Anda di halaman 1dari 2

Seorang perempuan berumur 37 tahun, datang ke poliklinik RS tipe C, dengan keluhan utama benjolan dan luka bernanah di leher

kiri. Satu
bulan sebelum berobat ke RS benjolan awalnya sebesar biji kacang hijau, bertambah besar mengeluarkan nanah, tidak disertai nyeri dan
demam. Pasien menyangkal adanya riwayat batuk-batuk lama maupun alergi terhadap makanan atau pun obat-obatan. Ibu pasien ada
riwayat batuk lama dan sedang menjalani terapi jangka lama di puskesmas. Keadaan umum sakit sedang, suhu badan afebris, terdapat
pembesaran kelenjar getah bening colli sinistra tanpa nyeri. Status dermatologis pada regio colli sinistra: didapatkan nodul berukuran
0,5×0,3 cm dan ulkus eritematous kebiruan (livide), diameter 2 cm, , tepi tidak rata, terdapat pus dan jaringan nekrotik. Dokter yang
memeriksa memikirkan beberapa kemungkinan penyakit oleh karena infeksi bakteri dan Mycobacterium sehingga memutuskan untuk
melakukan pemeriksaan bakteriologis dari pus dan kemungkinan menemukan bakteri tahan asam (BTA) serta melakukan eksisi biopsi.

 Mengapa pada pasien terdapat benjolan yang bertambah besar dan mengeluarkan nanah?
 Mengapa benjolan tidak terasa nyeri?
 Mengapa ditemukan nodul dengan ulkus eritematous kebiruan?
 Patogenesis
 Etiologi
 Penatalaksanaan
 Prinsip pengobatan tuberkulosis kutis sama dengan tuberkulosis paru. Untuk mencapai hasil yang baik hendaknya diperhatikan syarat-
syarat yaitu pengobatan harus dilakukan secara teratur tanpa terputus agar tidak cepat terjadi resistensi dan pengobatan harus dalam
kombinasi. Dalam kombinasi tersebut INH disertakan, diantaranya karena obat tersebut bersifat bakterisidal, harganya murah dan efek
sampingnya langka. Sedapat-dapatnya dipilih paling sedikit 2 obat yang bersifat bakterisidal, dan keadaan umum diperbaiki.
 Pemilihan obat tergantung pada keadaan ekonomi penderita, berat-ringannya penyakit, dan adakah kontraindikasi. Dosis INH (H) pada
anak 10 mg/Kg BB, pada orang dewasa 5mg/Kg BB, dosis maksimum 400 mg sehari. Rifampisin (R) 10 mg/kg BB paling lama
diberikan 9 bulan. Bila digunakan Z hanya selama 2 bulan, kontraindikasinya penyakit hepar. Pirazinamid (Z) 25 mg/kg BB,
streptomisin (S) 15 mg/kg BB, dosis maksimun streptomisin 90 gram. Ethambutol (E) 15 mg/kg BB.
 Pada pengobatan tuberkulosis terdapat 2 tahapan, yaitu tahapan awal (intensif) dan tahapan lanjutan. Tujuan tahapan awal adalah
membunuh kuman yang aktif membelah sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya dengan obat yang bersifat bakterisidal. Tahapan
lanjutan ialah melalui kegiatan sterilisasi membunuh kuman yang tumbuh lambat.
 Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, terjadi pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang infeksi
menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2
bulan. Selama fase lanjutan diuperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih panjang. Efek sterilisasi obat untuk
membersihkan sisa-sisa kuman dan mencegah kekambuhan. Pada paien dengan sputum BTA positif ada resiko terjadinya resistensi
selektif. Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat selama fase lanjutan akan mengurangi resiko terjadinya resistensi selektif.
Pada pasien dengan sputum BTA negatif atau TB ekstrapulmoner tidak terdapat resiko resistensi selektif karena jumlah bakteri di
dalam lesi relatif sedikit. Pengobatan fase awal dengan 3 obat dan fase lanjutan dengan 2 obat biasanya sudah memadai. Pada pasien
yang pernah diobati ada resiko terjadinya resistensi. Paduan pengobatan ulang terdiri dari 5 obat untuk fase awal dan 3 obat untuk fase
lanjutan. Selama fase awal sekurang-kurangnya 2 diantara obat yang diberikan haruslah yang masih selektif. Pengobatan standar
dengan INH, Rifampisin dan Pirazinamid dapat diberikan pada wanita hamil dan menyusui, dianjurkan pemberian piridoksin.
Streptomisin tidak boleh diberikan.
 Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic Society, fase awal diberikan selama 2 bulan yaitu INH 5 mg/kgBB,
Rifampisin 10 mg/kgBB, Pirazinamid 35 mg/kgBB dan Etambutol 15 mg/kgBB. diikuti fase lanjutan selama 4 bulan dengan INH dan
Rifampisin untuk tuberkulosis paru dan ekstra paru. Etambutol dapat diberikan pada pasien dengan resistensi terhadap INH.

 Tabel 2. Obat antituberkulosis yang ada di Indonesia: dosis, cara pemberian dan efek sampingnya
Nama obat Dosis Cara pemberian Efek samping utama
INH 5-10 mg/kg BB per os, dosis tunggal neuritis perifer
Rifampisin 10 mg/kg BB per os, dosis tunggal
waktu lambung kosong gangguan hepar
Pirazinamid 20-35 mg/kg BB per os dosis terbagi gangguan hepar
Etambutol bulan I/II 25 mg/ per os, dosis tunggal gangguan N II
Kg BB,berikutnya
15 mg/kg BB
Streptomisin 25 mg/kg BB per inj gangguan N VIII

Terapi pembedahan berupa eksisi dapat dilakukan pada lupus vulgaris, tuberkulosis kutis
verukosa yang kecil, serta skrofuloderma pada ekstremitas bawah.
Pengobatan topikal pada tuberkulosis kutis tidak sepenting pengobatan sistemik. Pada skrofuloderma, jika ulkus masih mengandung
pus dikompres, misalnya dengan larutan kalium permanganas 1/5000
 Bagaimana hubungan keluhan pasien dengan ibu pasien yang memiliki riwayat batuk lama dan sedang terapi jangka lama
dipuskesmas?
Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang dilepaskan pada saat
penderita TBC batuk, dan pada anak-anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan
terkumpul di dalam paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan
dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir seluruh organ
tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang
paling sering terkena yaitu paru-paru.
1. Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm,uji mantoux negatif.
Arti klinis : tidak ada infeksi Mikobakterium
tuberkulosa.
2. Pembengkakan (Indurasi) : 3–9mm,uji mantoux meragukan.
Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang
dengan Mikobakterium atipik atau setelah vaksinasi
BCG.
3. Pembengkakan (Indurasi) : ≥ 10mm,uji mantoux positif.
Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi
Mikobakterium tuberkulosa.
Pemeriksaan radiologis dapat memperkuat diagnosis, karena lebih 95% infeksi primer terjadi di paru-paru maka secara rutin foto
thorax harus dilakukan. Ditemukannya kuman Mikobakterium tuberkulosa dari kultur merupakan diagnostik TBC yang positif, namun
tidak mudah untuk menemukannya.
Klasifikasi TBC (menurut The American Thoracic Society, 1981)
Klasifikasi 0 Tidak pernah terinfeksi, tidak ada kontak, tidak menderita TBC

Klasifikasi I Tidak pernah terinfeksi,ada riwayat kontak,tidak menderita TBC

Klasifikasi II Terinfeksi TBC / test tuberkulin ( + ), tetapi tidak menderita TBC (gejala TBC tidak ada, radiologi tidak
mendukung dan bakteriologi negatif).

Klasifikasi III Sedang menderita TBC

Klasifikasi IV Pernah TBC, tapi saat ini tidak ada penyakit aktif

Klasifikasi V Dicurigai TBC

Perjalaran langsung ke kulit dari organ di bawah kulit yang telah dikenai penyakit tuberkulosis, misalnya skrofuloderma
Inokulasi langsung pada kulit sekitar orifisium alat dalam yang dikenai penyakit tuberkulosis, misalnya tuberkulosis kutis orifisialis.
Penjalaran secara hematogen, misalnya tuberkulosis kutis miliaris.
Penjalaran secara limfogen, misalnya lupus vulgaris.
Penjalaran langsung dari selaput lendir yang sudah diserang penyakit tuberkulosis, misalnya lupus vulgaris.
Kuman langsung masuk ke kulit, jika ada kerusakan kulit dan resistensi lokalnya telah menurun, contohnya tuberkulosis kutis verukosa.
Djuanda, Adhi, Tuberkulosis kutis, Dalam Djuanda, Adhi., Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FK UI. Jakarta. 2005. Pages: 65

Anda mungkin juga menyukai