Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Salah satu fungsi manajerial yang sangat penting dalam operasional suatu
perusahaan adalah pengendalian persediaan (inventory controll), karena kebijakan
persediaan secara fisik akan berkaitan dengan investasi dalam aktiva lancar di satu
sisi dan pelayanan kepada pelanggan di sisi lain. Pengaturan persediaan ini
berpengaruh terhadap semua fungsi bisnis ( operation, marketing, dan finance).
Berkaitan dengan persediaan ini terdapat konflik kepentingan diantara fungsi bisnis
tersebut. Finance menghendaki tingkat persediaan yang rendah, sedangkan Marketing
dan operasi menginginkan tingkat persediaan yang tinggi agar kebutuhan konsumen
dan kebutuhan produksi dapat dipenuhi .
Berkaitan dengan kondisi di atas, maka perlu ada pengaturan terhadap jumlah
persediaan, baik bahan-bahan maupun produk jadi, sehingga kebutuhan proses
produksi maupun kebutuhan pelanggan dapat dipenuhi. Tujuan utama dari
pengendalian persediaan adalah agar perusahaan selalu mempunyai persediaan dalam
jumlah yang tepat, pada waktu yang tepat, dan dalam spesifikasi atau mutu yang telah
ditentukan sehingga kontinuitas usaha dapat terjamin (tidak terganggu).
Usaha untuk mencapai tujuan tersebut tidak terlepas dari prinsip-prinsip
ekonomi, yaitu jangan sampai biaya-biaya yang dikeluarkan terlalu tinggi. Baik
persediaan yang terlalu banyak, maupun terlalu sedikit akan minimbulkan
membengkaknya biaya persediaan. Jika persediaan terlalu banyak, maka akan timbul
biaya-biaya yang disebut carrying cost, yaitu biaya-biaya yang terjadi karena
perusahaan memiliki persediaan yang banyak, seperti : biaya yang tertanam dalam
persediaan, biaya modal (termasuk biaya kesempatan pendapatan atas dana yang
tertanam dalam persediaan), sewa gudang, biaya administrasi pergudangan, gaji
pegawai pergudangan, biaya asuransi, biaya pemeliharaan persediaan, biaya
kerusakan/kehilangan, Begitu juga apabila persediaan terlalu sedikit akan
menimbulkan biaya akibat kekurangan persediaan yang biasa disebut stock out cost
seperti : mahalnya harga karena membeli dalam partai kecil, terganggunya proses
produksi, tidak tersedianya produk jadi untuk pelanggan. Jika tidak memiliki
persediaan produk jadi terdapat 3 kemungkinan, yaitu : 1). Konsumen menangguhkan
pembelian (jika kebutuhannya tidak mendesak). Hal ini akan mengakibatkan
tertundanya kesempatan memperoleh keuntungan. 2). Konsumen membeli dari
pesaing, dan kembali ke perusahaan (jika kebutuhan mendesak dan masih setia). Hal
ini akan menimbulkan kehilangan kesempatan memperoleh keuntungan selama
persediaan tidak ada. 3). Yang terparah jika pelanggan membeli dari pesaing dan terus
pindah menjadi pelanggan pesaing, artinya kita kehilangan konsumen.
Selain biaya di atas dikenal juga biaya pemesanan (ordering cost) yaitu
biaya-biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan kegiatan pemesanan sejak
penempatan pesanan sampai tersedianya bahan/barang di gudang. Biaya-biaya
tersebut antara lain : biaya telepon, biaya surat menyurat, biaya adminisrasi dan
penempatan pesanan, biaya pemilihan pemasok, biaya pengangkutan dan bongkar
muat, biaya penerimaan dan pemeriksaan bahan/barang.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaiman deskripsi Manajemen persediaan Just-in-case?
2. Bagaiman deskripsi Manajemen persediaan Just-in-time?
3. Bagaimana tahap-tahap Teori Constrrait?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Manajemen Persediaan Just-In-Case


Manajemen persediaan penting untuk membentuk keunggulan
kompetitif jangka panjang. Tingkat persediaan memengaruhi harga jual,
kualitas, perekayasaan produk, kapasiatas menganggur, waktu lembur,
kemampuan merespons permintaan pelanggan, waktu tunggu, dan
profitabilitas secara keseluruhan. Manajemen persediaan berhubungan kuat
dengan kemampuan perusahaan untuk menghasilkan kas sekarang dan masa
mendatang. Kebijakan manajemen persediaan telah menjadi suatu alat untuk
bersaing.
a. Biaya pemesanan
Apabila permintaan terhadap persediaan yang diperoleh dari pemasok
dapat diketahui dengan pasti untuk suatu periode tertentu, maka terdapat
dua macam biaya yang berhubungan dengan persediaan, yaitu biaya
pemesanan (ordering cost). Jika persediaan diproduksi secara internal,
maka dua biaya, yaitu biaya setup dan biaya penyimpanan.
Biaya pemesanan adalah biaya untuk memesan dan menerima pesanan.
Misalnya, biaya pemrosesan suatu pesanan bahan, biaya asuransi
pengiriman bahan yang dipesan, dan biaya pembongkaran. Biaya setup
(setup cost) adalah biaya untuk pnyiapan peralatan dan fasilitas agar dapat
digunakan memproduksi suatu produk atau komponen tertentu. Misalnya,
upah karyawan produksi menganggur, biaya fasilitas produksi
menganggur, dan biaya pengujian. Biaya penyimpanan adalah biaya yang
timbul karna menyimpan persediaan. Misalnya, biaya asuransi persediaan,
biaya karena barang ketinggalan jaman, biaya kesempatan karena modal
tertanam dalam persediaan, biaya penanganan bahan, dan biaya ruang
penyimpanan.
b. Alasan Tradisional untuk Memiliki Persediaan
Biaya persediaan harus diminimalkan untuk tujuan pemerolehan laba
maksimal. Namun, minimalisasi biaya penyimpanan menyebabkan
peningkatan frekuensi pemesanan dan berproduksi dalam jumlah yang
kecil, sedangkan minimalisasi biaya pemesanan menyebabkan pemesanan
dalam jumlah besar dengan frekuensi pemesanan yang lebih sedikit, atau
minimalisasi biaya setup mengakibatkan periode produksi yang lebih lama
dengan frekuensi order produksi yang lebih sedikit.
Berikut ini adalah alasan-alasan mengapa perusahaan mengadakan
persediaan :
1. Untuk menyeimbangkan biaya pemesanan atau setup dengan biaya
penyimpanan.
2. Untuk memuaskan permintaan pelanggan, misalnya pengiriman yang
tepat waktu.
3. Untuk menghindari kemungkinana kegagalan produksi karena:
 Kegagalan mesin;
 Suku cadang atau bahan yang tidak memenuhi spesiifikasi;
 Ketidaksediaan bahan atau suku cadang;
 Keterlambatan pengiriman bahan atau suku cadang oleh pemasok.
4. Sebagai cadangan terhadap proses produksi yang tidak andal.
5. Untuk memperoleh keuntungan berupa diskon karena membeli dalam
kuantitas yang lebih banyak.
6. Untuk mengantisipasi kemungkinan kenaikan harga bahan atau suku
cadang.
c. Economic Order Quantity: Model Persediaan Tradisional
Dalam pengembangan kebijakan yang berhubungan dengan persediaan,
perusahaan harus mampu menjawab dua pertanyaan berikut ini:
a) Berapa banyak jumlah unit bahan atau suku cadang yang harus dipesan
atau diproduksi?
b) Kapan suatu pesanan atau aktivitas setup dilakukan?
Kuantitas dipesan dan total biaya pemesanan dan penyimpanan. Apabila
permintaan diketahui dalam pemilihan kuantitas unit dipesan atau ukuran lot
produksi, manajer harus memerhatikan biaya pemesanan atau pengesetan.
Biaya pemesanan atau pengesetan dan penyimpanan total dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut :
TC= P(D/Q)+C(Q/2)
Keterangan :
TC = Biaya pemesanan/pengesetan dan biaya penyimpanan total
P = Biaya memesan dan menerima pesanan atau biaya pengesetan suatu
production run
D = Jumlah yang diminta tahunan
Q = Jumlah unit dipesan setiap kali suatu pesanan dipesan atau ukuran lot
produksi
C = Biaya penyimpanan suatu unit persediaan selama satu tahun
Biaya penyimpanan persediaan dapat dihitung bagi organisasi yang
mempunyai persediaan, misalnya perusahaan eceran, jasa, dan manufaktur.
Model biaya persediaan yang menggunakan biaya pengesetan (setup) dan
ukuran lot produksi sebagai masukan hanya terjadi pada perusahaan yang
memproduksi sendiri persediaannya, misalnya suku cadang atau barang jadi.
Sebagai ilustrasi berikut ini data yang relevan untuk penentuan biaya
persediaan pada suatu perusahaan reparasi barang-barang elektronik. Suku
cadang yang dibutuhkan dibeli dari luar perusahaan. Data yang diperoleh
disajikan berikut ini.
D = 20.000 unit
Q = 2.000 unit
P = Rp1.000 per pesanan
C = Rp40 per unit
Perhitungan:
1. Banyaknya pemesanan per tahun = D/Q = 20.000 unit/2.000 unit = 10 kali
pemesanan.
2. Biaya pemesanan total = (D/Q) x P = 10 x Rp1.000 = Rp10.000.
3. Persediaan rata-rata = Q/2 = 2.000 unit/2 = 1.000 unit.
4. Biaya penyimpanan total = (Q/2) x C = 1.000 unit x Rp40 = Rp40.000.
5. Biaya persediaan total = Rp10.000 + Rp40.000 = Rp50.000.

Pemilihan jumlah unit dipesan sebanyak 2.000 unit yang menimbulkan biaya
persediaan Rp90.000 belum tentu merupakan pilihan yang terbaik, karena
belum tentu merupakan jumlah unit dipesan yang menimbulkan biaya
persediaan yang terendah. Oleh karena tujuan manajemen persediaan adalah
meminimalkan biaya persediaan, maka model EOQ diperlukan. Model EOQ
merupakan suatu contoh push system. Dalam push system, pemerolehan
persediaan dipicu oleh antisipasi terhadap jumlah yang diminta pelanggan
pada masa mendatang, bukan reaksi terhadap jumlah yang diminta pelanggan
sekarang. Dengan demikian, prediksi terhadap jumlah unit diminta (D)
menjadi sangat penting dalam analisis ini. Perhitungan EOQ.
Rumus perhitungan EOQ adalah:

Apabila jumlah yang dipesan = Q = 1.000 unit maka:


1. Banyaknya pemesanan per tahun = D/Q = 20.000 unit/1.000 unit = 20 kali
pemesanan.
2. Biaya pemesanan total = (D/Q) x P= 20 x Rp1.000 = Rp20.000.
3. Persediaan rata-rata = Q/2 = 1.000 unit/2 = 500 unit.
4. Biaya penyimpanan total = (Q/2) x C = 500 unit x Rp40 = Rp20.000.
5. Biaya persediaan total = Rp20.000 + Rp20.000 = Rp40.000. Jika jumlah unit
dipesan sebanyak 1.000 unit, maka total biaya persediaan adalah minimal
yang ditandai dengan besaran biaya pemesanan (Rp20.000), atau sama dengan
biaya penyimpanan (Rp20.000).
Jika jumlah unit dipesan sebanyak 1.000 unit, maka total biaya persediaan
adalah minimal yang ditandai dengan besaran biaya pemesanan (Rp20.000),
atau sama dengan biaya penyimpanan (Rp20.000).
d. Reorder Point
Titik Pemesanan Kembali (Reorder Point)
Titik pemesanan kembali adalah titik waktu di mana sebuah pesanan baru
harus dilakukan. Hal ini merupakan fungsi dari EOQ, tenggang waktu, dan
tingkat di mana persediaan hampir habis. Tenggang waktu adalah waktu yang
diperlukan untuk menerima kuantitas pesanan ekonomis setelah pesanan
dilakukan atu persiapan dimulai.
Berikut ini penentuan reorder point jika perusahaan menetapkan persediaan
minimal.

Reorder point = Persediaan minimal + (tingkat penggunaan bahan rata-


rata per hari X waktu tunggu dalam hari)

Persediaan minimal diperlukan untuk mengantisipasi fluktuasi jumlah


yang diminta oleh pelanggan. Persediaan minimal dapat ditentukan dengan
mengalikan kelebihan tingkat penggunaan maksimum di atas tingkat
penggunaan rata-rata dengan waktu tunggu.
Persediaan minimal = (Tingkat penggunaan bahan maksimal per hari-Tingkat
penggunaan bahan rata-rata per hari) x Waktu tunggu dalam hari Penentuan
reorder point jika perusahaan tidak menetapkan persediaan minimal adalah
sebagai berikut.

Reorder point = Tingkat penggunaan bahan per hari x Waktu tunggu


dalam hari
Contoh:
Jika diketahui bahwa tingkat penggunaan maksimum bahan baku adalah 125
kg per hari, sedangkan tingkat penggunaan bahan baku rata-rata adalah 100 kg
per hari. Waktu tunggu adalah 4 hari.
Persediaan minimal = (125 kg - 100 kg) x 4 hari = 100 kg.
Reorder point = 100 kg + (100 kg x 4 hari) = 500 kg.
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, pemesanan kembali dilakukan ketika
tingkat persediaan bahan baku sebanyak 450 kg. Peraga 12.1 menyajikan
reorder point (ROP) dengan EOQ sebesar 1.000 kg, ROP sebesar 500 kg,
persediaan minimal sebesar 100 kg, dan waktu tunggu 4 hari.
EOQ dan Manajemen Persediaan
Pendekatan tradisonal untuk mengelola persediaan telah dikenal
sebagai sistem just-in-case. Dalam beberapa situasi, sistem persediaan just-in-
case benar-benar sangat tepat. Model EOQ sangat berguna dalam
mengidentifikasi pertukaran optimal antara biaya penyimpanan persediaaan
dan biaya persiapan. Model EOQ juga berguna untuk mengatasi masalah yang
berkaitan dengan ketidakpastian melalui penggunaan persediaan pengaman.
B. Manajemen Persediaan Just-In-Time
Manufaktur JIT (just-in-time manufacturing) adalah suatu sistem
berdasarkan tarikan permintaan yang membutuhkan barang untuk ditarik
melalui sistem oleh permintaan yang ada, bukan didorong ke dalam suatu
sistem pada waktu tertentu berdasarkan permintaan yang diantisipasi.
Pembelian JIT mensyaratkan para pemasok untuk mengirimkan suku cadang
dan bahan baku tepat pada waktunya untuk produksi. Hubungan dengan
pemasok adalah hal yang sangat penting. Pasokan suku cadang harus
dihubungkan dengan produksi, yang mana berhubungan dengan permintaan.

a) Pull system
Jit adalah pendekatan manufaktur yang memproduksi barang
berdasarkan permintaan yang sesungguhnya ada, bukannya berproduksi
dengan jadwal tetap berdasarkan pada proyeksi permintaan. Dalam pull
system, permintaan pelanggan menarik bahan baku untuk masuk proses
produksi. Prinsip yang sama digunakan dalam proses. Setiap aktivitas
produksi hanya dilakukan jika diperlukan untuk memenuhi permintaan
aktivitas berikutnya. Bahan baku atau suku cadang tersedia hanya pada
waktu dibutuhkan untuk aktivitas produksi sehingga permintaan tetap
dapat dipenuhi.
b) Biaya Pemesanan dan Penyimpanan: Pendekatan JIT
Kontrak Jangka Panjang, Pengisian Kembali yang Berkelanjutan,
Pertukaran Data Elektronik dan JIT II. Dengan pengisian kembali
berkelanjutan, pembuat barang mengambil alih fungsi manajemen
persediaan pengecer. Pembuat barang memberitahu pengecer kapan dan
berapa banyak persediaan yang harus dipesan kembali.
Pertukaran data elektronik adalah suatu bentuk awal dari
perdagangan elektronik yang pada intinya adalah suatu metode
terotomatisasi dari pengiriman informasi dari komputer ke
komputer.Pengaturan bersama sering didukung dengan kontrak terbuka,
jangka panjang yang dianggap sebagai suatu kontrak abadi. Kontrak abadi
tidak memiliki tanggal berakhir, tidak membutuhkan penawaran ulang,
sehingga menurunkan resiko permintaan bagi pemasok.
c) Kinerja Tenggat (Jatuh Tempo) : Solusi JIT
Kinerja jatuh tempo adalah ukuran kemampuan perusahaan untuk
menanggapi kebutuhan pelanggan. Sistem JIT memecahkan maslah
kinerja jatuh tempo bukan dengan menimbun persediaan, tetapi dengan
mengurangi tenggang waktu secara dramatis.
d) Penghindaran Shutdown dan Reliabilitas Proses : Pendekatan JIT
Kebanyakan penghentian produksi terjadi karena salah satu dari tiga
alasan : kegagalan mesin, kecacatan bahan baku atau subperakitan, dan
ketidaktersediaan bahan baku atau subperakitan. Memiliki persediaan
adalah suatu solusi tradisional atas semua masalah tersebut.
 Pemeliharaan Preventif Total. Kegagalan mesin nol adalah tujuan
pemeliharaan pencegahan total. Dengan memberikan perhatian
lebih pada pemeliharaan pencegahan, sebagian besar kegagalan
mesin dapat dihindari.
 Pengendalian Kualitas Total
Masalah suku cadang atau bahan baku yang cacat dapat di
selesaikan dengan pencapaian zero-defect. Oleh karena produksi
berdasar JIT tidak menggunakan persediaan untuk menggantikan
suku cadang atau bahan yang cacat.
 Sistem Kanban. Untuk menjamin bahwa komponen atau bahan
baku tersedia ketika dibutuhkan, digunakan sebuah sistem yang
disebut sistem kanban. Ini adalah sebuah sistem informasi yang
mengendalikan produksi melalui penggunaan tanda atau kartu.
Kanban penarikan merinci kuantitas proses berikutnya yang harus
ditarik dari proses sebelumnya. Kanban produksi merinci kualitas
yang harus diproduksi oleh proses sebelumnya. Kanban pemasok
digunakan untuk memberitahukan pemasok agar menyerahkan
lebih banyak komponen; dan juga merinci komponen tersebut
dibutuhkan.
e) Diskon dan Peningkatan Harga : Pembelian JIT versus Penyelenggaraan
Persediaan
Secara tradisional, persediaan disimpan sehingga perusahaan dapat
mengambil keuntungan diskon kuantitas dan melindungi diri dari
kenaikan harga di masa mendatang atas barang yang dibeli. Tujuannya
adalah untuk menurunkan biaya persediaan. Sistem JIT mencapai tujuan
yang sama tanpa harus menyimpan persediaan. Solusi JIT adalah
menegosiasikan kontrak jangka panjang dengan sejumlah kecil pemasok
terpilih yang berlokasi sedekat mungkin dengan fasilitas produksi dan
membangun keterbatasan pemasok secara lebih intensif.
f) Keterbatasan JIT
JIT bukan merupakan pendekatan yang dapat dibeli dan diterapkan
dengan hasil segera. Implementasinya merupakan proses evolusioner,
bukan revolusioner. Di sini dibutuhkan kesabaran. JIT sering kali disebut
sebagai program penyederhanaan – namun ini bukan berarti ia mudah atau
sederhana untuk diterapkan.
Pekerja juga dapat terpengaruh oleh JIT. Dari studi yang dilakukan
terlihat bahwa pengurangan dan peyangga persediaan secara tajam dapat
menyebabkan arus kerja yang terpecah dan tingkat stress yang tinggi
diantara para pekerja produksi. Kekurangan yang paling menonjol dari JIT
adalah tidak adanya persediaan untuk menyangga berhentinya produksi.
Pilihan lain, yang mungkin sebagai pendekatan pelengkap, adalah teori
kendala (TOC).

C. Teori Constraint
Setiap perusahaan menghadapi sumber daya yang terbatas dan permintaan
yang terbatas atas setiap produk. Keterbatasan-keterbatasn ini disebut kendala.
 Konsep Dasar Teori Constraint
TOC memfokuskan pada tiga ukuran kinerja organisasi : throughput,
persediaan, dan beban operasi. Throughput adalah tingkat di mana
suatu organisasi menghasilkan uang melalui penjualan. Dalam istilah
operasional, throughput adalah selisih antara pendapatn penjualan dan
biaya variabel tingkat unit seperti bahan baku dan listrik. Persediaan
adalah seluruh uang yang dikeluarkan organisasi dalam mengubah
bahan baku menjadi throughput. Beban operasi disefinisikan sebagai
seluruh uang yang dikeluarkan organisasi untuk mengubah persediaan
menjadi throughput.
1. Produk yang Lebih Baik. Produk yang lebih baik berarti kualitas yang
lebih tinggi. Hal ini juga berarti bahwa perusahaan mampu memperbaiki
produk dan menyediakan produk yang sudah diperbaiki tersebut secara
cepat ke pasar.
2. Harga jual yang Lebih Rendah. Persediaan yang rendah akan mengurangi
biaya penyimpanan, biaya investasi per unit, dan beban operasi lainnya
seperti lembur dan beban pengiriman khusus. Harga yang lebih rendah
atau margin produk yang lebih tinggi dapat saja terjadi jika kondisi
kompetitif tidak memerlukan pemotongan harga.
3. Daya Tanggap. Tingkat persediaan menandakan kemampuan perusahaan
untuk merespon. Tingkat yang tinggi secara relatif terhadap pesaing akan
mengakibatkan kelemahan kompetitif. Dengan kata lain, TOC
menekankan pengurangan persediaan dengan mengurangi teggang waktu.
 Tahap-Tahap Teori Constraint (TOC)
Teori kendala menggunakan lima langkah untuk mencapai tujuan
memperbaiki kinerja organisasi :
1. Mengidentifikasi batasan-batasan organisasi.
2. Mengeksploitasi batasan-batasan yang mengikat.
3. Mengesampingkan hal lain untuk keputusan-keputusan yang
dibuat dalam tahap kedua.
4. Mengurangi batasan-batasan yang mengikat.
5. Mengulangi proses.
 Tahap I: Indentifikasi Batasan Organisasi.
Batas-batasan yang dapat diklasifikasi menjadi:
 Batasan eksternal adalah faktor-faktor yang membatasi perusahaan
yang bersumber dari luar perusahaan, misalnya permintaan pasar
terhadap produk perusahaan, dan
 Batasan internal adalah faktor-faktor yang membatasi perusahaan
yang berasal dari dalam perusahaan, misalnya keterbatasan
kapasitas mesin. Walaupun sumber ekonomi dan permintaan
mungkin terbatas, bauran produk tertentu mungkin tidak
memenuhi semua permintaan atau menggunakan semua sumber
ekonomi yang tersedia. Batasan yang mempunyai sumber ekonomi
yang tidak sepenuhnya digunakan oleh suatu bauran produk
disebut batasan langgar (loose constraint). Batasan mengikat
(binding constraint) adalah batasan yang mempunyai semua
sumber ekonomi dimanfaatkan secara penuh. Batasan-batasn
eksternal maupun internal seharusnya diidentifikasi. Bauran
produk optimal diidentifikasi sebagai bauran produk perusahaan.
Bauran produk optimal menunjukkan banyaknya sumber ekonomi
pada setiap batasan yang digunakan dan batasanbatasan yang
mengikat organisasi. Keputusan bauran produk dapat mempunyai
pengaruh signifikan terhadap profitabilitas perusahaan. Setiap
bauran produk merupakan suatu alternatif yang mempunyai laba
tertentu. Serorang manajer harus memilih bauran produk yang
memaksimalkan laba total. Pendekatan yang biasanya digunakan
adalah dengan mengasumsikan bahwa hanya biaya variabel
berdasarkan unit yang relevan untuk pembuatan keputusan bauran
produk. Jadi, pendekatan ini mengasumsikan bahwa level nonunit
adalah sama di antara bauran produk yang berbeda. Bauran produk
yang optimal adalah bauran produk yang memaksimalkan margin
kontribusi total.
Seseorang manajer harus memilih bauran produk optimal
dengan batasa-batasan tertentu yang dihadapi perusahaan.
Misalnya, perusahaan memproduksi suku cadang X dan Y, dengan
margin kontribusi per unit masing-masing adalah Rp900 dan
Rp1.800. Jika perusahaan mampu menjual semua suku cadang
tersebut, seseorang mungkin berpendapat bahwa hanya suku
cadang Y yang seharusnya diproduksi dan dijual karena
mempunyai margin kontribusi terbesar. Namun, solusi ini belum
tentu solusi terbaik. Pemilihan bauran optimal dapat secara
signifikan dipengaruhi oleh hubungan antara sumber-sumber
ekonomi yang terbatas dengan masing-masing produk secara
individual. Hubungan ini akan mempengaruhi kuantitas setiap
produk yang dapat diproduksi, dan kemudian akan mempengaruhi
margin kontribusi margin kontribusi total yang dapat dihasilkan.
Satu batasan Internal Mangikat. Apabila diasumsikan bahwa
setiap suku cadang harus dibor dengan menggunakan suatu mesin
khusus. Perusahaan mempunyai 3 mesin bor dengan waktu
pengeboran total per minggu selama 120 jam pengeboran untuk
ketiga mesin. Suku cadang X per unit membutuhkan 1 jam
pengeboran, dan suku cadang Y per unit membutuhkan 3 jam
pengeboran. Tidak ada batasan lain selain mesin pengeboran
tersebut. Oleh karena setiap unit X membutuhkan 1 jam
pengeboran, maka 120 unit X dapat dihasilkan per minggu. Jika
margin kontribusi X per unit adalah Rp900, maka suku cadang X
akan menghasilkan margin kontribusi total Rp180.000 (Rp900 x
120 unit) per minggu. Di pihak lain, suku cadang Y per unit
membutuhkan 3 jam pengeboran, maka 40 unit Y dapat dihasilkan
per minggu. Apabila margin kontribusi Y per unit Rp1.800, maka
margin kontribusi total yang dihasilkan adalah Rp72.000 (Rp1.800
x 40 unit) per minggu. Jika perusahaan memproduksi suku cadang
X akan menghasilkan margin kontribusi total lebih tinggi dari pada
jika perusahaan hanya memproduksi suku cadang Y, walaupun
margin kontribusi per unit suku cadang Y dua kali lipat suku
cadang X.
Margin kontribusi per unit untuk setiap produk tidak penting.
Margin kontribusi per unit sumber ekonomi merupakan faktor
penentu. Produk yang menghasilkan margin kontribusi per unit
jam pengeboran yang tertinggi seharusnya dipilih. Suku cadang X
menghasilkan margin kontribusi per jam pengeboran Rp900
(Rp900/1 jam pengeboran), sedangkan suku cadang Y hanya
menghasilkan margin kontribusi Rp600 per jam pengeboran
(Rp1.800/3 jam pengeboran). Jadi bauran optimal adalah 120 unit
suku cadang X dan tidak memproduksi suku cadang Y akan
menghasilkan margin kontribusi total Rp108.000 per minggu.
Perhatikan bahwa bauran produk ini menggunakan seluruh
kapasitas 120 jam pengeboran sehingga batasan jam pengeboran
ini merupakan batasan yang mengikat. Batasan Mengikat Internal
dan Batasan Mengikat Eksternal. Margin kontribusi per unit
sumber ekonomi juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi
bauran produk optimal ketika terdapat batasan mengikat eksternal.
Misalnya, diasumsikan dengan batasan internal yang sama yaitu
120 jam pengeboran, tetapi perusahaan juga menghadapi batasan
eksternal yaitu hanya dapat menjual 30 unit suku cadang X dan
100 unit suku cadang Y. batasan internal memungkinkan
perusahaan memproduksi 120 suku cadang X, tetapi hal ini bukan
lagi pilihan yang menguntungkan karena perusahaan memproduksi
120 unit suku cadang X, tetapi hal inio bukan lagi pilihan yang
menguntungkan karena perusahaan hanya dapat menjual suku
cadang X ke luar sebanyak 30 unit. Jadi perusahaan menghadapi
suatu batasan eksternal mengikat yang memengaruhi keputusan
sebelumnya yaitu hanya memproduksi dan menjual suku cadang
X. Oleh karena margin kontribusi per unit sumber ekonomi yaitu
Rp900 untuk suku cadang X dan Rp600 untuk suku cadang Y,
maka masih masuk akal untuk memproduksi dan menjual suku
cadang Y. perusahaan seharusnya memproduksi lebih dulu 30 unit
suku cadang X dengan menggunakan 30 jam pengeboran dan
sisanya 90 jam pengeboran digunakan untuk memproduksi 30 unit
suku cadang Y (1 Unit Y membutuhkan 3 jam pengeboran). Jadi,
bauran produk optimal adalah 30 unit suku cadang X dan 30 unit
suku cadang Y yang menghasilkan margin kontribusi total
Rp81.000 per minggu ((Rp900 x 30 unit X) + (Rp1.800 x 30 unit
Y)).
 Eksploitasi Batasan Mengikat
Salah satu cara penggunaan terbaik batasan mengikat adalah
untuk menjamin bahwa bauran produk optimal diproduksi.
Namun, pemanfaatan terbaik batasan mengikat lebih ekstensif
daripada hanya menjamin memproduksi bauran produk yang
optimal. Tahap ini adalah inti filosofi teori constraint pada
manajemen batasan jangka pendek dan secara langsung
berhubungan dengan tujuan teori constraint untuk mengurangi
persediaan dan memperbaiki kinerja. Dalam kebanyakan
organisasi hanya terdapat beberapa batasan sumber ekonomi yang
mengikat. Batasan mengikat utama didefinisi sebagai drummer
(penabuh genderang). Apabila hanya terdapat satu batasan
mengikat internal dalam perusahaan maka batasan ini menjadi
drummer. Tingkat produksi batasan drummer akan menentukan
tingkat produksi seluruh pabrik. Proses produksi hilir akan
mengikuti batasan drummer. Penjadwalan untuk proses produksi
hilir adalah mudah. Ketika suatu suku cadang diselesaikan dalam
proses drummer, maka proses produksi berikutnya dimulai.
Demikian juga, setiap operasi berikutnya dimulai ketika operasi
sebelumnya telah selesai. Proses produksi hulu yang memberikan
masukan bagi batasan drummer dijadwal untuk memproduksi
dalam tingkat yang sama dengan batasan drummer. Penjadwalan
pada tingkat drummer mencegah proses produksi hulu mempunyai
persediaan barang dalam proses yang berlebihan. Penjadwalan
proses produksi hulu terdapat dua fitur tambahan yang digunakan
teori constraint dalam mengatur batasan untuk merendahkan
jumlah persediaan dan memperbaiki kinerja organisasi yaitu buffer
(cadangan) dan ropes (pengikat). Pertama, suatu buffer persediaan
ditentukan di muka untuk batasan mengikat utama. Buffer
persediaan disebut sebagai time buffer. Time buffer adalah
persediaan yang dibutuhkan untuk memelihara batasan sumber
ekonomi digunakan selama interval waktu tertentu.
Tujuan suatu time buffer adalah untuk melindungi throughput
organisasi dari gangguan yang dapat diatasi dalam interval waktu
tertentu. Misalnya, jika memerlukan waktu satu hari untuk
mengatasi kebanyakan interupsi yang terjadi di proses hulu
sebelum batasan drummer, maka buffer dua hari adalah waktu
yang seharusnya cukup untuk melindungi throughput dari interupsi
macam apa pun. Jadi, dalam penjadwalan, operasi sebelum batasan
drummer seharusnya memproduksi suku cadang yang dibutuhkan
batasan drummer untuk dua hari di muka dari penggunaan yang
dijadwalkan. Setiap operasi yang mendahului dijadwal lebih awal
sehingga suku cadang tiba pada waktu dibutuhkan oleh operasi
berikutnya. Ropes adalah tindakan yang dilakukan untuk
mengikatkan tingkat bahan baku yang dimasukkan ke operasi
pertama di pabrik dengan tingkat produksi pada batasan drummer.
Tujuan suatu rope adalah untuk menjamin bahwa persediaan
barang dalam proses tidak melebihi yang dibutuhkan untuk time
buffer. Jadi, tingkat (rate) pada batasan drummer digunakan untuk
membatasi tingkat bahan baku yang masuk proses pertama dan
mengendalikan secara efektif tingkat pada proses produksi
pertama. Tingkat pada proses pertama kemudian mengendalikan
tingkat pada proses berikutnya. Sistem persediaan pada teori
constraint sering disebut drum-buffer-rope (DBR) system. Berikut
ini contoh lanjutan yang mengilustrasikan drum-buffer-rope (DBR)
system. Misalnya, perusahaan mempunyai tiga proses produksi
yang berurutan yaitu penggerindaan, pengeboran, dan pengkilapan.
Setiap proses tersebut mempunyai batasan sumber. Permintaan
untuk suku cadang juga terbatas, yaitu suku cadang X sebanyak 30
unit dan suku cadang Y sebanyak 100 unit. Kemudian,
diasumsikan bahwa hanya ada satu batasan mengikat internal yaitu
pengeboran sehingga bauran optimal adalah 30 unit suku cadang X
dan 30 unit suku cadang Y untuk per minggu. Dua proses lain yaitu
penggerindaan dan pengkilapan merupakan batasan longgar karena
mampu memproduksi suku cadang lebih banyak daripada bauran
optimal tersebut. Oleh karena proses pengeboran memberikan
masukan kepada proses pengkilapan, maka proses pengeboran
dapat didefinisi sebagai batasan drummer untuk seluruh pabrik.
Diasumsikan bahwa permintaan harian dalam minggu adalah sama
yaitu 6 unit untuk setiap suku cadang (satu minggu terdiri atas 5
hari keija). Time buffer selama 2 hari akan memerlukan 24 unit
suku cadang lengkap dari proses penggerindaan, yaitu 12 unit suku
cadang X dan 12 unit suku cadang Y. Untuk menjamin bahwa time
buffer tidak melebihi tingkat 6 unit per hari untuk setiap suku
cadang, bahan baku yang dimasukkan ke proses penggerindaan
seharusnya hanya sebanyak kebutuhan untuk memproduksi 6 unit
untuk setiap suku cadang per hari. Inilah rope pada proses
produksi tersebut yaitu mengikatkan bahan baku yang dimasukkan
ke proses pertama ke tingkat pada batasan drummer.
 Tahap III: Mengesampingkan Hal Lain untuk Pembuatan
Keputusan pada Tahap II
 Batasan drummer pada dasarnya menentukan kapasitas untuk
keseluruhan pabrik. Semua departemen lainnya seharusnya diatur
untuk kebutuhan batasan drummer. Cara ini meminta perusahaan
untuk mengubah cara pandang mereka. Misalnya, penggunaan
ukuran efisiensi pada tingkat departemen mungkin tidak lagi
sesuai. Sebagai kelanjutan dari contoh berikutnya, usaha untuk
memaksimalkan efisiensi produktif pada departemen
penggerindaan dapat mengakibatkan persediaan barang dalam
proses yang berlebihan. Apabila kapasitas departemen
penggerindaan adalah 80 unit suku cadang per minggu, maka
departemen penggerindaan akan menambah produksi 20 unit suku
cadang per minggu, di atas bauran optimal 60 unit suku cadang
yaitu 30 unit suku cadang X dan 30 unit suku cadang Y berdasar
batasan drummer yaitu departemen pengeboran. Oleh karena itu,
dalam periode satu tahun kelebihan persediaan barang dalam
proses adalah 1.000 unit (20 unit x 50 minggu kerja). Departemen
pengkilapan harus berproduksi mengikuti departemen sebelumnya
yaitu departemen penggerindaan yang merupakan batasan
drummer. Oleh karena itu, produksi di departemen pengkilapan
dapat dikendalikan berdasarkan output departemen pengeboran.
 Tahap IV: Mengurangi Batasan Mengikat
Setelah tindakan-tindakan dilakukan untuk penggunaan terbaik
batasan yang ada, langkah berikutnya adalah memulai suatu
program perbaikan berkelanjutan untuk mengurangi batasan-
batasan mengikat yang dimiliki. Misalnya, apabila perusahaan
menambah setengah shift kerja pada departemen pengeboran,
maka kapasitas akan meningkat dari 120 jam pengeboran menjadi
180 jam pengeboran per minggu. Adanya tambahan 60 jam
pengeboran, perusahaan dapat meningkatkan produksi suku cadang
Y dari 30 unit menjadi 50 unit atau terdapat produksi tambahan 20
unit suku cadang Y (1 unit Y membutuhkan 3 jam pengeboran).
Oleh karena suku cadang Y mempunyai margin kontribusi per unit
Rp1.800, maka throughput akan meningkat Rp36.000 per minggu
(Rp1.800 x 20 unit), dengan asumsi bahwa departemen
penggerindaan dan pengkilapan dapat menghasilkan 20 unit suku
cadang Y per minggu. Departemen penggerindaan mempunyai
kapasitas 80 unit dan setiap unit suku cadang X dan Y masing-
masing membutuhkan 1 jam penggerindaan, sehingga digunakan
60 jam penggerindaan. Jadi, produksi tambahan 20 unit masih
dapat dikerjakan dalam kapasitas yang tersedia. Jika departemen
pengkilapan mempunyai kapasitas 160 jam dan suku cadang X per
unit menggunakan 2 jam dan suku cadang Y menggunakan 1 jam.
Apabila bauran optimal sebelumnya, yaitu 30 unit suku cadang X
dan 30 unit suku cadang Y, maka 90 jam pengkilapan digunakan.
Penambahan produksi sebanyak 20 unit suku cadang Y, perusahaan
membutuhkan 20 jam pengkilapan tambahan. Kebutuhan ini dapat
terpenuhi karena terdapat kapasitas menganggur 70 jam
pengkilapan (160 jam - 90 jam). Jadi, perubahan dari bauran
produk terdiri atas 30 unit suku cadang X dan 30 unit suku cadang
Y menjadi bauran produk 30 unit suku cadang X dan 50 unit suku
cadang Y, adalah mungkin dilakukan. Pertanyaannya adalah
apakah penambahan setengah shift kerja akan lebih
menguntungkan. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan
membandingkan biaya tambahan kebijakan penambahan setengah
shift kerja dengan penambahan throughput Rp36.000 per minggu.
Jika biaya tambahan untuk setengah shift kerja adalah Rp 150 per
jam, maka biaya tambahan total adalah Rp9.000 per minggu
(Rp150 x 60 jam), dan keputusan penambahan setengah shift kerja
adalah menguntungkan.
 Tahap V: Pengulangan Proses
Akhirnya, batasan sumber berupa aktivitas pengeboran akan
ditinggalkan pada suatu titik yang batasan tersebut tidak mengikat
lagi. Misalnya, jika perusahaan menambah satu shift kerja penuh
untuk operasi pengeboran, maka kapasitas yang tersedia menjadi
240 jam pengeboran. Batasan pengeboran dan pengkilapan mampu
memproduksi lebih banyak suku cadang Y, tetapi proses
penggerindaan tidak dapat menambah produksi karena departemen
penggerindaan mempunyai kapasitas maksimum 80 unit per
minggu untuk kombinasi suku cadang X dan Y. Jadi, batasan
drummer yang baru adalah penggerindaan. Ketika batasan
drummer baru diidentifikasi, maka proses teori constraint diulang.
Tujuannya adalah untuk melakukan perbaikan kinerja secara
berkelanjutan dengau mengelola batasan. performance) adalah
suatu ukuran kemampuan perusahaan untuk merespons kebutuhan
pelanggan. 10. Model economic order quantity (EOQ) adalah suatu
model untuk meminimumkan biaya persediaan dengan
menentukan kuantitas pemesanan yang ekonomis. 11. Persediaan
minimal adalah kuantitas persediaan yang harus selalu tersedia
untuk mengantisipasi fluktuasi jumlah yang diminta oleh
pelanggan. 12. Ropes adalah tindakan yang dilakukan untuk
mengikatkan tingkat bahan baku yang dimasukkan ke operasi
pertama di pabrik dengan tingkat produksi pada batasan drummer.
13. Sistem kanban adalah suatu sistem yang menjamin bahwa suku
cadang atau bahan tersedia ketika dibutuhkan. 14. Sistem just-in-
case adalah suatu pendekatan tradisional untuk pengelolaan
persediaan. 15. Sistem pull adalah suatu sistem pengendalian
produksi berdasarkan permintaan pasar. 16. Teori constraint adalah
suatu teori yang mengembangkan suatu pendekatan yang
mengelola batasan-batasan untuk mendukung pencapaian tujuan
perbaikan secara berkelanjutan. 17. Throughput adalah perbedaan
antara penjualan dengan biaya variabel level unit (unitlevel
variable costs), seperti bahan baku dan tenaga listrik. Time buffer
adalah persediaan yang dibutuhkan untuk memelihara batasan
sumber ekonomi digunakan selama interval waktu tertentu.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Manajemen persediaan penting untuk membentuk keunggulan
kompetitif jagka panjang. Tingkat persediaan memengaruhi harga jual,
kualitas, perekayasaan produk, kapasiatas menganggur, waktu lembur,
kemampuan merespons permintaan pelanggan, waktu tunggu, dan
profitabilitas secara keseluruhanKonsep manajemen persediaan
Konsep manajemen persediaan Just-In-Case
a. Biaya pemesanan
b. Alasan Tradisional untuk Memiliki Persediaan
c. Economic Order Quantity: Model Persediaan Tradisional
d. Reorder Point
e. EOQ dan Manajemen Persediaan
Manufaktur JIT (just-in-time manufacturing) adalah suatu sistem
berdasarkan tarikan permintaan yang membutuhkan barang untuk ditarik
melalui sistem oleh permintaan yang ada, bukan didorong ke dalam suatu
sistem pada waktu tertentu berdasarkan permintaan yang diantisipasi.
Konsep manajemen persediaan JIT
a. Pull system
b. Biaya pemesanan dan penyimpanan: pendekatan JIT
c. Penghindaran shutdown dan reliabilitas proses: pendekatan JIT
d. Diskon dan peningkatan harga: pembelian JIT versus penyelenggaraan
persediaan
e. Keterbatasan JIT
f. Teori constraint

Anda mungkin juga menyukai