Anda di halaman 1dari 17

1

PSIKOLINGUISTIK

Disusun:

NAMA : UMI KALSUM


NIM : 105331108618
KELAS : PBSI KELAS D

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2018
2

DAFTAR ISI

Kata pengantar
……………………………………………………………………………...… i

Daftar isi ……………………………………………………………………... ii

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang ……...………………………………………………. 4


2. Rumusan Masalah …………..…………………..…………………... 4
3. Tujuan penulisan ………………………………………………..….. 5

BAB II PEMBAHASAN

1. Peengertian Baasa kedua………………………………………………………….……….…..……… 6

2. Proses Pemerrolehan Bahasa …………………………………….….. 6


3. Ciri-ciri pemerolehan bahasa …………………………………………7
4. Strategi pemerolehan bahasa ke dua ………………………………….9
5. Karakteristik peemerolehan bahasa kedua ………………..…………12

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan ……………………………………………………….…. 17
2. Kritik dan Saran ……………………………………………………... 17

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………... 18
3

Kata Pengantar

Segala puji bagi Allah Subhanahu Wata’ala yang telah memberikan nikmat
kesehatan sehingga kita masih dapat berkumpul ditempat ini, nikmat kesempatan hingga kita
hingga kita masih sempat menghadiri kelas ini, dan nikmat keimanan. Tanpa pertolongannya
mungkin kami tidak akan sanggup menyelesaikan laporan ini dengan tepat waktu sesuai
rencana.

Salawat serta salam penulis curahkan pada baginda Nabi Muhammad Sallallahu
Alaihi Wasallam, karena beliaulah yang telah membawa kita dari alam yang penuh
kemaksiatan menuju alam yang penuh dengan cahaya islam.

Terimah kasih penulis ucapkan pada orang tua yang selalu memberikan Doa-doanya
serta dorongan dan juga motivasi kepada penulis agar lebih semangat dalam menimba ilmu.

Terima kasih juga penulis ucapkan pada Hanana Muliana, S,pd, M.pd, selaku dosen
pengampuh yang telah memberikan ilmu yang begitu bermanfaat kepada kami semua.

Laporan ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata psikolinguistik, selain itu
laporan yang kami buat juga sebagai salah satu bukti bahwa kami telah menyelesaikan tugas
yang diberikan kepada kami.

Semoga laporan sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.

25 Januari 2019

Penyusun
4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap bangsa didunia mempunyai bahasa yang mewakili mereka.
sebagaimana yang diketahui umum bahwa stiap bahasa yang mewakili mereka
memiliki sejenis ragam bahasa yang dikenal sebagai pribahasa atau dikenal
juga sebagai kata orang tua yang merupakan warisan mereka yang masih
kekal hingga sekarang.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengarkan aneka ragam
bahasa yang dihasilkan oleh masyarakat setempat baik secra liisan maupun
tertulis, dengan implementasi seperti ini, dapat kita jumpai bahwa aneka
ragam bahasa yang dihasilkan oleh masyarakat adalah bahsa pertama dan
bahasa kedua.
Bahasa pertama merupakan basaha lisan yang pertama kali didengar
oleh seseorang ketika dia dilahirkan dari rahim ibunya sehingga dia bisa
berbicara dan menulis untuk tahap hidup selanjutnya, sedangkan bahasa
kedua adalah bahasa yang dipelajari dan dipahami dilingkungan
kehidupannya.
Memandang pada bahasa pertama dan bahasa kedua yang kita jumpai
pada abad kedua puluh ini sudah dikenal oleh nenek moyang kita, oleh karena
itu unsur dan fenomena alam semesta yang melingkup kehidupan mereka yang
menjadi sumber ilham untuk merangkaikan bahasa. Dan dari unsur-unsur
itulah lahir dan timbulnya bahasa pertama dan bahasa kedua.

B. Tujuan dan Manfaat Pembuatan Makalah


1. Tujuan Pembuatan Makalah
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah sebagai sarana untuk
mengetahui lebih lanjut tentang;
a) Proses pemerolehan bahasa ke dua
b) Karakteristik pemerolehan bahasa ke duav
5

c) Ciri-ciri pemerolehan bahasa ke dua


d) Strategi pemerolehan bahasa ke dua
2. Manfaat Pembuatan Makalah
Manfaat dibuatnya makalah ini adalah sebagai panutan unutk
mengenal labih dekat dan bisa meggunakan bahasa kedua sesuai situasi dan
kondisi dam lingkungan sosial.
C. Rumusan masalah
Dari uraian penjelasan diatas, maka kami sebagai penulis menarik
rumusan masalah sebagai berikut:
a) Proses pemerolehan bahasa ke dua
b) Karakteristik pemerolehan bahasa ke duav
c) Ciri-ciri pemerolehan bahasa ke dua
d) Strategi pemerolehan bahasa ke dua
6

BAB II
PEBAHASAN

A. PENGERTIAN BAHASA KEDUA

1. Menurut Chaer dan Agustina

Pemerolehan bahasa kedua adalah rentang bertahap yang dimulai dari menguasai
bahasa pertama (B1) ditambaha sedikit mengetahui bahasa kedua (B2), lalu penguasaan
B2 meningkat secara bertahap, sampai akhirnya penguasaan B2 sama baiknya dengan
B1.

2. Kholid A. Harras

Bahasa kedua adalah bahasa yang diperoleh anak setelah mereka memperoleh bahasa
pertama.

3. Henry Guntur Tarigan

Pemerolehan bahasa kedua diartikan dengan mengajar dan belajar bahasa asing dan
atau bahasa kedua lainnya

4. Menurut Dardjowidjojo

Pemerolehan bahasa kedua diperoleh melalui proses orang dewasa yang belajar di
kelas adalah pembelajaran secara formal di perbandingkan dengan bahasa permata
secara alamiah.

5. Wikipedia

Pemerolehan bahasa kedua adalah proses seseorang belajar bahasa kedua disamping
bahasa ibu, mereka mengacu pada aspek sadar dan bawah sadar dari masing-masing
proses. Bahasa kedua atau B2 biasanya mengacu pada semua bahasa yang dipelajari
setelah bahasa ibu mereka, yang juga disebut bahasa pertama, B1.

B. PROSES PEMEROLEHAN KEMAMPUAN BAHASA KEDUA

Pemerolehan bahasa berbeda dengan pembelajaran bahasa. Orang dewasa mepunyai


dua cara yang berbeda mengenai pengembangan kompetensi dalam bahasa kedua
seperti:
7

a. Pemerolehan bahasa merupakan proses yang bersamaan dengan cara anak-anak.


Mengembangankan kemampu mereka, Pemerolehan bahasa merupakan proses bawah
sadar (sadar/disengaja). Pemrolehan bahasa tidak selalu sadar akan kenyataan bahwa
mereka memakai bahasa untuk berkomunikasi.

b. Untuk mengembangkan kompetensi dalam bahasa kedua dapat dilakukan dengan


belajar bahasa. Anak-anak memperoleh bahasa, sedangkan orang dewasa hanya
mempelajarinya. Akan tetapi ada hipotesis pemerolehan belajar yang menuntut bahwa
orang-orang dewasa juga memperoleh bahasa, kemampuan memungut bahasa tidaklah
hilang pada masa puber. Orang-orang dewasa juga dapat memanfaatka sarana
pemerolehan bahasa alamiah yang sama seperti yang dipakai anak-anak. Jadi,
pemerolehan merupakan suatu proses yang amat kuat pada orang dewasa.

C. CIRI-CIRI PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA

1. Bersifat Klasikal

Mengapa dikatakan klasikal? Hal tersebut disebabkan bahwa siswa BIPA dengan
kesadaran mempelajari bahasa kedua. Selain itu, situasi yang berlangsung pun formal.
Siswa BIPA belajar bahasa keduanya berdasarkan aturan-aturan. Dengan kata lain tidak
belajar apa adanya, tidak asal-asalan, namun mengikuti konsep-konsep yang telah dibuat
pengajar. Akibatnya, para siswa BIPA kurang memiliki keterampilan penggunaan
bahasa Indonesia secara langsung/sehari-hari..

Namun, ada keuntungan utama yang didapatkan. Dengan sistem yang terkonsep,
maka pengetahuan dan wawasan tentang bahasa kedua akan didapatkan secara bertahap,
tidak acak-acakan. Keuntungan lainnya adalah dalam keterampilan menulis. Pada
umumnya, mereka lebih memiliki keterampilan dan kemampuan ketika menulis aneka
karya tulis formal.

2. Adanya Keterlibatan Budaya

Terkadang seseorang belum menyadari, keberadaan adat dan budaya sebagai aspek
yang amat berperan dalam pembelajaran pemerolehan bahasa. Orang dari luar negeri
yang hendak belajar bahasa Indonesia, mereka berlatarbelakang budaya-budaya yang
beragam, berbeda dengan budaya Indonesia. Saat mereka belajar mengenai bahasa
Indonesia, otomatis, mereka pun mempelajari budaya negeri kita. Hal ini akan sangat
berguna ketika berkomunikasi dengan warga Indonesia secara langsung.

Hal yang dianggap sopan di negeri mereka, belum tentu dimaklumi di negeri kita.
Begitu pun sebaliknya. Itu hanyalah sedikit gambaran mengenai mengapa budaya
terlibat dalam pembelajaran bahasa. Dengan mengenal perbedaan setiap bangsa, akan
menghindari adanya salah paham antara siswa BIPA dan gurunya.
8

Contoh sederhana adalah pengucapan "Good morning".

Kalimat di atas bermakna selamat pagi. Meski pun tengah jam sebelas siang, bule
mengucapkan hal tersebut, Sementara itu, di negeri kita, seharusnya pukul sebelas siang
mengucapkan: "Selamat siang".

Sebuah penyesuaian tentu bukanlah hal yang gampang. Bagi siswa BIPA, terkadang
mereka mengalami sebuah gangguan psikologis, yanik rasa krisis dan panik. Gangguan
semacam itu dikenal sebagai culture shock. Contoh-contoh culture shock adalah di
bawah ini.

a) terasing
b) kesedihan
c) ragu-ragu
d) stres
e) kemarahan
f) banyak pikiran hingga badan tidak fit
g) ingin pulang ke negeri asal
h) perasaan sendiri

Untuk meminimalisir hal di ats, sudah seharusnya, guru BIPA yang baik pun
mempelajari adat dan budaya siswanya. Dengan demikian, pembelajaran berlangsung
dengan lebih baik dan lancar.

3. Peranan Usia Pembelajar

Dilihat berdasarkan sudut pandang usia, anak-anak usia dini lebih baik dalam
melafalkan kata-kata dibandingkan dengan orang dewasa. Mengapa begitu? Alat
pengucapan orang dewasa bisa dibilang sudah kaku.

Sebaliknya untuk hal morfologi dan sintaksis. Manusia dewasa lebih mampu dan
terampil dibandingkan dengan anak-anak kecil. Mengapa demikian? Karena orang
dewasa telah memahami ilmu-ilmu yang lebih banyak sebelumnya. Seperti yang
diketahui, memperoleh ilmu bahasa adalah pembelajaran yang bertahap.

Berdasarkan penelitian di pembelajaran BIPA, orang-orang dewasa akan lebih cepat


dalam pembelajar bahasa kedua ketika mereka secara langsung hadir di lingkungan
pembicara aslinya. Mengapa demikian? Alasannya adalah otak. Otak orang dewasa lebih
sempurna dibandingkan dengan otak mereka sewaktu kecil.
9

D. STRATEGI KEMAMPUAN BAHASA KEDUA

1. Pengertian Strategi

Istilah strategi diambil dari bahasa inggris, strategy. Dalam bidang non militer, konsep
strategi digunakan untuk hal-hal yang bebar dari makna permusuhan. Kata itu
mengandung makna rencana, tahapan, atau kesadaran untuk bertindak sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan. Dalam bidang pendidikan strategi diberi makna baru dan
ditransformasikan kedalam strategi belajar. Dalam hal ini, strategi belajar didefinisikan
sebagai langkah-langkah yang dilakukan oleh pembelajar untuk menambah kemampuan,
penyimpanan, pemroduksian kembali, dan penggunaan informasi.

Berkaitan dengan definisi tersebut dimunculkan definisi baru strategi belajar bahasa,
yaitu tindakan khusus yang dilakukan oleh pembelajar untuk mempermudah,
mempercepat, lebih menikmati, lebih mudah memahami secara langsung, lebih efektif,
dan lebih mudah ditransfer ke dalam situasi yang baru (Oxfroad, 1992:8).

Dalam pengertian baru ini, strategi belajar bahasa memiliki kandungan makna sebagai
berikut.

a) Strategi belajar bahasa memiliki kontribusi langsung pada tujuan utama


kemampuan/pembelajaran bahasa, yaitu kopetensi komunikatif.
b) Strategi belajar bahasa menghendaki pembelajar mudah memahami sendiri secara
langsung B2.
c) Strategi belajar bahasa mengembangkan pedoman bagi pengajar.
d) Strategi belajar bahasa berorientasi pada pemecahan masalah terhadap tugas bahasa
sasaran (B2).
e) Strategi belajar bahasa merupakan aktifitas khusus yang dilakukan oleh pembelajar
B2, bukan dilakuan oleh pengajar atau calon pengajar.
f) Strategi belajar bahasa melibatkan banyak aspek pembelajar, bukan hanya kognisi.
g) Strategi belajar bahasa mendorong pembelajaran bahasa, baik langsung maupun tidak
langsung.
h) Strategi belajar bahasa tidak selalu mudah untuk diobservasi. Ada beberapa strategi
belajar yang hanya dapat diamati memlalui video tape atau simulasi tertutup.
i) Strategi belajar bahasa merupakan proses yang dilakukan dengan sadar dan
terencana.
j) Strategi belajar bahasa merupakan aktivitas yang dapat dipelajari dan dilatihkan.
k) Strategi belajar bahasa mengandung sub-subaktivitas yang fleksibel.
l) Strategi belajar bahasa dipengarui oleh beragam factor internal dan eksternal dari
pembelajar.
10

2. Macam-Macam Strategi Kemampuan Bahasa Kedua

Oxford(1992) membagi kemampuan B2 ke dalam dua keompok besar, yaitu strategi


langsung dan strategi tak langsung.

a. Strategi langsung adalah strategi yang melibatkan secara langsung sasaran bahasa
terhadap pembelajar. Semua strategi langsung memerlukan proses mental, tetapi proses
dan tujuannya berbeda-beda. Strategi langsung ini dugunakan oleh pembelajar untuk
mengatasi masalah kebahasaannya melalui sentuhan langsung dengan materi kebahasaan
yang ada. Strategi ini terdiri atas tiga: (a) strategi memori, (b) strategi kognitif, dan (c)
strategi kompensasi.

Strategi memori ini dapat dimanfaatkan oleh siswa untuk mengingat informasi yang
potensial untuk diproduksi. Strategi memori merefleksikan hal-hal yang sederhana:
mengatur hal-hal yang sedrhana, membuat asosiasi, dan melakukan penelaahan. Dan
strategi ini sangat relevan untuk pembelajaran kosakata. Dalam mempelajarai kosakata,
strategi memori memiliki kelebihan (1) memungkinkan pemebalajar menyimpan
informasi verbal dan kemudian mencarinya kembali saat dibutuhkan untuk berkomunikasi
dan (2) pada tingkat penelaahan membantu keterangan dari tingkat fakta sampai pada
tingkat keterampilan yang dalam hal ini berupa pengetahuan procedural dan otomatis.

Beberapa teknik dapat membantu pengembangan strategi ini, seperti teknik visual,
teknik oral, dan kinestetik atau indra peraba. Secara teoritis, strategi ini memiliki
sumbangan yang kuat untuk pembelajaran B2. Namun dari hasil penelitian didapatkan
informasi bahwa jarang pembelajar yang melaporkan bahwa dirinya menggunakan
strategi memori ini.

Strategi kedua pada strategi secara langsung adalah strategi kognitif. Strategi ini
memiliki banyak variasi dalam aplikasinya: mengulang materi, menganalisis ungkapan,
dan meringkas. Fungsi utama strategi ini adalah manipulasi atau trasformasi bahasa
sasaran oleh pembelajar. Dan peranan yang paling penting dalam strategi ini adalah untuk
pelatihan, penerimaan, dan pengiriman pesan, serta penganalisaan dan penalaran.

Strategi kompensasi merupakan strategi dalam paying strategi secara langsung yang
ketiga. Strategi ini dimaksudkan untuk mengatasi kekurangan atau ketidakmampuan
pembelajar dalam struktur B2 atau khususnya dalam kosakata. Strategi ini dapat
dikembangkan baik ketika pembelajar sedang aktif berbahasa secara reseptif maupun
secara produktif. Untuk pembelajar yang sedang berbahasa secara reseptif, aktivitas yang
termasuk strategi ini adalah penekanan secara masuk akal. Menerka sebenarnya
merupakan suatu cara khusus memperoleh keterangan yang baru atau mengiterprestasikan
data dengan menggunakana konteks berdasarkan pengalaman kehidupan pribadi.
Menerka secara masuk akal ini dapat dilakuakn dengan petunjuk linguistik (kosakata
11

struktur) dan melalui petunjuk nonlinguistik (koteks, konteks, situasi, pengetahuan


tentang dunia).

Sebaliknya, untuk pembelajar yang sedang berbahasa secara produktif, aktivitas yang
termasuk pada strategi ini adalah penguasaan batasan dalam berbicara atau menulis.
Aktivitas yang dapat ditempuh untuk pengembangannya adalah (a) pengalihan ke bahasa
ibu, (b) penggunaan mimic atau gerak badan (gestur), (c) penghindaran komunikasi
secara spesifik dan menyeluruh, (d) penyesuaian pesan menjadi lebih sederhana, (e)
penciptaan kata-kata baru untuk mewadahi ide yang dikomunikasikan, dan (f)
penggunaan kata yang berlimpah dan sinonim.

b. Strategi secara tidak langsung adalah strategi untuk pengaturan belajar bahasa secara
umum. Jika strategi secara langsung memiliki hubungan langsung dengan pemecahan
problema kebahasaan, strategi tak langsung tidak. Ibarat peran direktur permainan,
strategi tak langsung memerankan berbagai fungsi sebagai tuan rumah: menfokuskan,
mengorganisasi, menimbang, mengecek, mengoreksi, menumbuhkan percaya diri dan
menghibur para pelaku, demikian pula menyakinkan agar para aktor (strategi langsung)
dapat bekerja sama dengan para aktor lain dalam dalam permainan (penyelesaian tugas
B2). Yang tergolong strategi tak langsung ini adalah (a) strategi metakognitif, untuk
mengkoordinasi proses belajar, (b) strategi afektif, untuk mengatur aspek emosi, (c)
strategi social, untuk belajar dengan orang lain.

3. Penerapan Strategi Tak Langsung Dalam Empat Keterampilan Berbahasa

Telah dikemukakan, strategi taklangsung memberi dukungan terhadap strategi


langsung dalam membantu pembelajar memecahkan tugas-tugas kebahasaannya.
Dukungan itu dalam bentuk pemfokusan, perencanaan, pencarian peluang, ngendalian
kecemasan, peningkatan kerja sama dan rasa simpati, dan sebagainya. Strategi ini
dikelompokkan menjadi tiga substrategi: a) Metakognitif, b) Afektif, dan c) sosial.

Aktivitas dalam substrategi metakognitif antara lain berbentuk memusatkan aktivitas


belajar, menyusun rencana belajar, dan mengevaluasi aktivitas belajar masing-masing.
Substrategi ini bermanfaat bagi semua keterampilan berbahasa. Sebagai contoh penerapan
substrategi ini adalah penggunaan teknik penelaahan dan penghubungan dengan materi
sebelumnya. Pembelajar bahasa Jawa sebagai B2 mula-mula mempreview (membaca-
baca terlebih dahulu untuk menyiapkan diri) kosakata dalam bahasa Jawa yang dipakai
untuk mengungkapkan rasa kesal, misalnya aduh, jangkrik, gombal amoh, maling gering,
jarke wae, karepmu, dan sebagainya, karena pembelajar mengetahui bahwa mereka akan
diminta untuk mengecek ungkapan-ungkapan tersebut dalam aspek yang lebih besar,
yaitu penggunaannya dalam kalimat. Saat mem-preview disamping membaca-baca,
pembelajar mendemonstrasikan tiaptiap ungkapan ke dalam kalimat, menambahkan
ungkapan bahasa Jawa lain yang telah mereka kenal, akhirnya mereka membandingkan
12

ungkapan-ungkapan kekesalan dalam bahasa Jawa tersebut dengan ungkapan dalam B1


mereka.substrategi retakognitif ini yang bermanfaat untuk pembelajaran berbahasa lisan
(menyimak dan berbicara) adalah menunda produksi ucapan untuk memfokuskan
penyimakan. substrategi afektif membantu pembelajar mengurangi rasa bosan dan
menimbulkan rasa nyaman dalam belajar bahasa. Substrategi ini dikembangkan dengan
tiga teknik, yaitu:

a) Mengurangi kecemasan.

b) Memotivasi diri sendiri.

c) Mengontrol temperatur emosi diri.

E. KARAKTERISTIK PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA

Karakteristik pembelajar bahasa kedua dapat dilihat dari berbagai ruang lingkup,
seperti dari segi intelegensi, kepribadian, dan sebagainya. Dalam pembahasan ini,
karakteristik pembelajar bahasa kedua tersebut meliputi

1. Usia

Perbedaan usia pembelajar bahasa kedua akan membedakan pula proses


pembelajaran bahasa keduanya. Brown (2000) membagi usia pembelajar bahasa kedua
atau bahasa asing ke dalam tiga kelompok umur, yakni anak-anak, remaja, dan orang
dewasa. Ia menyebutkan bahwa perbedaan antara anak-anak dan orang dewasa adalah
masa pubertas, sedangkan kelompok remaja ia kategorikan sebagai masa transisi dari
anak-anak menuju dewasa. Senada dengan Brown, Apeltauer (1997) juga
mengelompokan usia pembelajar berdasarkan masa pubertas, yakni sebelum dan sesudah
pubertas.

a. Anak-Anak

Pengajar perlu memperhatikan bahwa anak-anak (hingga usia 11 tahun) masih


berada dalam fase perkembangan yang disebut oleh Piaget (1972) dengan masa operasi
konkret (concrete operation), sehingga aturan-aturan, penjelasan, serta pembicaraan
lainnya mengenai bahasa yang bersifat abstrak haruslah diberikan dengan sangat hati-hati.
Anak-anak sangat berpusat pada konteks di sini dan sekarang (here and now), yakni
memperhatikan tujuan bahasa secara fungsional. Mereka tidak seperti orang dewasa yang
sangat memperhatikan ketepatan (correctness), dan mereka juga belum mampu untuk
memahami metabahasa yang dipakai oleh orang dewasa dalam menggambarkan dan
menjelaskan konsep linguistik.

Anak-anak memang bersifat inovatif dalam pembelajaran bahasa, namun mereka


juga masih menemukan hambatan dalam proses tersebut. Dibanding orang dewasa, anak-
13

anak biasanya lebih sensitif terhadap rekan seusia mereka. Hal ini dikarenakan ego
mereka masih dibentuk , sehingga cara penyampaian tertentu dapat diartikan negatif.
Tugas seorang pengajar untuk membantu siswa menghalau rintangan-rintangan tersebut,
misalnya dengan bersikjap sabar dan suportif dalam membangun self-esteem siswa, dan
sebisa mungkin menggali partisipasi oral dari para siswa, terutama siswa yang pendiam.

b. Remaja

Remaja merupakan usia transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada usia
12 tahun, kapasitas intelektual diperkaya juga dengan kemampuan berpikir operasional,
sehingga persoalan yang kompleks dapat diselesaikan dengan pemikiran logis, sehingga
secara teoretis, materi linguistik yang bersifat metabahasa sudah dapat diberikan. Rentang
perhatian semakin bertambah sebagai akibat dari kematangan intelektual, namun dengan
banyaknya diversi dalam kehidupan remaja, maka rentang ini dapat kembali berkurang
dengan mudah. Varietas input sensorik masih penting, namun meningkatnya kemampuan
abstraksi akan mengurangi esensi alamiah dari kelima indera. Faktor-faktor seperti ego,
image diri, dan self-esteem, berada di puncak. Remaja menjadi sangat sensitif akan
perspektif orang lain mengenai perubahan dirinya baik secara fisik maupun emosional,
sehingga seorang pengajar harus mampu menjaga self-esteem mereka diantaranya dengan
menghindari mempermalukan siswa, menghargai bakat dan kekuatan setiap siswa,
mentolerir kesalahan dan kekeliruan, mengurangi kompetisi antara teman sekelas, dan
mendorong terjalinnya kerja sama dalam kelompok kecil. Siswa kelas menengah tentunya
lebih menyerupai orang dewasa dalam kemampuan mereka mengubah diversi keadaan
dari konteks di sini dan sekarang menjadi konteks komunikatif dalam membahas aturan
tata bahasa atau menerapkan kosakata.

c. Dewasa

Orang dewasa lebih mampu menangani aturan-aturan dan konsep-konsep abstrak.


Namun, terlalu banyak generalisasi abstrak mengenai penggunaan, serta kurangnya
bahasa yang nyata juga dapat mematikan bagi orang dewasa. Orang dewasa memiliki
rentang perhatian yang lebih tinggi meskipun saat mereka menghadapi hal yang secara
intrinsik tidak mereka sukai. Namun, usaha untuk tetap menjaga aktivitas kelas agar
menyenangkan perlu juga dilaksanakan pada saat mengajar orang dewasa. Input sensori
pada orang dewasa tidak harus selalu beragam, akan tetapi, salah satu rahasia dari kelas
orang dewasa yang hidup adalah seruan mereka akan beragam indera (multiple sense).
Orang dewasa sering kali membawa self-esteem global ke dalam ruang kelas, sehingga
kerapuhan ego tidaklah sekritis pada anak-anak. Orang dewasa dengan kemampuan
berpikir abstrak yang lebih berkembang lebih mampu memahami sebuah segmen bahasa
yang tidak terikat konteks.
14

Ketiga kelompok usia ini tentunya memiliki tingkat perolehan yang berbeda
khususnya dalam pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing. Pada pemerolehan
bahasa kedua atau bahasa asing, anak-anak unggul dalam penguasaan pelafalan serta
intonasi. Hal ini dikarenakan pada usia tersebut mereka jauh memiliki kespontanan dan
tidak takut untuk melakukan kesalahan. Sebaliknya orang dewasa cenderung untuk
mengucapkan maupun memilih kata demi kata secara hati-hati untuk menghindari
kesalahan. Dalam konteks pembelajaran di ruang kelas, Brown (2000) mengemukakan
bahwa kelompok dewasa lebih unggul dibanding kelompok anak-anak dan remaja. Hal ini
dikarenakan orang dewasa memiliki rentang perhatian (attention span) yang lebih tinggi
dibanding kedua kelompok lainnya. Anak-anak memiliki rentang perhatian yang rendah,
dan hal ini akan tampak pada saat mereka harus berhadapan dengan hal-hal yang menurut
mereka membosankan, tidak berguna, ataupun terlalu sulit, misalnya dalam konteks
belajar di ruang kelas yang menuntut mereka untuk “serius” dalam durasi yang cukup
lama.

Dibandingkan dengan anak-anak, remaja memiliki rentang perhatian yang lebih


tinggi, hal ini sesuai dengan bertambahnya usia mereka menuju usia dewasa, namun
rentang perhatian ini bisa kembali berkurang karena sangat dipengaruhi oleh pelbagai
peristiwa yang dialami oleh remaja dalam kehidupannya.

Jika anak-anak unggul dalam bidang fonologi, yakni dalam hal pelafalan dan
intonasi, maka orang dewasa jauh lebih unggul dalam bidang morfologi dan sintaksis,
yakni dalam hal cakupan kosakata yang dikuasainya serta penguasaan mereka akan aturan
dan konsep yang abstrak, yakni konsep yang tidak terikat dengan konteks di sini dan
sekarang. Hal ini dikarenakan orang dewasa memiliki kemampuan kognitif yang lebih
tinggi dibanding kelompok usia lainnya.

2. Intelegensi (IQ)

Intelegensi atau tingkat kecerdasan merupakan kemampuan dasar yang dimiliki


manusia. Ada anggapan bahwa anak dengan intelegensi tinggi pasti lebih cepat berhasil
dalam pemerolehan bahasa keduanya. Anggapan tersebut sepertinya kurang tepat, karena
menurut Gardner (1983) dalam Harras (2009: 76) intelegensi atau IQ seseorang
dibedakan ke dalam beberapa pembagian. Pembagian tersebut meliputi:

Setiap individu mempunyai kapasitas kecerdasan bahasa yang berbeda dengan


individu lainnya sehingga akan mengakibatkan hasil pemerolehan bahasa kedua yang
berbeda-beda pula. Hal ini juga berkaitan dengan pendapat Gardner yang menggolongkan
kecerdasan manusia menjadi 7 macam yaitu kecerdasan musik, bodi kinestetik, logika
matematika ruang, interpersonal, dan intrapersonal. Gardner menambahkan bahwa
komposisi ketujuh kecerdasan tersebut sangat berbeda dalam satu individu. Kecerdasan
15

yang paling menonjol akan mendominasi kecerdasan-kecerdasan lainnya dalam


memecahkan suatu masalah.

Perbedan-perbedaan individu dalam hasil pemerolehan bahasa kedua juga dibuktikan


oleh berbagai institusi bahasa di dunia yang mewajibkan tes kecerdasan bahasa sebelum
para pembelajar memasuki institusi tersebut. Dengan menggunakan berbagai instrumen
tes kecerdasan bahasa, ditemukan bahwa pembelajar yang memperoleh skor tinggi dalam
tes kecakapan bahasa akan lebih cepat dan mudah dalam belajar bahasa dibanding dengan
pembelajar yang memperoleh skor rendah.

3. Kepribadian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti cara bertingkah laku yang
merupakan ciri khusus seseorang serta hubungannya dengan orang lain di lingkungannya.
Kepribadian merupakan faktor penentu hasil belajar bahasa kedua, karena berbeda
kepribadian maka berbeda pula hasil belajarnya. Secara umum, orang menganggap bahwa
orang yang memiliki kepribadian terbuka akan lebih cepat dalam pememrolehan bahasa
keduanya. Kepribadian seseorang terbagi atas dua jenis, yaitu orang dengan kepribadian
tertutup (introvert) dan orang dengan kepribadian terbuka (ekstrovert).

4. Emosi

Emosi secara umum dapat dikatakan sebagai perasaan. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia emosi dapat diartikan sebagai persaan batin yang kuat atau keadaan dan
reaksi psikologis dan psikologis seperti kegembiraan, keharusan, kecintaan yang bersifat
subjektif. Goleman (1999) mendefinisikan emosi sebagai suatu keadaan biologis dan
psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Secara garis besar emosi
manusia dibedakan dalam dua bagian yaitu:

· Emosi positif (emosi yang menyenangkan), yaitu emosi yang menimbulkan


perasaan positif pada orang yang mengalaminya, diataranya adalah cinta, sayang, senang,
gembira, kagum dan sebagainya.

· Emosi negatif (emosi yang tidak menyenangkan), yaitu emosi yang


menimbulkan perasaan negatif pada orang yang mengalaminya, diantaranya adalah sedih,
marah, benci, takut, dan sebagainya.

Setiap individu pembelajar tentunya memmiliki emosi yang berbeda-beda. Emosi


seorang pembelajar khususnya pembelajar bahasa kedua akan sangat mempengaruhi hasil
belajar bahasa keduanya. Emosi positif dapat membantu pembelajar dalam mempercepat
belajar bahasa keduanya dan mendapatkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan
pembelajar yang memiliki emosi negatif. Pembelajar dengan emosi degatif akan
16

memperlambat dalam proses belajar bahasa keduanya atau bahkan dapat


menghentikannya sama sekali.

5. Sikap Pembelajar

Setiap pembelajar bahasa kedua memiliki sikap yang berbeda terhadap bahasa kedua
yang dipelajarinya. Ada pembelajar yang bersikap positif terhadap suatu bahasa ada pula
yang bersikap negatif. Sikap dapat diartikan sebagai perbuatan yang didasarkan pada
pendirian atau keyakinan (KBBI). Sikap pembelajar tehadap bahasa kedua tentunya
sangat mempengaruhi proses pembelajaran. Secara garis besar sikap pembelajar terhadap
bahasa keduanya dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu sikap positif dan sikap negatif.

a. Sikap Positif

Pembelajar dengan sikap positif menganggap bahwa bahasa kedua yang


dipelajarinya ini bermanfaat bagi dirinya. Hal ini akan membantu dalam proses
pembelajaran bahasa keduanya.

b. Sikap Negatif

Pembelajar dengan sikap negatif beranggapan bahwa bahasa keduanya itu


merupakan bahasa yang tidak memiliki manfaat apapun di dalam kehidupannya, serta
tidak memiliki prestise. Pembelajar dengan sikap negatif tidak akan berhasil dalam
memperoleh bahasa keduanya. Proses pembelajarannya pun cenderung tidak akan
berjalan.
17

BAB III

PENUTUP

A. kesimpulan
Pemerolehan bahasa kedua adalah rentang bertahap yang dimulai dari menguasai
bahasa pertama (B1) ditambaha sedikit mengetahui bahasa kedua (B2), lalu penguasaan
B2 meningkat secara bertahap, sampai akhirnya penguasaan B2 sama baiknya dengan
B1.

B. Kritik dan Saran


Kami menyadari, dalam pembuatan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, kami sebagai penyusun berharap agar ada kritik dan saran dari semua pihak terutama
dosen. Kami hanyalah manusia biasa. Jika ada kesalahan, itu datangnya dari kami
sendiri. Dan jika ada kebenaran, itu datangnya dari Allah swt.

Anda mungkin juga menyukai