PENDAHULUAN
Penyusunan materi UU ITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun
oleh dua institusi pendidikan yakni Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Universitas
Indonesia (UI). Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan
Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada
penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di Institut Teknologi
Bandung yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan
Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan tim UI menamai naskah akademisnya
dengan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik. Kedua naskah
akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh tim yang
dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah Susilo Bambang
Yudhoyono), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR di tahun 2008.
Seiring dengan berjalannya waktu banyak sekali kasus-kasus yang terjadi akibat
imbas UU ITE yang dirasa para ahli perlu banyak perbaikan. Sehingga akhirnya
pada tanggal 27 Oktober 2016 yang lalu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
2
(DPR) telah menyepakati revisi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Revisi tersebut pun
langsung berlaku tiga puluh hari setelah kesepakatan tersebut, yaitu pada tanggal 28
2. Hukuman diringankan
Perubahan lain adalah ancaman hukuman pencemaran nama baik diturunkan dari
maksimal enam tahun menjadi empat tahun sehingga tersangka pelaku
pencemaran nama baik tidak akan ditahan. Alasannya dalam KUHP disebutkan
bahwa penahanan perlu dilakukan jika ancaman penjara di atas lima tahun.
UU ITE yang mulai diberlakukan pada 2008 telah mengundang banyak kecaman
karena dianggap membatasi publik untuk memberikan kritik. Salah satu yang
menjadi korban adalah Prita Mulyasari, yang mengkritik salah satu rumah sakit
swasta melalui email pribadi yang kemudian tersebar di dunia maya. Prita
kemudian ditahan walau Pengadilan Tangerang akhirnya membebaskannya dari
pencemaran nama baik.
3. Blokir pemerintah
Lewat revisi ini, pemerintah juga diberikan kewenangan untuk memutus akses
informasi elektronik yang dianggap melanggar hukum. Berbagai ahli berpendapat
bahwa ketentuan tersebut sebenarnya sudah lama diatur dalam Peraturan Menteri
Kominfo walau belum ada undang-undang sebagai payung hukum yang
menegaskan pemerintah wajib memblokir konten negatif.
Hal-hal yang dapat diblokir itu mengacu lagi pada UU lain. Misal jikalau konten
yang diblokir terkait terorisme maka hal tersebut akan diatur dalam UU
Terorisme dan yang diperbolehkan meminta pemblokiran misalnya BNPT. Serta
apabila konten yang ada terkait dengan obat-obatan terlarang, maka akan diatur
lewat UU kesehatan dan hanya BPOM serta badan sejenisnya yang
diperbolehkan meminta pemblokiran. Oleh karena itu pihak Kominfo memiliki
pekerjaan berat untuk menerapkan blokir yang tepat sasaran, adil, cepat dan
transparan. Karena apabila blokir tidak tepat sasaran tentu dapat merugikan
beberapa pihak dan menimbulkan perpecahan antar golongan.
4. Right to Be Forgotten 2
Selain perubahan pencemaran nama baik, revisi juga menambahkan
ketentuan mengenai right to be forgotten atau hak untuk dilupakan dengan
1. Dendam, sakit hati atau perasaan tidak puas terhadap seseorang atau
instansi/lembaga/organisasi dapat menyebabkan seseorang melakukan
defacing terhadap situs orang lain atau situs
instansi/lembaga/organisasi tersebut.
2. Intrik sosial, politik, ekonomi, budaya dan keamanan juga dapat
menyebabkan seseorang melakukan penyerangan deface terhadap
lawan politiknya. Sebagai contoh banyaknya situs-situs pemerintahan
negara Malaysia ketika mereka mengakui budaya Indonesia sebagai
budayanya.
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain dengan
cara apa pun.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik.
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem
pengamanan.
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
2
dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan
transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik Orang
lain yang tidak berhak.
Pasal 35 UU ITE
Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan,
pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan
tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut
dianggap seolah-olah data yang otentik.
Pasal 46
2
(2) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
Pasal 48
Pasal 51
Kasus 4
Perjudian online, pada kasus ini pelaku menggunakan sarana internet untuk
melakukan perjudian. Contohnya seperti yang terjadi di Semarang, Desember 2006.
Para pelaku melakukan praktiknya dengan menggunakan system member yang
semua anggotanya mendaftar ke admin situs itu, para pelaku bermain judi online
atau taruhan adalah untuk mendapatkan uang dengan cara instan.Dalam kasus ini
telah melanggar UU ITE BAB VII Pasal 27 Ayat 2 yang berbunyi
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian”.
4.1. Kesimpulan
Dari pemaparan analisa diatas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwasannya
pekerjaan rumah dari Kominfo sangatlah berat. Hal ini sejalan dengan semakin
banyaknya pengguna internet di Indonesia sekarang. Apabila undang-undang yang
diterapkan tidak berjalan seperti seharusnya tentu akan berdampak negatif bagi
banyak pihak. Sudah banyak sekali kasus cybercrime yang terjadi di Indonesia ini.
Harapannya dengan revisi UU ITE ini dapat mengurangi tingkat kejahatan
cybercrime yang terus melanda pengguna internet Indonesia. Tentu juga dengan
adanya UU ITE ini semoga tidak membatasi kebebasan berekspresi dari rakyat
Indonesia. Karena pada hakikatnya menyampaikan pendapat merupakan hak dari
seseorang. Namun perlu kita cermati bahwa Kominfo tidak akan bisa bekerja dengan
sendiri dan tentu butuh bantuan serta pengawasan dari masyarakat Indonesia. Oleh
karena itu mari kita tumbuhkan rasa peduli dalam diri kita sehingga dapat ikut
mengawal berjalannya pemerintahan yang ada secara maksimal.