut Ter Haar3, hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang bertalian dengan dari
abad ke abad penerusan dan peralihan harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari
generasi ke generasi. Selain itu, ada pendapat lain ditulis bahwa Hukum Adat Waris memuat
peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta
benda yang berwujud dan yang tidak berwujud, dari suatu angkatan generasi manusia kepada
keturunnya4.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa Hukum Waris Adat mengatur proses
penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari pewaris pada
waktu masih hidup atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya.

Adapun sifat Hukum Waris Adat secara global dapat diperbandingkan dengan sifat atau prinsip
hukum waris yang berlaku di Indonesia, di antaranya adalah5 :
1. Harta warisan dalam sistem Hukum Adat tidak merupakan kesatuan yang dapat dinilai
harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak dapat terbagi atau dapat terbagi tetapi menurut
jenis macamnya dan kepentingan para ahli waris, sedangkan menurut sistem hukum barat dan
hukum Islam harta warisan dihitung sebagai kesatuan yang dapat dinilai dengan uang.

2. Dalam Hukum Waris Adat tidak mengenal asas legitieme portie (bagian mutlak), sebagaimana
diatur dalam hukum waris barat dan hukum waris Islam.

3. Hukum Waris Adat tidak mengenal adanya hak bagi ahli waris untuk sewaktu-waktu menuntut
agar harta warisan segera dibagikan.

Berdasarkan ketentuan Hukum Adat pada prinsipnya asas hukum waris itu penting, karena asas-asas
yang ada selalu dijadikan pegangan dalam penyelesaian pewarisan. Adapun berbagai asas itu di
antaranya seperti asas ketuhanan dan pengendalian diri, kesamaan dan kebersamaan hak,
kerukunan dan kekeluargaan, musyawarah dan mufakat, serta keadilan. Jika dicermati berbagai asas
tersebut sangat sesuai dengan kelima sila yang termuat dalam dasar negara RI, yaitu Pancasila.

Di samping itu, menurut Muh. Koesnoe, di dalam Hukum Adat juga dikenal tiga asas pokok, yaitu
asas kerukunan, asas kepatutan dan asas keselarasan. Ketiga asas ini dapat diterapkan dimana dan
kapan saja terhadap berbagai masalah yang ada di dalam masyarakat, asal saja dikaitkan dengan
desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan). Dengan menggunakan dan mengolah asas
kerukunan, kepatutan dan keselarasan dikaitkan dengan waktu, tempat dan keadaan, diharapkan
semua masalah akan dapat diselesaikan dengan baik dan tuntas.

Hukum waris menurut hukum adat pada dasarnya merupakan sekumpulan hukum yang mengatur
proses pengoperan dari satu generasi selanjutnya. Unsur-unsur hukum mawaris adat adalah sebagai
berikut :

1. Proses pengoperan atau hibah atau pewarisan atau warisan.

Maksud dari proses disini berarti bahwa pewarisan hukum adat bukan selalu aktual dengan adanya
kematian, atau walaupun tak ada kematian proses pewarisan itu tetap ada, mengenai penerusan,
pengoperan dan penerusan kedudukan harta material dan immaterial, penerusan itu dari generasi
ke generasi berikutnya. Jadi pewarisan ini bukan merupakan pewarisan individual.

2. Harta benda materiil dan imateriil.

Tiap kesatuan keluarga mesti ada benda-benda material yang dimiliki oleh keluarga itu, yang disebut
dengan kekayaan. Kekayaan yang biasa disebut harta keluarga (gezinsgoed), dapat diperoleh dengan
cara, antara lain : (1) harta suami istri yang diperoleh dari harta warisan dari orang
tuanya(toessheding), (2) harta suami istri yang diperoleh sendiri sebelum perkawinan, (3) harta
suami istri yang diperoleh bersama-sama semasa perkawinan, dan (4) harta yang ketika menikah
kepada pengantin (suami istri). Kekayaan dalam keluarga tersebut pada dasarnya memiliki beberapa
fungsi :

a. Kekayaan merupakan basis material dalam kehidupan keluarga yang dinamakan harta rumah
tangga bagi kesatuan rumah tangga.
b. Kekayaan berfungsi untuk memberi basis material bagi kesatuan-kesatuan rumah tangga yang
akan dibentuk oleh keturunan.

c. Karena harta kekayaan itu merupakan basis material dari pada kesatuan-kesatuan
kekeluargaan, maka dari sudut lain harta kekayaan itu merupakan alat untuk mempersatukan
kehidupan keluarga.

d. Karena harta kekayaan itu adalah pemersatu kehidupan keluarga, maka pada dasarnya dalam
proses pewarisan, tidak dilakukan pembagian atau pada dasarnya harta peninggalan tak dibagi-bagi.

Berdasarkan ketentuan mengenai fungsi dari pada harta kekayaan, maka dalam hukum waris di
kenal dua harta macam peninggalan yaitu :

a. Harta peninggalan yang dapat dibagi yaitu, peninggalan yang dibagi-bagikan pada ahli
warisnya yaitu kepada anak-anaknya.

b. Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi yaitu, jika orang itu meninggal, maka : hartanya
menjadi harta pusaka yang dimiliki oleh komplek-famili yang dipimpin oleh kepala-famili, dan hanya
ada seorang anak saja yang berhak mewarisi. Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi di
golongkan menjadi dua yaitu, mayorat (sistem pewarisan dimana anak tertua yang menjadi ahli
waris) dan kolektif (suatu sistem kewarisan yang dimana harta pusaka yang dimiliki bersama, yaitu
dimiliki oleh keluarga didalam arti kerabat (famili)).

3. Satu generasi kegenerasi selanjutnya.

Pada dasarnya yang menjadi ahli waris dalam hukum adat adalah angkatan (generasi).

4. Tata cara penyelenggaraan pembagian warisan.

Tata cara penyelenggaraannya pembagian warisan menurut hukum adat meliputi tiga cara yaitu
sebagai berikut :

a) Waris, waris berdasarkan sistem tata tertib sanak yang terbagi dalam tiga sistem yaitu waris
parental, waris patrilineal, dan waris matrilineal.

b) Hibah, adalah perbuatan hukum yang dimana seseorang tertentu memberikan sutau
barang(kekayaan) tertentu kepada seseorang yang diingkan, menurut kaidah hukum yang berlaku.
Hibah dibagi emnajdi dua yaitu hibah biasa (pembagian barang milik seseorang yang langsung diikuti
dengan pnyerahan seketika barang), dan hibah wasiat (pembagian barang milik seseorang yang tidak
selalu diikuti penyerahan seketika itu, juga barang-barang itu kepada yang mendapat barang masing-
masing dan abru akan diserahkan apabila si pemberi sudah meninggal dunai). Dengan kata lain hibah
wasiat berlaku setelah si pemberi meninggal.

B. Pembagian Waris Menurut Hukum Adat

Dalam hal pembagiannya yaitu anak-anak dan atau keturunannya serta janda, seluruh harta
menurut pasal 852 BW harus di bagi sebagai berikut6:
1. Apabila anak-anak dari si wafat masih hidup, anak-anak itu dan janda mendapat masing-masing
suatu bagian yang sama, misalnya ada 4 anak dan janda maka mereka masing-masing 1/5 bagian.

2. Apabila salah seorang anak sudah meninggal lebih dahulu, dan ia mempunyai anak (jadi cucu
dari si peninggal warisan), misalnya 4 cucu, maka mereka semua mendapat 1/5 bagian selaku
pengganti ahli waris (plaatsvervulling) menurut pasal 842 BW. Jadi masing –masing cucu mendapat
1/20 bagian.

Dalam hal ini tidak diperdulikan apakah anak-anak itu adalah lelaki maupun perempuan, anak tertua
atau termuda (zonder onderscheid van kunne of eerstegeboorte)7.

Menurut ketentuan Hukum Adat yang berkembang di dalam masyarakat, secara garis besar dapat
dikatakan bahwa sistem (pembagianya) hukum waris adat terdiri dari tiga sistem, yaitu8:

1. Sistem Kolektif, Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan dan pengalian harta warisan
sebagai satu kesatuan yang tidak terbagi dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk
menggunakan atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya seperti Minangkabau, Ambon
dan Minahasa.

2. Sistem Mayorat, Menurut sistem ini harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak
terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu saja, misalnya anak laki-laki
tertua (Bali, Lampung, Teluk Yos Sudarso) atau perempuan tertua (Semendo/ Sumatra Selatan), anak
laki-laki termuda (Batak) atau perempuan termuda atau anak laki-laki saja.

3. Sistem Individual, berdasarkan prinsip sistem ini, maka setiap ahli waris mendapatkan atau
memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini dijalankan di
masyarakat di Jawa dan masyarakat tanah Batak.9

C. Harta Waris Adat

Harta waris adalah harta yang ditinggalkan atau yang diberikan oleh pewaris kepada warisnya, baik
yang dapat dibagi maupun yang tidak dapat dibagi. Harta waris dapat dibagi dalam empat bagian,
yaitu : harta asal, harta pemberian, harta pencaharian, hak dan kewajiban yang diwariskan.

1. Harta asal

Harta asal adalah harta yang diperoleh atau dimiliki oleh pewaris sebelum perkawinan yang dibawa
kedalam perkawinan, baik harta itu berupa harta peninggalan maupun harta bawaan.

Harta peninggalan dapat dibedakan harta peninggalan yang tetap tak terbagi dan harta peninggalan
yang dapat dibagi, demikian juga harta bawaan ada harta bawaan di isteri dan harta bawaan suami.

Harta peninggalan ada harta peningggalan yang tak terbagi dan harta peninggalan yang dapat dibagi.
Dalam pewarisan yang banyak membawa persoalan adalah harta peninggalan yang tak terbagi,
karena terhadap harta ini ada seolah-olah waris kehilangang haknya untuk memiliki secara
perseorangan atau menguasai secara penuh.Suatu harta peninggalan tidak terbagi dalam hukum
adat kita disebabkan karena sifat dan kedudukan dari harta itu. Dalam masyarakat bilateral di Jawa,
harta peninggalan dapat menjadi harta peninggalan yang tak terbagi bilamana misalnya seorang
janda atau anak-anaknya yang belum dewasa harus mendapat nafkahnya daripadanya dan
pemberian nafkah ini tidak akan terjamin bila diadakan pembagian.

Di Minangkabau dikenal harta pusaka tinggi seperti rumah gadang, sawah atau peladangan. Dalam
masyarakat matrilinial ini harta pusaka adalah kepunyaan kaum dimana ibu sebagai pusat
pengusaannya. Harta peninggalan ini tidak mungkin dimiliki secara perseorangan melainkan secara
bersama memilikinya bagi para anggota kerabat dari pihak ibu tersebut.

Terhadap harta kerabat di Minangkabau atau di Hitu Ambon penguasaannya dipimpin oleh mamak
kepala waris di Minangkabau, kepala dati di Hitu. Selain faktor-faktor di atas, harta peninggalan tak
terbagi karena harta tersebut hanya diperuntukkan penguasaannya untuk diurus seperti dalam
masyarakat patrilinial beralih-beralih di Bali harta peninggalan dikuasai oleh anak laki-laki yang
tertua yang menggantikan kedudukan orang tua untuk mengurusi dan memelihara saudara-
saudaranya, atau di Semendo yang menganut sistim matrilinial harta peninggalan hanya dikuasai
dan diurus, tidak dapat dipindah tangankan, pada umumnya banyak harta peninggalan tetap tinggal
tidak dibagi-bagi dan disediakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan materiil keluarga yang
ditinggalkan”. ( R,Soepomo, 1980 : hlm.81).

Sedangkan harta peninggalan yang dapat dibagi pada umumnya terdapat pada masyarakat patrilinial
di Batak, dan masyarakat bilateral di Jawa, dan tidak menutup kemungkinan di daerah-daerah yang
harta peninggalan tersebut di atas karena pergeseran zaman dan merenggangnya sistim
kekerabatan harta tersebut dibagi, namun pada prinsipya tidak dapat dibagi. Demikian juga di
Semende yang menjadi harta yang tak terbagi atau tetap terbagi-bagi hanya harta tunggu tubang
saja, sedangkan harta diluar harta tubang dapat dibagi. Harta yang dapat dibagi biasanya merupakan
harta pencaharian atau harta bawaan.

Harta bawaan adalah harta yang dimiliki oleh suami atau isteri sebelum perkawinan. Oleh sebab itu
dibagi antara harta bawaan suami dan harta bawaan isteri. Harta bawaan itu ada yang terikat
dengan kerabat dan ada yang tidak terikat dengan kerabat. Harta bawaan yang terikat dengan
kerabat seperti harta pihak suami yang dibawa pihak suami yang dibawa ke tempat kediaman
isterinya (matrilokal) dalam masyarakat matrilinial di Minangkabaum harta yang diberikan kepada
anak perempuan selagi masih gadis di Batak yang dibawa menetap di tempat kediaman suaminya
(patrilokal) yang dinamakan tano atau saba bangunan. Harta bawaan yang tidak terikat dengan
kerabat, karena harta itu hasil pencaharian si suami selagi masih bujang (harta pembujangan,
Sumatera Selatan), harta penantian bagi si isteri semasa gadis atau guna kaya di Bali baik harta
perempuan ataupun harta laki-laki.

Kedua harta ini dalam masyarakat kita mempunyai kedudukan yang berbeda sesuai dengan bentuk
masyarakat itu.

2. Harta pemberian
Harta pemberian adalah harta yang dimiliki oleh pewaris karena pemberian, baik pemberian dari
suami bagi si isteri, pemberian dari orang tua, pemberian kerabat, pemberian orang lain, hadiah-
hadiah perkawinan atau karena hibah wasiat. Harta pemberian dibedakan dengan harta asal, sebab
harta asal telah ada sebelum perkawinan sedangkan harta pemberian ada setelah perkawinan. Harta
pemberian orang tua, dalam beberapa masyarakat terikat dengan kerabat, seperti harta pemberian
si bapak kepada anak perempuannya sewaktu gadis ini Batak atau selagi anak tersebut dalam
perkawinan (saba bangunan, pauseang, indahan arian), bila si isteri ini meninggal dan tidak
mempunyai anak, maka harta ini akan kembali pada kerabatnya.

Harta pemberian orang lain, seperti pemberian dari teman sekerja.

Bila harta pemberian tersebut ditujukan kepada salah satu pihak suami-isteri, sama halnya dengan
pemberian kerabat hanya saja motif pemberiannya berbeda. Pemberian kerabat biasanya
didasarkan rasa kasihan, welas asih atau tolong-menolong, sedangkan pemberian orang lain karena
rasa persahabatan dan sebagainya.

3. Harta pencaharian

Harta pencaharian adalah harta yang diperoleh oleh suami-isteri, suami saja atau isteri saja dalam
perkawinan karena usaha dari suami-isteri atau salah satu pihak. Secara umum harta yang diperoleh
dalam perkawinan adalah harta bersama suami-isteri, tetapi dalam beberapa masyarakat ada harta
pencaharian suami saja, atau harta pencaharian si isteri saja disebabkan bentuk perkawinan dan
sistim kekerabatannya.

Di Minangkabau harta bersama dikenal harta suarang, di Jawa gono-gini, di Kalimantan harta
perpantanganm di Bugis dan Makasar dikenal cakkara. Harta bersama dapat bertambah karena
harta bawaan, harta pemberian, dan harta lain yang diperuntukkan untuk keluarga yang diberikan
tersebut.

D. Hukum Waris Adat Patrilineal

Patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah. Kata
ini seringkali disamakan dengan patriarkat atau patriari, meskipun pada dasarnya artinya berbeda.
Patilineal berasal dari dua kata, yaitu pater (bahasa Latin) yang berarti "ayah", dan linea (bahasa
Latin) yang berarti "garis". Jadi, "patrilineal" berarti mengikuti "garis keturunan yang ditarik dari
pihak ayah".

Sementara itu patriarkat berasal dari dua kata yang lain, yaitu pater yang berarti "ayah" dan archein
(bahasa Yunani) yang berarti "memerintah". Jadi, "patriari" berarti "kekuasaan berada di tangan
ayah atau pihak laki-laki".10

Di dalam sistem ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol,
contohnya pada masyarakat Batak dan Bali. Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki sebab anak
perempuan yang telah kawin dengan cara "kawin jujur" yang kemudian masuk menjadi anggota
keluarga pihak suami, selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris orang tuanya yang meninggal dunia.
Dalam masyarakat tertib Patrilineal seperti halnya dalam masyarakat Batak Karo, khususnya, dan
dalam masyarakat Batak pada umumnya”.11 Titik tolak anggapan tersebut, yaitu :

1. Emas kawin (tukur), yang membuktikan bahwa perempuan dijual;

2. Adat lakoman (levirat) yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara dari
suaminya yang telah meninggal.

3. Perempuan tidak mendapat warisan;

4. Perkataan “naki-naki” menunjukkan bahwa perempuan adalah makhluk tipuan, dan lain-lain.

Akan tetapi ternyata pendapat yang dikemukakan di atas hanya menunjukkan ketidaktahuan dan
sama sekali dangkal sebab terbukti dalam cerita dan dalam kesusasteraan klasik, kaum wanita tidak
kalah peranannya dibandingkan dengan kaum laki-laki.12

Meskipun demikian, kenyataan bahwa anak laki-laki merupakan ahli waris pada masyarakat
patrilineal, dipengaruhi pula oleh beberapa faktor sebagai berikut:

1. Silsilah keluarga didasarkan pada anak laki-laki. Anak perempuan tidak dapat melanjutkan
silsilah (keturunan keluarga);

2. Dalam rumah-tangga, isteri bukan kepala keluarga. Anak-anak memakai nama keluarga
(marga) ayah. Istri digolongkan ke dalam keluarga (marga) suaminya;

3. Dalam adat, wanita tidak dapat mewakili orang tua (ayahnya) sebab ia masuk anggota
keluarga suaminya;

4. Dalam adat, laki-laki dianggap anggota keluarga sebagai orang tua (ibu);

5. Apabila terjadi perceraian, suami-isteri, maka pemeliharaan anak-anak menjadi tanggung


jawab ayahnya. Anak laki-laki kelak merupakan ahli waris dari ayahnya baik dalam adat maupun
harta benda.

Di dalam pelaksanaan penentuan ahli waris dengan menggunakan kelompok keutamaan maka harus
diperhatikan prinsip garis keturunan yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu. Pada umumnya
masyarakat Bali menganut susunan kekeluargaan patrilinial, sehingga dalam hukum adat di Bali
terdapat persyaratan-persyaratan sebagai ahli waris menurut I Gde Pudja adalah :

1. Ahli waris harus mempunyai hubungan darah, yaitu misalnya anak pewaris sendiri.

2. Anak itu harus laki-laki.

3. Bila tidak ada anak barulah jatuh kepada anak yang bukan sedarah yang karena hukum ia
berhak menjadi ahli waris misalnya anak angkat.

4. Bila tidak ada anak dan tidak ada anak angkat, hukum Hindu membuka kemungkinan adanya
penggantian melalui penggantian atas kelompok ahli waris dengan hak keutamaan kepada kelompok
dengan hak penggantian lainnya yang memenuhi syarat menurut Hukum Hindu13
Apabila suatu keluarga hanya mempunyai anak perempuan tanpa ada anak laki-laki maka anak
perempuan itu dapat diangkat statusnya sebagai anak laki-laki (sentana rajeg) dengan cara
perkawinan ambil laki, sehingga anak perempuan tersebut dapat menjadi sebagai ahli waris dari
harta warisan orang tuanya. Anak angkat berdasarkan hukum waris adat di Bali dilakukan bilamana
suatu keluarga tidak mempunyai keturunan, sehingga fungsi anak angkat itu sebagai penerus
generasi atau keturunan, agar mantap sebagai penerus keturunan dan tidak ada keragu-raguan
maka pengangkatan anak ini haruslah diadakan upacara “pemerasan” dan diumumkan di hadapan
masyarakat.14

Upacara penggangkatan anak ini dimaksudkan untuk melepaskan anak itu dari ikatan atau hubungan
dengan orang tua kandungnya dan sekaligus memasukkan anak itu ke dalam keluarga yang
mengangkatnya. Dalam sistem hukum adat waris patrilineal, pewaris adalah seorang yang meninggal
dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu diperoleh selama dalam
perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam hukum adat perkawinan suku bersistem
patrilineal, yang memakai marga itu berlaku keturunan patrilineal maka orang tua merupakan
pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari
orang tuanya.

Sifat masyarakat patrilinial adalah masyarakat yang anggota- anggotanya menarik garis keturunan
melalui garis bapak. Sifat kekeluargaan masyarakat adat ini disebut juga dengan masyarakat
Unilaterial. Pada masyarakat unilaterial diperlakukan kawin jujur. Pola pembagian harta warisan
masyarakat parental adalah :

a. Yang berhak mewarisi hanyalah anak laki- laki

b. Kakek, jika tidak memiliki anak laki- laki

c. Saudara laki- laki, jika kakek tidak ada

E. Hukum Waris Adat Matrilinial

Di RI hukum waris adat bersifat pluralistik menurut suku bangsa atau kelompok etnik yang ada. Pada
dasarnya hal itu disebabkan oleh sistem garis keturunan yang berbeda-beda, yang menjadi dasar
dari sistem suku-suku bangsa atau kelompok-kelompok etnik. Masalahnya adalah, antara lain:
Apakah ada persamaan antara hukum waris adat yang dianut oleh berbagai suku atau kelompok
tersebut, dan apakah hal itu tetap dianut walaupun mereka menetap di luar daerah asalnya.15

Menguraikan system hukum adat waris dalam suatu masyarakat tertentu, kiranya tidak dapat
terlepas dari system kekeluargaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Demikian
pula halnya dengan system hukum adat waris dalam masyarakat matrilinial di Minangkabau, ini
berkaitan erat dengan system kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari pihak ibu.

Hukum waris menurut hukum adat Minangkabau senantiasa merupakan masalah yang aktual dalam
berbagai pembahasan. Hal itu mungkin disebabkan karena kekhasannya dan keunikannya bila
dibandingkan dengan system hukum adat waris dari daerah-daerah lain di Indonesia ini. Seperti
telah dikemukakan, bahwa system kekeluargaan di Minangkabau adalah system yang menarik garis
keturunan dari pihak ibu yang dihitung menurut garis ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara
perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan.

Dengan system tersebut, maka semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri,
baik untuk harta Pusaka Tinggi yaitu harta yang turun-temurun dari beberapa generasi, maupun
harta pusaka rendah yang harta yang turun dari satu generasi.

F. Hukum Waris Adat Parental/Bilateral

Sistem parental ini di Ri dianut di banyak daerah, seperti: Jawa, Madura, Sumatera Timur, Riau,
Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, seluruh Sulawesi, Ternate, dan Lombok. Berbeda
dengan dua sistem kekeluargaan sebelumnya yaitu sistem patrilineal dan sistem matrilinial, sistem
kekeluargaan parental atau bilateral ini memiliki ciri khas tersendiri pula, yaitu bahwa yang
merupakan ahli waris adalah anak laki-laki maupun anak perempuan. Mereka mempunyai hak yang
sama atas harta peninggalan orangtuanya sehingga dalam proses pengalihan sejumlah harta
kekayaan dari pewaris kepada ahli waris, anak laki-laki dan anak perempuan mempunyai hak untuk
diperlakukan sama. Tiga bentuk sistem kekeluargaan yang sangat menonjol senantiasa merupakan
contoh pembahasan.

Hal tersebut mungkin didasarkan pada pertimbangan, bahwa di antara ketiga sistem kekeluargaan
itu perbedaannya sangat prinsipil karena seolah-olah sistem patrilineal merupakan kebalikan dari
sistem matrilinial. Kemudian kedua sistemtersebut dirangkum oleh satu sistem yang mengambil
unsur dari kedua sistem tersebut, yaitu sistem parental atau bilateral.

Hukum warisan parental atau bilateral adalah memberikan hak yang sama antara pihak laki-laki dan
pihak perempuan, baik kepada suami dan istri, serta anak laki-laki dan anak perempuan termasuk
keluarga dari pihak laki-laki dan keluarga pihak perempuan. Ini berarti bahwa anak laki-laki dan anak
perempuan adalah sama-sama mendapatkan hak warisan dari kedua orang tuanya, bahkan duda
dan janda dalam perkembangannya juga termasuk saling mewarisi.

Bahkan proses pemberian harta kepada ahli waris khususnya kepada anak, baik kepada anak laki-laki
maupun anak perempuan umumnya telah dimulai sebelum orang tua atau pewaris masih hidup. Dan
sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat ini adalah individual artinya bahwa harta
peninggalan dapat dibagi-bagikan dari pemiliknya atau pewaris kepada para ahli warisnya, dan
dimiliki secara pribadi.

Sifat sistem hukum kewarisan adat parental atau bilateral yang pada umumnya di pulau Jawa,
termasuk Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sebenarnya
dapat dilihat dari beberapa segi; pertama segi jenis kelamin, ini dapat dibagi dua kelompok, pertama
kelompok laki- laki dan kelompok perempuan. Kedua segi hubungan antara pewaris dengan ahli
waris. Dari segi ini juga ada dua kelompok pertama yaitu kelompok ahli waris karena terjadinya
ikatan perkawinan suami dan istri. Kelompok kedua adalah kelompok hubungan kekerabatan, karena
adanya hubungan darah ini ada tiga yaitu kelompok keturunan pewaris, seperti anak pewaris, cucu
pewaris, buyut pewaris, canggah pewaris dan seterusnya ke bawah sampai galih asem. Kelompok
asal dari pada pewaris, yaitu orang tua dari pewaris, seperti ayah dan ibu dari pewaris, kakek dan
nenek pewaris, buyut laki-laki dan buyut perempuan pewaris, dan seterusnya ke atas dari pihak laki-
laki dan perempuan. Dan kelompok ketiga adalah hubungan kesamping dari pewaris, seperti
saudara-saudara pewaris, baik laki-laki maupun perempuan seterusnya sampai anak cucunya serta
paman dan bibi seterusnya sampai anak cucunya, dan siwo atau uwa laki-laki dan perempuan
sampai anak cucunya.

Dalam sistem hukum warisan parental atau bilateral juga menganut keutamaan sebagai mana sistem
hukum warisan matrilinial. Menurut Hazairin ada tujuh kelompok keutamaan ahli waris parental
atau bilateral, artinya ada kelompok ahli pertama, kelompok ahli waris kedua, kelompok ahli waris
ketiga dan seterusnya sampai kelompok ahli waris ketujuh. 16

Dimaksud kelompok keutamaan disini, ialah suatu garis hukum yang menentukan di antara
kelompok keluarga pewaris, yang paling berhak atas harta warisan dari pewaris, artinya kelompok
pertama diutamakan dari kelompok kedua dan kelompok kedua diutamakan dari kelompok ketiga
dan seterusnya. Sehingga kelompok-kelompok ini mempunyai akibat hukum, bahwa kelompok
pertama menutup kelompok kedua, dan kelompok kedua menutup kelompok ketiga seterusnya
sampai kelompok ketujuh. Berdasarkan uraian tersebut di atas, tampaknya hukum warisan parental
itu tidak terlepas dari sistem kekerbatan yang berlaku, karena kelompok ahli waris itu
menghitungkan hubungan kekerabatan malalui jalur laki-laki dan jalur perempuan. Sehingga
kedudukan ahli waris laki-laki dan perempuan sama sebagai ahli waris

Atas dasar kesamaan hak antara laki-laki dengan perempuan, sehingga perolehan harta warisannya
tidak ada perbedaan, yaitu satu berbanding satu, maksudnya bagian warisan laki-laki sama dengan
bagian perolehan perempuan. Namun dalam perkembangannya hukum warisan adat parental
khususnya di Jawa kelompok laki-laki dengan kelompok perempuan bervariasi ada dua berbanding
satu, artinya laki-laki mendapat bagian dua bagian dan perempuan mendapat satu bagian. Adanya
variasi itu karena terpengaruh ajaran agama Islam, karena hukum warisan Islam perolehan harta
warisan antara laki-laki dengan perempuan dua berbanding satu, artinya laki-laki mendapat dua
bagian, sedangkan perempuan mendapat satu bagian, (lihat Qur‘an Surat An-Nisa‘ ayat 11 dan 12).

Dengan adanya perubahan perolehan harta warisan antara laki-laki dengan perempuan, ini
membuktikan bahwa hukum warisan adat parental khususnya di Jawa telah mendapat resepsi dari
hukum Islam, meskipun dalam praktek belum seluruhnya mayarakat merecepsi hukum warisan
Islam.

Sifat masyarakat parental adalah masyarakat yang anggota- anggotanya menarik garis keturunan
melalui garis ibu dan garis bapak. Pola pembagian harta waris :

1. Pertama, jika salah satu meninggal, harta warisan dibagi menjadi dua, yaitu harta benda asal
ditambah setengah harta benda perkawinan. Ahli warisnya adalah :

a. Semua anak- anaknya (laki- laki atau perempuan) dengan bagian sama rata,

b. Bila tidak beranak, maka harta benda bersama jatuh pada yang masih hidup,

c. Bila ada anak, maka harta asal jatuh pada famili yang tertua dari yang meninggal (orang tua),
bila yang tertua tidak ada, harta asal jatuh pada ahliwaris kedua dari kedua orangtua tersebut
(saudara laki- laki).
2. Kedua, jika keduanya meninggal tanpa anak, harta benda bersama jatuh pada famili kedua
belah pihak.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Hukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat, dan individual. Hukum Waris Adat mengatur
proses penerusan dan peralihan harta, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dari
pewaris pada waktu masih hidup atau setelah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Harta waris
adalah harta yang ditinggalkan atau yang diberikan oleh pewaris kepada warisnya, baik yang dapat
dibagi maupun yang tidak dapat dibagi. Harta waris dapat dibagi dalam empat bagian, yaitu : harta
asal, harta pemberian, harta pencaharian, hak dan kewajiban yang diwariskan.

Di dalam sistem patrinial kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat
menonjol, contohnya pada masyarakat Batak dan Bali. Yang menjadi ahli waris hanya anak laki-laki.

Dalam system matrilinial semua anak-anak hanya dapat menjadi ahli waris dari ibunya sendiri baik
untuk harta pusaka tinggi maupun untuk harta pusaka rendah. Jika yang meninggal itu adalah
seorang laki-laki maka anak-anaknya dan jandanya tidaklah ahli waris mengenai harta pusaka tinggi,
tetapi ahli warisnya adalah seluruh kemenakannya dari pihak laki-laki.

Sistem kekeluargaan parental atau bilateral ini memiliki ciri khas tersendiri pula, yaitu bahwa yang
merupakan ahli waris adalah anak laki-laki maupun anak perempuan. Mereka mempunyai hak yang
sama atas harta peninggalan orangtuanya sehingga dalam proses pengalihan sejumlah harta
kekayaan dari pewaris kepada ahli waris, anak laki-laki dan anak perempuan mempunyai hak untuk
diperlakukan sama. Berikut perbandingan tiga sistem kewarisan :

No.

Sistem Kewarisan

Ciri-ciri

Kelebihan

Kekurangan

1.

Individual

Harta peninggalan itu dibagi-bagikan kepemilik-annya kepada para waris


Para waris dapat bebas mengusai dan memiliki harta warisan bagiannya tanpa dipengaruhi anggota-
anggota keluarga yang lain

Pecahnya harta warisan dan meregangnya tali kekerabatan.

2.

Kolektif

Harta peninggalan diteruskan dan dialih-kan kepemilikan-nya dari pewaris kepada ahli waris sebagai
kesatuan yang tidak terbagi - bagi penguasaannya dan pemilikannya.

Dapat terlihat apabila fungsi harta kekayaan itu diperuntukkan bagi kelangsungan harta anggota
keluarga tersebut.

menimbulkan cara berpikir yang terlalu sempit, kurang terbuka karena selalu terpancang pada
kepentingan keluarga saja

3.

Mayorat

Harta peninggalan diwarisi keseluruhan-nya atau sebagian besar (sejumlah harta pokok dari suatu
keluarga) oleh seorang anak saja.

Terletak pada kepemimpinan anak tertua yang mengganti-kan kedudukan orang tuanya yang telah
meninggal untuk mengurus harta.

Tampak apabila anak tertua ini ternyata tidak mampu mengurus harta kekayaan orang tuanya itu

DAFTAR PUSTAKA
Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam (Yogyakarta: UII Press,2005).

Asri Thaher, S.H. Sistem Pewarisan dan Kekerabatan Adat Matrilinial. Tesis. Universitas Diponegoro.
Semarang.

Eman Suparman, Hukum Waris RI dalam Perspektif Islam Adat dan BW, (Bandung: Refika Aditama,
2005).

http://websiteayu.com/artikel/sistem-hukum-waris-adat2

http://id.wikipedia.org/wiki/Patrilineal.

http://library.upnvj.ac.id/pdf/5FHS1HUKUM/207711066/BAB%20II.pdf, hal. 17, 06-11-2013, 07.10


WIB

http://kompasiana.com/post/opini

I Gde Pudja Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran Hindu Dharma, Cetakan
Keempat, Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departeman Agama
INDONESIA, (selanjutnya disingkat I Gde Pudja I).

Saebani, Beni Ahmad, Fiqh Mawaris (Bandung; Cv. Pustaka Setia,2009).

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012)

Anda mungkin juga menyukai