Anda di halaman 1dari 4

Pertanggungjawaban kepala desa

Kepala desa bukanlah penyelenggara negara selaku pejabat negara yang menjalankan
fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Kepala desa adalah penyelenggara pemerintahan
desa. Jika ia terlibat dalam tindak pidana korupsi terhadap keuangan desa yang berdampak
pada kerugian keuangan negara, maka ia diproses melalui Pengadilan Tipikor.

Arti Penyelenggara Negara

Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif,


legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.1[1]

Sementara, Penyelenggara Negara itu sendiri meliputi:2[2]


1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; dan
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggara negara
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari uraian di atas dapat kita lihat bahwa undang-undang ini tidak menyebut bahwa kepala
desa merupakan penyelenggara negara. Di samping itu, dilihat dari fungsi yang dijalani oleh
kepala desa, kepala desa bukanlah pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif,
legislatif, atau yudikatif. Dalam artikel Apakah Kepala Desa Termasuk Pejabat Negara?
juga dijelaskan bahwa kepala desa bukanlah pejabat negara sehingga dilihat dari definisi
penyelenggara yang kami sebutkan tadi, maka ia bukan penyelenggara negara.
Adapun kedudukan kepala desa yang sesungguhnya adalah penyelenggara pemerintahan
desa. Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan
Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat
Desa.3[3]

Sumber Keuangan Desa

Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta
segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan
kewajiban Desa. Hak dan kewajiban ini menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan
pengelolaan Keuangan Desa.4[4]

Sumber pendapatan desa ini antara lain adalah:5[5]


a. alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
c. alokasi dana Desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima
Kabupaten/Kota;
d. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam praktiknya, aturan pengelolaan keuangan desa ini tertuang kembali dalam peraturan
daerah setempat. Jika kepala desa melakukan penyimpangan keuangan desa itu, maka perlu
dilihat kembali bagaimana bentuk penyimpangan yang dimaksud? Jika yang Anda maksud
adalah korupsi dengan menggunakan pendapatan desa yang merugikan keuangan negara,
maka ia diadili di pengadilan tindak pidana korupsi (“Pengadilan Tipikor”).

Hal ini karena yang termasuk lingkup tindak pidana korupsi antara lain menurut Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU
Pemberantasan Tipikor”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 (“UU 20/2001”) adalah secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.

Di samping itu, wewenang Pengadilan Tipikor menurut Pasal 5 Undang-Undang Nomor 46


Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pengadilan Tipikor”)
yaitu:

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang


berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana
korupsi.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus


perkara:6[6]
a. tindak pidana korupsi;
b. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi;
c. dan/atau tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai
tindak pidana korupsi.

Contoh Kasus Kepala Desa Melakukan Korupsi

Sebagai contoh dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 7/TIPIKOR/2014/PT. BDG. Hakim menyatakan
bahwa Terdakwa (saat melakukan tindak pidana korupsi berstatus sebagai kepala desa) telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ”korupsi sebagai
perbuatan berlanjut”. Kepala desa ini terbukti melanggar sejumlah aturan dalam peraturan
daerah setempat tentang Keuangan Daerah, di antaranya adalah tindakan memperkaya diri
sendiri.

Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa antara lain adalah menggunakan kompensasi dari
PDAM Kab. Kuningan atas pemanfaatan sumber air Cibulan untuk kepentingan pribadi.
Akhirnya, Hakim menjatuhi terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun serta
denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda
tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan dan
Menghukum Terdakwa untuk membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp.
70.428.500,- (tujuh puluh juta empat ratus dua puluh delapan ribu lima ratus rupiah).
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:
1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme;
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001;
3. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi;
4. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

Putusan:

Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Tinggi Bandung Nomor


7/TIPIKOR/2014/PT. BDG.

Anda mungkin juga menyukai