OLEH:
I. TUJUAN
a. Mahasiswa dapat mengetahui cara pemeriksaan uji widal.
b. Mahasiswa dapat melakukan prosedur pemeriksaan uji widal.
c. Mahasiswa dapat menginterpretasikan hasil pemeriksaan uji widal.
II. METODE
Metode yang digunakan dalam praktikum adalah metode rapid, metode titrasi slide dan
metode tabung.
III. PRINSIP
Serum pasien + suspensi bakteri Aglutinasi
IV. DASAR TEORI
Di Indonesia kasus demam tifoid masih merupakan penyakit endemik. Penyakit ini jarang
ditemukan secara epidemik, lebih bersifat sporadik yang terpencar –pencar di suatu daerah.
Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan peningkatan suhu badan. Dalam minggu kedua
gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradiakardi relatif, lidah tifoid (kotor di
tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, gangguan kesadaran
berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.(Widodo, Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi 2018).
Pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakanadalah pemeriksaan darah tepi,
pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakankuman, uji serologis, dan pemeriksaan
kuman secara molekuler. Pemeriksaan laboratorium yang paling sering digunakan adalah uji
serologis. Kultur salmonella merupakan gold standard dalam menegakkan diagnosis demam
tifoid. Tes serologis lain yang dapat digunakan dalam menentukan diagnosis demam tifoid
adalah tes Widal, dan tes IgM Salmonella typhi. Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi
antara antigen dan antibodi. Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella tiphyterhadap
dalam serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella tiphydan
pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Pemeriksaan ini di lakukan di
laboratorium untuk mengetahui hasil dari algutinasi, dan mengetahui penyebab dari demam
tifoid dari bacteri Salmonella tiphy.(Word Health Organization, 2018).
Pada kultur darah, hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid. Pada uji Widal,
akan dilakukan pemeriksaan reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang
telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatic (O) dan flagela (H)
yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran
tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukaan titer antibodi dalam serum (A.
Fatmawati Rachman, Nahwa Arkhesi, Hardian, 2011). Prinsip tes Widal adalah pasien
dengan demam tifoid atau demam enteric akan memiliki antibodi di dalam serumnya yang
dapat bereaksi dan beraglutinasi dilusi ganda (Kulkarni M, Rego S, 2017).
V. ALAT DAN BAHAN
a. Alat
Slide
Mikropipet 100-1000 µl
Mikropipet 10-100 µl
Mikropipet 1-10 µl
Bluetip
Yellowtip
Whitetip
Lidi steril
b. Bahan
Serum darah
Suspensi bakteri Salmonella
VI. CARA KERJA
a. Metode Titrasi Slide
1. Serum dipipet sebanyak 80,40,20,10,5 µl pada slide.
2. Satu tetes suspensi bakteri ditetesi pada slide.
3. Dihomogenkan (dari kecil sampai besar).
4. Slide diputar secara perlahan.
5. Aglutinasi diamati dalam waktu 1 menit.
VII. HASIL PENGAMATAN
Nama Probandus : Ni Kadek Kadik Purtamiati
Umur : 19 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Hasil Pemeriksaan :
Salmonella tp antigen O : Positif (+)
Para tp antigen OB : Positif (+)
Para tp antigen OC : Positif (+)
Salmonella tp antigen H : Positif (+)
Dengan titer :1/320
VIII. PEMBAHASAN
Diagnosis demam tifoid dan paratifoid yang biasanya dilakukan adalah dengan
melihat tanda dan gejala klinis, marker serologi, kultur bakteri, dan pelacakan DNA
bakteri S. Typhi dan S. Paratyphi. Kultur darah, sumsum tulang dan feses merupakan
diagnosis yang dapat dipercaya, namun sensitivitasnya berkurang ketika sudah
mendapatkan terapi antibiotik (Hayat AS. 2011). Diagnosis serologi paling sering
digunakan oleh negara berkembang sejak pertama kali diperkenalkan pada tahun 1950
oleh Felix Widal adalah uji Widal (Wain J, S Hosoglu. 2009). Uji ini digunakan oleh
negara-negara berkembang seperti Negara Indonesia dikarenakan harganya yang relatif
murah, mudah dikerjakan dan memberikan hasil yang cepat (Mitra R, Kumar N,
Trigunayat A, 2010).
Uji Widal merupakan uji diagnostik yang murah dan mudah untuk dilakukan serta
biasanya menjadi alat diagnostik di daerah endemik dimana fasilitas kultur bakteri masih
belum banyak tersedia terutama di Negara berkembang seperti Indonesia. Penegakkan
diagnosis demam tifoid melalui uji Widal dianggap positif jika terjadi kenaikan titer lebih
atau sama dengan 4 kali lipat pada titer masa akut (pemeriksaan berpasangan) atau
kenaikan titer melebihi batas bawah widal (pemeriksaan tunggal) pada suatu daerah (Alam
ABMS, 2011).
Uji Widal dapat memberikan hasil yang berbeda-beda antara lain karena uji ini
merupakan tes imunologik dan seharusnya dilakukan dalam keadaan yang baku,
Salmonella thypi mempunyai antigen O dan H yang sama dengan Salmonella lainnya,
maka kenaikan titer antibodi ini tidak spesifik untuk Salmonella thypi, penentuan hasil
positif mungkin didasarkan atas titer antibodi dalam populasi daerah endemis yang secara
konstan terpapar dengan organisme tersebut dan mempunyai titer antibodi yang mungkin
lebih tinggi daripada daerah non endemis pada orang yang tidak sakit sekalipun (Bakr
WM, 2011).
Diagnosis ditegakkan dengan melihat adanya kenaikan titer lebih atau sama
dengan 4 kali titer masa akut, tetapi pada pelaksanaan dilapangan pengambilan spesimen
menggunakan spesimen tunggal. Kenaikan titer aglutinin yang tinggi pada spesimen
tunggal, tidak dapat membedakan apakah infeksi tersebut merupakan infeksi baru atau
lama, juga kenaikan titer aglutini terutama agglutinin H tidak mempunyai anti diagnostik
yang penting untuk demam tifoid, namun masih dapat membantu dalam menegakkan
diagnosis tersangka demam tifoid pada penderita dewasa yang berasal dari daerah
nonendemik atau pada anak umur kurang dari 10 tahun didaerah endemik, sebab pada
kelompok penderita ini kemungkinan mendapat kontak dengan S. typhi dalam dosis
subinfeksi masihamat kecil. Pada orang dewasa atau anakdi atas 10 tahun yang bertempat
tinggal di daerah endemik, kemungkinan untuk menelan S. typhi dalam dosis subinfeksi
masih lebih besar sehingga uji Widal dapat memberikan ambang atas titer rujukan yang
berbeda-beda antar daerah endemik yang satu dengan yang lainnya, tergantung dari
tingkat endemisitasnya dan berbeda pula antara anak di bawah umur 10 tahun dan orang
dewasa. Dengan demikian, bila uji Widal masih diperlukan untuk menunjang diagnosis
demam tifoid, ambang atas titer rujukan, baik pada anak maupun orang dewasa perlu
ditentukan (Levine MM, 2018).
Agglutinin O dapat bertahan di atas ambang normalnya sampai 5 bulan,
sedangkan aglutinin H dapat bertahan sampai 2 tahun. Bila karena suatu sebab penderita
menjadi pembawa kuman (carrier) yang sehat, maka agglutinin Vi akan dipertahankan
terus selama dia masih menjadi pengidap kuman yang sehat (Handojo I, 2009). Uji Widal
adalah suatau reaksi serum (sero-test) untuk mengetahui ada tidaknya antibodi terhadap
Salmonella typhi, dengan jalan mereaksikan serum seseorang dengan antigen O dan
antigen H di laboratorium. Bila terjadi aglutinasi, dikatakan uji Widal positif yang berarti
serum orang tersebut mengandung antibodi terhadap Salmonella typhi, baik setelah
vaksinasi, setelah sembuh dari penyakit demamtifoid ataupun sedang menderita demam
tifoid. Uji Widal negative artinya serum tidak mengandung antibody terhadap Salmonella
typhi (Entjang I, 2009). Antigen yang digunakan pada uij Widal adalah suspensi
Salmonella typhi yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.Tujuan dari uji Widal
adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita
demam tifoid. Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H
yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar
pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif,
titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu
paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3
minggu memastikan diagnosis demam tifoid..
Uji Widal dapat menyebabkan hasil positif-palsu dalam mendiagnosis demam
tifoid dalam penelitian ini karena S. typhi memiliki antigen O dan antigen H yang sama
dengan salmonella jenis lainnya dan memiliki reaksi silang epitope dengan
enterobacteriace. Kenaikan titer widal pada pria dan wanita sehat dapat juga disebabkan
adanya reaksi silang antigen lain, contohnya malaria, brucel losis, demam berdarah,
infeksi enterobakteria dan vaksinasi (Walke H, S Palekar, 2014).
Peningkatan titer aglutinin H saja tanpa disertai peningkatan aglutinin O tidak
dapat dipakai untuk mendiagnosis penyakit demam tifoid. Penyebab hal tersebut dapat
terjadi dapat disebabkan pasien pernah terinfeksi atau sering terinfeksi dengan S. typhi
dosis rendah berada dalam masa penyembuhan demam tifoid ataupun mendapat imunisasi
antitifoid (Jawetz E, 2012).
Besar titer antibodi yang bermakna untuk diagnosis demam tifoid di Indonesia
belum didapatkan kesepakatan tetapi beberapa peneliti menyebutkan uji Widal dikatakan
positif apabila didapatkan titer ≥1:160 untuk aglutinin O maupun H dengan kriteria
diagnostik tunggal ataupun gabungan. Jika memakai kriteria diagnostik tunggal, maka
aglutinin O lebih bernilai diagnostik dibandingkan H. Kepustakaan lain menyebutkan
bahwa uji Widal tunggal memiliki kriteria interpretatif apabila didapatkan titer O >1:320
dan H>1:640 (Jawetz E, 2012)..
Sejumlah penelitian yang membahas tentang nilai dari sebuah uji Widal tunggal
telah banyak dilakukan yang menghasilkan data bahwa nilai tersebut meragukan untuk
dijadikan patokan dalam membantu diagnosis demam tifoid. Beberapa faktor yang
menyebabkan hal tersebut masih tidak jelas. Beberapa yang diduga berperan diantaranya
adalah standardisasi antigen yang buruk, efek pengobatan dengan antibiotik dan vaksinasi
sebelumnya dengan vaksin TAB. Masalah utama lainnya pada daerah yang endemis
Salmonella typhi adalah tidak diketahuinya titer antibodi pada populasi normal (Jawetz E,
2012).
Kelemahan dalam penelitian ini adalah kenaikan titer widal pada pria dan wanita
sehat dapat juga disebabkan adanya reaksi silang antigen lain, seperti malaria, brucellosis,
demam berdarah, infeksi enterobakteria, dan lain-lain. Penyakit-penyakit ini belum
dimasukkan dalam kriteria eksklusi sebagai riwayat penyakit responden. Penyakit
autoimun seperti lupus dan penyakit immunocompromized seperti AIDS (acquired
immune deficiency syndrome) juga belum dimasukkan dalam kriteria eksklusi dalam
penelitian ini karena hal ini juga dapat mempengaruhi respon antibodi pada titer Widal.
Selain itu, pengenceran titer Widal dalam penelitian ini hanya dibatasi sampai titer 1/320
pada sl ide test, padahal seharusnya pengenceran titer Widal tetap harus dilakukan sampai
benar-benar tidak terjadi aglutinasi pada titer berapapun itu (Jawetz E, 2012)..
Pada praktikum ini digunakan sampel serum darah mahasiwa, dimana sampel
darah tersebut di centrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 300 rpm. Kemudian
diambil 20 µl serum untuk uji widal, jika terdapat beberapa antbodi yang positif fiaman
yang positif akan ditandai dengan adanya aglutinasi (sepertipasir), maka akan dilanjut kan
ke pemeriksaan selanjutnya. Dengan menggunakan serum darah 10 µl dilakukan
pemeriksaan lagi, jika masih terdapat hasi yang positif dilanjutkan dengan mengambil
serum sebanyak 5 µl.
IX. KESIMPULAN
Pada pemeriksaan widal dengan probandus atas nama Ni Kadek Kadik Purtamiati, umur 19
tahun berjenis kelamin perempuan didapatkan hasil dengan serum darah terdapat antibodi
Salmonella tp antigen O : Positif (+)
Para tp antigen OB : Positif (+)
Para tp antigen OC : Positif (+)
Salmonella tp antigen H : Positif (+)
Dengan titer :1/320
DAFTAR PUSTAKA
Dissa Yulianita Suryani, Muhammad Ali Shodikin, Ida Srisurani Wiji Astuti, 2018. “Titer Widal
pada Populasi Sehat di Universitas Jember (Widal Titre among Healthy
Population in University of Jember)”. Fakultas Kedokteran Universitas
Jember.
Dr. Ni Nyoman Mahartini, Sppk, 2018. “Pemeriksaan Widal Untuk Mendiagnosis Salmonella
Typhidi Puskesmas Denpasar Timur 1”. Universitas. Udayana, Denpasar.
Kalma, 2015. “Penentuan Titer Aglutinin O dan H Salmonella typhi Dengan Uji Widal
Menggunakan Reagen Tydal dan Reagen Fortress Pada Spesimen Serum
Suspek Demam Tifoid”. Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan,
Kementerian Kesehatan Makassar
Muliawan, Lucky Hartati Moehario, 2017. “Validitas Pemeriksaan Uji Aglutinin O Danh
S.Typhi Dalam Menegakkan Diagnosis Dinidemam Tifoidsylvia”.
Vika rahma velina, 2010. “Gambaran Hasil Uji Widal Berdasarkan Lama Demam Pada Pasien Suspek
Demam Tifoid”.