Anda di halaman 1dari 24

LEARNING TASK

SNL PADA HIV/AIDS

Oleh SGD 2

I Gusti Ngurah Bagus Yogi Saputra (1502105003)


Ni Made Krisna Dewi Widya Permata A (1502105004)
Ni Kadek Diah Widiastiti Kusumayanti (1502105017)
Putu Utami Teja Saraswati (1502105023)
Komang Hadpani (1502105027)
Putu Gede Adi Sura Pebriawan C. (1502105028)
Ni Luh Putu Anik Cahyani (1502105029)
Ni Made Sinta Febrina (1502105043)
Ni Made Lilik Surya Pramasita (1502105044)
Ni Made Sri Ardhia P (1502105058)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2017

Diagnosa Keperawatan

Identifikasi definisi, faktor yang berhubungan, defining karakteristik pada


diagnosa keperawatan berikut terkait HIV/AIDS

 Proteksi tidak efektif


 Risiko infeksi
 Koping Individu tidak efektif
 Kurang Pengetahuan
 Keletihan

1. Proteksi tidak efektif


Domain : (1) Health Promotion
Class : (2) Health Management
No : 00043
Definisi : Menurunnya kemampuan untuk melindungi tubuh dari
ancaman internal dan eksternal seperti penyakit atau
kecelakaan.
Batasan Karakteristik Alasan
Perubahan pada Pada pasien dengan AIDS lebih mudah terjadinya
pembekuan darah hiperkoagulasi yang menyebabkan darah menjadi
lebih mudah membeku dan menggumpal. Hal ini
terjadi karena adanya peningkatan level plasma di
dalam sel endothelium, termasuk peningkatan faktor
von Willebrand (vWF) pada pasien dengan HIV
(Assallum, Alkayem, & Shabarek, 2013).
Perubahan dalam proses Sistem kekebalan tubuh yang terus-menerus diserang
berkeringat virus akan menimbulkan kelelahan yang terus
menerus, pembengkakan kelenjar limfa, penurunan
berat badan yang cepat, berkeringat di malam hari,
hilangnya daya ingat, dan diare (Communicable
Disease Control Directorate, 2013).
Anoreksia Pada umumnya pasien AIDS mengalami penurunan
nafsu makan. Hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh
obat-obatan ARV yang diminum. Di samping itu
pasien AIDS sering mengalami kesulitan menelan
karena infeksi jamur pada mulut. Keadaan tersebut
memerlukan terapi diet khusus dengan
memperhatikan kebutuhan asupan gizi pasien dan
cara pemberiannya (Spiritia, 2012).
Batuk Sebagian besar pasien dengan HIV/AIDS juga
mengalami TB yang menunjukkan gejala batuk
berdahak secara aktif yang berlanjut selama tiga
minggu atau lebih (Spiritia, 2016)
Imunitas menurun Satu akibat dari infeksi HIV adalah kerusakan pada
sistem kekebalan tubuh kita. HIV membunuh satu
jenis sel darah putih yang disebut sel CD4. Sel ini
adalah bagian penting dari sistem kekebalan tubuh,
dan jika jumlahnya kurang, sistem tersebut menjadi
terlalu lemah untuk melawan infeksi. Jumlah sel CD4
dapat diukur melalui tes darah khusus. Jumlah normal
pada orang sehat berkisar antara 500 sampai lebih
dari 1.500. Setelah kita terinfeksi HIV, jumlah ini
biasanya turun terus. Jadi jumlah ini mencerminkan
kesehatan sistem kekebalan tubuh kita: semakin
rendah, semakin rusak sistem kekebalan (Spiritia,
2016)
Disorientasi Pada penderita AIDS, virus tidak hanya menyerang
sel saraf secara langsung tetapi dapat membahayakan
fungsi dan kesehatan sel saraf. Peradangan yang
ditimbulkan oleh HIV ini dapat merusak fungsi saraf
dan tulang belakang, salah satu gejalanya pasien
mengalami kebingungan (disorientasi) dan pelupa
(Spiritia, 2011).
Kelelahan Sistem kekebalan tubuh yang terus-menerus diserang
virus akan menimbulkan kelelahan yang terus
menerus (Communicable Disease Control
Directorate, 2013).
Imobilisasi Dampak dari HIV/AIDS ini sendiri yaitu munculnya
kelemahan pada fungsi neurologi seperti stroke.
Kondisi ini menyebabkan pasien tidak dapat
melakukan aktivitas sehari-hari dan cenderung
mengalami imobilisasi
Insomnia Kesulitan tidur di malam hari dihubungankan dengan
depresi yang dialami oleh pasien terkait dengan
penyakitnya (Cianflone et al, 2012)
Munculnya rasa gatal Gangguan dermatologis pada pasien HIV cukup
sering terjadi, biasanya muncul rasa gatal pada kulit
dan terdapat lesi di kulit yang mengganggu pasien
(Shivani et al, 2014).
Respons stres maladaptif AIDS adalah suatu penyakit yang tergolong kronis
sekaligus terminal, HIV juga menuntut penderitanya
untuk melakukan pengobatan seumur hidup yang
menyiksa dan adanya stresor lain yaitu ancaman
kematian. Hal lain yang harus pasien hadapi yaitu
stigma negatif dari lingkungan sekitarnya. Penderita
cenderung menjadi cemas, takut, dan merasa putus
asa karena merasa sudah tidak berguna dan sering kali
meminta tindakan euthanasia (Hidayanti, 2013)
Kerusakan / kelemahan HIV mampu merusak fungsi otak dan sistem
sensor saraf neurologi yang menyebabkan berbagai gejala seperti
mati rasa pada lengan, kaki, dan dapat timbul stroke.
Stroke dipicu dari adanya disfungsi pada bagian
endothelial pembuluh darah yang diakibatkan oleh
antiretroviral yang dikonsumsi oleh penderita AIDS
(Assallum, Alkayem, & Shabarek, 2013). AIDS
menyebabkan kerusakan pada fungsi kognitif,
kerusakan saraf perifer, dan kerusakan fungsi saraf
pasien secara menyeluruh. Beberapa hal lain yang
dapat ditimbulkan yaitu terdapat masalah pada saraf
tulang belakang, kurang koordinasi, sulit atau nyeri
saat menelan, kehilangan pengelihatan, kelainan pola
berjalan, dan kerusakan jaringan otak sampai koma
(Spiritia, 2011)
Terdapat luka tekan Dampak dari HIV/AIDS ini sendiri yaitu munculnya
(dekubitus) kelemahan pada fungsi neurologi seperti stroke.
Kondisi ini menyebabkan pasien tidak dapat
melakukan aktivitas sehari-hari dan cenderung
mengalami imobilisasi. Imobilisasi yang lama dan
hanya dalam posisi berbaring meningkatkan risiko
terjadinya luka tekan (dekubitus)
Kegelisahan Pasien dengan HIV/AIDS pada umumnya memiliki
berbagai komplikasi sistem saraf yang muncul akibat
penyakit yang dialami atau penggunaan obat yang
dikonsumsi oleh pasien. Pasien cenderung lebih
mudah mengalami cemas berlebihan dan depresi
(Spiritia, 2011).

Faktor yang
Alasan
berhubungan
Riwayat darah yang Jumlah sel darah sangat nonspesifik dan tidak akan
Abnormal menjadi tes yang bagus untuk menentukan status
HIV. Selama infeksi akut, dan AIDS, jumlah darah
bisa di bawah tingkat normal. Selama infeksi HIV,
berbagai variabel termasuk obat-obatan dan penyakit
bersamaan juga dapat menyebabkan jumlah darah
turun. (Holodniy, 2002)
Kanker Para peneliti dari Department of Veterans Affairs AS
menemukan bahwa HIV meningkatkan risiko relatif
kanker paru sebesar 70%, bahkan setelah
mengendalikan faktor-faktor risiko potensial.

Gangguan sistem imun Infeksi HIV menyebabkan terganggunya fungsi


sistem imun alamiah dan didapat. Gangguan yang
paling jelas adalah pada imunitas selular, dan
dilakukan melalui berbagai mekanisme yaitu efek
sitopatik langsung dan tidak langsung. Penyebab
terpenting kurangnya sel T CD4+ pada pasien HIV
adalah efek sitopatik langsung. Beberapa efek
sitopatik langsung dari HIV terhadap sel T CD4 +
antara lain:

 Pada produksi virus HIV terjadi ekspresi gp41


di membran plasma dan budding partikel
virus, yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas membran plasma dan masuknya
sejumlah besar kalsium yang akan
menginduksi apoptosis atau lisis osmotik
akibat masuknya air. Produksi virus dapat
mengganggu sintesis dan ekspresi protein
dalam sel sehingga menyebabkan kematian
sel.
 DNA virus yang terdapat bebas di sitoplasma
dan RNA virus dalam jumlah besar bersifat
toksik terhadap sel tersebut.
 Membran plasma sel T yang terinfeksi HIV
akan bergabung dengan sel T CD4+ yang
belum terinfeksi melalui interaksi gp120-CD4,
dan akan membentuk multinucleated giant
cells atau syncytia. Proses ini menyebabkan
kematian sel-sel T yang bergabung tersebut.
Fenomena ini banyak diteliti in vitro, dan
syncytia jarang ditemukan pada pasien AIDS
Penyalahgunaan zat Opioid merupakan salah satu golongan NAPZA yang
sangat kuat potensi ketergantungannya, sehingga
disebut dengan julukan “horor drug”. Yang termasuk
golongan opioid adalah morfin, petidin, heroin,
metadon, kodein. Golongan opioid yang paling sering
disalahgunakan adalah heroin. Heroin di Indonesia
disebut: putaw (atau ‘pete’, ‘hero’ atau ‘petewe’).
Masalah fisik berupa abses pada kulit sampai
septickemia, infeksi karena emboli, dapat sampai
stroke, endokarditis, hepatitis (B dan C), HIV/AIDS,
injeksi menyebabkan trauma pada jaringan saraf
lokal, Opiate neonatal abstinence syndrome.

Cara atau pola hidup Dengan cara atau pola hidup yang tidak baik seperti
melakukan Seks Bebas akan menambah persentase
orang akan terkena HIV / AIDS.

2. Risiko infeksi
Domain : (11) Safety / Protection
Class : (1) Infection
No : 00004
Definisi : Mudah diserang karena invasi dan multiplikasi dari
organisme patogenik yang bisa menurunkan kesehatan

Faktor risiko Alasan


Vaksin tidak adekuat HIV hingga saat ini belum memiliki vaksin, namun
HIV dapat dihambat perkembangannya dengan ARV.
(Kerja, D. P. K. 2006).
Kurangnya pengetahuan Keterlambatan diagnosa HIV seringkali disebabkan
untuk mencegah patogen akibat kurangnya pengetahuan yang dimiliki oleh
seseorang sehingga orang dengan HIV-AIDS
cenderung datang ke pelayanan kesehatan ketika
keadaannya sudah menimbulkan infeksi oportunistik.
(Kerja, D. P. K. 2006).
Prosedur invasif Salah satu tindakan yang berisiko menularkan HIV
ialah penggunaan jarum suntik secara bergiliran.
Penusukan jarum yang tidak steril atau bahkan jarum
suntik yang telah digunakan secara bergiliran
memiliki potensi lebih besar dalam menularkan virus.
(Kerja, D. P. K. 2006).
Pertahanan kedua yang
Alasan
tidak adekuat
Penurunan daya tahan HIV merupakan virus yang menekan dan merusak
tubuh sistem kekbalan tubuh manusia, sehingga HIV akan
lebih mudah berkembang dan menyerang tubuh
ketika daya tahan tubuh seseorang menurun. HIV
memiliki masa inkubasi yang cukup lama sehingga
tidak mudah mendeteksi HIV sejak dini. (Kerja, D. P.
K. 2006).
Vaksin tidak adekuat HIV hingga saat ini belum memiliki vaksin, namun
HIV dapat dihambat perkembangannya dengan ARV.
(Kerja, D. P. K. 2006).

3. Koping individu tidak efektif


Domain : (9) Coping/Stress Tolerance
Class : (2) Coping Responses
No : 00069
Definisi : Ketidakmampuan untuk membentuk penilaian yang valid
terhadap stresor, pilihan yang tidak adekuat dari tanggapan
praktek, dan / atau ketidakmampuan untuk menggunakan
sumber daya yang tersedia.

Batasan Karakteristik Alasan

Perubahan konsentrasi AIDS adalah suatu penyakit yang dapat menjadi


stressor bagi orang yang mengidapnya. Orang
tersebut dapat menunjukkan adanya gangguan
kognitif yang cukup berat jika berhadapan dengan
stresor yang serius, seperti akan sulit berkonsentrasi
dan mengorganisasikan pikiran secara logis (Clifford
dan Ances, 2013 dalam jurnal HIV-associated
neurocognitive disorder. Lancet Infect Disorder)

Perubahan pola tidur Orang HIV + mengalami insomnia, dengan hasil


penelitian separuh (45%) dari 290 pasien HIV +
berusia 22-77 tahun dalam sebuah penelitian di tahun
2012 tidur kurang dari enam jam per malam.
Insomnia kronis sering menyerang orang HIV +
segera setelah infeksi, meskipun mungkin tidak ada
gejala lain. Hipersomnia, atau tidur berlebihan, dapat
menjadi gangguan tidur pada orang HIV +.
Hipersomnia biasanya ditemukan pada stadium lanjut
penyakit HIV (AIDS), bila dikaitkan dengan
kelelahan ekstrem (Sleep Disorder and HIV,
American Psychiatric Association tahun 2012).

Perubahan pola Manifestasi gangguan fungsi kognitif pada PWA


komunikasi dapat meliputi gangguan pada aspek bahasa.
Gangguan bahasa yang terjadi terutama tampak pada
kemiskinan kosa kata. Pasien tidak dapat
menyebutkan nama benda atau gambar yang
ditunjukkan padanya (confrontation naming), tetapi
lebih sulit lagi menyebutkan nama benda dalam satu
kategori (category naming) misalnya disuruh
menyebutkan nama buah atau hewan dalam satu
kategori (Valcour dkk, 2011, dalam jurnal Screening
for Cognitive Impairment in Human
Immunodeficiency Virus)
Perilaku destruktif PWA sulit menerima keadaan dirinya dan
terhadap orang lain & semakin tidak peduli pada perilakunya sendiri
perilaku destruktif bahkan memiliki kecenderungan destruktif bagi
terhadap diri sendiri diri sendiri maupun orang sekitarnya (Andri,
Poerwandari, Binta, 2013, Fakultas Psikologi,
Universitas Indonesia)
Kesulitan mengorganisir Fungsi kognitif pada PWA juga terganggu, salah
informasi satunya yaitu fungsi memori yang terdiri dari proses
penerimaan dan penyandian informasi, proses
penyimpanan serta proses mengingat. Semua hal yang
berpengaruh dalam ketiga proses tersebut akan
berpengaruh (Griffin dan Gerhardstein, 2010)

Kelelahan Kelelahan adalah salah satu keluhan yang paling


umum dan pada orang terinfeksi HIV, dengan
perkiraan prevalensi 33-88%. Pada orang yang
terinfeksi HIV, kelelahan disebabkan oleh kondisi
komorbid atau HIV sendiri. Kelelahan terkait HIV
adalah istilah yang luas yang mengacu pada kelelahan
yang dimulai atau secara signifikan memburuk
setelah pasien terinfeksi HIV dan tidak memiliki
penyebab lain yang dapat diidentifikasi (AIDS
Education & Training Center Program, 2014).

Sering sakit Infeksi HIV memperlemah sistem kekebalan tubuh


Anda, membuat Anda sangat rentan terhadap banyak
infeksi dan jenis kanker tertentu serta munculnya
gejala umum seperti demam ruam serta adanya gejala
tambahan (Mayo Foundation for Medical Education
and Research (MFMER), 2015).
Ketidakmampuan untuk putus asa, depresi, keinginan untuk bunuh diri
meminta bantuan atau merusak dirinya sendiri dapat menjadi
masalah serius bagi PWA. Ini bukan hanya
menimpa PWA, namun juga dapat mempengaruhi
keluarga PWA ataupun orang-orang terdekatnya.
Stigma dan diskriminasi membuat PWA maupun
keluarganya merasa takut atau malu untuk mengakui
dan mencari bantuan. Mereka tidak mau pergi ke
rumah sakit atau mencari informasi lebih lanjut
mengenai penyakitnya (Buku Kesehatan dan Hak
Seksual serta Reproduksi GWLmuda, 2016).
Ketidakmampuan untuk Fungsi kognitif pada PWA juga terganggu, salah
memperhatikan informasi satunya yaitu fungsi perhatian atau atensi. Atensi
adalah kemampuan untuk bereaksi atau
memperhatikan satu stimulus tertentu, dengan mampu
mengabaikan stimulus lain yang tidak dibutuhkan.
Gangguan atensi dan konsentrasi akan mempengaruhi
fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa, dan
fungsi eksekutif (Levy, 2007).

Ketidakmampuan Pasien HIV/AIDS diperkirakan mengawali proses


menghadapi situasi berduka saat mendapatkan informasi pertama kali
terdiagnosa HIV/AIDS. Pasien merasa tidak nyaman ,
beranggapan bahwa mengidap HIV/AIDS adalah
memalukan dan sebagai akibatnya mereka khawatir
dipermalukan, dihindari, didiskriminasikan, dan
ditolak
Ketidakmampuan untuk Seseorang yang terdiagnosa HIV/AIDS merupakan
memenuhi harapan peran pengalaman emosional yang tidak menyenangkan.
Seseorang yang telah terdiagnosa positif dan
mengetahuinya, kondisi mental penderita akan
mengalami fase, dan banyak pasien HIV/AIDS
melakukan penolakan (denial) terhaap diagnosis.

Ketidakcukupan untuk Strategi koping menunjukan pada berbagai upaya,


memecahkan masalah baik mental maupun perilaku, untuk menguasai,
mentoleransi, mengurangi, atau meminimalisir suatu
situasi atau kejadian yang penuh tekanan.

Perilaku berisiko HIV/AIDS dapat menyerang siapa saja, dimana orang


yang terinfeksi virus HIV akan menjadi pembawa dan
penular virus selama hidupnya.

Penyalahgunaan zat Seseorang yang menggunakan penyalahgunaan zat


memiliki risiko yang tinggi terinfeksi HIV/AIDS,
karena efek dari penggunaan zat tersebut
menimbulkan kesadaran. Contohnya adalah ketika
pasien menggunakan jarum suntik secara bersamaan
(Muslimah, A, I & Aliyah, S. 2013).

Faktor yang
Alasan
berhubungan
Perbedaan gender dalam pria cenderung menggunakan problem focused
strategi koping coping karena pria biasanya menggunakan rasio atau
logika, selain itu pria terkadang kurang emosi
sehingga mereka lebih memilih untuk langsung
menyelesaikan masalah yang dihadapi (menghadapi
sumber stress). Sedangkan wanita lebih cederung
menggunakan emotion focused coping karena mereka
lebih menggunakan perasaan atau emosional sehingga
jarang menggunakan logika untuk mengatur emosi
dalam menghadapi sumber stress atau melakukan
coping religius di mana wanita lebih merasa dekat
dengan Tuhannya dibanding pria.

Pengalaman membuktikan bahwa pasien wanita yang


mengidap HIV/AIDS cenderung lebih bisa bertahan
dari pada pasien pria. Hal ini dikarenakan wanita
dapat segera keluar dari problematika psikologis yang
dihadapi karena penyakitnya, sementara pria fokus
dengan sakitnya yang akhirnya berujung pada
kematian (Laporan Penelitian Lemlit, 2012).
Ketidakpercayaan yang Penderita HIV/AIDS merupakan orang dengan
tidak memadai dalam kepercayaan diri paling rendah. Hal ini terjadi
kemampuan menghadapi diakibatkan sangat minimnya pihak-pihak yang
situasi peduli terhadap para penderita HIV/AIDS disamping
itu kurangnya pengetahuan tentang penyakit ini
(Bappeda Provinsi Kepulauan Riau, 2016).

Tingkat ancaman yang permasalahan yang dihadapi Orang Dengan


tinggi HIV/AIDS (ODHA) bukan hanya masalah medis atau
kesehatan, tetapi juga menyangkut permasalahan
sosial, politik, dan ekonomi. Banyak perubahan yang
terjadi dalam diri individu setelah terinfeksi
HIV/AIDS. Perubahan fisik akibat gejala-gejala
penyakit yang disebabkan menurunnya sistem
kekebalan tubuh pada diri ODHA mempengaruhi
kehidupan pribadi, sosial, belajar, karir dan bahkan
kehidupan keluarga. Selain itu juga isu-isu stigma dan
diskriminasi yang dialami ODHA, baik dari keluarga,
tetangga, dunia kerja, sekolah, dan anggota
masyarakat lainnya, semakin memperparah kondisi
dirinya dan bahkan lebih sakit daripada dampak
penyakit yang dideritanya (Aritonang, et al. 2014).

Dukungan sosial tidak Dukungan sosial meliputi dukungan kebutuhan


mencukupi informasi dan emosional pada diri individu. Maka
dari itu dukungan sosial sangat dibutuhkan oleh
orang-orang yang terinfeksi HIV/AIDS.

Krisis keuangan Krisis keuangan dapat menyebabkan seseorang


memiliki niat melakukan segala cara untuk
mendapatkan uang demi kelangsungan hidupnya.
Seperti bekerja sebagai pekerj seks.

Krisis situasi Dalam lingkungan kerja, individu yang mampu


membina hubungan baik dengan atasan, sesama rekan
kerja dan bawahan dapat saling memberi dukungan
sehingga dapat tercipta rasa memiliki dan integrasi
sosial dalam lingkungan kerja. Dengan adanya
dukungan sosial dalam lingkungan kerja maka dapat
membuat individu merasa bagian dari suatu tim dan
tidak diisolasi dari kelompok. Hal ini merupakan
salah satu dari kriteria yang membentuk kualitas
kehidupan bekerja dalam organisasi (Muslimah, A, I
& Aliyah, S. 2013).

4. Kurang pengetahuan
Domain : (5) Percepcition/Cognition
Class : (4) Cognition
No : 00126
Definisi : Ketiadaan atau defisiensi informasi kognitif yang
berkaitan dengan topik tertentu

Batasan Karakteristik Alasan

Ketidakakuratan Baru-baru ini data surveilans HIV menunjukkan


melakukan tes bahwa sekitar 33% dari orang yang terinfeksi HIV di
Amerika Serikat hadir untuk tes HIV ulang yang
sebenarnya mereka terlambat untuk tes HIV ulang
tersebut dan ternyata hasil dari tes HIV ulang tersebut
menunjukkan bahwa HIV mereka sudah berkembang
menjadi AIDS (CD4+ jumlah sel <200 sel/ mL atau
penyakit terdefinisi AIDS) dalam satu tahun setelah
diagnosis HIV (Fajar, 2013)

Ketidakakuratan Kurangnya motivasi dan rasa putus asa bisa menjadi


mengikuti perintah penghambat kepatuhan pengobatan HIV/AIDS Hal
yang paling umum dirasakan oleh ODHA yaitu rasa
jenuh/bosan karena harus mengkonsumsi obat secara
terus menerus. Dari sisi psikologis lainnya ada juga
yang merasa tertekan karena harus minum obat atau
memang sudah putus asa sehingga berimbas pada
perilakunya menjadi malas minum obat. Ada pula
yang memang perilakunya sulit diubah meskipun
terapi dijalani tapi perilaku beresiko juga tetap
berjalan. (Yuyun, 2012)
Kurang pengetahuan Tingkat pengetahuan individu tentang HIV/AIDS
akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku
individu dalam pencegahan HIV/AIDS. Tingkat
pengetahuan merupakan domain bagi seseorang untuk
melakukan tindakan. Seseorang hingga tahap
memahami ditunjukan melalui penginterpretasi
materi secara benar sehingga dapat mengaplikasikan
secara riil. Maka, individu mampu membaca kondisi
bahaya HIV/AIDS dan cara pencegahannya.
(Kurniati, 2012)

Meningkatnya jumlah remaja penderita HIV-AIDS


dimungkinkan karena keterbatasan akses informasi
dan layanan kesehatan yang berdampak pada
rendahnya pengetahuan. Meskipun sudah banyak
yang mempunyai pengetahuan dasar tentang HIV-
AIDS, namun tingkat pengetahuan tentang cara
mengurangi risiko terinfeksi pada umumnya rendah.
(Sudikno, 2010)
Perilaku tidak tepat Ketika seseorang tumbuh dalam lingkungan mal-
adaptif, akan mendorong terciptanya perilaku amoral
yang merusak masa depan, dampak pergaulan bebas
mengantarkan pada kegiatan menyimpang seperti
seks bebas sehingga berkembangnya kasus penyakit
menular seksual terutama HIV-AIDS (Niniek, 2011)

Perilaku yang tidak tepat pada kasus HIV berupa,


perilaku berhubungan seks dengan lebih dari satu
pasangan seks, atau berganti-ganti pasangan seks dan
melakukan hubungan seks tanpa kondom sangat
berisiko terjadinya penularan HIV dan Perilaku
menggunakan jarum suntik secara bergantian pada
penggunaan narkoba sangat berisiko terjadinya
penularan HIV. (IK kesehatan,2011)

Faktor yang
Alasan
berhubungan
Gangguan kognitif Infeksi HIV dapat menyebabkan kerusakan pada
sistem saraf pusat, bila otak yang terkena bisa terjadi
gangguan neurokognitif disebut HIV-associated
neurocognitive disorder (HAND) Sindrom yang
terjadi pada HAND berupa gangguan neurokognitif
(mudah lupa), gangguan emosi (menyebabkan agitasi
atau apatis), dan disfungsi motorik (tremor, ataksia,
spastisitas).
Kurang informasi Kurangnya pengetahuan tentang HIV/AIDS dapat
diakibatkan oleh kurangnya informasi. Masih
kurangnya informasi mengenai penularan,
pencegahan, perilaku berisiko tertular HIV, kegiatan
yang tidak menularkan HIV dan proses HIV menjadi
AIDS. Kurangnya informasi ini dapat dipengaruhi
oleh tempat yang susah diakses informasi dan
kurangnya penyuluhan (Wulandari J.R., Prasetyo
F.A.,2013)
Kurang sumber Kurangnya pengetahuan tentang HIV/AIDS dapat
pengetahuan diakibatkan oleh kurangnya sumber pengetahuan.
Sumber pengetahuan yang dapat meningkatkan
pengetahuan tentang HIV/AIDS dapat berupa
majalah, poster, orang tua, internet, sekolah, televisi
dan radio. Pengetahuan yang benar tentang
HIV/AIDS dapat menghindari perilaku berisiko
HIV/AIDS. Pengetahuan yang benar dan tepat
tentang HIV/AIDS menjadi salah satu poin penting
dalam upaya menghindari penularan HIV, walaupun
memiliki pengetahuan yang baik ternyata tidak
menjamin seseorang tidak melakukan kegiatan yang
berisiko terinfeksi HIV (Sudikno, Simanungkalit B.
& Siswanto.,2011)

5. Keletihan (Fatigue)
Domain : (4) Activity/ Rest
Class : (3) Energy Balance
No : 00093
Definisi : Rasa berkelajutan yang luar biasa dari kelelahan dan
penurunan kapasitas untuk kerja fisik dan mental pada
tingkat biasa.

Batasan Karakteristik Alasan

Penurunan konsentrasi Pada penderita HIV/AIDS, infeksi HIV akan


menyebabkan kerusakan pada sistem saraf pusat. Hal
tersebut akan menyebabkan otak seolah-olah menjadi
lebih cepat lelah. Sehingga, pekerjaan yang
membutuhkan perhatian, konsentrasi dan perhitungan
yang sebelumnya pasti mudah dikerjakan sekarang
menjadi sulit. Tanda awal yang sering terjadi biasanya
orang menjadi ‘pikun’/ dimensia, penurunan
konsentrasi, mudah emosi (Fajar, 2013)
Penurunan libido Pada awal infeksi HIV/AIDS di beberapa kasus,
kadar testosterone pasien rendah. Kadar testosterone
rendah merupakan indikator hipogonandisme yang
biasa terjadi pada penyakit AIDS. Penyebab
hipogonandisme diduga berasal dari HIV yang
mungkin menginfeksi aksis hipotalamus-hipofisis.
Infeksi hipotalamus-hipofisis tersebut menyebabakan
terjadinya disfungsi produksi GnRH dan kadar
testosterone yang rendah. Kadar testosterone yang
rendah mempunyai dampak pada penurunan berat
badan dan massa otot pada penderita AIDS. Selain itu
rendahnya kadar testosterone menyebabkan
penurunan libido dan impotensi (Yayasan Spiritia.
2015).
Mengantuk Anemia yang dialami penderita HV/AIDS
menyebabkan kurangya zat besi, sel darah merah
yang diperlukan untuk membawa jaringan dan organ
tubuh pun berkurang, sehingga menyebabkan orang
sering merasa mengantuk.
Kekurangan energi Kurangnya atau tidak seimbangnya jumlah protein,
kalori, dan vitamin atau malnurisi akan menyebabkan
kekurangan energi
Lelah Anemia akan mengurangi jumlah sel darah merah
yang di suplay ke seluruh tubuh dan juga
menyebabkan sedikitnya oksigen yang masuk
sehingga jantung akan meningkatkan kerjanya dan
menyebabkan lelah
Peningkatan kebutuhan Pada pasien HIV/AIDS karena anemia dan
istirahat penyakitnya pasien akan cepat lelah dalam
melakukan aktivitas sehingga mereka akan lebih
banyak diam dari pada melakukan aktivitas, selain itu
karena peningkatan kebutuhan istirahan disebabkan
karena gangguan pola tidur yang dialami seperti
kurang tidur.

Faktor yang Alasan


berhubungan

Ansietas Pasien yang terinfeksi HIV mungkin mengalami


anxietas jenis apapun. Namun, yang paling sering
adalah gangguan cemas menyeluruh, gangguan stress
pascatrauma, dan gangguan obsesif kompulsif. Reaksi
anxietas pada Odha sering kali mencakup rasa
khawatir yang mendalam, ketakutan, dan prihatin
terhadap kesehatan, masalah somatik, kematian, dan
ketidakpuasan mengenai penyakitnya. Reaksi
inikerap kali mengarah kepada sulit tidur dan
berkonsentrasi dan meningkatnya keluhan somatik.
Lebih sering terjadi pada saat diagnosis dan selama
pengobatan baru atau penyakit akut. Gangguan cemas
yang dialami akan menyebabkan keletihan
(Pramutya, 2015)
Depresi Salah satu alasan penyebab kelelahan adalah depresi
tetapi ini sering tidak terdiagnosis. Petunjuk adanya
kelelahan yang mengakibatkan depresi adalah bahwa
si pasien: (1) pernah mengalami depresi sebelum
terinfeksi HIV, atau (2) berlatar belakang sebagai
pecandu obat (seseorang dengan latar belakang yang
begitu cenderung mempunyai penyakit depresi), atau
(3) berasal dari keluarga yang mempunyai penyakit
jiwa – penyakit bipolar, depresi, atau penyakit
kepanikan – mungkin dalam hal ini ada kaitan
genetika untuk menjelaskan depresinya (Fajar, 2013)

Malnutrisi Kelelahan dapat diakibatkan oleh malanutrisi, yaitu


kurang atau tidak seimbangnya jumlah protein, kalori,
dan vitamin yang dikonsumsi. Pada pasien yang
terinfeksi HIV/AIDS terjadi peningkatan kadar
Reactive Oxygen Species (ROS) yang disebabkan
karena peningkatan atau penurunan produksi
antioksidan. Tingkat perubahan kadar ROS yang
terjadi sangat bergantung pada kemampuan
mitokondria dalam mempertahankan stabilitas
homeostasis internal melalui produksi ROS dari
pengaruh makrofag dan limfosit T-CD4 yang
terinfeksi HIV. Meningkatnya aktivitas limfosit T
akan menginduksi Th-1 untuk sekresi sitokin
proinflamatori. Peningkatan kadar sitokin
proinflamatori akan menurunkan asupan nutrisi dan
meningkatkan kebutuhan dan kehilangan berbagai
komponen nutrisi (Fajar, 2013)
Kondisi fisiologis Ketika seorang pasien terkena anemia, ia bisa sering
(Anemia) mengalami kelelahan. Pada penyakit HIV/AIDS
penyebab anemia ada banyak faktor. Sitokin
proinflamasi seperti tumor necrosis faktor (TNF),
interleukin-1 (IL -1), dan interferon gamma dianggap
berpera penting dalam pathogenesis anemia. Sitokin
ini menunjukkan penghambat terhadap produksi sel
darah merah secara in vitro. Level TNF sering
ditemukan meningkat pada pasien HIV/AIDS secara
konsisten dan kondisi ini berkorelasi dengan viral
lood. Adanya diseritropoiesis dan infeksi oportunistik
berakibat pada abnormalitas morfologi dan fungsional
sel darah merah sehingga sel darah merah sebagai
pengangkut oksigen juga dapat berubah (Yayasan
Spiritia. 2015).
Deprivasi tidur Pada penderita HIV/AIDS biasanya tidak dapat tidur
dengan nyenyak – misalnya harus bangun untuk
mengambil obat, terganggu diare, sering buang air
kecil karena harus banyak minum air untuk
mengkonsumsi obat indinavir, dsb. Bahkan seseorang
dapat tertidur dan merasa tetap tertidur, namun
struktur tidur aktual mereka tidak normal. Beberapa
penyelidik telah mengidentifikasi adanya pola tidur
tidak normal pada Odha karena alasan yang tidak
jelas. Pola itu menyatakan sesuatu yang menyangkut
HIV, dan atau pengobatannya, mungkin
mempengaruhi otaknya. Penyebab umum lainnya dari
tidak dapat tidur normal, atau kurang tidur, adalah
karena rasa sakit (Yayasan Spiritia. 2015).
DAFTAR PUSTAKA

AIDS Education & Training Center Program. (2014). Fatigue. Diakses dari
https://aidsetc.org/guide/fatigue (Diakses pada 12 Mei 2017)

American Psychiatric Association. (2012). Sleep Disorder and HIV. Diakses dari
www.psychiatry.org/AIDS (12 Mei 2017)

Andri, A.J., Poerwandari, E.K., Binta, D.R. (2013). Memahami Penyalahguna


Narkoba yang Terinfeksi HIV/AIDS melalui Penelitian Kualitatif.
Diakses dari
http://hubsasia.ui.ac.id/index.php/hubsasia/article/viewFile/1803/18
(Diakses pada 12 Mei 2017).

Assallume, H., Alkayem, M., & Shabarek, N. (2013). HIV Infection and Acute
Stroke and A Review of the Literature. Hindawi Publishing, pp : 1-5.

Aritonang, N. et al. (2014). ONSEP DIRI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA)


Studi kasus ODHA Dampingan Kelompok Warga Peduli AI. Diakses
dari
http://puslit.kemsos.go.id/upload/post/files/337d80b2bd435ae70e118c
dc463d86ca.pdf (Diakses pada 13 Mei 2017).

Bappeda Provinsi Kepulauan Riau. (2016). Perencanaan dan Penganggaran


Penanggulangan HIV/AIDS Prov. (Kepri National AIDS Spending
Assesment / NASA). Diakses dari
http://bappeda.kepriprov.go.id/index.php/aktivitas/41-kegiatan-
bappeda/213-perencanaan-dan-penganggaran-penanggulangan-hiv-
aids-prov-kepri-national-aids-spending-assesment-nasa (Diakses pada
13 Mei 2017).
Cianflone, C et al. (2012). Prevalence and Factors Associated with Sleep
Disturbances among Early-treated HIV Infected Persons. Clinical
Infection Disease.

Clifford, B., Ances, B. (2013). HIV-Associated Neurocognitive Disorder. Lancet


Infect Disorder, 13(11), 976-986.

Communicable Disease Control Directorate. (2013). HIV/AIDS. Western Australia :


Public Health and Clinical Service.

DS (WPA) di kelurahan Kebon Pisang kecamatan Sumur Bandung kota Bandung

Fajar. (2013). BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Retrived from :


eprints.undip.ac.id/4385/ELIZABETH_FAJAR_P.P_G2A009163_bab
_2_KTI_pdf. Diakses pada 7 Mei 2017

Griffin P.T., Gerhardstein K. (2010). Cognitive testing in HIV/AIDS: A case for


early assessment. Fall, 22(4):6-9

Hamilton, S. Fagot, B.I. 1988. Chronic Stress And Coping Style :


Comparison of Male and Female Under Graduates . Journal
of Personality and Social Psychology. 55(5).

Hidayanti, E. (2013). Strategi Coping Stress Perempuan dengan HIV/AIDS. Jurnal


Walisongo, 9 (1), 89-106.

Hidayanti, E. (2012). Dimensi Spiritual dalam Praktek Konseling Bagi Penderita


HIV/AIDS di Klinik VCT RS Panti Wilasa Semarang. Laporan
Penelitian Lemlit.

IK kesehatan. (2011). HIV/AIDS dan IMS Penularan dan Pencegahan [Buku


Saku]. Retrieved from: perpustakaan.depkes.go.id:8180/.../BK2RIBUAN-
FEB-AGS04.pdf

Kesehatan dan Hak Seksual serta Reproduksi GWLmuda. (2016). Bab 5 HIV
AIDS. Diakses dari http://www.gwl-ina.or.id/wp-
content/uploads/2016/03/BAB-5-HIV-DAN-AIDS.pdf (Diakses pada
12 Mei 2017).

Kurniati. (2012). Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang HIV/AIDS Dengan


Sikap Pencegahan HIV/AIDS Pada Pasien Yang Melakukan
Pemeriksaan Di Puskesmas Kota Yogyakarta Tahun 2012. Retrieved
from: http://opac.unisayogya.ac.id/1574/1/NASKAH
%20PUBLIKASI%20NIA.pdf
Levy & Weitz. 2007. Retail Management 6th edition. United States of
America : McGraw-Hill International

Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER). (2015).


Complications of HIV AIDS. Diakses dari
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/hiv-
aids/basics/complications/con-20013732 (Diakses pada 12 Mei 2017).

Muslimah, A, I & Aliyah, S. (2013). Tingkat Kecemasan Dan Strategi Koping


Religius Terhadap Penyesuaian Diri Pada Pasien Hiv/Aids Klinik Vct
Rsud Kota Bekasi. Vol .6, No 2

Nasronudin. (2011). HIV dan AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan
Sosial. Universitas Airlangga : Airlangga University Press

Pratiwi, Niniek Lely dan Hari Basuki. (2011) Hubungan Karakteristik Remaja
Terkait Risiko Penularan HIV-AIDS dan Perilaku Seks Tidak Aman di
Indonesia. Retrieved from:
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/hsr/article/download/13
72/2196

Shivani et al. (2014). Chronic Pruritus in HIV-Positive Patients in the South


Eastern United States : Its Prevalence and Effect on Quality of Life.
Journal of American Academy of Dermatology, 70 (4).

Spiritia. (2011). Komplikasi Saraf terkait AIDS . Retrieved from :


http://spiritia.or.id/cst/bacacst.php?artno=1089 (Diakses pada 15 Mei
2017)

Spiritia. (2012). Asuhan Gizi pada ODHA. Retrieved from :


http://spiritia.or.id/cst/bacacst.php?artno=1019 (Diakses pada 15 Mei
2017).

Spiritia. (2016). Seri Buku Kecil HIV-AIDS : HIV dan TB. Jakarta : Yayasan
Spiritia.

Sudikno, Simanungkalit B. & Siswanto. (2011). Pengetahuan HIV dan AIDS Pada
Remaja Di Indonesia (Analisis Data Riskesdas 2010). Jurnal
Kesehatan Reproduksi. 1(3), 145 -154

Valcour V, et al. (2011). Screening for Cognitive Impairment in Human


Immunodeficiency Virus. CID, 53(8), 836-42

Kerja, D. P. K. (2006). Pedoman bersama ILO/WHO tentang pelayanan kesehatan


dan HIV/AIDS
Wulandari J.R., Prasetyo F.A. (2013). Pengetahuan Remaja Tentang HIV/AIDS.
Retrieved from:
http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/59181/Jenit
%20Retno.pdf?sequence=1

Yuyun et al. (2012). Faktor-Faktor Pendukung Kepatuhan Orang dengan HIV


AIDS (ODHA) dalam Minum Obat Antiretrovial di Kota Bandung
dan Cimahi. Retrieved from: http://oaji.net/articles/2014/208-
1402645087.pdf

Yayasan Spiritia. (2015). Lembaran Informasi Tentanf HIV dan AIDS untuk Orang
yang Hidup dengan HIV. Retrived from: https://books.google.co.id/.
Diakses pada 15 Mei 2017

Anda mungkin juga menyukai