Anda di halaman 1dari 2

ENTERING BEHAVIOR DAN POLA BELAJAR SISWA

A. Entering Behavior Siswa


Hasil akhir dari proses pembelajaran terlihat dalam perubahan perilaku, baik; cara
material-subtansial, struktural-fungsional, maupun secara behavioral. Masalahnya adalah
apakah tingkat prestasi yang dicapai siswa benar-benar merupakan hasil proses
pembelajaran yang dilakukan.
Untuk mengetahui hal tersebut perlu dilakukan penjajakan perilaku peserta didik saat
mereka akan masuk dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan demikian akan dapat terlihat
perubahan yang terjadi setelah proses belajar dilalui siswa. Karakteristik perilaku siswa saat
mereka masuk kelas, tingkat dan jenis karakteristik kompetensi siswa saat akan mengikuti
pembelajaran itulah yang dimaksud dengan Entering Behavior Siswa.
Menurut Abin Syamsuddin, entering behavior akan dapat diidentifikasi dengan cara:
1. Secara tradisional seorang Guru dapat memulai dengan pertanyaan mengenai bahan yang
pernah diberikan kepada siswa sebelumnya.
2. Secara inovatif seorang Guru dapat mengembangkan instrument evaluasi dan mengadakan
pre-test sebelum mereka mulai mengikuti kegiatan belajar-mengajar.
Deskripsi tentang entering behavior siswa ini memberikan beberapa informasi penting
bagi Guru untuk mengambil langkah-langkah instruksional, antara lain:
1. Guru dapat mengetahui individual siswa dalam kesiapannya (readiness), kematangan
(maturation), serta tingkat penguasaan (mastery) pengetahuan dan keterampilan dasar
untuk memahami materi yang baru.
2. Guru dapat menentukan metode, bahan, prosedur, dan alat bantu belajar-mengajar yang
lebih tepat.
3. Nilai pretest dapat dijadikan patokan tolok ukur perubahan siswa sebelum dan sesudah
pembelajaran dilangsungkan. Deviasi antara nilai pretest dan posttest, baik secara
kelompok maupun individual, merupakan indikator pencapaian yang nyata sebagai
pengaruh dari proses belajar-mengajar.
Ada tiga dimensi entering behavior yang perlu diprhatikan:
1. Batas-batas ruang-lingkup materi pengetahuan yang telah dimiliki dan dikuasai siswa.
2. Tingkatan tahapan materi pengetahuan terutama kawasan pola-pola sambutan atau
kemampuan yang telah dimiliki siswa.
3. Kesiapan dan kematangan fungsi-fungsi psikofisik. Sebelum merencanakan dan
melaksanakan kegiatan mengajar Guru mengurai informasi tentang:
a. penguasaan materi.
b. jenis kompetensi siswa bersangkutan.
c. kesiapan/ kematangan siswa dalam menerima bahan ajar.
d. motivasi dan minat belajar siswa.
Di samping itu penting bagi seorang guru dapat mengetahui secara dini tentang aspek-
aspek pribadi siswa yang meliputi : kecerdasan dan bakat khusus, prestasi sejak permulaan
sekolah, perkembangan jasmani dan kesehatannya, kecenderungan emosi dan karakternya,
sikap dan minat belajar, cita-cita, kebiasaan belajar dan bekerja, hobi dan penggunaan
waktu senggang, hubungan sosial di sekolah dan di rumah, latar belakang keluarga,
lingkungan tempat tinggal, sifat-sifat khusus dan kesulitan anak didik.

B. Pola-pola Belajar Siswa


Gagne mengkategorikan pola-pola belajar siswa ke dalam delapan tipe sebagai berikut :
1. Signal learning (belajar isyarat). Tipe ini merupakan tahap yang paling dasar. Signal
learning dapat diartikan sebagai proses penguasaan pola-pola dasar perilaku
bersifat involuntary (tidak disengaja dan tidak disadari tujuannya). Dalam tipe ini penting
untuk selalu memberikan stimulus tertentu secara berulang kali secara bersamaan.
2. Stimulus-Respon learning. Bila tipe di atas dapat digolongkan ialah jenis classical condition,
maka tipe belajar 2 ini termasuk ke dalam instrumental conditioning (Kimble-1961) atau
belajar dengan trial and Error. Menurut Gagne proses belajar bahasa pada anak-anak
merupakan proses yang serupa dengan ini. Kondisi yang diperlukan untuk berangsungnya
tipe belajar ini ialah faktor inforcement.
3. Chaining (mempertautkan).
4. Verbal Associaon. Tipe belajar 3 dan 4 ini setaraf, yaitu belajar-mengajar menghubungkan
S-R yang satu dengan yang lain. Kondisi yang diperlukan untuk tipe belajar ini antara lain,
secara internal anak didik sudah harus terkuasai sejumlah satuan pola S-R, baik
psikomotorik maupun verbal. Selain itu prinsip kesinambungan, pengulangan dan
reinforcement tetap penting.
5. Discrimination learning atau belajar mengadakan pembeda. Dalam tipe ini peserta didik
mengadakan seleksi dan pengujian di antara dua perangsang atau sejumlah stimulus yang
diterimanya, kemudian memilih pola-pola respon yang dianggap paling sesuai. Kondisi
utama bagi berlangsung proses belajar ini adalah siswa sudah mempunyai kemahiran
melakukan chaining dan associationserta pengalaman (pola S-R).
6. Concept learning atau belajar pengertian. Dengan berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari
sekumpulan stimulus dan objekobjeknya, ia membentuk suatu pengertian atau konsep
kondisi utama yang diperlukan adalah menguasai kemahiran diskriminasi dan proses
kognitif fundamental sebelumnya.
7. Rule learning, atau belajar membuat generalisasi, hukum, dan kaidah. Pada tingkat ini siswa
belajar mengadakan kombinasi berbagai konsep dengan mengoperasikan kaidah-kaidah
logika formal (induktif, deduktif, analisis, sistesis, asosiasi, diferensiasi, komparasi, dan
kausalitas) sehingga anak didik dapat menemukan konklusi tertentu yang mungkin
selanjutnya dapat dipandang sebagai rule: prinsip, dalil, aturan, hukum, kaidah dan
sebagainya.
8. Problem Solving yakni belajar memecahkan masalah. Pada siswa belajar merumuskan dan
memecahkan masalah, merespon terhadap rangsangan yang menggambarkan atau situasi
problematik, yang mempergunakan berbagai kaidah yang telah dikuasainya.

Rujukan:
Mansyur, Strategi Belajar Mengajar karya, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
Depag, Jakarta : 1991 hal. 12 dst.
Hamalik, Oemar, Psikologi Belajar Mengajar, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2009, hal.
77-78

Anda mungkin juga menyukai