Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PERTAMBAHAN NILAI
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
i
2.5.2. Objek Pajak Pertambahan Nilai ............................................................... 11
2.7.3. Penyerahan Barang Kena Pajak yang dibebaskan dari Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai .................................................................................... 21
2.7.4. Penyerahan Jasa Kena Pajak yang dibebaskan dari Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai .................................................................................... 22
2.8.4. Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak yang Rusak atau Cacat atau Salah
dalam Pengisian atau Salah dalam Penulisan ....................................... 26
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Pajak pertambahan nilai (PPN) atau biasa disebut Value Added Tax (VAT)
merupakan bentuk pemajakan yang utama di Eropa. Teknik pemajakan atas PPN
didasarkan pada metode pengkreditan pajak, dimana bentuk awalnya merupakan
pemajakan atas penjualan yang merupakan pemajakan atas konsumsi. Evolusi
consumption taxes yang terjadi di Perancis dari tahun 1917 s.d. tahun 1920 dengan
pemberlakuan Bea Materai kepada konsumen yang kemudian berkembang antara
tahun 1920 s.d. tahun 1936 dengan pemberlakuan Pajak Penjualan yang
diberlakukan secara umum dengan tarif pajak antara 0,5% hingga 10% dengan
subjek pajak terdiri dari personal tax payer (orang pribadi) dan corporate tax payer
(badan).
Dalam kurun waktu tersebut diberlakukan tarif khusus yang dikenakan satu
kali terhadap kegiatan produksi. Untuk menjamin netralitas pajak terhadap kegiatan
usaha, diterapkan destination principle (ekspor dibebankan pengenaan pajak
penjualan, sedangkan impor tetap dikenakan pajak penjualan). Antara tahun 1936
s.d. tahun 1939 pemberlakuan pajak umum atas semua komoditi dikenakan satu kali
pada tingkat produksi dengan tarif awal sebesar 6%. Pada masa ini juga diterapkan
destination principle. Antara tahun 1939 s.d. tahun 1948 diterapkan pajak umum
atas transaksi turunan dari tipikal pajak penjualan pada tahun 1920. Akibat sistem
perpajakan yang kompleks terhadap penjualan, pada tahun 1948 s.d. tahun 1954
Perancis mereformasi sistem perpajakan atas penjualan tersebut yang salah satu
hasilnya adalah Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax) disamping penerapan
pajak penjualan atas subjek atau objek pajak tertentu.
1
2
perpajakan berdasarkan Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax) sebagai teknik
pemajakan atas penjualan karena PPN merupakan bagian dari consumption tax
hanya pemajakannya berbeda dengan pajak penjualan (sales tax) karena adanya tax
invoice system.
PEMBAHASAN
4
5
P = Profit
D = Depreciation
Kelemahan-kelemahan dalam menggunakan GNP type ini adalah:
1. Tidak memberikan level playing field yang fair, karena tidak netral atai
mendistorsi terhadap pilihan pengusaha, apakah akan menggunakan padat
karya atau padat modal.
2. Menghambat modernisasi, dalam artian menjadi penghalang bagi pengusaha
untuk mengganti kegiatan produksinya dengan mesin-mesin yang
berteknologi lebih modern. Hal ini disebabkan karena PPN atas pembelian
mesin-mesin tersebut tidak dapat dokreditkan (ataupun disusutkan) sehingga
PPN yang sudah dibayar pada saat membeli barang modal akan menjadi unsur
biaya (cost). Hal ini berarti akan meninggikan harga pokok produksi,
sehingga harga jual akan semakin tinggi.
Sales 2000
Deductible
Purchase 1000
Tax Bases 1000
VAT (10%X1.000) 100
Gambar 2.1 Perhitungan VAT dengan Menggunakan substractive direct method.
9
Sales A
Output Tax 10% x a
Purchases B
Input Tax 10% x b
VAT Output - VAT
VAT Liabiities Input
Gambar 2.2 Format Perhitungan VAT dengan menggunakan Substractive Indirect
Method
Misalnya dari data Pulp Factory diketahui bahwa penjualan adalah sebesar
2.000 dan pembeliannya sebesar 1.000 maka perhitungan VAT yang terutang adalah
sebagai berikut:
10
Sales 2.000
Output Tax 10% x 2.000 = 200
Purchases 1.000
Input Tax 10% x 1.000 = 100
VAT Liabiities 200 - 100 = 100
Gambar 2.3 Perhitungan VAT dengan Menggunakan Substractive Indirect
Method.
Pada dasarnya semua barang dan jasa adalah objek PPN. Tetapi oleh karena
adanya pertimbangan ekonomi, sosial dan budaya, maka diatur sendiri oleh
Undang-undang PPN bahwa ada barang dan jasa tertentu yang tidak dipungut serta
dikecualikan dari pengenaan PPN dan dibebaskan dari pungutan PPN.
3. Pasal 16 D
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak
berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh
Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya
tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan
huruf c.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan No. 70/PMK.03/2010, Jasa Kena Pajak
yang atas ekspornya dikenai PPN diantarannya adalah:
1. Jasa Maklon
Jasa maklon diantaranya adalah:
a. Jasa yang pemesanannya berada di luar daerah pabean dan tidak memiliki
BUT di Indonesia.
b. Spesifikasi dan bahan disediakan pemesan.
c. Bahan meliputi bahan baku, barang setengah jadi, dan bahan penolong
yang akan diproses menjadi BKP yang dihasilkan.
d. Kepemilikan BKP berada pada pemesan.
e. Pengusaha jasa maklon mengirimkan produknya berdasarkan permintaan
pemesan.
2. Jasa Lainnya
a. Jasa yang melekat atau jasa untuk barang bergerak yang dimanfaatkan di
luar daerah pabean yaitu jasa perbaikan dan perawatan.
b. Jasa yang melekat atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak di
luar daerah pabean yaitu jasa konstruksi meliputi konsultasi, pelaksanaan
konstruksi, dan pengawasan konstruksi.
Selain mengatur mengenai apa saja yang menjadi objek PPN, Undang-
Undang PPN juga mengatur mengenai apa saja Barang tidak kena Pajak (non BKP)
dan Jasa tidak kena pajak (non JKP).
14
4. Pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak.
Pemakaian sendiri diartikan sebagai pemakaian untuk kepentingan pengusaha
sendiri, pengurus, atau karyawannya. Sedangkan pemberian cuma-cuma diartikan
sebagai pemberian yang diberikan tanpa pembayaran, antara lain pemberian contoh
barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.
5. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan atau aktiva yang menurut tujuan
semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan.
Persediaan Barang Kena Pajak dan asset yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan
disamakan dengan pemakaian sendiri sehingga dianggap sebagai penyerahan
Barang Kena Pajak. Khusus untuk asset yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, hanya dikenakan PPN apabila memenuhi persyaratan, yaitu
bahwa PPN yang dibayar pada saat perolehanya dapat dikreditkan.
6. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan atau
penyerahan Barang Kena Pajak antarcabang.
Apabila suatu perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang,
yaitu tempat melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pihak lain, baik
sebagai pusat maupun sebagai cabang perusahaan, maka undang-undang ini
menganggap bahwa pemindahan Barang Kena Pajak antartempat tersebut
merupakan penyerahan Barang Kena Pajak. Yang dimaksud dengan cabang dalam
ketentuan ini termasuk antara lain lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran, dan
sejenisnya.
7. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi.
Dalam hal penyerahan secara konsinyasi, PPN yang sudah dibayar pada
waktu Barang Kena Pajak bersangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat
dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak terjadinya penyerahan Barang
Kena Pajak yang dititipkan tersebut.
Sebaliknya jika Barang Kena Pajak titipan tersebut tidak laku dijual dan
diputuskan untuk dikembalikan kepada pemilik Barang Kena Pajak pengusaha yang
menerima titipan tersebut dapat menggunakan ketentuan mengenai pengembalian
19
Barang Kena Pajak (retur) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A tentang PPN dan
PPn BM. Perlu diketahui bahwa penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi
oleh pengusaha kecil sesuai dengan ketentuan Undang-undang PPN, tidak
dikenakan pajak Pertambahan Nilai.
8. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka
perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah yang
penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak
yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
Sedangkan yang tidak termasuk dalam penyerahan Barang kena Pajak adalah:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud
dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
2. Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang.
3. Penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan
penyerahan Barang Kena Pajak antarcabang, dalam hal Pengusaha Kena
Pajak tersebut telah memperoleh izin pemusatan tempat pajak terutang
4. Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak
yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah
Pengusaha Kena Pajak.
5. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan
yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan.
secara cuma-cuma oleh Pengusaha Kena Pajak. Berikut ini akan diuraikan
mengenai pengenaan PPN atas beberapa jasa
1. Jasa Kustodian
Jasa kustodian merupakan jasa yang dilakukan oleh bank yang dapat berupa
jasa penitipan, jasa settlement, jasa aksi korporasi (corporate actions), dan jasa
registrasi. Jasa kustodian yang berupa jasa penitipan adalah jasa yang terutang PPN.
Sedangkan jasa kustodian yang berupa jasa settlement, jasa corporate actions, dan
jasa registrasi merupakan jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN.
2. Jasa Consumer Credit, Credit Card, dan Debit Card
Berdasarkan Surat Edaran No. 34/PJ.53/1995 Tanggal 1 Agustus 1995,
jasa consumer credit, credit card, dan debit card merupakan jenis jasa yang tidak
dikenakan PPN, sehingga atas penyerahannya tiak terutang PPN. Atas penyerahan
Barang Kena Pajak atau JKP yang harganya dilunasi dengan menggunakan
fasilitas consumer credit atau credit card atau debit card, tetap terutang PPN dan
atau PPnBM sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3. Jasa Penagihan Listrik dan Telepon oleh Bank
Berdasarkan Surat Edaran No. SE. 63/PJ.53/1995 Tanggal 29 Desember
1995, jasa penagihan rekening listrik dan telepon yang dilakukan oleh bank
merupakan jasa yang tidak dikenakan PPN. Dengan demikian atas penyerahan jasa
penagihan listrik dan telepon tersebut tidak terutang PPN.
4. Jasa Angkutan dan Jasa Ekspedisi Muatan
Surat Direktur Jenderal Pajak No. S-426/PJ.53/1996 Tanggal 13 Februari
1996 menyatakan bahwa jasa angkutan umum di darat, laut, udara, maupun sungai
yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta, dan jasa angkutan udara luar
negeri, termasuk di dalamnya jasa angkutan dalam negeri yang menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan umum di laut, danau, sungai adalah
dikategorikan sebagai Jasa Kena Pajak, sehingga penyerahannya terutang PPN.
Sebagai contoh, jasa Ekspedisi Muatan Kapal laut dan Udara (EMKL dan EMKU)
adalah Jasa Kena Pajak sehingga penyerahannya terutang PPN.
21
2.7.3. Penyerahan Barang Kena Pajak yang dibebaskan dari Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai (BKP Tertentu)
1. Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat udara
di udara, kendaraan lapis baja, kendaraan angkutan khusus lainnya, dan
komponen atau bahan yang diperlukan dalam pembuatan senjata dan amunisi
oleh PT. PINDAD, untuk keperluan TNI dan POLRI
2. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional
(PIN)
3. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama
4. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkapan ikan, kapal
tongkang dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat
keselamatan manusia yang digunakan untuk kegiatan usaha Perusahaan
Pelayaran Niaga Nasional atau perusahaan penangkapan ikan nasional
5. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat
keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang
digunakan untuk kegiatan usaha Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional
6. Kereta api dan suku cadang serta serta peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan serta prasarana yang digunakan untuk kegiatan usaha PT Kereta
Api Indonesia;
7. Peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan photo udara
wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia
(TNI) untuk mendukung pertahanan nasional
8. Rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana, pondok
boro, asrama mahasiswa dan pelajar serta perumahan lainnya yang
batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar
pertimbangan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah.
22
2.7.4. Penyerahan Jasa Kena Pajak yang dibebaskan dari Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai (JKP Tertentu)
1. Jasa yang menerima oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau
perusahaan penangkapan ikan nasional yang meliputi:
a. Jasa persewaan kapal
b. Jasa kepelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa
labuh
c. Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal
2. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang
meliputi:
a. Jasa persewaan pesawat udara
b. Jasa perawatan atau reparasi pesawat udara
3. Jasa perawatan atau reparasi kerata api yang diterima oleh PT Kereta Api
Indonesia
4. Jasa yang diserahkan oleh kontraktor untuk pemborongan bangunan
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf h dan pembangunan tempat yang
semanta-mata untuk keperluan ibadah
5. Jasa persewaan rumah susun sederhana, rumah sederhana, dan rumah sangat
sederhana
6. Jasa yang diserahkan oleh Tentara Nasional Indonesia dalam rangka
tersedianya data batas dan photo udara wilayah Negara Republik Indonesia
a. TNI atau POLRI yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak
Tertentu berupa senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di
bawah air, alat angkutan di udara, kendaraan lapis baja, kendaraan
angkutan khusus lainnya, untuk keperluan TNI dan POLRI, wajib
mempunyai Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai yang
dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
b. PT. PINDAD yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu
berupa komponen atau bahan yang di perlukan dalam pembuatan senjata
dan amunisi untuk keperluan TNI dan POLRI, wajib mempunyai Surat
23
3. Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan
harga.
4. PPN yang dipungut.
5. PPnBM yang dipungut.
6. Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan faktur pajak.
7. Nama dan tandatangan yang berhak menandatangani faktur pajak.
2.8.4. Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak yang Rusak atau Cacat atau Salah
dalam Pengisian atau Salah dalam Penulisan
Tata cara pembetulan faktur pajak yang rusak atau cacat atau salah dalam
pengisian atau salah dalam penulisan adalah sebagai berikut:
1. Atas permintaan PKP pembeli BKP atau penerima JKP atau atas kemauan
sendiri. PKP penjual atau pemberi JKP membuat faktur pajak pengganti
terhadap faktur pajak ynag rusak, cacat, salah dalam pengisian, atau salah
dalam penulisan.
2. Pembetulan faktur pajak tidak boleh dicoret atau dihapus melainkan membuat
faktur pajak pengganti.
3. Pembuatan faktur pajak pengganti dengan cara membuat faktur pajak lagi,
diisi yang sebenarnya.
4. Nomor urut faktur pajak pengganti diisi nomor baru dan tanggal pembuatan
juga tanggal baru.
5. Pada faktur pajak pengganti dibubuhi cap:
27
3. Kedua lembar fotocopy faktur pajak tersebut beserta aslinya dibawa ke KPP
untuk dilegalisasi.
4. Setelah dilegalisasi, satu lembar diserahkan kembali kepada PKP untuk
diserahkan kepada PKP yang mengajukan permohonan untuk meminta copy,
satu lembar lainnya disimpan oleh KPP pemberi legalisasi.
Contoh pajak masukan, pada saat memperoleh BKP dari penjual PKP A,
maka transaksi tersebut dibuat faktur pajak standar, besar pajak masukan adalah
10% dikali harga beli. Pajak masukan sebelumnya menganut cash basis diubah
menjadi accrual basis. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan perlakuan yang
sama terhadap PKP Penjual dan PKP Pembeli.
Pajak masukan yang wajib dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak dapat
dikreditkan dengan pajak keluaran yang dipungutnya dalam masa pajak yang sama.
Pajak masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan denga Pajak
Keluaran pada masa pajak yang sama, dapat dikreditkan pada masa pajak
berikutnya paling lama 3 bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan
sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
Apabila dalam suatu masa pajak, pajak keluaran lebih besar daripada pajak
masukan yang dapat dikreditkan, maka selisihnya merupakan PPN yang harus
disetorkan oleh PKP ke kas negara paling lama akhir bulan berikutnya setelah masa
pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa PPN disampaikan.
Sedangkan apabila dalam suatu masa pajak, pajak masukan yang dapat dikreditkan
lebih besar daripada pajak keluarannya, maka selisihnya merupakan kelebihan
pajak yang dapat dimintakan kembali (restitusi) atau dikompensasikan pada masa
pajak berikutnya.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan atas
konsumsi barang dan jasa di dalam daerah pabean atau wilayah Republik
Indonesia yang di dalamnya berlaku perundang-undangan pabean.
2. Terdapat sepuluh karakteristik Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yaitu:
a. Pajak tidak langsung (indirect tax).
b. Pajak objektif.
c. Pajak atas beraneka tahapan (multi stage tax).
d. Nonkumulatif atau tidak menyebabkan pajak ganda.
e. Menganut tarif tunggal (single rate).
f. Menggunakan indirect substraction method dalam penghitungan PPN
terutang.
g. Pajak atas konsumsi dalam negeri.
h. PPN yang diterapkan adalah tipe konsumsi (consumption type VAT).
i. Keuntungan (advantage) penggunaan PPN:
• Mencegah terjadinya pajak ganda.
• Netral dalam perdagangan dalam dan luar negri
• PPN atas perolehan barang modal dapat diperoleh kembali pda
bulan perolehan dan dengan demikian akan sangat membantu
likuiditas perusahaan (hanya dalam invoive method)
• Dari sudut pandang pendapatan negara PPN dianggap sebagai
money marker karena konsumsi akhir yang merupakan pemikul
beban pajak tidak merasa terbebani akibat PPN tersebut disatukan
dengan harga jual dan juga segera bisa terpungut.
29
30
8. Faktur pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP yang
melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP. PKP yang melakukan
penyerahan BKP wajib memungut PPN dari konsumennya seperti yang diatur
dalam Pasal 3A UU Nomor 42 Tahun 2009 Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai (UU PPN).
9. Kredit pajak PPN atau lebih sering disebut Pajak Masukan adalah Pajak
Pertambahan Nilai yang seharusnya dibayar oleh PKP karena perolehan BKP
dan/atau perolehan JKP dan/atau pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar
daerah pabean dan/atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean dan/atau
Impor BKP.
DAFTAR PUSTAKA
33