Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEBIDANAN KOLABORASI


PERSALINAN PATOLOGIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Target Praktik Semester II


Stage Kolaborasi Program Studi Profesi Bidan

Disusun Oleh :
INDAH SILVIA
P1337424818016

PRODI PROFESI BIDAN JURUSAN KEBIDANAN SEMARANG


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
TAHUN 2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayah-
Nya kami dapat menyelesaikan laporan Praktik Klinik Kebidanan.
Dalam penulisan makalah ini kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian laporan ini :
1. Ibu Sri Rahayu, SKp.Ns, S.Tr.Keb, M.Kes selaku Kepala Jurusan Poltekkes
Kemenkes Semarang.
2. Ibu Ida Ariyani, S.SiT, M.Kes selaku Kepala Program Studi Profesi Poltekkes
Kemenkes Semarang.
3. Ibu Intan Nugraheni H, SSiT, M.Kes selaku Pembimbing Institusi stage
kolaborasi yang senantiasa membimbing penulis dengan baik dan sabar.
4. Ibu Ambarwati, S.S.T selaku Pembimbing Lahan Praktik yang telah
memberikan bimbingan kepada penulis selama praktik dilahan.
5. Orang tua yang telah memberikan kasih sayang dan dukungan sehingga
terselesaikan laporan ini.
6. Dan semua pihak yang terlibat dalam menyelesaikan laporan ini.
Kami menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna, oleh karena itu kami
meminta kritik dan saran dari pembaca. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.

Penulis

2
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan pendahuluan yang berjudul “Asuhan Kebidanan Pada Ibu Bersalin


Patologis Pada Ny. A usia 33 Tahun G2P1A0 Usia Hamil 39 Minggu Janin
Tunggal Hidup Intrauterin Letak Membujur Puka Preskep U PAP dengan
Partus Lama di Puskesmas Bangetayu” telah disetujui dan disahkan pada:
Hari :
Tanggal :

Semarang, Mei 2019

Pembimbing Lahan Praktikan

Ambarwati, S.S.T Indah Silvia


NIP. 19750209 200212 2 006 NIM. P1337424818016

Mengetahui
Pembimbing Institusi

Intan Nugraheni H, S.SiT, M.Kes


NIP. 19840424 201012 2 003

3
TINJAUAN TEORI

A. Tinjauan Teori Medis


1. Pengertian Ketuban Pecah Dini (KPD)
Ketuban Pecah Dini adalah pecahnya ketuban sebelum waktu melahirkan
yang terjadi pada saat akhir kehamilan maupun jauh sebelumnya (Nugroho,
2011). Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda-
tanda persalinan mulai dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian
ketuban pecah dini terjadi pada kehamilan aterm lebih dari 37 minggu
sedangkan kurang dari 36 minggu tidak terlalu banyak didefinisikan sesuai
dengan jumlah jam dari waktu pecah ketuban sampai awitan persalinan yaitu
interval periode laten yang dapat terjadi kapan saja dari 1-12 jam atau lebih.
Insiden KPD banyak terjadi pada wanita dengan serviks inkompenten,
polihidramnion, malpresentasi janin, kehamilan kembar, atau infeksi vagina.
Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa Ketuban Pecah
Dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda tanda persalinan
(Manuaba, Manuaba and Manuaba, 2010).
2. Etiologi Ketuban Pecah Dini
Penyebab Ketuban Pecah Dini masih belum diketahui dan tidak dapat
ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan faktor-faktor yang
berhubungan erat dengan Ketuban Pecah Dini, namun faktor-faktor yang lebih
berperan sulit diketahui (Fadlun, 2011).
Adapun beberapa etiologi dari penyebab kejadian ketuban pecah dini menurut
beberapa ahli yaitu:
a. Serviks Inkompeten (leher rahim)
Presentasi kecil pada wanita dengan kehamilan yang jauh dari aterm,
serviks yang inkompeten dapat menipis dan berdilatasi bukan sebagai
akibat dari peningkatan aktifitas uterus melainkan akibat dari kelemahan
intrinsik uterus sehingga menyebabkan ketuban pecah (Fadlun, 2011).
Keadaan ini ditandai oleh dilatasi servik tanpa rasa nyeri dalam trimester
kedua atau awal trimester ketiga kehamilan yang disertai prolapsus
membran amnion lewat serviks dan penonjolan membrane tersebut ke
dalam vagina, peristiwa ini diikuti oleh pecahnya ketuban dan selanjutnya
ekspulsi janin imatur sehingga kemungkinan janin akan meninggal. Tanpa
tindakan yang efektif rangkaian peristiwa yang sama cenderung berulang

4
dengan sendirinya dalam setiap kehamilan. Meskipun penyebabnya masih
meragukan namun trauma sebelumnya pada serviks, khususnya pada
tindakan dilatasi, kateterisasi dan kuretasi (Krisnadi, 2009). Hasil
penelitian yang dilakukan Utomo (2013) menunjukkan bahwa responden
yang mengalami kejadian ketuban pecah dini yaitu responden dengan usia
resiko rendah yaitu 20 sampai 35 tahun, riwayat persalinan responden
sebelumnya sebagian besar mengalami aborsi, curretage, dan vacum
ekstraksi serta responden dengan multipara dan grandemultipara sebagian
besar mengalami kejadian ketuban pecah dini pada kehamilan sebelumnya
di RS PKU Muhammadiyah Surakarta (Utomo, 2013).
b. Ketegangan Rahim Berlebihan
Ketegangan rahim berlebihan terjadi pada kehamilan kembar
dan hidramnion. Etiologi hidramnion belum jelas, tetapi diketahui bahwa
hidramnion terjadi produksi air ketuban bertambah, bila pengaliran air
ketuban terganggu atau kedua-duanya. Dicurigai air ketuban dibentuk dari
sel-sel amnion. Di samping itu ditambah oleh air seni janin dan cairan otak
pada anensefalus. Air ketuban yang dibentuk, secara rutin dikeluarkan dan
diganti dengan yang baru. Salah satu cara pengeluaran ialah ditelan oleh
janin, diabsorpsi oleh usus kemudian dialirkan ke plasenta untuk akhirnya
masuk peredaran darah ibu (Sujiyantini, 2009). Ekskresi air ketuban akan
terganggu bila janin tidak bisa menelan seperti pada atresia esophagus
atau tumor-tumor plasenta. Hidramnion dapat memungkinkan ketegangan
rahim meningkat, sehingga membuat selaput ketuban pecah sebelum
waktunya (Manuaba, Manuaba and Manuaba, 2010).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2014)
mengemukakan bahwa kehamilan ganda dapat menyebabkan tekanan
uterus meningkat, sehingga membuat selaput ketuban pecah sebelum
waktunya. Melemahnya selaput ketuban ada hubungannya dengan
pembesaran uterus, kontraksi rahim dan gerakan janin (Amalia, 2014).
c. Kelainan Letak Janin Dalam Rahim
Kelainan letak janin dalam rahim terjadipada letak sungsang dan letak
lintang. Letak janin dalam uterus bergantung pada proses adaptasi janin
terhadap ruangan dalam uterus. Pada kehamilan <32 minggu, jumlah air
ketuban relatif lebih banyak sehingga memungkinkan janin bergerak
dengan bebas dan demikian janin dapat menempatkan diri dalam letak

5
sungsang atau letak lintang (Fadlun, 2011). Pada kehamilan trimester
akhir janin tumbuh dengan cepat dan jumlah air ketuban relatif berkurang.
Karena bokong dengan kedua tungkai yang terlipat lebih besar daripada
kepala maka bokong dipaksa untuk menempati ruang yang lebih luas di
fundus uteri, sedangkan kepala berada dalam ruangan yang lebih kecil di
segmen bawah uterus. Letak sungsang dapat memungkinkan ketegangan
rahim meningkat, sehingga membuat selaput ketuban pecah sebelum
waktunya (Manuaba, Manuaba and Manuaba, 2010).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Amalia (2014)
mengemukakan bahwa malpreesntasi janin atau kelainan letak janin dapat
membuat ketuban bagian terendah langsung menetima tekanan intrauteri
yang dominan seperti letak sungsang atau bokong (Amalia, 2014).
d. Kelainan Bawaan dari Selaput Ketuban
Pecahnya ketuban dapat terjadi akibat peregangan uterus yang
berlebihan atau terjadi peningkatan tekanan yang mendadak di dalam
kavum amnion, di samping juga ada kelainan selaput ketuban itu sendiri.
Hal ini terjadi seperti pada Sindroma Ehlers-Danlos, dimana terjadi
gangguan pada jaringan ikat oleh karena defek pada sintesa dan struktur
kolagen dengan gejala berupa hiperelastisitas pada kulit dan sendi,
termasuk pada selaput ketuban yang komponen utamanya adalah kolagen.
Presentase 72% penderita dengan sindroma Ehlers-Danlos ini akan
mengalami persalinan preterm setelah sebelumnya mengalami ketuban
pecah dini preterm (Fadlun, 2011).
Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kusuma
(2011) bahwa kelainan jaringan ikat berhubungan dengan melemahnya
selaput membran ketuban dan peningkatan angka kejadian dari ketuban
pecah dini prematur, misalnya pada kasus Sindroma Ehlers-Danlos
dimana didapatkan adanya kelainan kongenital jaringan ikat yang
menyebabkan kelainan dalam sintesa kolagen (Kusuma, 2011).
e. Infeksi
Infeksi yang menyebabkan terjadi proses biomekanik pada selaput
ketuban dalam bentuk proteolitik sehingga memudahkan ketuban pecah.
Adanya infeksi pada selaput ketuban (korioamnionitis lokal) sudah cukup
untuk melemahkan selaput ketuban di tempat tersebut. Bila terdapat
bakteri patogen di dalam vagina maka frekuensi amnionitis, endometritis,

6
infeksi neonatal akan meningkat 10 kali (Fadlun, 2011). Ketuban pecah
dini sebelum kehamilan preterm sering diakibatkan oleh adanya infeksi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bakteri yang terikat pada
membran melepaskan substrat seperti protease yang menyebabkan
melemahnya membran. Penelitian terakhir menyebutkan bahwa matriks
metaloproteinase merupakan enzim spesifik yang terlibat dalam pecahnya
ketuban oleh karena infeksi (Manuaba, Manuaba and Manuaba, 2010).
Hasil penelitian yang dilakukan Sudarto dan Tunut (2016) menunjukkan
bahwa penyakit IMS mempunyai hubungan yang bermakna dengan
kejadian KPD. Proporsi KPD lebih besar ditemukan pada kelompok kasus
dengan IMS dibanding kelompok kontrol. Ibu hamil yang IMS cenderung
mengalami risiko KPD lebih besar pada saat proses persalinan, Jika dilihat
dari aspek risiko IMS berpeluang meningkatkan kejadian KPD sebesar
4,06 kali dibandingkan kelompok ibu hamil yang tidak IMS proses infeksi
dan peradangan dimulai diruangan yang berada diantara amnion dan
korion yang dapat terjadi sebelum kehamilan dikarenakan infeksi vagina
atau serviks yang akan menyebar secara hematogen. Penyakit Menular
Seksual (PMS). IMS adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus,
parasit, atau jamur, yang penularannya terutama melalui hubungan seksual
dari seseorang yang terinfeksi kepada mitra seksualnya (Sudarto and
Tunut, 2016).
3. Patofisiologi
a. Anatomi dan Fisiologi Selaput Ketuban
Selaput ketuban ( amnion sac ) yang membatasi rongga amnion terdiri
atas amnion dan chorion yang sangat erat ikatannya. Selaput ketuban
merupakan jaringan avaskuler yang lentur tapi kuat. Struktur avaskuler ini
memiliki peran penting dalam kehamilan pada manusia. Pada banyak kasus
obstetri pecahnya selaput ketuban secara dini pada kehamilan yang masih
muda merupakan penyebab tersering kelahiran preterm (Saifuddin, 2010).
Bagian dalam selaput berhubungan dengan berhubungan dengan
cairan amnion yang merupakan jaringan sel epitel kuboid yang berasal dari
ectoderm embrionik. Epitel ini melekat erat ke sebuah membrane basal
yang berhubungan dengan lapisan interstisial mengandung kolagen I, III
dan V. Bagian luar dari selaput ialah jaringan mesenkim yang berasal dari
mesoderm. Lapisan amnion ini berhubungan dengan korion leave. Lapisan

7
dalam amnion merupakan mikrovili yang berfungsi mentransfer cairan dan
metabolic. Lapisan ini menghasilkan zat penghambat metalloproteinase-1
(Cuningham et al., 2012).
Sel masenkim berfungsi menghasilkan kolagen sehingga selaput
menjadi lentur dan kuat. Di samping itu jaringan tersebut menghasilkan
sitokin IL-6, IL-8, MCP-1 (monosit chemoattractant protein-1); zat ini
bermanfaat untuk melawan bakteri. Di samping itu selaput amnion
menghasilkan zat vasoaktif : endotelin-1 (vasokonstriktor), dan PHRP
(parathyroid hormone related protein), suatu vasorelaksan. Dengan
demikian selaput amnion mengatur peredaran darah dan tonus pembuluh
lokal (Kusuma, 2011).
Masalah pada klinik adalah pecahnya ketuban berkaitan dengan
kekuatan selaput. Pada perokok dan infeksi terjadi pelemahan pada
ketahanan sehingga mudah pecah. Pada kehamilan normal hanya ada
sedikit makrofag. Pada saat kelahiran leukosit akan masuk ke dalam cairan
ketuban sebagai reaksi terhadap peradangan. Pada kehamilan normal tidak
ada IL-1B, tetapi pada persalinan preterm IL-1B akan ditemukan. Hal ini
berkaitan dengan terjadinya infeksi (Cuningham et al., 2012).
Sejak awal kehamilan cairan ketuban telah dibentuk. Cairan ketuban
merupakan pelindung dan bantalan untuk proteksi sekaligus menunjang
pertumbuhan. Osmolalitas, kadar natrium, ureum, kreatinin tidak berbeda
dengan kadar serum ibunya, artinya kadar di cairan ketuban merupakan
hasil difusi dari ibunya. Cairan ketuban mengandung banyak sel janin
(lanugo, verniks kaseosa). Fungsi cairan ketuban yang juga penting adalah
menghambat bakteri karena mengandung zat seperti fosfat dan seng
(Kusuma, 2011).

b. Patofisiologi

8
Faktor Lain Infeksi

Pembesaran
Uterus Aktifitas IL-1 dan
Prostaglandin
meningkat
Kontraksi Uterus
dan Peregangan
Berulang
Kolagenase
Jaringan
Gerakan Janin

Depolimerasi
MMP Tidak kolagen pada
Seimbang selaput
korion/amnion

Ketuban tipis,
lemah (rapuh),
mudah pecah
spontan

Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh


kontraksi uterus dan regangan berulang. Selaput ketuban pecah karena
pada daerah tertentu terjadi perubahan biokomia yang menyebabkan
selaput ketuban inferior rapuh bukan karena seluruh selaput ketuban rapuh
Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi matrik
ekstraseluler. Perubahan struktur, jumlah sel dan katabolisme kolagen
menyebabkan aktivitas kolagen dimediasi oleh matriks metalloproteinase
(MMP) yang dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik dan inhibitor
protase. Mendekati waktu persalinan, keseimbangan antara MMP dan
tissue inhibitor metalloproteinase-1 (TIMP-1) mengarah pada degradasi
proteolitik dari matrikseluler dan membrane janin. Aktivitas degradasi
proteolitik ini meningkat menjelang persalinan (Saifuddin, 2010).

9
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester 3
selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ketuban ada
hubungannya dengan pembesaran uterus, kontraksi rahim, serta gerakan
janin. Pada trimester terakhir terjadi perubahan biokimia pada selaput
ketuban sehingga pecahnya ketuban pada kehamilan atrem merupakan hal
fisiologis. Ketuban pecah dini pada kehamilan preterm disebabkan oleh
adanya faktor-faktor eksternal misalnya infeksi yang menjalar dari vagina.
Disamping itu ketuban pecah dini preterm juga sering trejadi pada
polihidramnion, inkompeten serviks, serta solusio plasenta (Saifuddin,
2010).
Banyak teori, mulai dari defek kromosom, kelainan kolagen, sampai
infeksi. Pada sebagian besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi
sampai 65% tremsuk diantaranya : high virulensi yaitu bacteroides, dan
low virulensi yaitu Lactobacillus (Saifuddin, 2010).
Kolagen terdapat pada lapisan kompakta ketuban, fibroblast, jaringan
retikuler korion dan trofoblas. Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen
dikontrol oleh system aktifitas dan inhibisi interleukin-1 (iL-1) dan
prostaglandin (Kusuma, 2013)
Jika ada infeksi dan inflamasi terjadi peningkatan aktifitas iL-1 dan
prostaglandin, menghasilkan kolagenase jaringan sehingga terjadi
depolimerasi kolagen pada selaput korion/amnion, menyebabkan ketuban
tipis, lemah dan mudah pecah spontan (Kusuma, 2013).
4. Faktor Resiko Yang Ditimbulkan
Ketuban pecah dini atau Spontaneous / Early / Premature Rupture Of
The Membrane (PROM) berpengaruh terhadap kehamilan dan persalinan.
Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan dari persalinan disebut Periode
Laten (LP = Lag Period). Makin muda umur kehamilan makin memanjang
LPnya. Sedangkan lamanya persalinan lebih pendek dari biasa, yaitu pada
primi 10 jam dan multi 6 jam. Pengaruh PROM menurut Taylor,dkk
(Mochtar, 2011):
1) Terhadap Janin
Walaupun ibu belum menunjukkan gejala – gejala infeksi tetapi janin
mungkin sudah terkena infeksi, karena infeksi intrauterine lebih dulu
terjadi (amnionitis, vaskulitis ) sebelum gejala pada ibu dirasakan. Hal ini

10
dapat menjadi penyebab kejadian IUFD, asfiksia dan prematuritas yang
akan meningkatkan terjadinya mortalitas dan morbiditas perinatal.
2) Terhadap Ibu
Karena jalan telah terbuka, maka dapat terjadi infeksi intrapartal, apalagi
bila terlalu sering diperiksa dalam. Selain itu juga dapat dijumpai infeksi
puerperalis (nifas), peritonitis dan septicemia serta dry-labor. Ibu akan
merasa lelah karena lama terbaring di tempat tidur, partus akan menjadi
lama, maka suhu badan naik, nadi cepat dan nampaklah gejala – gejala
infeksi. Hal ini merupakan penyebab terjadinya partus lama dan infeksi,
atonia uteri, perdarahan post partum atau infeksi nifas. Hal – hal itu akan
meninggikan angka kematian dan angka morbiditas pada ibu (Fortner,et
al, 2014).
Menurut Sarwono dalam Kusuma (2013) komplikasi atau faktor
resiko yang ditimbulkan oleh kejadian ketuban pecah dini antara lain :
a) Persalinan Prematur
b) Infeksi
c) Komplikasi Pada Ibu :
(1) Endometritis
(2) Penurunan aktifitas myometrium (distonia, atonia)
(3) Sepsis (daerah uterus dan intramnion memiliki vaskularisasi
sangat banyak)
(4) Syok septik sampai kematian ibu
(5) Antepartum : karioamnionitis 30-60% dan solution plasenta
(6) Intrapartum : trauma persalinan akibat induksi/operatif
(7) Kemungkinan retensio dari plasenta
(8) Postpartum : trauma tindakan operatif, infeksi masa nifas dan
perdarahan postpartum.
d) Komplikasi Pada Neonatus :
(1) Semakin muda usia kehamilan maka semakin rendah BB janin, maka
kompliksi akan semakin berat.
(2) Komplikasi akibat prematuritas : mudah infeksi, mudah terjadi
trauma akibat tindakan persalinan, mudah terjadi aspirasi air ketuban
dan menimbulkan asfiksia sampai kematian.
(3) Komplikasi post partum : penyakit RDS (respiratory distress
syndrome) /hialin membrans, hypoplasia paru dengan akibatnya,

11
tidak tahan dengan hipotermia, sering terjadinya hipoglikemia,
gangguan fungsi alat vital.
(4)Komplikasi akibat oligohidramnion : gangguan tumbuh kembang
yang menimbulkan deformitas, gangguan sirkulasi retroplasenter
yang menimbulkan asfiksia dan asidosis, retraksi otot uterus yang
menimbulkan solusio plasenta.
(5)Komplikasi akibat ketuban pecah : prolapse bagian janin terutama
talipusat dengan akibatnya, mudah terjadi infeksi intrauterine dan
neonatus (Manuaba, Manuaba and Manuaba, 2010).
5. Gejala Klinis Ketuban Pecah Dini
Menurut Manuaba (2010) diagnosis ketuban pecah dini didasarkan atas :
1) Riwayat pengeluaran cairan dalam jumlah besar mendadak atau sedikit
demi sedikit pervaginam.
2) Untuk menegakkan diagnosa dapat diambil pemeriksaa:
Inspekulo untuk pengmbilan cairan pada forniks posterior:
a) Pemeriksaan lakmus yang akan berubah menjadi biru (sifat basah)
b) Ferntest cairan amnion
c) Kemungkinan infeksi dengan memriksa beta-streptokokus, klamidia
trokomatis, neiseria gonnorea
3) Pemeriksaan USG untuk mencari
a) Amniotic fluid index (AFI)
b) Aktifitas janin
c) Pebgukuran berat badan janin
d) Detak jantung janin
e) Kelainan kongenital atau deformitas
4) Membuktikan kebenaran ketuban pecah dengan jalan:
a) Aspirasi air ketuban untuk dilakukan kultur cairan amnion,
pemeriksaan interleukin 6 dan alfa feto protein. Seluruhnya
digunakan unutuk membuktikan adanya infeksi intra uterin
b) Penyuntikan indigo karmin kedalam amnion serta melihat
dikeluarkannya pervaginal.
Menurut Sujiyatini dkk (2009) tanda yang terjadi pada KPD adalah
keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina. Menurut Kasdu
(2005) ketuban yang pecah ditandai dengan adanya air yang mengalir
dari vagina yang tidak bisa dibendung lagi. Jika kebocoran kulit ketuban

12
tidak disadari oleh ibu maka sedikit demi sedikit air ketuban akan habis
dan jika air ketuban habis maka dapat menimbulkan rasa sakit ketika
janin bergerak karena janin langsung berhubungan dengan uterus.
Untuk membedakan antara air ketuban dengan air seni dapat diketahiu
dari bentuk dan warnanya. Biasanya air seni berwarna kekuning-
kuningan dan bening sedangkan air ketuban keruh dan bercampur
dengan lanugo dan mengandung verniks kaseosa, bau air ketuban amis
dan berubah warna jika diperiksa dengan kertas lakmus (Huliani, 2006).
f. Penatalaksanaan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan KPD adalah
memastikan diagnosis, menentukan umur kehamilan, mengevaluasi ada
tidaknya infeksi maternal ataupun infeksi janin, serta apakah dalam keadaan
inpartu, atau terdapat kegawatan janin. Prinsip penanganan Ketuban Pecah
Dini adalah memperpanjang kehamilan sampai paru-paru janin matang atau
dicurigai adanya atau terdiagnosis khorio amnionitis.
1) KPD dengan kehamilan aterm
a) Diberikan antibiotika prafilaksis, Ampisilin 4 x 500 mg selama 7 hari
b) Dilakukan pemeriksaan "admision test" bila hasilnya patologis
dilakukan terminasi kehamilan 16
c) Observasi temperature rectal setiap 3 jam, bila ada kecenderungan
meningkat lebih atau sama dengan 37,6° C, segera dilakukan terminasi
d) Bila temperature rectal tidak meningkat, dilakukan observasi selama 12
jam. Setelah 12 jam bila belum ada tanda-tanda inpartu dilakukan
terminasi.
e) Batasi pemeriksaan dalam, dilakukan hanya berdasarkan indikasi
obstetrik
f) Bila dilakukan terminasi, lakukan evaluasi PelvicScore (PS) :
(1) Bila PS lebih atau sama dengan 5, dilakukan induksi dengan
oksitosin drip.
(2) Bila PS kurang dari 5, dilakukan pematangan servik dengan
misoprostol 50 µgr setiap 6 jam per oral maksimal 4 kali pemberian.

Tabel : PelvicScore(PS) menurut Bishop

13
Skor 0 1 2 3
Pembukaan
0 1-2 3-4 5-6
servik (cm)
Pendataran
0-30% 40-50% 60-70% 80%
serviks
Penurunan kepala
diukur dari
-3 -2 -1,0 +1,+2
bidang Hodge III
(cm)
Konsistensi
Keras Sedang Lunak
serviks
Kearah
Posisi serviks Kebelakang sumbu jalan Kearah depan
lahir

2) KPD dengan kehamilan pre-term


a) Penanganan di rawat di RS
b) Diberikanantibiotika : Ampicillin 4 x 500 mg selama 7 hari.
c) Untuk merangsang maturasi paru diberikan kortikosteroid (untuk UK
kurang dari 35 minggu) : Deksametason 5 mg setiap 6 jam. 17
d) Observasi di kamar bersalin :
a) Tirah baring selama 24 jam, selanjutnya dirawat di ruang obstetri.
b) Dilakukan observasi temperatur rektal tiap 3 jam, bila ada
kecenderungan terjadi peningkatan temperatur rektal lebih atau
sama dengan 37,6° C, segera dilakukan terminasi.
e) Di ruang Obstetri :
(1) Temperatur rectal diperiksa setiap 6 jam.
(2) Dikerjakan pemeriksaan laboratorium : leukosit dan laju endap darah
(LED) setiap 3 hari.
f) Tata cara perawatan konservatif :
(1) Dilakukan sampai janin viable
(2) Selama perawatan konservatif, tidak dianjurkan melakukan
pemeriksaan dalam
(3) Dalam observasi selama 1 minggu, dilakukan pemeriksaan USG
untuk menilai air ketuban:

14
(a) Bila air ketuban cukup, kehamilan diteruskan.
(b)Bila air ketuban kurang (oligohidramnion), dipertimbangkan
untuk terminasi kehamilan.
(4) Pada perawatan konservatif, pasien dipulangkan pada hari ke-7
dengan saran sebagai berikut :
(a) Tidak boleh koitus.
(b)Tidak boleh melakukan manipulasi vagina.
(c) Segera kembali ke RS bila ada keluar air ketuban lagi
(5) Bila masih keluar air, perawatan konservatif dipertimbangkan
dengan melihat pemeriksaan laboratorium. Bila terdapat leukositosis
atau peningkatan LED, lakukan terminasi.

3) Terminasi Kehamilan
a) Induksi persalinan dengan drip oksitosin.
b)Seksio sesaria bila prasyarat drip oksitosin tidak terpenuhi atau bila
drip oksitosin gagal.
c) Bila skor pelvik jelek, dilakukan pematangan dan induksi persalinan
dengan Misoprostol 50 μgr oral tiap 6 jam, maksimal 4 kali pemberian.
B. Tinjauan Sistem Kolaborasi dan Rujukan

15
1. Pelayanan Kolaborasi
Kolaborasi adalah hubungan saling berbagi tanggung jawab (kerjasama)
dengan rekan sejawat atau tenaga kesehatan lainnya dalam memberi asuhan
pada pasien. Dalam praktiknya, kolaborasi dilakukan dengan mendiskusikan
diagnosis pasien serta bekerjasama dalam penatalaksanaan dan pemberian
asuhan. Masing-masing tenaga kesehatan dapat saling berkonsultasi dengan
tatap muka langsung atau melalui alat komunikasi lainnya dan tidak perlu
hadir ketika tindakan dilakukan. Petugas kesehatan yang ditugaskan
menangani pasien bertanggung jawab terhadap keseluruhan penatalaksanaan
asuhan.
Pelayanan kebidanan kolaborasi adalah pelayanan yang dilakukan oleh
bidan sebagai anggota tim yang kegiatannya di lakukan secara bersamaan
atau sebagai salah satu urutan dari sebuah proses kegiatan pelayanan
kesehatan. Tujuan pelayanan ini adalah berbagi otoritas dalam pemberian
pelayanan berkualitas sesuai ruang lingkup masing-masing.
Elemen kolaborasi mencakup:
a. Harus melibatkan tenaga ahli dengan keahlian yang berbeda, yang dapat
bekerjasama secara timbal balik dengan baik.
b. Anggota kelompok harus bersikap tegas dan mau bekerjasama.
c. Kelompok harus memberi pelayanan yang keunikannya dihasilkan dari
kombinasi pandangan dan keahlian yang di berikan oleh setiap anggota
tim tersebut.
Pelayanan Kolaborasi /kerjasama terdiri dari:
a. Menerapkan manajemen kebidanan pada setiap asuhan kebidanan sesuai
fungsi kolaborasi dengan melibatkan klien dan keluarga.
b. Memberikan asuhan kebidanan pada ibu hamil resiko tinggi dan
pertolongan pertama pada kegawatan yang memerlukan tindakan
kolaborasi.
c. Memberikan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa persalinan dan
pertolongan pertama pada kegawatan yang memerlukan tindakan
kolaborasi.
d. Memberikan asuhan kebidanan pada ibu dalam masa nifas dan
pertolongan pertama pada kegawatan yang memerlukan tindakan
kolaborasi.

16
e. Memberikan asuhan kebidanan pada bayi baru lahir dan pertolongan
pertama pada kegawatan yang memerlukan tindakan kolaborasi.
f. Memberikan asuhan kebidanan pada balita resiko tinggi dan pertolongan
pertama pada kegawatan yang memerlukan tindakan kolaborasi
(Asrinah, 2013).
2. Kolaborasi Dalam Praktik Kebidanan
Dalam praktik pelayanan kebidanan, layanan kolaborasi adalah asuhan
kebidanan yang diberikan kepada klien dengan tanggung jawab bersama
semua pemberi pelayanan yang terlibat. Misalnya: bidan, dokter, dan atau
tenaga kesehatan profesional lainnya. Bidan merupakan anggota tim.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lisa Marniyati, Irsan Saleh,
Bambang dan Soebyakto pada tahun 2016 dengan judul “Pelayanan
Antenatal Berkualitas dalam Meningkatkan Deteksi Risiko Tinggi pada Ibu
Hamil oleh Tenaga Kesehatan di Puskesmas Sako, Sosial, Sei Baung dan Sei
Selincah di Kota Palembang” menyatakan bahwa pelayanan ANC
berkualitas ditunjang oleh pengetahuan tentang deteksi dini faktor risiko dan
standar pelayanan ANC, kemampuan, ketrampilan dan kepatuhan bidan
dalam melakukan ANC, sarana dan prasarana yang mendukung sehingga
dapat mendeteksi risiko tinggi pada ibu hamil (Marniyato, Saleh, Bambang
et.al, 2016).
Bidan meyakini bahwa dalam memberi asuhan harus tetap menjaga,
mendukung, dan menghargai proses fisiologis manusia. Intervensi dan
penggunaan teknologi dalam asuhan hanya atas indikasi. Rujukan yang
efektif dilakukan untuk menjamin kesejahteraan ibu dan bayinya. Bidan
adalah praktisi yang mandiri. Bidan bekerja sama mengembangkan
kemitraan dengan anggota dan kesehatan lainnya. Dalam melaksanakan
tugasnya, bidan melakukan kolaborasi, konsultasi, dan perujukan sesuai
dengan kondisi pasien, kewenangan, dan kemampuannya (Asrinah, 2013).
a. Pengertian Sistim Rujukan
Sistem rujukan adalah sistem yang dikelola secara strategis, proaktif,
pragmatif dan koordinatif untuk menjamin pemerataan pelayanan
kesehatan maternal dan neonatal yang paripurna dan komprehensif bagi
masyarakat yang membutuhkannya terutama ibu dan bayi baru lahir,
dimanapun mereka bearada dan berasal dari golongan ekonomi

17
manapun agar dapat dicapai peningkatan derajat kesehatan dan neonatal
di wilayah mereka berada (Depkes RI, 2006)
Rujukan Pelayanan Kebidanan adalah pelayanan yang dilakukan oleh
bidan dalam rangka rujukan ke sistem pelayanan yang lebih tinggi atau
sebaliknya yaitu pelayanan yang dilakukan oleh bidan sewaktu
menerima rujukan dari dukun yang menolong persalinan, juga layanan
yang dilakukan oleh bidan ke tempat atau fasilitas pelayanan kesehatan
atau fasilitas kesehatan lain secara horizontal maupun vertical.
Sistem rujukan upaya keselamatan adalah suatu sistem jaringan
fasilitas pelayanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya
penyerahan tanggung jawab secara timbal-balik atas masalah yang
timbul baik secara vertikal (komunikasi antara unit yang sederajat)
maupun horizontal (komunikasi inti yang lebih tinggi ke unit yang lebih
rendah) ke fasilitas pelayanan yang lebih kompeten, terjangkau, rasional
dan tidak dibatasi oleh wilayah administrasi.
b. Tujuan Sistim Rujukan
Tujuan umum sistem rujukan adalah untuk meningkatkan mutu,
cakupan dan efisiensi pelayanan kesehatan secara terpadu (Kebidanan
Komunitas). Tujuan umum rujukan untuk memberikan petunjuk kepada
petugas puskesmas tentang pelaksanaan rujukan medis dalam rangka
menurunkan IMR dan AMR.
Tujuan khusus sistem rujukan adalah:
1) Meningkatkan kemampuan puskesmas dan peningkatannya dalam
rangka menangani rujukan kasus “resiko tinggi” dan gawat darurat
yang terkait dengan kematian ibu maternal dan bayi.
2) Menyeragamkan dan menyederhanakan prosedur rujukan di
wilayah kerja puskesmas.
c. Jenis Rujukan
Menurut tata hubungannya, sistem rujukan terdiri dari :
1) Rujukan Internal
Yaitu rujukan horizontal yang terjadi antar unit pelayanan di dalam
institusi tersebut. Misalnya dari jejaring puskesmas (puskesmas
pembantu) ke puskesmas induk.

18
2) Rujukan Eksternal
Yaitu rujukan yang terjadi antar unit-unit dalam jenjang pelayanan
kesehatan, baik horizontal (dari puskesmas rawat jalan ke
puskesmas rawat inap) maupun vertikal (dari puskesmas ke rumah
sakit umum daerah).
Menurut lingkup pelayanannya, sistem rujukan terdiri dari:
1) Rujukan Medik
Yaitu rujukan pelayanan yang terutama meliputi upaya
penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif). Misalnya,
merujuk pasien puskesmas dengan penyakit kronis (jantung
koroner, hipertensi, diabetes mellitus) ke rumah sakit umum daerah.
Jenis rujukan medik:
a) Transfer of patient.
b) Konsultasi penderita untuk keperluan diagnostik, pengobatan,
tindakan operatif dan lain-lain.
c) Transfer of specimen.
d) Pengiriman bahan untuk pemeriksaan laboratorium yang lebih
lengkap.
e) Transfer of knowledge/personel.
f) Pengiriman tenaga yang lebih kompeten atau ahli untuk
meningkatkan mutu layanan pengobatan setempat. Pengiriman
tenaga-tenaga ahli ke daerah untuk memberikan pengetahuan
dan keterampilan melalui ceramah, konsultasi penderita,
diskusi kasus dan demonstrasi operasi (transfer of knowledge).
Pengiriman petugas pelayanan kesehatan daerah untuk
menambah pengetahuan dan keterampilan mereka ke rumah
sakit yang lebih lengkap atau rumah sakit pendidikan, juga
dengan mengundang tenaga medis dalam kegiatan ilmiah yang
diselenggarakan tingkat provinsi atau institusi pendidikan
(transfer of personel).
2) Rujukan Kesehatan
Yaitu hubungan dalam pengiriman dan pemeriksaan bahan ke
fasilitas yang lebih mampu dan lengkap. Rujukan ini umumnya
berkaitan dengan upaya peningkatan promosi kesehatan (promotif)
dan pencegahan (preventif). Contohnya, merujuk pasien dengan

19
masalah gizi ke klinik konsultasi gizi (pojok gizi puskesmas), atau
pasien dengan masalah kesehatan kerja ke klinik sanitasi puskesmas
(pos Unit Kesehatan Kerja).
3. Alur Sistim Rujukan
Alur rujukan kasus kegawat daruratan:
a. Dari Kader
Dapat langsung merujuk ke:
1) Puskesmas pembantu
2) Pondok bersalin atau bidan di desa
3) Puskesmas rawat inap
4) Rumah sakit swasta / RS pemerintah
b. Dari Posyandu
Dapat langsung merujuk ke:
1) Puskesmas pembantu
2) Pondok bersalin atau bidan di desa
4. Mekanisme Rujukan
a. Menentukan kegawadaruratan penderita
1) Pada tingkat kader atau dukun bayi terlatih
Ditemukan penderita yang tidak dapat ditangani sendiri oleh
keluarga atau kader/ dukun bayi, maka segera dirujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan yang terdekat, oleh karena itu mereka belum
tentu dapat menerapkan ke tingkat kegawatdaruratan.
2) Pada tingkat bidan desa, puskesmas pembantu dan puskesmas
Tenaga kesehatan yang ada pada fasilitas pelayanan kesehatan
tersebut harus dapat menentukan tingkat kegawatdaruratan kasus
yang ditemui, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawabnya,
mereka harus menentukan kasus mana yang boleh ditangani sendiri
dan kasus mana yang harus dirujuk.
3) Memberikan informasi kepada penderita dan keluarga
Sebaiknya bayi yang akan dirujuk harus sepengathuan ibu atau
keluarga bayi yang bersangkutan dengan cara petugas kesehatan
menjelaskan kondisi atau masalah bayi yang akan dirujuk dengan
cara yang baik.
4) Mengirimkan informasi pada tempat rujukan yang dituju
a) Memberitahukan bahwa akan ada penderita yang dirujuk

20
b) Meminta petunjuk apa yan perlu dilakukan dalam rangka
persiapan dan selama dalam perjalanan ke tempat rujukan
c) Meminta petunjuk dan cara penanganan untuk menolong
penderita bila penderita tidak mungkin dikirim.
5) Persiapan penderita (BAKSOKUDA)
Persiapan yang harus diperhatikan dalam melakukan rujukan
disingkat “BAKSOKUDA” yang diartikan sebagi berikut :
B (Bidan) : Pastikan ibu/ bayi/ klien didampingi oleh tenaga
kesehatan yang kompeten dan memiliki kemampuan untuk
melaksanakan kegawatdaruratan
A (Alat) : Bawa perlengkapan dan bahan-bahan yang diperlukan
seperti spuit, infus set, tensimeter dan stetoskop
K (keluarga) : Beritahu keluarga tentang kondisi terakhir ibu (klien)
dan alasan mengapa ia dirujuk. Suami dan anggota keluarga
yang lain harus menerima ibu (klien) ke tempat rujukan.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Lisa Rahmawati pada
tahun 2013 dengan judul “Hubungan Pengambil Keputusan
Keluarga dan Pengetahuan Ibu tentang Tanda bahaya Kehamilan
dengan Keterlambatan Rujukan” menyatakan bahwa
keterlambatan dalam pengambilan keputusan merujuk ke RS
diakibatkan oleh ketidaktahuan tentang tanda bahaya yang harus
segera mendapatkan penanganan oleh ibu dan keluarga, terutama
pengambil keputusan utama dalam keluarga. Hal ini bertujuan
agar ibu mendapatkan penanganan dan perawatan dalam upaya
mencegah terjadinya keterlambatan rujukan yang dapat
menyebabkan kematian pada ibu dan bayi (Rahmawati, 2013).
S (Surat) : Beri sura ke tempat rujukan yang berisi identifikasi ibu
(klien), alasan rujukan, uraian hasil rujuka, asuhan atau obat-obat
yang telah diterima ibu
O (Obat) : Bawa obat-obat esensial yang diperlukan selama
perjalanan merujuk
K (Kendaraan) : Siapkan kendaraan yang cukup baik untuk
memungkinkan ibu (klien) dalam kondisi yang nyaman dan
dapat mencapai tempat rujukan dalam waktu cepat.

21
U (Uang) : Ingatkan keluarga untuk membawa uang dalam jumlah
yang cukup untuk membeli obat dan bahan kesehatan yang
diperlukan di tempar rujukan
DA (Darah) : Siapkan darah untuk sewaktu-waktu membutuhkan
transfusi darah apabila terjadi perdarahan
6) Pengiriman Penderita
Untuk mempercepat sampai ke tujuan, perlu diupayakan kendaraan/
sarana transportasi yang tersedia untuk mengangkut penderita
7) Tindak lanjut penderita
a) Untuk penderita yang telah dikemalikan
b) Harus kunjungan rumah bila penderita yang memerlukan
tindakan lanjut tapi tidak melapor.

22
DAFTAR PUSTAKA

Aan Jaya Kusuma (2012). Ketuban Pecah Dini Dan Peranan Amniopatch Dalam
Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini Preterm, Jurnal Obstetri dan
Ginekologi FK UNUD RSUP Sanglah. Denpasar

Fadlun, Feryanto. 2011. Asuhan Kebidanan Patalogis. Jakarta:Salemba Medika

Kimberly B. Fortner, Chad A. Grotegut, et al (2014). Bacteria Localization and


Chorion Thinning Among Preterm Premature Rupture of Membranes. PLOS
ONE 9(1).e83338.doi:10.1371/journal.pone.0083338

Krisnadi, dkk. 2009. Prematuritas. Bandung: Refika Aditama.

Manuaba, I bagus gede dkk. 2009. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB.
Jakarta : EGC

Manuaba. 2010. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana


(Edisi 2). Jakarta : EGC

Nugroho, T. 2011. Asuhan Keperawatan Maternitas, Anak, Bedah Dan Penyakit


Dalam. Yogyakarta : Nuha Medika

Norwitz, Errol & Schorge, John. 2008. At a Glance Obstetri & Ginekologi. Edisi
kedua. Jakarta : Erlangga
Rustam, Mochtar (1999). Sinopsis Obstetri Obstetri Fisiologi Obstetri Patologi,
Penerbit Buku kedokteran EGC. Jakarta

Sudarto dan Tunut, 2016. Risiko Terjadinya Ketuban Pecah Dini Pada Ibu Hamil
Dengan Infeksi Menular Seksual jurnal vokasi Kesehatan, Volume II Nomor 2
Juli 2016

Sujiyatini, dkk. 2009. Asuhan Patologi Kebidanan. Jakarta: Nuha Medika

Umoto H, 2013. Analisa Masalah Ketuban Pecah Dini Terhadap Paritas Di Rs Pku
Muhammadiyah Surakarta. Naskah Publikasi. Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta

23

Anda mungkin juga menyukai