Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

STASE KEPERAWATAN DASAR PROFESI

GANGGUAN MOBILITAS FISIK

Disusun oleh:

PRODI PROFESI NERS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS

TAHUN AJARAN 2018/2019


A. Definisi
Mobilisasi atau mobilitas merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas,
mudah, dan teratur dengan tujuan agar dapat memenuhi kebutuhan aktivitas dalam
mempertahankan ataupun meningkatkan tingksat kesehatannya(Riyadi & Widuri, 2015)
Mobilitas merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas, mudah, dan
teratur sehingga dapat beraktivitas untuk memenuhi kebutuhan hidup sehat. Mobilisasi
dibutuhkan untuk meningkatkan kemandirian diri, meningkatkan kesehatan, memperlambat
proses penyakit, dan untuk aktualisasi diri (Saputra, 2013). Apabila seseorang tidak dapat
memenuhi kebutuhan aktivitasnya karena suatu penyakit, maka orang tersebut memiliki
hambatan mobilitas atau biasa disebut juga dengan imobilisasi.
Imobilisasi atau gangguan mobilitas definisi dari NANDA, merupakan suatu keadaan
ketika seseorang mengalami atau berisiko mengalami keterbatasan gerak fisik (Riyadi &
Widuri, 2015). Imobilitas merupakan keadaan ketika seseorang tidak dapat bergerak bebas
karena kondisi yang mengganggu pergerakan. Imobilitas dapat terjadi karena berbagai hal,
misalnya trauma tulang belakang, cedera otot berat, fraktur pada ekstremitas, dan kelainan
saraf (Saputra, 2013).

B. Etiologi
Berbagai kondisi dapat menyebabkan terjadinya imobilisasi, sebagai contoh :
a. Gangguan sendi dan tulang, penyakit reumatik seperti pengapuran tulang atau patah
tulang tertentu akan menghambat pergerakan (mobilisasi)
b. Penyakit syaraf. Adanya strok, penyakit parkinson, dan gangguan syaraf tepi juga
menimbulkan gangguan pergerakan dan mengakibatkan imobilisasi.
c. Penyakit jantung atau pernapasan. Penyakit jantung ataupernapasan akan menimbulkan
kelelahan dan sesak napas ketgika beraktivitas. Akibatnya, pasien dengan gangguan pada
organ-organ tersebut akan mengurangi mobilitasnya. Ia cenderung lebih banyak duduk atau
berbaring.
d. Gangguan penglihatan. Rasa percaya diri untuk bergerak akan terganggu bila ada
gangguan penglihatan karena ada kekhawatiran terpeleset,terbentur, atau tersandung.
e. Masa penyembuhan. Pasien yang masih lemah setelah menjalani operasi atau penyakit
berat tertentu memerlukan bantuan untuk berjalan (Tarwoto & wartonah, 2009) .
C. Manifestasi Klinik
Menurut (Yuliana, 2017)manifestasi klinik hambatan mobilitas fisik yaitu:
a. Respon fisiologik dari perubahan mobilisasi, adalah perubahan pada:
1) Muskuloskeletal seperti kehilangan daya tahan, penurunan massa otot, atropi dan
abnormalnya sendi dan gangguan metebolisme kalsium.
2) Kardiovaskuler seperti hipotensi orthostastik, peningkatan beban kerja jantung dan
pembentukan thrombus.
3) Pernafasan seperti atelektasis dan pneumonia hipostatik, dispnea setelah beraktivitas.
4) Metabolisme dan nutrisi antara lain laju metabolik, metabolik karbohidrat, lemak dan
protein, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan kalsium dan gangguan
pencernaan.
5) Eliminasi urin seperti stasis urin meningkatkanresiko infeksi saluran perkemihan dan batu
ginjal.
6) Integument seperti ulkus dekubitus adalah akibat iskhemia dan anoksia jaringan.
7) Neurosensori : sensori deprivation.
b. Respon psikososial antara lain meningkatkan respon emosional, intelektual, sensori dan
sosiokultural.
c. Keterbatasan rentan pergerakan sendi.
d. Pergerakan tidak terkoordinasi.
e. Penurunan waktu reaksi (lambat).

D. Patofisiologi
Mobilisasi sangat dipengaruhi oleh sistem neuromuskular, meliputi sistem otot, skeletal,
sendi, ligament, tendon, kartilago, dan saraf. Otot Skeletal mengatur gerakan tulang karena
adanya kemampuan otot berkontraksi dan relaksasi yang bekerja sebagai sistem pengungkit.
Ada dua tipe kontraksi otot: isotonik dan isometrik. Pada kontraksi isotonik, peningkatan
tekanan otot menyebabkan otot memendek. Kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan
tekanan otot atau kerja otot tetapi tidak ada pemendekan atau gerakan aktif dari otot,
misalnya, menganjurkan klien untuk latihan kuadrisep. Gerakan volunter adalah kombinasi
dari kontraksi isotonik dan isometrik. Meskipun kontraksi isometrik tidak menyebabkan otot
memendek, namun pemakaian energi meningkat. Perawat harus mengenal adanya
peningkatan energi (peningkatan kecepatan pernafasan, fluktuasi irama jantung, tekanan
darah) karena latihan isometrik. Hal ini menjadi kontra indikasi pada klien yang sakit (infark
miokard atau penyakit obstruksi paru kronik). Postur dan Gerakan Otot merefleksikan
kepribadian dan suasana hati seseorang dan tergantung pada ukuran skeletal dan
perkembangan otot skeletal. Koordinasi dan pengaturan dari kelompok otot tergantung dari
tonus otot dan aktifitas dari otot yang berlawanan, sinergis, dan otot yang melawan gravitasi.
Tonus otot adalah suatu keadaan tegangan otot yang seimbang.

Ketegangan dapat dipertahankan dengan adanya kontraksi dan relaksasi yang bergantian
melalui kerja otot. Tonus otot mempertahankan posisi fungsional tubuh dan mendukung
kembalinya aliran darah ke jantung.

Immobilisasi menyebabkan aktifitas dan tonus otot menjadi berkurang. Skeletal adalah
rangka pendukung tubuh dan terdiri dari empat tipe tulang: panjang, pendek, pipih, dan
ireguler (tidak beraturan). Sistem skeletal berfungsi dalam pergerakan, melindungi organ
vital, membantu mengatur keseimbangan kalsium, berperan dalam pembentukan sel darah
merah.

Sendi adalah hubungan di antara tulang, diklasifikasikan menjadi:

§ Sendi sinostotik mengikat tulang dengan tulang mendukung kekuatan dan stabilitas. Tidak
ada pergerakan pada tipe sendi ini. Contoh: sakrum, pada sendi vertebra.

§ Sendi kartilaginous/sinkondrodial, memiliki sedikit pergerakan, tetapi elastis dan


menggunakan kartilago untuk menyatukan permukaannya. Sendi kartilago terdapat pada
tulang yang mengalami penekanan yang konstan, seperti sendi, kostosternal antara sternum
dan iga.

§ Sendi fribrosa/sindesmodial, adalah sendi di mana kedua permukaan tulang disatukan


dengan ligamen atau membran. Serat atau ligamennya fleksibel dan dapat diregangkan, dapat
bergerak dengan jumlah yang terbatas. Contoh: sepasang tulang pada kaki bawah (tibia dan
fibula) .

§ Sendi sinovial atau sendi yang sebenarnya adalah sendi yang dapat digerakkan secara
bebas dimana permukaan tulang yang berdekatan dilapisi oleh kartilago artikular dan
dihubungkan oleh ligamen oleh membran sinovial. Contoh: sendi putar seperti sendi pangkal
paha (hip) dan sendi engsel seperti sendi interfalang pada jari.

§ Ligamen adalah ikatan jaringan fibrosa yang berwarna putih, mengkilat, fleksibel
mengikat sendi menjadi satu sama lain dan menghubungkan tulang dan kartilago. Ligamen
itu elastis dan membantu fleksibilitas sendi dan memiliki fungsi protektif. Misalnya, ligamen
antara vertebra, ligamen non elastis, dan ligamentum flavum mencegah kerusakan spinal kord
(tulang belakang) saat punggung bergerak.

§ Tendon adalah jaringan ikat fibrosa berwarna putih, mengkilat, yang menghubungkan otot
dengan tulang. Tendon itu kuat, fleksibel, dan tidak elastis, serta mempunyai panjang dan
ketebalan yang bervariasi, misalnya tendon akhiles/kalkaneus.

§ Kartilago adalah jaringan penghubung pendukung yang tidak mempunyai vaskuler,


terutama berada disendi dan toraks, trakhea, laring, hidung, dan telinga. Bayi mempunyai
sejumlah besar kartilago temporer. Kartilago permanen tidak mengalami osifikasi kecuali
pada usia lanjut dan penyakit, seperti osteoarthritis.

§ Sistem saraf mengatur pergerakan dan postur tubuh. Area motorik volunteer utama, berada
di konteks serebral, yaitu di girus prasentral atau jalur motorik.

§ Propriosepsi adalah sensasi yang dicapai melalui stimulasi dari bagian tubuh tertentu dan
aktifitas otot. Proprioseptor memonitor aktifitas otot dan posisi tubuh secara
berkesinambungan. Misalnya proprioseptor pada telapak kaki berkontribusi untuk memberi
postur yang benar ketika berdiri atau berjalan. Saat berdiri, ada penekanan pada telapak kaki
secara terus menerus. Proprioseptor memonitor tekanan, melanjutkan informasi ini sampai
memutuskan untuk mengubah posisi.

F. Pemeriksaan Penunjang
a. Sinar-X tulang menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, dan perubahan hubungan
tulang
b. CT Scan (Computed Tomography) menunjukan rincian bidang tertentu tulang yang
terkena dan dapat memperlihatkan tumor jaringan lunak atau cidera ligament atau tendon.
Digunakan untuk menidentifikasi lokasi dan panjangnya patah tulan di daerah yang sulit
dievaluasi.
c. MRI (Magnetic Resonance Imaging) adalah teknik pencitraan khusus, noninvasive,
yang menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan computer untuk memperlihatkan
abnormalitas.
d. Pemeriksaan laboratorium (Tarwoto & wartonah, 2007)
e. Perubahan kardiovaskuler
f. Perubahan sistem muskuloskeletal
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medis

a. Terapi

1) Penatalaksana Umum

a) Kerjasama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan pramuwerdha.

b) Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya latihan
bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah ketergantungan pasien dengan melakukan
aktivitas kehidupan sehari-hari sendiri, semampu pasien.

c) Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, dan pembuatan


rencana terapi yang mencakup pula perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai target
terapi.

d) Temu dan kenali tatalaksana infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit
yang Mungkin terjadi pada kasus imobilisasi, serta penyakit/ kondisi penyetara lainnya.

e) Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi; obat-obatan yang dapat menyebabkan


kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau dihentkan bila memungkinkan.

f) Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang mengandung serat, serta
suplementasi vitamin dan mineral.

g) Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis terjadi meliputi
latihan mobilitas di tempat tidur, latihan gerak sendi (pasif, aktif, dan aktif dengan bantuan),
latihan penguat otot-otot (isotonik, isometrik, isokinetik), latihan koordinasi/ keseimbangan,
dan ambulasi terbatas.

h) Bila diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri dan
ambulasi.

i) Manajemen miksi dan defekasi, termasuk penggunaan komod atau toilet.

2) Tatalaksana Khusus

a) Tatalaksana faktor risiko imobilisasi


b) Tatalaksana komplikasi akibat imobilisasi.

c) Pada keadaan-keadaan khusus, konsultasikan kondisi medik kepada dokter spesialis yang
kompeten.

d) Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasien–pasien yang mengalami sakit atau
dirawat di rumah sakit dan panti werdha untuk mobilitas yang adekuat bagi usia lanjut yang
mengalami disabilitas permanen.

Penatalaksanaan untuk masalah mobilitas fisik adalah sebagai berikut (Saputra, 2013):
a. Pengaturan posisi tubuh sesuai dengan kebutuhan pasien
1) Memiringkan pasien
2) Posisi fowler
3) Posisi sims
4) Posisi Trendelenburg
5) Posisi genupectoral
6) Posisi dorsal recumbent
7) Posisi litotomi
b. Ambulasi dini
Cara ini adalah salah satu tindakan yang dapat meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot
serta meningkatkan fungsi kardiovaskular. Tindakan ini bisa dilakukan dengan cara melatih
posisi duduk di tempat tidur, turun dari tempat tidur, bergerak ke kursi roda, dan lain-lain
c. Melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri juga dilakukan untuk melatih kekuatan,
ketahanan, kemampuan sendi agar mudah bergerak, serta mingkatkan fungsi kardiovaskular.
d. Latihan ROM pasif
e. Latihan ROM aktif

I. Pengkajian Fokus
Pemeriksaan Fisik

1) Mengkaji skelet tubuh

Adanya deformitas dan kesejajaran. Pertumbuhan tulang yang abnormal akibat tumor tulang.
Pemendekan ekstremitas, amputasi dan bagian tubuh yang tidak dalam kesejajaran anatomis.
Angulasi abnormal pada tulang panjang atau gerakan pada titik selain sendi biasanya
menandakan adanya patah tulang.

2) Mengkaji tulang belakang

§ Skoliosis (deviasi kurvatura lateral tulang belakang)

§ Kifosis (kenaikan kurvatura tulang belakang bagian dada)

§ Lordosis (membebek, kurvatura tulang belakang bagian pinggang berlebihan)

3) Mengkaji system persendian

Luas gerakan dievaluasi baik aktif maupun pasif, deformitas, stabilitas, dan adanya benjolan,
adanya kekakuan sendi

4) Mengkaji system otot

Kemampuan mengubah posisi, kekuatan otot dan koordinasi, dan ukuran masing-masing otot.
Lingkar ekstremitas untuk mementau adanya edema atau atropfi, nyeri otot.

5) Mengkaji cara berjalan

Adanya gerakan yang tidak teratur dianggap tidak normal. Bila salah satu ekstremitas lebih
pendek dari yang lain. Berbagai kondisi neurologist yang berhubungan dengan cara berjalan
abnormal (mis.cara berjalan spastic hemiparesis - stroke, cara berjalan selangkah-selangkah –
penyakit lower motor neuron, cara berjalan bergetar – penyakit Parkinson).

6) Mengkaji kulit dan sirkulasi perifer

Palpasi kulit dapat menunjukkan adanya suhu yang lebih panas atau lebih dingin dari lainnya
dan adanya edema. Sirkulasi perifer dievaluasi dengan mengkaji denyut perifer, warna, suhu
dan waktu pengisian kapiler.
7) Mengkaji fungsional klien

§ Kategori tingkat kemampuan aktivitas

TINGKAT
KATEGORI
AKTIVITAS/ MOBILITAS

0 Mampu merawat sendiri secara penuh

1 Memerlukan penggunaan alat

2 Memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain

3 Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain, dan


peralatan

4 Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan atau


berpartisipasi dalam perawatan

e. Kemampuan Rentang Gerak


Pengkajian rentang gerak (ROM) dilakukan pada daerah seperti bahu, siku, lengan, panggul,
dan kaki dengan derajat rentang gerak normal yang berbeda pada setiap gerakan (Abduksi,
adduksi, fleksi, ekstensi, hiperekstensi)

f. Perubahan Intoleransi Aktivitas


Pengkajian intoleransi aktivitas dapat berhubungan dengan perubahan sistem pernapasan dan
sistem kardiovaskular.

g. Kekuatan Otot dan Gangguan Koordinasi


Dalam mengkaji kekuatan otot dapat ditentukan kekuatan secara bilateral atau tidak.

h. Perubahan psikologis
Pengkajian perubahan psikologis yang disebabkan oleh adanya gangguan mobilitas dan
imobilitas, antara lain perubahan perilaku, peningkatan emosi, dan sebagainya.
J. Diagnosis Keperawatan
a. Gangguan mobilitas fisik b.d hemiparesis, kehilangan keseimbangan, dan koordinasi,
spastisitas, dan cedera otak
b. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gejala sisa stroke
c. Nyeri akut
e. Resiko jatuh b.d perubahan ketajaman penglihatan

K. Intervensi Keperawatan
a. Gangguan mobilitas fisik b.d hemiparesis, kehilangan keseimbangan, dan koordinasi,
spastisitas, dan cedera otak
Setelah dilakukan Asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan gangguan mobilitas
fisik klien berkurang

Kriteria Hasil

1. Klien mampu beraktifitas secara mandiri tanpa bantuan


2. Klien mampu tirah baring

a) Monitor vital sgin sebelum / sesudah latihan dan lihat respone pasien saat latihan
b) Kolaborasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan
c) Ajarkan pasien tentang teknik ambulasi
d) Kaji kemampuan pasien dalam ambulasi
e) Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu pemenuhan ADLs pasien

b. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gejala sisa stroke


Setelah dilakukan Asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan defisit perawatan diri
klien berkurang

Kriteria Hasil :

1. Mampu Beraktifitas secara mandiri


2. Mampu Mandi berdandan secara mandiri

a) Pantau tingkat kekuatan dan toleransi aktivitas


b) Bantu pasien memilih pakaian yang mudah dipakai dan dilepas
c) Ganti pakaian pasien setelah eliminasi
d) Monitor kemampuan pasien untuk menelan
c. Nyeri akut berhubungan dengan cedera fisik

Setelah dilakukan Asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan nyeri klien berkurang

Kriteria Hasil :

§ Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik


nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)

§ Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri

§ Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)

§ Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

§ Tanda vital dalam rentang normal

1. Kaji nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,


kualitas dan faktor presipitasi
2. Tingkatkan istirahat
3. Ajarkan teknik non farmakologi relaksasi nafas dalam
4. Kolaborasikan dengan dokter untuk pemberian obat analgetik sesuai advice

DAFTAR PUSTAKA

Asmandi, 2010. In Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika.
Nurarif, A.H. & Kusuma, H., 2015. In NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: MediAction. p.231.
Riyadi, S. & Widuri, H., 2015. Kebutuhan Dasar Manusia Aktivitas Istirahat Diagnosis
NANDA. Yogyakarta: Gosyen.
Saputra, L., 2013. Catatan Ringkas Kebutuhan Dasar Manusia. Tangerang: Binarupa Aksara.
Saputra, L., 2013. Catatan Ringkas Kebutuhan Manusia. Tangerang: Binarupa Aksara.
Tarwoto & wartonah, 2009. In Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai