Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PROPOSAL MINI CEX PEMERIKSAAN FISIK JANTUNG

PADA PASIEN Tn.Z DENGAN STEMI DIRUANGAN CVCU DI RSUP


Dr.M.DJAMIL PADANG

Oleh :

SUCI SUNDARI
PUTRI MAHARANI
AKRINALDO

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG
TAHUN 2018/2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

ST-elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan bagian dari Sindrom


Koroner Akut (SKA) yang pada umumnya diakibatkan oleh rupturnya plak
aterosklerosis yang mengakibatkan oklusi total pada arteri koroner dan disertai
dengan tanda dan gejala klinis iskemi miokard seperti munculnya nyeri dada,
adanya J point yang persistent, adanya elevasi segmen ST serta meningkatnya
biomarker kematian sel miokardium yaitu troponin (cTn) (Baliga et al, 2014)

STEMI merupakan penyakit kardiovaskuler penyebab kecacatan dan


kematian terbesar di seluruh dunia. STEMI menyebabkan kematian 6%-14% dari
jumlah total kematian pasien yang disebabkan oleh SKA (Widimsky et al. 2012).

Data WHO ( 2015) menunjukkan sebanyak 17 juta orang meningal setiap


tahunnya karena penyakit jantung dan pembuluh darah diseluruh dunia. Studi
yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 38% pasien SKA
merupakan pasien STEMI (Mozaffarian et al. 2015). Sedangkan berdasarkan
Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC) Registry pada tahun 2013 jumlah pasien
STEMI di Jakarta mencapai 1.110 orang (Dharma et al. 2015). Menurut Depkes
RI (2015) prevalensi STEMI di Indonesia meningkat dari 25% menjadi 40%
berdasarkan presentasi infark miokard.

Sumatera Barat merupakan provinsi dengan prevalensi penyakit jantung


tertinggi ke-4 di Indonesia yaitu 15,4% setelah provinsi Sulawesi Tengah (16,9%),
Aceh (16,6%) dan Gorontalo (16,0%) (Delima et al., 2009). Berdasarkan hasil
penelitian di RS Khusus Jantung Sumatera Barat pada tahun 2011-2012,
menyatakan bahwa kejadian SKA terbanyak adalah STEMI dengan persentase
sebesar 52% dari keseluruhan SKA (Zahara et al., 2013). Penelitian di RSUP Dr.
M. Djamil Padang pada pasien STEMI yang dilakukan tindakan IKPP didapatkan
bahwa laki-laki lebih banyak yang menderita STEMI (87,5%) dibandingkan
perempuan dan usia terbanyak yaitu rentang 54,65±7,77 (Ilhami YR et al., 2015).

Gejala utama pasien STEMI yaitu nyeri. Nyeri dada yang tiba-tiba dan
berlangsung terus menerus, terletak dibagian bawah sternum dan perut atas,
adalah gejala utama yang biasanya muncul. Nyeri akan terasa semakin berat
sampai tidak tertahankan. Rasa nyeri yang tajam dan berat, bisa menyebar ke bahu
dan lengan biasanya lengan kiri. Nyeri ini muncul secara spontan (bukan setelah
bekerja berat atau gangguan emosi) dan menetap selama beberapa jam sampai
beberapa hari dan tidak akan hilang dengan istirahat maupun nitrogliserin
(Smeltzer & Bare, 2006). Nyeri pada pasien ST elevasi miocard infark (STEMI)
yang tidak tertangani dapat menyebabkan kecemasan, distres emosional, dan tidak
dapat beristirahat sehingga perawat perlu memberikan intervensi untuk memenuhi
kebutuhan rasa nyaman pada pasien dalam mengatasi nyeri.

Kolcaba (2007) menyatakan bahwa kenyamanan merupakan kebutuhan bagi


setiap orang. Kenyamanan tersebut merupakan nyaman secara fisik, psikospiritual,
lingkungan dan sosiokultural,sehingga terbebas dari nyeri. Seseorang yang
merasakan nyeri berarti dia tidak terpenuhi kebutuhan rasa nyamannya, disinilah
peran perawat untuk memenuhi kebutuhan rasa nyamannya. Intervensi
keperawatan dalam upaya peningkatan kenyamanan.

Ada dua pendekatan yang digunakan dalam manajemen nyeri, yaitu


pendekatan farmakologi dan non farmakologi. Pendekatan farmakologi
merupakan tindakan kolaborasi antara perawat dengan dokter, yang menekankan
pada pemberian obat yang mampu menghilangkan sensasi nyeri, sedangkan
pendekatan non farmakologi merupakan tindakan mandiri perawat untuk
menghilangkan nyeri dengan menggunakan teknik manajemen nyeri.(McCloskey
& Bulechek, 2009)

Dari hasil studi pendahuluan yang penulis lakukan di ruangan CVCU RSUP
Dr. Mdjamil Padang didapatkan bahwa dari 4 orang pasien, ada 2 orang yang
mengalami penyakit STEMI. Mengingat pentingnya memberikan rasa nyaman
atas nyeri, maka penulis akan merumuskan masalah: Apakah upaya penurunan
nyeri akut pada pasien ST elevasi miocard infark

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah upaya penurunan nyeri akut pada pasien STEMI?

C. Tujuan Penulisan

Mengetahui cara upaya penurunan nyeri akut pada pasien STEMI?.

D. Manfaat Penulisan

1. Memberikan gambaran umum kepada mahasiswa keperawatan

mengenai pemeriksaan fisik pada pasien STEMI

2. Memberikan gambaran kepada pasien dan keluarga untuk melakukan

penurunan nyeri pada pasien STEMI dengan cara non farmakologi.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial.

Nyeri timbul sebagai bentuk respon sensori setelah menerima rangsangan

nyeri. Nyeri dapat disebabkan karena adanya kerusakan jaringan dalam

tubuh sebagai akibat dari adanya cedera, kecelakaan, maupun tindakan

medis seperti operasi (Ratnasari,2013).

Sensasi penglihatan, pendengaran, bau, rasa, sentuhan, dan nyeri

merupakan hasil stimulasi reseptor sensorik. Nyeri adalah sensasi yang

penting bagi tubuh. Provokasi saraf-saraf sensorik nyeri menghasilkan

reaksi ke tidaknyamanan, distress, atau penderitaan.

Kontrol nyeri tetap merupakan problem signifi kan pada pelayanan

kesehatan di seluruh dunia. Penanganan nyeri yang efektif tergantung pada

pemeriksaan dan penilaian nyeri yang seksama baik berdasarkan informasi

subjektif maupun objektif.2 Teknik pemeriksaan/penilaian oleh tenaga

kesehatan dan keengganan pasien untuk melaporkan nyeri merupakan dua

masalah utama. Masalah-masalah yang berkaitan dengan kesehatan,

pasien, dan sistem pelayanan kesehatan secara keseluruhan diketahui

sebagai salah satu penghambat dalam penatalaksaan nyeri yang tepat.

Penanganan nyeri adalah upaya mengatasi nyeri yang dilakukan pada

pasien bayi, anak, dewasa, dan pasien tersedasi dengan pemberian obat

ataupun tanpa pemberian obat sesuai tingkat nyeri yang dirasakan pasien.
Pendekatan untuk memperoleh riwayat detail dari seorang pasien nyeri

sebaiknya menggunakan kombinasi pertanyaan terbuka dan tertutup untuk

memperoleh informasi yang diperlukan untuk mengetahui masalah pasien.

Selain itu, perhatikan juga faktor-faktor seperti menentukan tempat ketika

melakukan wawancara, menunjukkan sikap yang suportif dan tidak

menghakimi, memperhatikan tanda-tanda verbal dan nonverbal, dan

meluangkan waktu yang cukup untuk melakukan wawancara.

B. Memonik PQRST untuk Evaluasi Nyeri

P : Paliatif atau penyebab nyeri

Q : Quality/kualitas nyeri

R :Regio (daerah) lokasi atau pe nyebaran nyeri

S :Subjektif deskripsi oleh pasien mengenai tingkat nyerinya

T :Temporal atau periode/waktu yang berkaitan dengan nyeri

Assessment nyeri awal pada pasien dengan nyeri bisa dibantu

menggunakan penilaian nyeri awal (Pasero, Mc Caff ery M)

Anamnesis nyeri juga perlu menanyakan riwayat penyakit dahulu

tentang nyeri, yang meliputi:

a. Masalah medis yang berhubungan

b. Masalah yang mempengaruhi penggunaan terapi nyeri

c. Riwayat ketergantungan obat


C. Penilaian Nyeri

Ada beberapa cara untuk membantu mengetahui akibat nyeri

menggunakan skala assessment nyeri tunggal atau multidimensi.

Skala assessment nyeri

1. Uni-dimensional:

 Hanya mengukur intensitas nyeri

 Cocok (appropriate) untuk nyeri akut

 Skala yang biasa digunakan untuk

 evaluasi outcome pemberian analgetik

 Skala assessment nyeri uni-dimensional

ini meliputi 4:

a) Visual Analog Scale (VAS)

Skala analog visual (VAS) adalah cara yang paling

banyak digunakan untuk menilai nyeri. Skala linier ini

menggambarkan secaran visual gradasi tingkat nyeri yang

mungkin dialami seorang pasien. Rentang nyeri diwakili

sebagai garis sepanjang 10 cm, dengan atau tanpa tanda pada

tiap sentimeter Tanda pada kedua ujung garis ini dapat

berupa angka atau pernyataan deskriptif. Ujung yang satu

mewakili tidak ada nyeri, sedangkan ujung yang lain

mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala

dapat dibuat vertikal atau horizontal. VAS juga dapat

diadaptasi menjadi skala hilangnya/ reda rasa nyeri.

Digunakan pada pasien anak >8 tahun dan dewasa. Manfaat


utama VAS adalah penggunaannya sangat mudah dan

sederhana. Namun, untuk periode pascabedah, VAS tidak

banyak bermanfaat karena VAS memerlukan koordinasi

visual dan motorik serta kemampuan konsentrasi.

Gambar 1. Visual Analog Scale (VAS)

b) Verbal Rating Scale (VRS)

Skala ini menggunakan angka-angka 0 sampai 10 untuk

menggambarkan tingkat nyeri. Dua ujung ekstrem juga

digunakan pada skala ini, sama seperti pada VAS atau skala

reda nyeri . Skala numerik verbal ini lebih bermanfaat pada

periode pascabedah, karena secara alami verbal/kata-kata tidak

terlalu mengandalkan koordinasi visual dan motorik. Skala

verbal menggunakan katakata dan bukan garis atau angka

untuk menggambarkan tingkat nyeri. Skala yang digunakan

dapat berupa tidak ada nyeri, sedang, parah. Hilang/redanya

nyeri dapat dinyatakan sebagai sama sekali tidak hilang,


c) Numeric Rating Scale (NRS)

Dianggap sederhana dan mudah dimengerti, sensitif

terhadap dosis, jenis kelamin, dan perbedaan etnis. Lebih baik

daripada VAS terutama untuk menilai nyeri akut. Namun,

kekurangannya adalah keterbatasan pilihan kata untuk

menggambarkan rasa nyeri, tidak memungkinkan untuk

membedakan tingkat nyeri dengan lebih teliti dan dianggap

terdapat jarak yang sama antar kata yang menggambarkan efek

analgesik.

Gambar 3. Numeric Rating Scale (NRS)


2. Wong Baker Pain Rating Scale

Digunakan pada pasien dewasa dan anak >3 tahun yang tidak dapat

menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka

Gambar 4. Wong Baker Pain Rating Scale

2. Multi-dimensional

 Mengukur intensitas dan afektif (unpleasantness) nyeri

 Diaplikasikan untuk nyeri kronis

 Dapat dipakai untuk outcome assessment klinis

 Skala multi-dimensional ini meliputi:

1. McGill Pain Questionnaire (MPQ)

Terdiri dari empat bagian: (1) gambar nyeri, (2) indeks

nyeri (PRI), (3) pertanyaanpertanyaan mengenai nyeri terdahulu

dan lokasinya; dan (4) indeks intensitas nyeri yang dialami saat ini.

PRI terdiri dari 78 kata sifat/ajektif, yang dibagi ke dalam 20

kelompok. Setiap set mengandung sekitar 6 kata yang

menggambarkan kualitas nyeri yang makin meningkat. Kelompok

1 sampai 10 menggambarkan kualitas sensorik nyeri (misalnya,

waktu/temporal, lokasi/spatial, suhu/thermal). Kelompok 11

sampai 1 menggambarkan kualitas efektif nyeri (misalnya stres,


takut, sifat-sifat otonom). Kelompok 16 menggambarkan dimensi

evaluasi dan kelompok 17 sampai 20 untuk keterangan lain-lain

dan mencakup kata-kata spesifi k untuk kondisi tertentu. Penilaia

menggunakan angka diberikan untuk setiap kata sifat dan

kemudian dengan menjumlahkan semua angka berdasarkan pilihan

kata pasien maka akan diperoleh angka total (PRI(T)).

2. The Brief Pain Inventory (BPI)

Adalah kuesioner medis yang digunakan untuk menilai

nyeri. Awalnya digunakan untuk mengassess nyeri kanker, namun

sudah divalidasi juga untuk assessment nyeri kronik.

3. Memorial Pain Assessment Card

Merupakan instrumen yang cukup valid untuk evaluasi

efektivitas dan pengobatan nyeri kronis secara subjektif. Terdiri

atas 4 komponen penilaian tentang nyeri meliputi intensitas nyeri,

deskripsi nyeri, pengurangan nyeri dan mood.

D. Pengkajian Keperawatan Nyeri

Menurut (Ardiyan,2016), Upaya penurunan nyeri dada pada pasien

gagal jantung dapat diperoleh melalui pengkajian keperawatan pada suatu

masalah dengan memperhatikan tanda-tanda verbal dan nonverbal, secara

umum mencakup lima hal, yaitu

a. Mengajukan serangkaian pertanyaan menggunakan PQRST.

P = Provoking (pemicu), yaitu menjelaskan penyebab nyeri itu mucul

Q = Quality (kualitas), tingkat beratnya suatu serangan.

R = Region (daerah/lokasi), yaitu lokasi atau daerah nyeri.


S = Severity (keparahan), yaitu menjelaskan tingkat nyeri pasien

T= Time (waktu), yaitu jangka waktu serangan dan frekuensi

nyeri.(Yudiyanta,2015 dalam Ardiyan,2016)

b. Memberikan posisi semi fowler

Posisi semi fowler adalah posisi setengah duduk dimana bagian

kepala ditempat tidur lebih tinggi dari posisi badan karena manfaat

posisi ini sangat efektif untuk memberikan posisi yang nyaman.Posisi

ini efektif untuk pasien dengan penyakit kardiopulmonal dimana bagian

kepala dan tubuh dnaikan dengan derajat kemiringan 45 derajat, yaitu

dengan menggunakan gaya gravitasi untuk membantu pengembangan

paru dan mengurangi tekanan dari abdomen ke diafgrama. Posisi semi

fowler membuat oksigen di dalam pasru-paru semakin meningkat

sehingga mempermudah dalam pernafasan. Hal tersebut dipengaruhi

oleh gaya gravitasi sehingga pengiriman oksigen menjadi optimal yang

berdampak nyeri akan berkurang dan akhirnya proses perbaikan kondisi

pasien akan lebih cepat.(Febraska,2014 dalam Ardiyan,2016).

c. Kolaborasi dengan dokter untuk mengatasi nyeri dengan memberikan

obat antibiotic supaya nyeri yang di rasakan klien berkurang.


BAB III

PENGKAJIAN KEPERAWATAN

A. Identitas

Nama : Tn. Z

Umur : 65 tahun

Jenis kelamin : Laki-Laki

Pendidikan : SMU

Pekerjaan : Petani

Alamat : Bandar Panjang Muaro Sipongi Mandailing Natal

Sumatera Utara

Diagnose : STEMI akut anterior

B. Alasan Masuk

Klien datang ke IGD RSUP Dr. M Djamil Padang rujukan RSUD

Ahmad Mochtar Bukittinggi pada tanggal 12 Mei 2019 dengan keluhan

nyeri dada sebelah kiri.

C. Hasil yang diharapkan setelah interprestasi pre dan post pci

Pasien bernama Tn.Z yang berusia 55 tahun, agama yang dianut

pasien yaitu agama Islam dengan diagnosa medis stemi akut anterior, dan

nama penanggung jawabnya adalah Ny. R bekerja sebagai IRT, pendidikan

terakhir SMA, agama yang dianut yaitu agama Islam. Keluhan utama yang

dirasakan pasien nyeri pada dada. Riwayat kesehatan sekarang pada tanggal

12 Mei 2019 sekitar jam 15.56 WIB, pasien merasa nyeri pada dada sebelah

kiri, dada terasa ampek, badan lemas, mudah lelah saat beraktifitas. saat
dikaji pasien mengeluh, dada terasa ampek, dan badan terasa lemas. keadaan

umum sedang. Hasil pemeriksaan vital sign TD: 116/77 mmHg, N: 65x/m,

RR 22x/m, S: 36,2°c.

P : Nyeri timbul saat melakukan aktivitas

Q : Nyeri seperti ditusuk-tusuk

R : Nyeri dibagian dada sebelah kiri

S : Skala nyeri 6-7

T : Nyeri hilang timbul


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Anamnesa adalah pola komunikasi yang dilakukan untuk tujuan

spesifik dan difokuskan pada area dengan isi yang spesifik. Anamnesa

juga diartikan sebagai mekanisme dimana klien juga bisa mendapatkan

informasi. Suatu anamnesa dapat terfokus, seperti dalam kasus klien

masuk ruang kedaruratan, atau wawancara dapat bersifat komprehensif.

STEMI adalah suatu kasus kegawatdaruratan yang dapat mengarah ke

kondisi kritis, apabila tidak segara mendapatkan perawatan yang tepat

akan menyebabkan kematian. Masalah keperawatan yang muncul pada

pasien STEMI salah satunya adalah nyeri akut berhubungan dengan agen

injuri biologis. Asuhan keperawatan yang dapat dilakukan pada Tn. Z

dengan STEMI adalah kaji skala nyeri, kaji vital sign, memberikan posisi

semi fowler, ajarkan teknik relaksasi nafas dalam, dan ajarkan teknik

relaksasi progresif, terbukti mampu menurunkan skala nyeri dari 7 menjadi

5.

B. Saran

Adapun saran yang dapat penulis sampaikan melalui makalah ini dapat

dijabarkan sebagai berikut :

1. Kepada tenaga kesehatan khususnya yang memiliki ijin untuk

menganamnesa pasien hendaknya memiliki sikap yang ramah dan


mudah akrab, sehingga pasien tidak merasa canggung dan

mengutarakan semua keluhannya dengan nyaman.

2. Kepada masyarakat umum hendaknya tidak perlu takut dan canggung

dalam menanggapi pertanyaan dari dokter maupun perawat. Jawaban

dari pasien lah yang nantinya akan sangat membantu dokter dalam

mendiagnosa suatu penyakit.


DAFTAR PUSTAKA

Jonathan, Gleadle, (2007), Anamnesis Dan Pemeriksaan Fisik, Jakarta : Erlangga.

Mandriwati, G.A, (2007), Penuntun Belajar Asuhan Keperawatan Ibu Hamil,

Jakarta : EGC.)

Matondang, Corry S., Wahidiyat, Iskandar, dkk, (2009), Diagnosis Fisis Pada

Anak, Edisi 2, Jakarta : CV Sagung Seto.

Potter, Patricia A. dan Perry, Anne Griffin, (2005), Buku Ajar Fundamental

Keperawatan,Edisi 4, Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Varney Helen, Kriebs, Jan M., dkk, (2007), Buku Ajar Asuhan Keperawatan,

Edisi 4, Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai