PENDAHULUAN
1
meningkatkan kemampuan merawat pasien dengan menggunakan pendekatan
proses keperawatan yaitu asuhan keperawatan pasien penyalahgunaan dan
ketergantungan NAPZA (sindroma putus obat).
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.1.1 Faktor yang Mempengaruhi Penyalahgunaan Napza
Menurut Sumiati (2009), faktor internal dalampenyalahgunaan NAPZA
biasanya berasal dari diri sendiri yang menyebabkan adanya perubahan
perilaku, adapun diantaranya : rasa ingin tahu yang tinggi sehingga terdapat
keinginan untuk mencoba, keinginan untuk bersenang-senang, keinginan
untuk
mengikuti gaya hidup terbaru, keinginan untuk diterima oleh lingkungan atau
kelompok, pengertian yang salah bahwa penggunaan sekali-kali tidak
menimbulkan ketagihan, pengetahuan agama yang kurang, ketidaktahuan
akan bahaya NAPZA baik bagi dirinya, keluarga, lingkungan maupun masa
depannya. Selain itu juga disebabkan oleh faktor lain seperti rendah diri dan
merasa tertekan atau ingin lepas dari segala aturan-aturan dari orang tua.
Penyalahgunaan NAPZA juga dapat dipengaruhi faktor eksternal dari
keluarga seperti hubungan antara anggota keluarga tidak harmonis, keluarga
yang tidak utuh, kurang komunikasi antar anggota keluarga, keluarga terlalu
mengekang kehidupan pribadi, keluarga yang kurang mengamalkan hidup
beragama dan keluarga yang orang tuanya telah menggunakan NAPZA.
Faktor lain yang merupakan faktor eksternal berasal dari pengaruh buruk dari
lingkungan pergaulan, khususnya pengaruh dan tekanan dari kelompok teman
sebaya dan kurangnya perhatian dari pemerintah (Sumiati,2009).
2.1.2 Golongan NAPZA
Karena bahaya ketergantungan, penggunaan, dan peredaran narkoba
diatur Undang-undang, yaitu Undang-undang No. 22 tahun 1997 tentang
narkotika dan Undang-undang No.1997 tentang psikotropika. Karena itu,
menurut undang-undang,narkotika dibagi kedalam narkotika dan psikotropika.
a. Narkotika
1) Narkotika Golongan I; berpotensi tinggi menyebabkan ketergantungan dan
tidak digunakan untuk terapi. Contoh heroin, kokain, ganja, dan putaw.
2) Narkotika Golongan II; berpotensi tinggi menyebabkan ketergantungan dan
digunakan pada terapi pilihan terakhir. Contoh; morfin dan petidin.
4
3) Narkotika Golongan III; berpotensi ringan menyebabkan ketergantungan
dan banyak digunakan pada terapi. Contoh; Kodein
b. Psikotropika
1) Psikotropika Golongan I; amat kuat menyebabkan ketergantungan dan
tidak digunakan dalam terapi. Contoh; Ekstasi, LSD dan STP
2) Psikotropika Golongan II; kuat menyebabkan ketergantungan, banyak
digunakan dalam terapi. Contoh; amfetamin, metamfetamin (sabu),
fensiklidin,
(PCP) dan relatin
3) Psikotropika Golongan III; potensi sedang menyebabkan ketergantungan,
banyak digunakan dalam terapi. Contoh; pentobarbital dan flunitrazepam.
4) Psikotropika Golongan IV; potensi ringan menyebabkan ketergantungan
dan sangat luas digunakan dalam terapi. Contoh; diazepam dan klobazam.
c. Zat Adiktif
Zat adiktif lain yang tercantum dalam Undang-undang tetapi banyak
disalahgunakan, yaitu;
1) Alkohol, yang terdapat pada minuman keras.
2) Inhalusia atau Solven, yaitu gas atau zat yang mudah menguap.
3) Nikotin, yang terdapat pada tembakau.
4) Kafein, pada kopi, minuman penambah energi, dan obat sakit kepala
tertentu.
2.1.3 Rentang Respon dan Tahap Penyalahgunaan
Rentang respon ini berfluktuasi dari kondisi yang ringan sampai dengan
yang berat. Indikator dari rentang respon berdasarkan peilaku yang
ditampakkan oleh remaja dengan gangguan penggunaan zat adiktif. (AH
Yusuf dkk, 2015)
Respon adaptif
5
Karena pengaruh kelompok sebaya sangat besar, remaja ingin tahu atau coba-
coba. Biasanya mencoba mengisap rokok, ganja, atau minum-minuman
beralkohol. Jarang yang langsung mencoba memakai putaw atau minum pil
ekstasi.
2. Tahap pemakaian sosial (social/recreational use)
Tahap pemakaian NAPZA untuk pergaulan (saat berkumpul atau pada acara
tertentu), ingin diakui/diterima kelompoknya. Mula-mula NAPZA diperoleh
secara gratis atau dibeli dengan murah. Ia belum secara aktif mencari
NAPZA.
3. Tahap pemakaian situasional (sitiational use)
Tahap pemakaian karena situasi tertentu, misalnya kesepian atau stres.
Pemakaian NAPZA sebagai cara mengatasi masalah. Pada tahap ini pemakai
berusaha memperoleh NAPZA secara aktif.
4. Tahap habituasi/kebiasaan (abuse)
Tahap ini untuk yang telah mencapai tahap pemakaian teratur (sering), disebut
juga penyalahgunaan NAPZA, terjadai perubahan pada faal tubuh dan gaya
hidup. Teman lama berganti dnegan teman pecandu. Ia menjadi sensitif,
mudah tersinggung, pemarah, dan sulit tidur atau berkonsentrasi, sebab
narkoba mulai menjadi bagian dari kehidupannya. Minat dan cita-citanya
semula hilang. Ia sering membolos dan prestasi sekolahnya merosot. Ia lebih
suka menyendiri daripada berkumpul bersama keluarga.
5. Tahap ketergantungan (dependence use)
Ia berusaha agar selalu memperoleh NAPZA dengan berbagai cara.
Berbohong, menipu, atau mencuri menjadi kebiasaannya. Ia sudah tidak dapat
mengendalikan penggunaannya. NAPZA telah menjadi pusat kehidupannya.
Hubungan dengan keluarga dan teman-teman rusak.
2.1.4 Dampak Penyalahgunaan Narkoba
Dampak penyalahgunaan narkoba pada seseorang sangat tergantung
pada jenis narkoba yang dipakai, kepribadian pemakai dan situasi atau kondisi
pemakai. Secaraumum dampak kecanduan narkoba dapat terlihat pada fisik,
6
psikis maupun social seseorang. Bila narkoba digunakan secara terus menerus
atau melebihi takaran yang telah ditentukan akan mengakibatkan
ketergantungan. Kecanduan inilah yang akan mengakibatkan gangguan fisik
dan psikologis. Gangguan fisik meliputi gangguan sistem syaraf, jantung dan
pembuluh darah,
kulit, paru-paru, ginjal, hati, sistem reproduksi dan fungsi seksual, risiko
tertular penyakit hepatitis B, C dan HIV. Penyalahgunaan narkoba bisa
berakibat fatal ketika terjadi over dosis yaitu konsumsi narkoba melebihi
kemampuan tubuh untuk menerimanya. Over dosis bisa menyebabkan
kematian. United Nations Office on Drugs and Crime (2014) memperkirakan
ada 183.000 kematian yang berhubungan dengan penyalahgunaan obat pada
tahun 2012 dengan angka kematian 40,0 per satu juta orang usia 15-64 tahun.
Dampak penyalahgunaan narkoba terhadap psikis adalah:
1. Lamban kerja, ceroboh, kerja, sering tegang dan gelisah
2. Hilang kepercayaan diri, apatis, pengkhayal, penuh curiga
3. Agitatif, menjadi ganas dan tingkah laku yang brutal
4. Sulit berkonsentrasi perasaan kesal dan tertekan; dan cenderung
menyakiti diri,
5. Perasaan tidak aman, bahkan bunuh diri.
Dampak penyalahgunaannarkoba terhadap lingkungan sosial yaitu :
1. Gangguan mental, anti-sosial dan asusila, dikucilkan oleh lingkungan
2. Menjadi beban keluarga;
3. Pendidikan dan masa depan menjadi terganggu
4. Tindak kriminalitas (bnnp diy, 2015; unodc, 2014)
2.1.5 Penatalaksanaan NAPZA
1. Pencegahan
Pencegahan penyalahgunaan NAPZA, meliputi (BNN, 2009) :
a. Pencegahan primer
Pencegahan primer atau pencegahan dini yang ditujukan kepada mereka,
individu, keluarga, kelompok atau komunitas yang memiliki risiko tinggi
7
terhadap penyalahgunaan NAPZA, untuk melakukan intervensi agar individu,
kelompok, dan masyarakat waspada serta memiliki ketahanan agar tidak
menggunakan NAPZA. Upaya pencegahan ini dilakukan sejak anak berusia
dini, agar faktor yang dapat menghabat proses tumbuh kembang anak dapat
diatasi dengan baik.
b. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan pada kelompok atau komunitas yang sudah
menyalahgunakan NAPZA. Dilakukan pengobatan agar mereka tidak
menggunakan NAPZA lagi.
c. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier ditujukan kepada mereka yang sudah pernah menjadi
penyalahguna NAPZA dan telah mengikuti program terapi dan rehabilitasi
untuk menjaga agar tidak kambuh lagi. Sedangkan pencegahan terhadap
penyalahgunaan NAPZA yang kambuh kembali adalah dengan melakukan
pendampingan yang dapat membantunya untuk mengatasi masalah perilaku
adiksinya, detoksifikasi, maupun dengan melakukan rehabilitasi kembali.
2. Pengobatan
Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi.
Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus
zat, dengan dua cara yaitu:
a. Detoksifikasi Tanpa Subsitusi
Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat yang
mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala
putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut
berhenti sendiri.
b. Detoksifikasi dengan Substitusi
Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya
kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna sedatif-hipnotik
dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian
substitusi adalah dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai
8
berhenti sama sekali. Selama pemberian substitusi dapat juga diberikan obat
yang menghilangkan gejala simptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri,
rasa mual, dan obat tidur atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat
putus zat tersebut (Purba, 2008).
3. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya memulihkan dan mengembalikan kondisi para
mantan penyalahguna NAPZA kembali sehat dalam arti sehat fisik,
psikologik, sosial, dan spiritual. Dengan kondisi sehat tersebut diharapkan
mereka akan mampu kembali berfungsi secara wajar dalam kehidupannya
sehari-hari.
Menurut Hawari (2006) jenis-jenis rehabilitasi antara lain :
a. Rehabilitasi Medik
Rehabilitasi medik ini dimaksudkan agar mantan penyalahgunaan NAPZA
benar-benar sehat secara fisik. Termasuk dalam program rehabilitasi medik ini
ialah memulihkan kondisi fisik yang lemah, tidak cukup diberikan gizi
makanan yang bernilai tinggi, tetapi juga kegiatan olahraga yang teratur
disesuaikan dengan kemampuan masing-masing yang bersangkutan.
b. Rehabilitasi Psikiatrik
Rehabilitasi psikiatrik ini dimaksudkan agar peserta rehabilitasi yang semula
bersikap dan bertindak antisosial dapat dihilangkan, sehingga mereka dapat
bersosialisasi dengan baik dengan sesama rekannya maupun personil yang
membimbing atau mengasuhnya.
Termasuk rehabilitasi psikiatrik ini adalah psikoterapi/konsultasi keluarga
yang dapat dianggap sebagai “rehabilitasi” keluarga terutama bagi keluarga-
keluarga broken home. Konsultasi keluarga ini penting dilakukan agar
keluarga dapat memahami aspek-aspek kepribadian anaknya yang terlibat
penyalahgunaan NAPZA, bagaimana cara menyikapinya bila kelak ia telah
kembali ke rumah dan upaya pencegahan agar tidak kambuh.
c. Rehabilitasi Psikososial
9
Dengan rehabilitasi psikososial ini dimaksudkan agar peserta rehabilitasi
dapat kembali adaptif bersosialisasi dalam lingkungan sosialnya, yaitu di
rumah, di sekolah/kampus dan di tempat kerja. Program ini merupakan
persiapan untuk kembali ke masyarakat. Oleh karena itu, mereka perlu
dibekali dengan pendidikan dan keterampilan misalnya berbagai kursus
ataupun balai latihan kerja yang dapat diadakan di pusat rehabilitasi. Dengan
demikian diharapkan bila mereka telah selesai menjalani program rehabilitasi
dapat melanjutkan kembali ke sekolah/kuliah atau bekerja.
d. Rehabilitasi Psikoreligius
Rehabilitasi psikoreligius memegang peranan penting. Unsur agama dalam
rehabilitasi bagi para pasien penyalahguna NAPZA mempunyai arti penting
dalam mencapai penyembuhan. Unsur agama yang mereka terima akan
memulihkan dam memperkuat rasa percaya diri, harapan dan keimanan.
Pendalaman, penghayatan dan pengamalan keagamaan atau keimanan ini akan
menumbuhkan kekuatan kerohanian pada diri seseorang sehingga mampu
menekan risiko seminimal mungkin terlibat kembali dalam penyalahgunaan
NAPZA.
e. Forum Silaturahmi
Forum silaturahmi merupakan program lanjutan (pasca rehabilitasi) yaitu
program atau kegiatan yang dapat diikuti oleh mantan penyalahguna NAPZA
(yang telah selesai menjalani tahapan rehabilitasi) dan keluarganya. Tujuan
yang hendak dicapai dalam forum silaturahmi ini adalah untuk memantapkan
terwujudnya rumah tangga/keluarga sakinah yaitu keluarga yang harmonis
dan religius, sehingga dapat memperkecil kekambuhan penyalahgunaan
NAPZA
f. Program Terminal
Pengalaman menunjukkan bahwa banyak dari mereka sesudah menjalani
program rehabilitasi dan kemudian mengikuti forum silaturahmi, mengalami
kebingungan untuk program selanjutnya. Khususnya bagi pelajar dan
mahasiswa yang karena keterlibatannya pada penyalahgunaan NAPZA di
10
masa lalu terpaksa putus sekolah menjadi pengangguran; perlu menjalani
program khusus yang dinamakan program terminal (re-entry program), yaitu
program persiapan untuk kembali melanjutkan sekolah/kuliah atau bekerja
Halusinasi Efek
Intoksikasi Core
Gangguan Konsep
Diri
Koping individu
tidak efektif
11
2.1.7 Masalah Keperawatan yang Sering Timbul
1. Ancaman kehidupan (kondisi overdosis)
Tahap ini kondisi pasien sudah cukup serius dan kritis, penggunaan
cukup berat, tingkat toleransi yang tinggi, serta cara penggunaan yang
impulsif. Masalah kesehatan yang sering timbul antara lain sebagai
berikut:
1. Tidak efektifnya jalan napas (depresi sistem pernapasan)
berhubungan dengan intoksikasi opioida, sedatif hipnotik, alkohol.
2. Gangguan kesadaran berhubungan dengan intoksikasi sedatif
hipnotik, alkohol.
3. Gangguan keseimbangan cairan elektrolit berhubungan dengan
delirium tremens (putus zat alkohol).
4. Amuk berhubungan dengan intoksikasi sedatif hipnotik.
5. Potensial melukai diri/lingkungan berhubungan dengan intoksikasi
alkohol, sedatif hipnotik.
6. Potensial merusak diri/bunuh diri berhubungan dengan putus zat
MDMA (ekstasi).
2. Kondisi intoksikasi
1. Cemas berhubungan dengan intoksikasi ganja.
2. Perilaku agresif berhubungan dengan intoksikasi sedatif hipnotik,
alkohol.
3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan intoksikasi sedatif
hipnotik, alkohol, opioida.
4. Gangguan kognitif berhubungan dengan intoksikasi sedatif hipnotik,
alkohol, kanabis, opioida.
5. Gangguan rasa nyaman, seperti mual/muntah berhubungan dengan
intoksikasi MDMA (ekstasi).
3. Sindroma putus zat (withdrawal)
1. Kejang berhubungan dengan putus zat alkohol, sedatif hipnotik.
12
2. Gangguan persepsi (halusinasi) berhubungan dengan putus zat
alkohol, sedatif hipnotik.
3. Gangguan proses berpikir (waham) berhubungan dengan putus zat
alkohol, sedatif hipnotik.
4. Gangguan tidur (insomnia, hipersomnia) berhubungan dengan putus
zat alkohol, sedatif hipnotik, opioida, MDMA (ekstasi).
5. Gangguan rasa nyaman (mual, muntah) berhubungan dengan putus
zat alkohol, sedatif hipnotik, opioida.
6. Gangguan rasa nyaman (nyeri sendi, otot, tulang) berhubungan
dengan putus zat opioida.
7. Gangguan afektif (depresi) berhubungan dengan putus zat MDMA
(ekstasi).
8. Perilaku manipulatif berhubungan dengan putus zat opioida.
9. Terputusnya program perawatan (melarikan diri, pulang paksa)
berhubungan dengan kurangnya sistem dukungan keluarga.
10. Cemas (keluarga) berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
dalam merawat pasien ketergantungan zat adiktif.
11. Potensial gangguan nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan
dengan putus zat opioida.
4. Pascadetoksikasi (Rehabilitasi)
13
BAB III
Rancangan Kasus
Kasus
An. A seorang pengamen jalanan masuk panti rehabilitasi pada tanggal 19 Juni
2018 pukul 13:00 WIB setelah dirazia oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol
PP) di Sekitaran Stasiun Jati Negara, Bekasi karena kedapatan sedang “ngelem”
bersama teman-teman ngamennya.
BAB IV
Asuhan Keperawatan Kasus
Pengkajian
Identitas Klien :
Nama : An.A
Usia : 13 tahun
Agama : Islam
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Bekasi
14
- Tekanan Darah : 130/90 mmHg
- Nadi : 97 x/menit, takhikardi
C. Integritas Ego
Pasien mengatakan :
- “kalau lagi “ngelem” sambil kumpul ma’ anak-anak, rasanya seneng
banget, kayak kagak ada beban pikiran gitu, jadi lupa aja ma’ masalah dan
capek. Malah jadi makin PD dan keren”
- “gua gak pernah merasa kalau itu (“ngelem”-red) salah, orang gua juga
gak nyuri lem orang kok! Hahaha........”
- “dengan ngelem gini, gua ngerasa bisa lepas dari masalah, kalau ngak
gini hidup gua bakal ancur. Gua ‘dah ketergantungan banget”
D. Makan atau minum
Pasien mengatakan :
- ”gak ada napsu makan, dengan “ngelem” aja udah kenyang rasanya”
- “rasanya gua makin kurus juga, dulu gak sampai kerempeng gini,
mungkin gara-gara gak inget makan juga”
E. Neurosensorik
Pasien tampak :
- Emosi psikologis : Gembira, banyak bicara, waspada berlebihan.
- Dilatasi pupil
Pasien mengatakan :
- “kalau ngeliat gitu, mata agak kabur”
- “suka gemeteran juga lama-lama apalagi kalau lagi pengen (“ngelem”-red)”
- “cemas juga kadang-kadang, takut kalau ngak “ngelem” jadi uring-uringan”
F. Nyeri
- (pasien tidak mengeluh nyeri)
G. Pernapasan
Pasien mengatakan :
- “Sering sesak napas seperti tercekik”
15
H. Keamanan
Pasien mengatakan :
- “kalau ngak “ngelem” badan berasa panas dingin gak jelas, kayak mau
meriang rasanya”
- “suka mau marah juga sih, apalagi kalau lagi pengen terus gak dapet, tapi
belum pernah sampai mukulin apalagi bunuh orang”
I. Seksualitas
- (pasien tidak mengeluh ada gangguan di organ genetalia atau
masalah kesehatan reproduksi)
J. Interaksi sosial
- “gua turun ke jalanan gini jadi gepeng juga karena ortu yang ‘gak punya
kerjaan, gua mesti nyari duit buat bertahan hidup”
- “kalau sekolah mungkin gua udah SMP, tapi karena harus kerja begini,
gua dah ngelupain jaman sekolah”
1. Anamnesa
Klien berusia 12 tahun berasal dari keluarga kurang mampu dan tinggal di
lingkungan kumuh di dekat TPS. Sehari-hari klien bekerja sebagai pengamen
jalanan bersama anak-anak sebayanya yang juga berasal dari keluarga kurang
mampu. Klien mengaku dulu pernah sekolah sampai kelas 2 SD kemudian
tidak melanjutkan karena tidak ada biaya. Orang tuanya kemudian menuntut
klien untuk membantu mencari nafkah di jalanan.
An. A dan teman-temannya biasa melakukan kegiatan yang tidak
biasa/menyimpang dari anak normal seusianya, disela-sela waktu istirahat
ngamen, klien sering “ngelem” di pingggir jalan bersama dengan teman-
temanya. Awalnya hanya karena ikut-ikutan anak jalanan lain dan mulai
penasaran dengan efek yang ditimbulkan. Kemudian klien mulai “ngelem”
bersama teman-teman pengamennya dan lama-kelamaan kebiasaan tersebut
menjadi rutinitas klien dan teman-temannya setiap hari, bahkan terkadang
dengan “ngelem” tersebut mereka merasa tidak pernah lelah untuk mencari
16
uang dijalanan. Kebiasaan “ngelem” ini merupakan kebiasaan yang biasa
mereka gunakan untuk mengalihkan segala masalah yang mereka hadapi,
termasuk melupakan rasa lapar karena berhari-hari tidak makan. Mereka juga
mengungkapkan dengan “ngelem” mereka akan menjadi lebih bersemangat,
percaya diri, berenergi. Suatu hari klien tidak ngelem selama sehari karena ia
merasa tidak enak badan, kemudian klien merasa sangat tersiksa dan merasa
badan berkeringat dingin, pusing, gemetaran, dan merasa bahwa hidupnya
berat sekali.
Masalah :
Dari hasil wawancara dengan An. A terbukti bahwa klien melakukan
penyalahgunaan zat termasuk inhalasi. Pasien menggunakan lem sebagai zat
yang kemudian dihirup dan kemudian menikmati sensasi yang dihasilkan dari
“ngelem” tersebut. Dengan kebiasaan itu, pasien bisa melupakan sejenak rasa
capek dan beban hidupnya.
17
2. Pohon masalah
Efek ansietas
Ketidakefektifan nutrisi
kurang dari kebutuhan
Causa
tubuh
↑
Penyalahgunaan zat
HDR
↑
3. Diagnosa Keperawatan
a. Ansietas b.d penyalahgunaan zat (domain 9. Kelas 2 ,00147)
Definisi : perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai
respons otonom (sumber sering kali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh
individu); perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya.
Hal ini merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan
adanya bahaya dan memampukan individu untuk bertindak menghadapi
ancaman.
18
b. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan makan (domain 2, kelas 1,00002)
Definisi : asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolic
c. Gangguan pola tidur b.d perubahan sensori SSP (domain 4, kelas 1.
000198)
Definisi : interupsi jumlah waktu dan kualitas tidur akibay factor eksternal
4. Intervensi Keperawatan
19
kepada staff komunikasi yang merasakan dan
3. Melaporkan rasa jelas dan konkret. mengintepretasi
takut/ansietas 4. Kaji kesiapan kan stimulus.
yang berkurang klien untuk Rasa takut
sampai tingkat bercanda dan / merupakan hal
yang mampu atau diberi yang serius bagi
diatasi. sentuhan. orang yang
4. Menunjukkan 5. Anjurkan klien merasakannya
tentang perasaan untuk dan harus
yang tepat dank mengungkapkan dihargai
lien terlihat rasa takut/ keberadaannya.
rileks. ansietas yang Canda dan
dialaminya. sentuhan dapat
6. Bantu klien diintepretasikan
melakukan secara keliru/
penilaian realitas dapat
atas rasa meningkatkan
takutnya. ansietas.
Gunakan 4. Mengungkapka
konfrontasi yang n perasaan pada
halus. staff yang
dipercayai dapat
menurunkan
intensitas rasa
takut. Hal ini
member
kesempatan
untuk
menjelaskan
20
kesalah
pahaman klien
dan
memberikan
rasa nyaman
pada klien.
5. Klien dapat
mengurangi
rasa takutnya
jika klien
memahami
perbedaan
antara realitas
dan delusi.
Harus
digunakan
dengan hati-hati
karena sebagai
penilaian
realitas delusi
berisiko pada
kepercayaan
klien.
21
08.00 kecemasan 5820 tenang
WIB O : kondisi
7. Menyusun
umum klien
penugasan staff baik, klien
terlihat lebih
tetap dan
tenang
tekankan A : masalah
08.30 teratasi
pentingnya sikap
WIB P:
dapat diandalkan, menghentikan
intervensi
jujur, iklas,
bertindak tepat.
Respon : klien
merasa nyaman
8. Mengakui
08.30 perasaan yang
WIB
dialami klien (
misal rasa takut,
terror, merasa
08.40 dibebani, panic,
WIB
ansietas, konfusi)
Respon : klien
terlihat tenang setelah
perawat mengakui
perasaan yang
09.00
WIB dialami klien
9. Melakukan
komunikasi yang
jelas dan konkret.
09.15 Respon : komunikasi
WIB
antara perawat dan
klien menjadi lancar
22
10. Kaji kesiapan
klien untuk
bercanda dan /
atau diberi
sentuhan.
Respon : klien
merespon candaan
dan sentuhan perawat
dengan baik
11. Menganjurkan
klien untuk
mengungkapkan
rasa takut/
ansietas yang
dialaminya.
Respon : klien mau
mengungkapkan rasa
takutnya
12. Membantu klien
melakukan
penilaian realitas
atas rasa
takutnya.
Gunakan
konfrontasi yang
halus.
Respon : klien
mampu menghadapi
rasa takutnya
23
Selasa/ 19 2 Manajemen nutrisi 20.00 S : klien
Juni 2018/ 14.00 WIB mengatakan
1100
Siang WIB merasa lebih
1. Mengidentifikasi berselera
makan
adanya alergi
O : klien
atau intoleransi sangat lahab
dan berselera
makanan yang
makan
14.10 dimiliki pasien A : masalah
WIB teratasi
Respon : perawat
P:
mengetahui alergi menghentikan
intervensi
makanan yang
dimiliki klien
2. Memberikan
14.20 pilihan makanan
WIB
sambil
menawarkan
bimbingan
terhadap pilihan
atau makanan
yang lebih sehat,
jika diperlukan
Respon : klien
14.30
memilih makanan
WIB
sehat sesuai anjuran
perawat
3. Menciptakan
lingkungan yang
15.00
WIB optimal pada saat
mengonsumsi
makanan
24
(misalnya, bersih,
berventilasi,
santai, dan bebas
dari bau yang
menyengat)
Respon : klien
mengatakan merasa
nyaman dengan
lingkungannya dan
makan dengan lahab
4. Melakukan atau
bantu pasien
terkait dengan
perawatan mulut
sebelum makan
Respon : klien dapat
melakukan
perawatan mulut
dengan benar
5. Memonitor
kecenderungan
terjadinya
penurunan dan
kenaikan berat
badan
Respon : klien dan
perawat mengetahui
kenaikan/penurunan
berat badan klien
25
Selasa/ 19 3 Mandiri 20.00 S : klien
Juni 2018/ WIB mengatakan
Peningkatan tidur
Malam jadwal tidur
19.00 1850 menjadi
WIB teratur
1. Menententukan
O : klien
siklus tidur yang dapat tidur
dimalam hari
klien harus tidur
dan
pada malam hari, beraktivitas
di siang hari
terjaga pada
terlihat lebih
19.30 siang hari tenang
WIB A : masalah
dengan istirahat
teratasi
singkat sesuai P:
menghentikan
kebutuhannya.
intervensi
Respon : siklus tidur
klien membaik
2. Mengurangi
stimulus dan
tingkatkan
relaksasi
19.40
WIB terutama pada
waktu tidur;
anjurkan klien
untuk lakukan
rutinitas sebelum
tidur (misal
mandi air hangat,
minum susu
hangat,
meregangkan
otot tubuh).
26
Respon : klien lebih
mudah untuk
memulai tidurnya
dimalam hari
3. Memberi
kesempatan klien
menghirup udara
segar, melakukan
olah raga ringan
nonkafein dan
berikan klien
lingkungan yang
tenang sesuai
toleransinya
Respon : klien lebih
tenang
27
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
NAPZA merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika, dan Zat
Adiktif lainnya. Banyak jenis NAPZA yang memiliki manfaat yang besar
untuk kesembuhan dan keselamatan manusia, tetapi saat ini penggunaanya
masih banyak yang disalahgunakan (Partodiharjo, 2008). Penyalahgunaan
NAPZA adalah penggunaan NAPZA bukan untuk tujuan pengobatan dengan
jumlah berlebih, teratur dan berlangsung cukup lama, sehingga menyebabkan
gangguan kesehatan fisik serta gangguan pada perilaku dan kehidupan
sosialnya (Martono dan Joewana, 2008). Menurut Maeyer et al (2009)
penyalahgunaan NAPZA yaitu masalah kesehatan public yang penting dimana
secara langsung akan berdampak pada ekonomi, kesehatan dan juga social.
Sehingga perlunya peran tenaga kesehatan yang kompeten, khususnya
perawat untuk melakukan pencegahan dan perawatan pada pasien
penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA.
5.2 Saran
Sebagai perawat kita perlu melakukan asuhan keperawatan secara
sistematis dan terorganisir demi meningkatkan layanan mutu keperawatan dan
profesionalitas sehingga menghasilkan praktik keperawatan yang profesional.
Kita sebagai mahasiswa keperawatan seharusnya lebih mengembangkan
pengetahuan tentang penanganan pasien dengan ketergantungan NAPZA yang
banyak ditemui dimasyarakat.
28
DAFTAR PUSTAKA
Ah. Yusuf, Rizky Fitryasari PK, dan Hanik Endang Nihayati, 2015, Buku Ajar.
Keperawatan Kesehatan Jiwa, Salemba Medika, Jakarta
Arifin, Balqis Anjani (2016) Rehabilitasi Sosial Korban Napza di Panti Sosial
Marsudi Putra Toddopuli Kecamatan Biringkanaya Kota
Makassar. Undergraduate (S1) thesis, Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar.
Kemenkes RI. 2014. Buletin Jendela Data dan informasi Kesehatan. Jakarta
Putri, A. M. (2017). PENGALAMAN MANTAN PENYALAHGUNA NAPZA DI
USIA REMAJA DALAM MENCAPAI RESILIENSI. Character: Jurnal
Penelitian Psikologi., 4(1).
Sofah, R., Harlina, H., & Putri, R. M. (2018). Pengembangan Perilaku Asertif untuk
Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Melalui Layanan Bimbingan
Kelompok. Jurnal Fokus Konseling, 4(1).
Sumiati, D., Nurhaeni, H., & Aryani, R. (2009). Kesehatan jiwa remaja dan
konseling. Jakarta: Trans Info Media, 88-92.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, 2009. Asa
Mandiri. Jakarta.
Wulandari, C. M., Retnowati, D. A., & Handojo, K. J. Rosida.(2015). Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Penyalahgunaan Napza Pada Masyarakat Di
Kabupaten Jember. Jurnal Farmasi Komunitas, 2(1), 1-4.
29