Anda di halaman 1dari 15

ANALISIS KEBUTUHAN AIR TANAMAN TERHADAP

PRODUKTIVITAS TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao) DI


KABUPATEN JEMBER, JAWA TIMUR

REFFI MAUREZA SUNARYO PUTRI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia (439.305 ton)


setelah Pantai Gading (917.700 ton) dan Ghana (498.308 ton) (FAO 2012).
Tanaman kakao (Theobroma cacao L) merupakan sumber devisa terbesar ketiga
di Indonesia di sub-sektor perkebunan, setelah tanaman karet dan kelapa sawit, yaitu
tercatat sebesar US $ 701 juta pada tahun 2002 (Departemen Perindustrian
2008). Tanaman ini lebih banyak diekspor karena industri pengolahan kakao di
Indonesia masih tergolong kurang. Selain sebagai sumber devisa Negara, kakao
juga merupakan sumber pendapatan petani, terutama petani kecil, karena di
Indonesia, tanaman kakao umumnya dikelola oleh petani kecil dengan lahan
perkebunan kurang dari satu hektar. Penanaman kakao juga merupakan sumber
penciptaan lapangan kerja serta mendorong tumbuhnya kegiatan agribisnis,
agroindustri, serta agrowisata.
Pada tahun 2008, produktivitas kakao di Indonesia adalah sebesar 0.7 ton/ha,
jauh di bawah Pantai Gading yang mencapai 1.5 ton/ha, sedangkan potensi
produktivitas kakao di Indonesia dapat mencapai 2 ton/ha (Fitriana et al. 2014).
Potensi produktivitas tersebut dapat ditingkatkan dengan beberapa cara, salah
satunya dengan menentukan besar kebutuhan air tanaman kakao, sehingga
kejadian defisit atau surplus air dapat dicegah/diatasi. Kebutuhan air tanaman/crop
water requirement (CWR) dipengaruhi oleh berbagai faktor cuaca, antara lain:
suhu udara, lama penyinaran, kecepatan angin, dan kelembaban relatif/relative
humidity (RH), serta faktor tanaman seperti koefisien tanaman (Kc).
Penentuan kebutuhan air tanaman penting untuk dilakukan, karena
kebutuhan air tanaman merupakan faktor pembatas utama bagi produktivitas
tanaman. Pada tanaman kakao, kekurangan air perlu dipenuhi oleh irigasi,
sedangkan surplus air dapat menimbulkan serangan berbagai hama dan penyakit
tanaman, bahkan curah hujan yang melebihi 4,500 mm/tahun dapat menyebabkan
kebusukan buah (BALITTRI 2012).
Perhitungan kebutuhan air tanaman dapat dilakukan dengan berbagai
metode, salah satunya metode Penman-Monteith. Metode ini banyak digunakan
karena metode ini merupakan metode yang direkomendasikan oleh food and
agricultural organization (FAO) sebagai metode yang paling akurat untuk
menghitung besar evapotranspirasi acuan dan kebutuhan air tanaman. Cara yang
praktis untuk mencari besar kebutuhan air tanaman adalah dengan menggunakan
software CROPWAT, yang juga dikeluarkan oleh FAO. Ada beberapa hal yang
dapat dijelaskan dengan CROPWAT, antara lain perhitungan evapotranspirasi
acuan (ET0), pemrosesan data curah hujan untuk mencari curah hujan efektif, pola
tanam, serta rancangan irigasi. Penelitian ini mengkaji besar ET 0 untuk mencari
besar evapotranspirasi tanaman (ETc), yang nilainya sebanding dengan CWR.
Selain dengan mencari besar kebutuhan air tanamannya, peningkatan
produktivitas juga dapat dilakukan dengan mencari wilayah mana saja yang cocok
ditanami kakao, sehingga intensifikasi pertanian dapat difokuskan di wilayah-
wilayah tersebut. Oleh karena itu, pengembangan kakao di wilayah Jember akan
lebih efektif jika potensi iklim yang sesuai untuk tanaman kakao telah diketahui.
Penelitian ini dilakukan untuk menduga nilai kebutuhan air tanaman kakao
sehingga dapat dikaitkan dengan fluktuasi produktivitas tanaman tersebut.
Selain itu, penelitian ini juga dilakukan untuk memberikan informasi mengenai
daerah mana saja di Jember yang sesuai dan tidak sesuai untuk ditanami kakao.
Hasil dari penelitian ini diharapkan agar dapat membantu peningkatan
produktivitas tanaman kakao di wilayah Jember.

Tujuan Penelitian

1. Menduga nilai kebutuhan air tanaman kakao dan hubungannya


dengan produktivitas tanaman kakao.
2. Menentukan area di wilayah Jember, Jawa Timur, yang cocok
untuk penanaman kakao berdasarkan pola sebaran suhu dan curah
hujan.

TINJAUAN PUSTAKA
Kebutuhan Air Tanaman

Kebutuhan air tanaman/crop water requirement (CWR) dapat didefinisikan


sebagai banyaknya air yang dibutuhkan untuk mengganti air yang hilang lewat
evapotranspirasi. Nilai CWR memang identik dengan nilai evapotranspirasi
tanaman (ETc). Namun, CWR mengacu pada banyaknya air yang harus disuplai,
sedangkan ETc mengacu pada banyaknya air yang hilang lewat evapotranspirasi.
Unsur iklim utama yang mempengaruhi CWR adalah penyinaran matahari,
temperatur, kelembaban, dan kecepatan angin. CWR umumnya diekspresikan
dalam satuan mm/day, mm/month, atau mm/season. Fungsi dari perhitungan
CWR biasanya adalah untuk tujuan manajemen dalam mengestimasi kebutuhan
irigasi tanaman.
CWR terutama bergantung pada unsur iklim, tipe tanaman, dan fase
pertumbuhan tanaman. Pada wilayah yang beriklim panas dan banyak menerima
sinar matahari, seperti di Indonesia, tanaman membutuhkan lebih banyak air tiap
harinya dibandingkan wilayah yang dingin dan sering berawan. Selain itu, daerah
dengan kelembaban lebih rendah dan kecepatan angin tinggi juga akan
membutuhkan lebih banyak air dibandingkan daerah dengan kelembaban tinggi
dan kecepatan angin rendah. Jika dilihat dari fase tumbuhnya, tanaman yang
sudah dewasa akan membutuhkan lebih banyak air dibandingkan tanaman yang
baru ditanam.

CROPWAT

Cropwat dikembangkan oleh FAO pada tahun 1990 untuk mengukur


kebutuhan air tanaman dan untuk melakukan perencanaan dan manajemen proyek
irigasi (Kuo 2006). Input yang dibutuhkan CropWat untuk dapat mengestimasi
kebutuhan air tanaman adalah nilai evapotranspirasi tanaman acuan (ET 0), data
curah hujan bulanan, dan pola tanam. Nilai ET0 diukur menggunakan persamaan
Penman-Monteith FAO berdasarkan data iklim bulanan/dasarian berupa suhu
udara maksimum dan minimum, kelembaban relatif, kecepatan angin, dan lama
penyinaran matahari. Pola tanam yang dibutuhkan terdiri dari tanggal tanam,
koefisien tanaman (Kc), kedalaman akar, depletion fraction, stage days,
serta persentase area yang ditanami. Output kebutuhan air tanaman akan
muncul dengan satuan mm/hari dan mm/dasarian. Software ini dapat
digunakan ketika data lokal tidak tersedia, termasuk tanaman standard dan
data tanah.

METODE
Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2015 sampai dengan bulan


Juni 2015 di Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan
Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: seperangkat


PC/laptop, aplikasi Microsoft Office, software CropWat 8 Windows Version
8.0, dan software ArcGIS 10.1.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Wilayah Kabupaten Jember

Jember merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur


yang terletak di posisi 7°59’6” sampai 8°33’56” Lintang Selatan dan
113°16’28” sampai 114°03’42” Bujur Timur. Kabupaten Jember memiliki
2
luas wilayah kurang lebih 3.293,34 km dengan panjang pantai sekitar 170
km (BPS 2011).
Batas administratif Kabupaten Jember di sebelah utara adalah Kabupaten
Probolinggo, sedangkan di sebelah timur, Jember berbatasan dengan
Kabupaten Banyuwangi. Sementara itu, Kabupaten Bondowoso merupakan
batas barat Kabupaten Jember dan Samudera Hindia merupakan batas
selatannya. Daratan Jember dapat dibedakan menjadi (Pemkab Jember 2015):
- Bagian selatan Kabupaten Jember merupakan dataran rendah Pulau
Barong sebagai titik terluarnya.
- Bagian barat laut Jember berbatasan dengan Kabupaten Probolinggo
dan merupakan bagian dari Pegunungan Iyang yang memiliki puncak
setinggi
3.088 m, yaitu Gunung Argopuro.
- Bagian timur dari Kabupaten Jember merupakan bagian dari rangkaian
Dataran Tinggi Ijen.
Peta topografi Jember dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Peta topografi wilayah Jember, Jawa Timur

Jember berada di ketinggian 0-3.300 meter di atas permukaan laut (mdpl).


Sebesar 18% wilayah Jember berada di ketinggian 0 sampai dengan 25 mdpl,
yaitu wilayah barat daya Jember. Wilayah dengan ketinggian 25 hingga 100 mdpl
merupakan 20% dari wilayah Jember, sedangkan sebagian besar Jember (38%)
berada di ketinggian 100-500 mdpl, dan 16% Jember berada di ketinggian 500-
1000 mdpl. Sementara itu, Jember bagian timur laut yang berbatasan dengan
Bondowoso dan bagian selatan yang berbatasan dengan Banyuwangi berada di
ketinggian di atas 1.000 mdpl yang merupakan 8% dari seluruh wilayah
Kabupaten Jember (Pemkab Jember 2015). Wilayah Kabupaten Jember memiliki
ketinggian tempat yang bervariasi. Namun, dapat dikatakan bahwa sebagian besar
wilayah Kabupaten Jember merupakan dataran rendah.
Kebutuhan Air Tanaman Kakao di Wilayah Kabupaten Jember

Kebutuhan air tanaman dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya


faktor suhu udara. Suhu udara mempengaruhi banyaknya air yang hilang dari
tanah dan tanaman melalui proses evapotranspirasi, sedangkan kebutuhan air
tanaman merupakan banyaknya air yang dibutuhkan oleh tanaman untuk
memenuhi kehilangan air akibat proses evapotranspirasi tersebut.
Suhu yang semakin tinggi akan mengakibatkan semakin tingginya
evapotranspirasi tanaman. Namun, kebutuhan air tanaman juga dipengaruhi oleh
faktor dari tanaman tersebut, salah satunya adalah tahapan perkembangan
tanaman.
Pada Gambar 3, suhu udara bulan Desember dan bulan Januari hingga Mei
lebih tinggi dibandingkan bulan Juni hingga November, tetapi kebutuhan air
tanaman pada bulan-bulan tersebut lebih rendah. Hal ini disebabkan oleh tahapan
perkembangan tanaman tersebut. Secara umum, kebutuhan air tanaman bernilai
rendah pada tahap awal munculnya kuncup bunga (stage 1) dan meningkat pada
tahap selanjutnya, yaitu tahap mekarnya bunga hingga muncul buah (stage 2).
Kebutuhan air tanaman maksimal terjadi pada tahap pengisian buah (stage 3) dan
menurun pada tahap pematangan buah hingga masa panen (stage 4).
Kakao memiliki masa panen sebanyak dua kali dalam satu tahun yang
umumnya terjadi pada bulan Mei dan November dengan tahap awal kemunculan
bunga umum terjadi pada bulan Juni dan Desember. Kebutuhan air tanaman pada
bulan Juni-November lebih tinggi dibandingkan bulan Desember-Mei, karena
periode Juni-November memiliki mayoritas bulan-bulan musim kemarau, yaitu
bulan Juni-September. Sementara itu, periode Desember-Mei terdiri dari
mayoritas musim hujan, yaitu bulan Desember hingga April. Pada musim
kemarau, kebutuhan air tinggi karena tanah tidak memiliki cukup air tersedia bagi
tanaman. Sementara itu, pada musim hujan, air tersedia dalam tanah yang dapat
dimanfaatkan oleh tanaman tergolong cukup banyak akibat banyaknya air hujan
yang turun.

Gambar 3 Suhu udara bulanan dan kebutuhan air tanaman kakao bulanan di Jember
Kebutuhan air tanaman/crop water requirement (CWR) dapat ditentukan
dari besar evapotranspirasi tanaman (ETc) yang terjadi. Semakin besar
evapotranspirasi tanaman maka akan semakin banyak pula air yang dibutuhkan
untuk memenuhi air yang hilang melalui evapotranspirasi tanaman.
Pada umumnya, kebutuhan air tanaman dapat dipenuhi dengan air hujan.
Namun, pada kasus-kasus tertentu seperti saat musim kemarau, hujan cenderung
turun dalam periode waktu yang singkat dan jarang. Hal ini menyebabkan
tanaman mengalami defisit air, sehingga diperlukan upaya irigasi untuk
memenuhi defisit air tersebut. Agar defisit air dapat dihindari, perlu dilakukan
pendugaan terhadap besar kebutuhan air tanaman, yang pada akhirnya dapat
digunakan untuk menduga besar irigasi yang dibutuhkan.
Penelitian ini menggunakan software Cropwat versi 8.0 yang dikeluarkan oleh
FAO untuk melakukan pendugaan kebutuhan air tanaman. Output dari software ini
adalah evapotranspirasi tanaman (ETc), yang besarnya sama dengan kebutuhan air
tanaman. ETc mengacu pada banyaknya air yang hilang lewat evapotranspirasi,
sedangkan kebutuhan air tanaman mengacu pada banyaknya air yang harus disuplai
untuk memenuhi kehilangan air akibat evapotranspirasi.
Cropwat menggunakan data curah hujan (mm) untuk menghitung curah
hujan efektif (mm), yang selanjutnya digunakan sebagai penentu kebutuhan irigasi.
o
Sementara itu, data iklim berupa suhu maksimum dan minimum ( C), kelembaban
2
relatif (%), kecepatan angin (km/hari), dan radiasi matahari (MJ/m /day)
menghasilkan output berupa besar evapotranspirasi acuan (ET0) dalam satuan
mm/hari. ET0 merupakan evapotranspirasi yang terjadi pada suatu kondisi
standard. Besar ET0 tidak sama dengan ETc, karena ETc dipengaruhi oleh faktor
tanaman, misalnya nilai Kc. Oleh karena itu, data ET0 dan data tanaman diolah
kembali dalam tahapan selanjutnya pada Cropwat dan menghasilkan output berupa
besar ETc dalam mm/hari dan mm/dasarian. Besar ETc ini setara dengan besar
kebutuhan air tanaman.
Gambar 4 Evapotranspirasi tanaman kakao di Kabupaten Jember pada
periode tahun 2005-2014

Kakao memiliki masa panen sebanyak dua kali dalam satu tahun, yang
umumnya terjadi pada bulan Mei dan November, yaitu pada akhir dari stage 4
(Gambar 4). Kebutuhan air tanaman pada stage 1, yaitu tahap awal munculnya
bunga (dasarian ketiga bulan November-dasarian kedua bulan Desember dan
dasarian ketiga bulan Mei-dasarian kedua bulan Juni) hanya membutuhkan sedikit
air, karena terlalu banyak curah hujan berpotensi merontokkan kuncup bunga. Hal
yang sama juga terjadi pada stage 2, yaitu tahap perkembangan bunga hingga bunga
mekar dan buah mulai muncul (dasarian ketiga bulan Januari-Februari dan dasarian
ketiga bulan Juni-Juli), karena pada tahap ini bunga dan buah muda masih
rentan mengalami kerontokkan. Pada tahap pengisian buah atau stage 3 (bulan
Februari-dasarian kedua bulan Maret dan bulan Agustus-dasarian pertama
September), tanaman kakao membutuhkan banyak air, karena selain
mendistribusikan fotosintat ke bagian-bagian tanaman seperti daun dan batang, air
juga perlu mendistribusikan banyak fotosintat ke bagian buah. Kebutuhan air
kemudian menurun pada tahap pematangan buah atau stage 4 (dasarian ketiga bulan
Maret-dasarian kedua bulan Mei), karena pada tahap ini, air yang terlalu banyak
akan merusak rasa buah.
Berdasarkan keluaran dari software Cropwat, ETc kakao, yang
merepresentasikan kebutuhan air tanaman kakao, berkisar antara 89.2-132.1
mm/bulan, sedangkan curah hujan efektif Kabupaten Jember berkisar antara 15.6-
168.4 mm/bulan (Gambar 4). Curah hujan di Kabupaten Jember tergolong
mencukupi untuk ditanami kakao, karena seperti yang terlihat pada Gambar 4,
evapotranspirasi tanaman kakao (ETc) bernilai lebih kecil dibandingkan besar
curah hujan efektif (CH Efektif). Namun, pada bulan Mei hingga bulan Oktober,
curah hujan efektif di Kabupaten Jember tidak dapat memenuhi kekurangan air
tanaman akibat adanya evapotranspirasi tanaman. Pada bulan-bulan tersebut,
curah hujan di Kabupaten Jember tergolong rendah, karena bulan-bulan tersebut
bertepatan dengan musim kemarau di Kabupaten Jember, yaitu bulan Mei sampai
dengan bulan Agustus (BPS 2011).
Hasil keluaran Cropwat juga menunjukkan bahwa selama periode
tahun 2005-2014, kebutuhan air tanaman (yang digambarkan dengan ETc) di
wilayah Jember mengalami fluktuasi setiap bulannya, seperti yang terlihat pada
Gambar 5.

Gambar 5 Kebutuhan air bulanan tanaman kakao di Kabupaten Jember tahun 2005-2014

Kebutuhan air terendah terjadi pada tahun 2010, tepatnya pada bulan
Juni, sebesar 79.3 mm, sedangkan kebutuhan air tertinggi terjadi pada
tahun 2005, tepatnya pada bulan September sebesar 139.4 mm. Pada tahun
2010, suhu udara bulan Juni adalah sebesar 21.1°C, sedangkan pada
September 2005, suhu udara tercatat sebesar 22.1°C. Suhu udara bulan
September 2005 yang lebih tinggi ini mengakibatkan evapotranspirasi yang
juga lebih tinggi, karena semakin banyak air yang hilang dari tanaman
melalui evapotranspirasi akan mengakibatkan tanaman membutuhkan lebih
banyak air untuk menggantikan kehilangan air tersebut.
Kebutuhan air tertinggi umumnya terjadi pada bulan September, karena
September termasuk ke dalam musim kemarau. Pada bulan-bulan musim
kemarau, suhu yang tinggi mengakibatkan tingginya evapotranspirasi,
sehingga kebutuhan air tanaman juga meningkat. Kebutuhan air tanaman yang
lebih rendah dari bulan- bulan lainnya terjadi di musim hujan. Pada musim
hujan, suhu udara cenderung tinggi, tetapi kebutuhan air tanaman tidak terlalu
tinggi karena tanah masih memiliki simpanan air yang berasal dari hujan yang
sering turun.

Kaitan antara Kebutuhan Air Tanaman dan Produktivitas Tanaman


Kakao di Kabupaten Jember

Evapotranspirasi salah satunya ditentukan oleh suhu udara, sedangkan


curah hujan efektif ditentukan oleh seberapa banyak curah hujan yang dapat
digunakan oleh tanaman setelah dikurangi hilangnya air hujan akibat surface
runoff dan deep percolation. Seperti yang sudah dijelaskan pada subbab
sebelumnya, curah hujan
efektif dan evapotranspirasi tanaman penting untuk menentukan kebutuhan air
tanaman. Kebutuhan air tanaman dicari untuk menghindari terjadinya surplus atau
defisit air. Jika defisit terjadi, penentuan kebutuhan air tanaman berperan dalam
menentukan besar irigasi yang dibutuhkan, sehingga irigasi dapat dilakukan
seefisien mungkin.
Kebutuhan air tanaman merupakan faktor pembatas utama bagi
produktivitas tanaman. Pemenuhan kebutuhan air tanaman sendiri dipengaruhi
oleh suhu udara dan curah hujan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
produktivitas tanaman dipengaruhi oleh suhu udara dan curah hujan.

Gambar 6 Curah hujan dan produktivitas tanaman kakao di


Kabupaten Jember pada periode tahun 2005-2014

Selama sepuluh tahun terakhir (2005-2014), produktivitas tanaman kakao di


Jember cenderung berfluktuasi. Produktivitas terendah terjadi pada tahun 2013
dengan nilai 0.94 ton/ha dan produktivitas tertinggi terjadi pada tahun 2010
dengan nilai 1.54 ton/ha. Tidak terlihat korelasi yang jelas antara besarnya
produktivitas tanaman dengan nilai suhu dan curah hujan. Curah hujan di Kabupaten
Jember pada periode tahun 2005-2014 berkisar antara 1407-2724 mm/tahun,
dengan curah hujan terendah pada tahun 2009 dan curah hujan tertinggi pada
tahun 2010. Rentang curah hujan ini termasuk ke dalam syarat tumbuh yang baik
bagi tanaman kakao, yaitu curah hujan 1100-4500 mm/tahun.
Selain faktor curah hujan, kakao juga membutuhkan rentang suhu udara
tertentu untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, yaitu 22-34 °C. Pada
periode tahun 2005-2014, suhu udara wilayah Jember adalah sebesar 26.8-27.7°C.
Rentang suhu udara ini masih termasuk ke dalam rentang suhu yang mendukung
bagi pertumbuhan dan perkembangan kakao.
Gambar 7 Suhu udara dan produktivitas tanaman kakao di
Kabupaten Jember pada periode tahun 2005-2014

Produktivitas yang tinggi, seperti pada tahun 2010 sebesar 1.54 ton/ha
(Gambar 7) terjadi karena pada tahun tersebut, kebutuhan air tanaman
tercukupi oleh curah hujan di hampir setiap bulannya, kecuali bulan Agustus
saat Jember memiliki curah hujan terendah dalam setahun. Pada tahun
2010, curah hujan tergolong tinggi dibandingkan kebutuhan air tanamannya.
Namun, curah hujan tahun 2010 sebesar 2724 mm masih termasuk ke dalam
rentang iklim yang sesuai untuk perkembangan tanaman kakao. Hal ini
menyebabkan tanaman masih dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Selain itu, kakao membutuhkan curah hujan yang merata sepanjang tahun
dengan bulan kering tidak lebih dari tiga bulan untuk mencapai hasil panen
terbaik, seperti yang terjadi pada tahun 2010. Produktivitas tinggi diduga
juga terjadi karena membaiknya intensifikasi pertanian serta adanya
kemungkinan bahwa tanaman sedang berada pada usia produktif.

Gambar 8 Curah hujan dan kebutuhan air tanaman kakao tahun 2010
Pada tahun 2005, 2009, dan 2011, curah hujan tahunan Jember tergolong
rendah, tetapi produktivitas kakao tergolong tinggi dibandingkan tahun-tahun
lainnya, yaitu berturut-turut sebesar 1.51 ton/ha, 1.49 ton/ha, dan 1.43 ton/ha
(Gambar 8). Curah hujan tahunan tergolong rendah jika dibandingkan dengan
tahun-tahun lain, tetapi masih masuk ke dalam rentang iklim yang sesuai untuk
penanaman kakao, yaitu 1714 mm pada tahun 2005, 1407 mm pada tahun 2009, dan
1795 mm pada tahun 2011, sehingga produktivitas kakao pada tahun-tahun tersebut
masih tinggi. Jika dilihat dari suhu tahunannya, suhu pada tahun-tahun tersebut juga
masih masuk ke dalam rentang iklim yang sesuai, yaitu sebesar
27.3°C pada tahun 2005 dan 2009, serta sebesar 26.8°C pada tahun 2011.

(a) (b) (c)


Gambar 9 Curah hujan dan kebutuhan air tanaman kakao (a) tahun 2005; (b) tahun
2009; (c) tahun 2011

Pada tahun 2007, 2008, dan 2014, curah hujan tahunan Jember tergolong
tinggi, tetapi produktivitasnya rendah jika dibandingkan tahun-tahun lainnya,
yaitu berturut-turut sebsar 0.96 ton/ha, 0.98 ton/ha, dan 0.95 ton/ha (Gambar 9). Hal
ini terjadi karena tinggi curah hujan bernilai jauh di atas besar kebutuhan air
tanaman, yaitu 832 mm pada tahun 2007, 1099 mm pada tahun 2008, dan 646 mm
pada tahun 2014 (Gambar 6). Besar air yang dibutuhkan oleh tanaman tidak
sebanding dengan banyak air hujan yang masuk ke dalam tanah dan tanaman,
sehingga terjadi surplus air. Hal ini tidak baik bagi perkembangan tanaman kakao,
karena kakao tidak baik ditanam pada tanah yang basah, terutama yang tergenang.
Tanaman kakao sebaiknya ditanam di tanah yang memiliki drainase baik. Surplus
air dapat menggangu perkembangan tanaman kakao, karena dengan air yang telalu
banyak dalam tanah, aerasi tanah akan terganggu dan berakibat pada munculnya
hama dan penyakit. Selain itu, curah hujan tinggi pada bulan Desember dan
Januari (tahap awal munculnya kuncup bunga) berpotensi menggugurkan kuncup-
kuncup bunga yang baru muncul. Curah hujan juga tergolong tinggi di bulan
Maret 2007 dan 2008, yang juga berpotensi untuk menggugurkan buah-buah yang
masih kecil, yang baru mulai bermunculan pada periode Februari-April, sehingga
produktivitas tentunya akan menurun.
(a) (b) (c)

Gambar 10 Curah hujan dan kebutuhan air tanaman kakao (a) tahun 2007; (b) tahun
2008; (c) tahun 2014

Sementara itu, produktivitas kakao terendah terjadi pada tahun 2013, yaitu
sebesar 0.94 ton/ha (Gambar 10). Pada tahun ini, curah hujan tahunan
tergolong tinggi, tetapi masih termasuk ke dalam rentang iklim yang sesuai,
yaitu 2027 mm/tahun. Oleh karena itu, produktivitas kakao yang tergolong
rendah dibandingkan tahun-tahun lain diduga terjadi akibat adanya hama dan
penyakit yang menyerang tanaman kakao karena curah hujan yang tinggi
sehingga kelembaban tanah tinggi. Pada tahun 2013, tinggi curah hujan
berselisih 1292 mm terhadap kebutuhan air tanaman, sehingga terjadi surplus
air dalam tanah. Surplus air tanah tersedia terjadi karena curah hujan yang
tinggi, terutama pada bulan Januari dan Desember saat curah hujan mencapai
lebih dari 500 mm/bulan. Curah hujan yang tinggi juga diduga menyebabkan
kerontokan bunga, yang pada bulan Januari dan Desember masih termasuk ke
dalam tahap awal kemunculan bunga. Akibatnya, bunga-bunga yang
berpotensi tumbuh menjadi buah berkurang jumlahnya dan berakibat pada
turunnya produktivitas tanaman.

Gambar 11 Curah hujan dan kebutuhan air tanaman kakao tahun 2013

Tanaman kakao membutuhkan keseimbangan antara suhu dan curah hujan,


agar tidak terjadi defisit atau surplus air berlebihan yang berakibat pada
munculnya hama dan penyakit tanaman, yang pada akhirnya dapat
menurunkan produktivitas tanaman. Selain itu, untuk hasil terbaik, tanaman
kakao membutuhkan curah hujan yang merata sepanjang tahun dengan jumlah
bulan kering tidak lebih dari tiga bulan.
SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Evapotranspirasi tanaman kakao (ETc) kakao berkisar antara 89.2-132.1


mm/bulan, sedangkan curah hujan efektif Kabupaten Jember berkisar antara 15.6-
168.4 mm/bulan. Curah hujan di kabupaten Jember tergolong mencukupi untuk
ditanami kakao, karena ETc bernilai lebih kecil dibandingkan besar curah hujan
efektif di Kabupaten Jember. Namun, pada bulan-bulan musim kemarau, curah
hujan di Kabupaten Jember tergolong rendah, sehingga curah hujan tidak dapat
menutupi kebutuhan air tanaman yang hilang lewat evapotranspirasi tanaman,
untuk itu dibutuhkanlah irigasi. Produktivitas yang tinggi, seperti pada tahun 2010
didukung oleh keseimbangan antara tinggi curah hujan dan suhu udara pada tahun
tersebut. Pada tahun dengan suhu udara tinggi, curah hujan yang turun juga tinggi,
sehingga air yang hilang dari tanaman akibat adanya evapotranspirasi akan
dikompensasi oleh air hujan. Sementara itu, produktivitas yang rendah dapat
terjadi karena hama, jika suhu udara lebih tinggi dari suhu ideal tanaman, serta
akibat penyakit jika curah hujan lebih tinggi dari idealnya.
Berdasarkan pemetaan wilayah yang telah dilakukan, wilayah Jember
termasuk wilayah yang baik untuk ditanami kakao berdasarkan curah hujan dan
suhu udaranya, kecuali bagian utara, timur laut, dan timur, karena merupakan
wilayah yang berbatasan dengan dataran tinggi, sehingga suhu udaranya cenderung
rendah sedangkan curah hujannya cenderung tinggi. Wilayah Kabupaten Jember
cenderung memiliki ketinggian tempat yang bervariasi. Namun, dapat dikatakan
bahwa sebagian besar wilayah Kabupaten Jember merupakan dataran rendah
dengan kondisi iklim yang mendukung untuk dilakukan penanaman kakao. Oleh
sebab itu, kakao bisa ditanam di sebagian besar wilayah Kabupaten Jember.

Saran

Untuk mendapatkan hasil perhitungan kebutuhan air tanaman yang lebih


akurat, sebaiknya faktor tanah juga dimasukkan dalam perhitungan menggunakan
Cropwat. Faktor tanah juga akan lebih baik jika dimasukkan ke dalam pemetaan
sehingga pemetaan wilayah yang cocok untuk ditanami kakao lebih sempurna.

Anda mungkin juga menyukai