Setiap kali menghadapi Ujian Nasional (UN), berbagai keresahan timbul di
kalangan siswa, pendidik dan tenaga kependidikan, serta orang tua. Keresahan itu muncul terutama di kalangan siswa, guru, dan kepala sekolah yang merasa belum siap menghadapi UN dilihat dari pencapaian target kurikulum baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Oleh karena itu, berbagai upaya dilakukan untuk mempersiapkan siswa menghadapi UN yang dilakukan setiap akhir tahun ajaran untuk kelas akhir di sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama dan sekolah lanjutan tingkat atas. Upaya itu antara lain, guru memberikan pelajaran tambahan di luar jam sekolah dengan metode pembelajaran seperti dipaksakan untuk mencapai target kurikulum. Di luar sekolah siswa mengikuti pelajaran tambahan atau bimbingan belajar yang mengarah pada teknik latihan mengerjakan soal (drills), atau siswa memaksakan dirinya belajar sendiri melewati batas waktu yang biasa, misalnya sampai larut malam selama beberapa minggu. Keadaan seperti yang digambarkan di atas dapat membuat siswa tertekan secara fisik dan psikologis. Kemampuan yang diperoleh siswa dengan upaya-upaya dadakan itu tidak membuahkan hasil optimal dan bahkan bisa menambah kecemasan dan mengurangi kepercayaan dirinya atas kemampuannya menghadapi UN. Bahkan kondisi yang demikian dapat merupakan salah satu faktor membuat siswa gagal atau kurang berhasil dalam UN. Keresahan lain muncul ketika hasil UN diumumkan. Siswa yang tidak lulus kecewa dan resah, apalagi kalau kegagalannya itu di luar ekspektasinya. Keresahan juga dapat menimpa sekolah yang siswanya hanya sedikit lulus atau sama sekali tidak ada yang lulus UN. Berbagai kejadian menimpa siswa yang tidak lulus UN seperti stressed, sakit, bahkan ada yang bunuh diri. Sekali lagi, keresahan itu dapat menimpa tidak hanya siswa tetapi juga orang tua, guru, kepala sekolah, dan bahkan pemerintah daerah. Berbicara mengenai UN adalah berbicara tentang mutu pendidikan. Sampai sekarang ini mutu pendidikan nasional di Indonesia belum seperti yang diharapkan. Lebih memprihatinkan lagi, terdapat kesenjangan (disparity) mutu antar sekolah baik itu di wilayah yang sama atau antar wilayah yang berakibat mutu lulusan yang dihasilkan sangat bervariasi. Keadaan yang demikian membuat lulusan sekolah tidak memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar di pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini terlihat dari ketatnya persaingan masuk ke pendidikan tinggi dan banyaknya jumlah lulusan SLTA yang terpinggirkan dari kesempatan belajar di perguruan tinggi yang bermutu atau bergengsi.