Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis,
dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering2. Apendiks disebut
juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang selama ini dikenal dan digunakan di
masyarakat kurang tepat, karena yang merupakan usus buntu sebenarnya adalah
sekum. Sampai saat ini belum diketahui secara pasti apa fungsi apendiks
sebenarnya. Namun demikian, organ ini sering sekali menimbulkan masalah
kesehatan.3. Adanya hambatan dalam pengaliran tersebut, tampaknya merupakan
salah satu penyebab timbulnya appendisits.
Apendisitis dapat mengenai semua umur, baik laki-laki maupun
perempuan. Namun lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun.
Insidensinya meningkat pada pubertas dan mencapai puncaknya pada usia
remaja dan pada usia 20 tahun. Insiden terbanyak appendisitis akut berada
pada kelompok usia 20-40 tahun. Namun angka kejadian perforasi dari kasus
apendisitis justru lebih sering terjadi pada kelompok usia <12 tahun dan > 65
tahun. Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya
berdasarkan gambaran klinis. Keadaan ini menghasilkan angka
appendektomi negatif sebesar 20 % dan angka perforasi sebesar 20-30 %.
Di Amerika Serikat terjadi penurunan jumlah kasus appendisitis dari
100 kasus menjadi 52 kasus setiap 100.000 penduduk dari tahun 1985 -
2001. Keadaan ini menambah komplikasi pascaoperasi, seperti adhesi,
konsekuensi beban sosial-ekonomi, kehilangan jumlah hari kerja, dan
produktivitas. Berdasarkan US Census Bureau, International Data Base tahun
2004, di benua Asia negara Cina dan India masih menempati urutan pertama
dan kedua insidensi terbanyak kasus appendisitis akut, sedangkan Indonesia
menempati urutan ketiga. Insiden appendisitis akut di Indonesia masih

1
sangat tinggi. Pada Tahun 2004 terdapat 596.132 insiden dari 283.452.952
populasi masyarakat Indonesia.
Tingkat akurasi diagnosis appendisitis akut berkisar 76 - 92 %.
Pemakaian laparoskopi, ultrasonografi, dan Computed Tomography Scanning
(CT-scan), merupakan upaya untuk meningkatkan akurasi diagnosis
appendisitis akut amupun kronis. Beberapa pemeriksaan laboratorium dasar
masih banyak digunakan dalam diagnosis penunjang appendisitis akut.
Jumlah sel leukosit, dan hitung jenis neutrofil (differential count) adalah
penanda yang sensitif bagi proses inflamasi. Pemeriksaan ini sangat mudah,
cepat, dan murah untuk Rumah Sakit di daerah.
Tidak ada gejala dan tanda maupun tes diagnostik tunggal yang dapat
mengkonfirmasi diagnosis appendisitis secara akurat pada semua kasus.
Telah banyak upaya yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis yang tepat,
salah satunya adalah dengan skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem
skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan tidak
invasif . Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan
pada tiga gejala, tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini
berdasarkan pada temuan praoperasi dan untuk menilai derajat keparahan
appendisitis. Instrumen lain yang sering dipakai pada apendisitis akut anak
adalah klasifikasi klinikopatologi dari Cloud. Klasifikasi ini berdasarkan pada
temuan gejala klinis dan temuan durante operasi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Appendisitis adalah infeksi bakterial pada appendiks vermiformis.
karena tersumbatnya lumen oleh fekalith (batu feces), hiperplasi jaringan
limfoid, dan cacing usus. Obstruksi lumen merupakan penyebab utama
appendicitis. Erosi membran mukosa appendiks dapat terjadi karena parasit
seperti Entamoeba histolytica, Trichuris trichiura, dan Enterobius vermikularis
Appendisitis akut merupakan keadaan akut abdomen yang memerlukan
pembedahan segera untuk mencegah komplikasi yang lebih buruk. Jika telah
terjadi perforasi, maka komplikasi dapat terjadi seperti peritonitis umum,
abses, dan komplikasi pascaoperasi seperti fistula dan infeksi luka operasi.

Gambar 1. Apendisitis Akut

3
2.2 Anatomi dan Fisiologi

Apendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum)


yang bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum
terminale. Mesenteriolum berisi a. Apendikularis (cabang a.ileocolica).
Orificiumnya terletak 2,5 cm dari katup ileocecal. Mesoapendiknya
merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan
terkadang juga memiliki limfonodi kecil. 3

Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu


mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan
sirkuler) dan serosa. Apendiks mungkin tidak terlihat karena adanya
membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneum yang menyebar dari
bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan appendiks.
Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastic
membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara Mukosa dan
submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa terdiri dari satu lapis collumnar
epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding
dalam sama dan berhubungan dengan sekum (inner circular layer). Dinding
luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli
pada pertemuan caecum dan apendiks. Taenia anterior digunakan sebagai
pegangan untuk mencari apendiks.3

Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi


minggu ke-8 yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal
dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi
apendiks, yang akan berpindah dari medial menuju katup ileosekal. 2

Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan


menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya

4
insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65 % kasus, apendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang
geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada
kasus selebihnya, apediks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum,
di belakang kolon asendens, atau ditepi lateral kolon asendens. Gejala klinis
apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.7

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti


a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis
bermula disekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari a.
apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini
tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan
mengalami gangrene. 7
Menurut Wakeley (1997) lokasi appendiks adalah sebagai berikut:
retrosekal (65,28%), pelvikal (31,01%), subsekal (2,26%), preileal (1%) dan
postileal serta parakolika kanan (0,4%).

5
Gambar 2. Anatomi appendiks

Pada 65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan


appendiks memungkinkannya bergerak dalam ruang geraknya tergantung
pada panjangnya mesoapendiks. Pada kasus selebihnya appendiks terletak
retroperitoneal yaitu di belakang sekum, dibelakang kolon asenden atau tepi
lateral kolon asenden. Gejala klinis appendisitis ditentukan oleh letak dari
apendiks. Pada posisi retrosekal, terkadang appendiks menjulang kekranial
ke arah ren dekstra, sehingga keluhan penderita adalah nyeri di regio flank
kanan. Terkadang diperlukan palpasi yang agak dalam pada keadaan tertentu
karena appendiks yang mengalami inflamasi ini secara kebetulan terlindungi
oleh sekum yang biasanya mengalami sedikit dilatasi. Letak appendiks
mungkin juga di regio kiri bawah, hal ini dipakai untuk penanda
kemungkinan adanya dekstrokardia. Kadang pula panjang appendiks sampai
melintasi linea mediana abdomen, sehingga bila organ ini meradang

6
mengakibatkan nyeri perut kiri bawah. Juga pada kasus-kasus malrotasi
usus, appendiks bisa sampai diregio epigastrum, berdekatan dengan gaster
atau hepar lobus kanan.
Letak basis appendiks berada pada posteromedial sekum pada
pertemuan ketiga taenia koli, kira-kira 1-2 cm di bawah ileum. Dari ketiga
taenia tersebut terutama taenia anterior yang digunakan sebagai penanda
untuk mencari basis appendiks. Basis apendiks terletak di fossa iliaka kanan,
bila diproyeksikan ke dinding abdomen, terletak di kuadran kanan bawah
yang disebut dengan titik Mc Burney.
Organ lain di luar apendiks yang mempunyai peranan besar apabila
terjadi peradangan apendiks adalah omentum, yang merupakan salah satu
alat pertahanan tubuh apabila terjadi suatu proses intraabdominal termasuk
apendiks. Pada anak-anak appendiks lebih panjang dan lebih tipis daripada
dewasa. Oleh karena itu, pada peradangan akan lebih mudah mengalami
perforasi. Sampai umur kurang lebih 10 tahun, omentum mayus masih tipis,
pendek dan lembut serta belum mampu membentuk pertahanan atau
pendindingan (walling off) pada perforasi, sehingga peritonitis umum karena
appendisitis akut lebih sering terjadi pada anak-anak daripada dewasa.
Appendiks kekurangan sakulasi dan mempunyai lapisan otot longitudinal,
mukosanya diinfiltrasi jaringan limfoid. Pada bayi appendiks berbentuk
kerucut. Lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujung. Keadaan ini
kemungkinan menjadi sebab rendahnya kasus apendisitis pada umur
tersebut.
Appendiks mempunyai lumen yang sempit, bentuknya seperti cacing,
dan apeksnya menempel pada sekum. Diameter lumen appendiks antara 0,5 -
15 mm. Lapisan epitel lumen appendiks seperti pada epitel kolon tetapi
kelenjar intestinalnya lebih kecil daripada kolon. Appendiks mempunyai
lapisan muskulus dua lapis. Lapisan dalam berbentuk sirkuler yang
merupakan kelanjutan dari lapisan muskulus sekum, sedangkan lapisan luar
berbentuk muskulus longitudinal yang dibentuk oleh fusi dari 3 taenia koli

7
diperbatasan antara sekum dan appendiks. Appendiks vermiformis (umbai
cacing) terletak pada puncak caecum ,pada pertemuan ke-3 tinea coli yaitu:
 Taenia libra
 Taenia omentalis
 Taenia mesokolika
Appendiks disebut tonsil abdomen karena ditemukan banyak jaringan
limfoid. Jaringan limfoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar dua
minggu setelah lahir, jumlahnya meningkat selama pubertas sampai
puncaknya berjumlah sekitar 200 folikel antara usia 12-20 tahun dan
menetap saat dewasa. Setelah itu, mengalami atropi dan menghilang pada
usia 60 tahun. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus
yang mengikuti arteri mesenterika superior dari arteri appendikularis,
sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis X. Oleh karena
itu, nyeri viseral pada appendicitis bermula di sekitar umbilikus.
Vaskularisasi apendiks mendapatkan darah dari cabang a. ileokolika,
yang merupakan cabang a. mesenterika superior, yaitu a. apendikularis yang
merupakan arteri tanpa kolateral, sehingga apabila terjadi trombus pada
apendisitis akut akan berakibat terbentuknya gangren, dan bahkan perforasi
dari apendiks tersebut. Arteri apendikuler adalah cabang terminal dari arteri
ileokolika dan berjalan pada ujung bebas mesoapendiks. Kadang-kadang
pada mesenterium yang inkomplet, arteri ini terletak pada dinding sekum.
Pada mesoapendiks yang pendek dapat berakibat apendiks yang terfiksir
(immobile).

8
Gambar 3. Vaskularisasi appendiks

Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara


normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum.
Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada
patogenesis appendicitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut
Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat disepanjang saluran cerna
termasuk appendiks ialah Imunoglobulin A (Ig-A). Imunoglobulin ini sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi
bakteri, netralisasi virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen
intestinal lainnya. Namun, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi
sistem imun tubuh sebab jumlah jaringan sedikit sekali jika dibandingkan
dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh tubuh

9
Gambar 4. Posisi Apendiks

2.3 Etiologi & Faktor Resiko


Penyebab belum diketahui secara pasti. Berikut ini adalah faktor-
faktor yang mempengaruhi :
2.3.1 Obstruksi
 Hiperplasi kelenjar getah bening (60%)
 Fekalit (35%), masa feses yang membatu
 Corpus alienum (4%), biji - bijian
 Striktur lumen (1%), kinking, karena mesoappendiks pendek, adesi.

2.3.2 Infeksi
Biasanya secara hematogen dari tempat lain, misalnya pneumonia,
tonsillitis, dsb. Jenis kuman yang sering menginfeksi antara lain E. Coli dan
Streptococcus.
Beberapa penelitian tentang faktor yang berperan dalam etiologi
terjadinya apendisitis akut diantaranya obstruksi lumen apendiks, obstruksi
bagian distal kolon, erosi mukosa, konstipasi dan diet rendah serat. Pada
keadaan klinis, faktor obstruksi ditemukan dalam 60 - 70% kasus, 60%

10
obstruksi disebabkan oleh hiperplasi kelenjar limfe submukosa, 35%
disebabkan oleh fekalit, dan 5% disebabkan oleh faktor obstruksi yang lain.
Diperkirakan pula bahwa pada penderita tua obstipasi merupakan
faktor resiko yang utama, sedangkan pada umur muda adalah pembengkakan
sistim limfatik apendiks akibat infeksi virus. Disebut pula adanya perubahan
konsentrasi flora usus dan spasme sekum mempunyai peranan yang besar.

2.4 Patofisiologi dan Patogenesis.


Apendiks juga berperan sebagai sistem imun pada sistem
gastrointestinal. Sekresi immunoglobulin diproduksi oleh Gut-Associated
Lymphoid Tissues (GALT) dan hasil sekresi yang dominan adalah IgA.
Antibodi ini mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi virus, dan mencegah
penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Tetapi peran apendiks
sebagai sistem imun tidak begitu penting. Hal ini dapat dibuktikan pada
pengangkatan apendiks tidak terjadi efek pada sistem imunologi.
Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan
ditemukannya beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang
terlibat dalam apendisitis sama dengan penyakit kolon lainnya. Penemuan
kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap apendisitis
sederhana. Pada tahap apendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama
Escherichia coli banyak ditemukan. Ketika gejala memberat banyak
organisme, termasuk Proteus, Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas
dapat ditemukan. Sebagian besar penderita apendisitis gangrenosa atau
apendisitis perforasi ditemukan bakteri anaerobik terutama Bacteroides
fragilis. Bakteri ini menginvasi mukosa, submukosa, dan muskularis, yang
menyebabkan oedem, hiperemis dan kongesti lokal vaskuler, dan hiperplasi
kelenjar limfe. Kadang-kadang terjadi trombosis pada vasa dengan nekrosis
dan perforasi.
Beberapa keadaan yang mengikuti setelah terjadi obstruksi yaitu:
akumulasi cairan intraluminal, peningkatan tekanan intraluminal, obstruksi

11
sirkulasi vena, stasis sirkulasi dan kongesti dinding apendiks, dan hipoksia
jaringan, serta terjadinya infeksi anaerob. Keadaan obstruksi berakibat
terjadinya proses inflamasi. Obstruksi pada bagian distal kolon akan
meningkatkan tekanan intralumen sekum, sehingga sekresi lumen apendiks
akan terhambat keluar, sehingga tekanan intra lumen meningkat
mengakibatkan gangguan drainage pada:
 Limfe
Terjadi oedem, jika terjadi invasi bakteri maka akan terjadi
ulserasi mukosa mengakibatkan terjadinya apendisitis akut.
 Vena
Terjadi trombus-iskemi dan invasi bakteri dapat
mengakibatkan timbulnya pus hingga menjadi apendisitis
supuratif.
 Arteri
Terjadi nekrosis hingga invasi kuman dapat mengakibatkan
terjadinya apendisitis gangrenosa ataupun perforasi yang
mengakibatkan terjadinya peritonitis umum.
Konstipasi dapat menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal
sekum, yang dapat diikuti oleh obstruksi fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Penyebab utama konstipasi
adalah diet rendah serat. Diet rendah serat dapat menyebabkan feses
memadat, lebih lengket dan makin membesar, sehingga membutuhkan
proses transit dalam kolon yang lebih lama. Diet tinggi serat tidak hanya
memperpendek waktu transit feses dalam kolon, tetapi juga dapat mengubah
kandungan bakteri.
Appendiks menghasilkan mukus 1-2 ml perhari. Mukus itu secara
normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum.
Karena apendiks merupakan suatu kantong yang buntu dengan lumen yang
sempit dan secara normal berisi bakteri, resiko stagnasi dari isi apendiks
yang terinfeksi selalu ada. Resiko ini akan bertambah hebat dengan adanya

12
suatu mekanisme valvula pada pangkal apendiks yang dikenal dengan
valvula Gerlach.

Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks


oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.1

Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada


bagian proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari
mukosa apendiks yang distensi. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut
makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas
lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat
meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20. Manusia merupakan
salah satu dari sedikit binatang yang dapat mengkompensasi peningkatan
sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau terjadi perforasi.2

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks


mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan
invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah
(edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah
intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat
terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap
pasien karena ditentukan banyak faktor. 1,9

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.1

13
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis
perforasi. 1

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local
yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang.1

Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang


dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam
waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan
membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus
halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya
dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami
perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa
periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri
secara lambat. 7

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih


panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan
daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada
gangguan pembuluh darah.1

Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi


mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks,
omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti
vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses
peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi
perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah

14
selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan
dalam cavum abdominalis, oleh karena itu pendeita harus benar-benar
istirahat (bedrest). 3

Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi


akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan
jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang
diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi
dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. 7
Pemakaian antibiotika akan mengubah perlangsungan proses tersebut
sehingga dapat terjadi keadaan-keadaan seperti apendisitis rekurens dan
apendisitis kronis. Apendisitis rekurens adalah apendisitis yang secara klinis
memberikan serangan yang berulang, durante operasi pada apendiks
terdapat peradangan dan pada pemeriksaan histopatologis didapatkan tanda
peradangan akut. Sedangkan apendisitis kronis digambarkan sebagai
apendisitis yang secara klinis serangan sudah lebih dari 2 minggu,
pendapatan durante operasi maupun pemeriksaan histopatologis
menunjukkan tanda inflamasi kronis, dan serangan menghilang setelah
dilakukan apendektomi.
Bekas terjadinya infeksi dapat dilihat pada durante operasi, dimana
apendiks akan dikelilingi oleh perlekatan-perlekatan yang banyak. Dan
kadang-kadang terdapat pita-pita bekas peradangan dari apendiks keorgan
lain atau ke peritoneum. Apendiks dapat tertekuk, terputar atau terjadi
kinking, kadang-kadang terdapat stenosis parsial atau ada bagian yang
mengalami distensi dan berisi mukus (mukokel). Atau bahkan dapat terjadi
fragmentasi dari apendiks yang masing-masing bagiannya dihubungkan oleh
pita-pita jaringan parut. Gambaran ini merupakan gross pathology dari suatu
apendisitis kronik.
Pada teori sumbatan dikatakan bahwa terjadinya apendisitis diawali
adanya sumbatan dari lumen apendiks. Apendisitis yang berhubungan
dengan obstruksi yang disebabkan hiperplasia jaringan limfoid submukosa

15
disebutkan lebih banyak terjadi pada anak-anak, sementara obstruksi karena
fekalit atau benda asing lebih banyak ditemukan pada orang dewasa. Adanya
fekalit dihubungkan dengan hebatnya perjalanan penyakitnya. Bila terdapat
fekalit (apendikolit) pada pasien-pasien dengan gejala akut kemungkinan
apendiks telah mengalami komplikasi yaitu gangren.
Bila terjadi infeksi, bakteri enteral memegang peranan yang penting.
Pada penderita muda yang memiliki jaringan limfoid yang banyak, maka akan
terjadi reaksi radang dan selanjutnya jaringan limfoid akan berproliferasi
sehingga mengakibatkan penyumbatan lumen apendiks.
Diyakini bahwa adanya fekalit didalam lumen apendiks yang
sebelumnya telah terinfeksi hanya memperburuk dan memperberat infeksi
karena terjadinya peningkatan tekanan intraluminar apendiks. Ada
kemungkinan lain yang menyokong teori infeksi enterogen ini adalah
kemungkinan tertelannya bakteri dari suatu fokus di hidung atau
tenggorokan sehingga dapat menyebabkan proses peradangan pada
apendiks. Secara hematogen dikatakan mungkin saja dapat terjadi karena
apendiks dianggap tonsil abdomen.
Pada teori konstipasi dapat dikatakan bahwa konstipasi sebagai
penyebab dan mungkin pula sebagai akibat dari apendisitis. Penggunaan
yang berlebihan dan terus menerus dari laksatif pada kasus konstipasi akan
memberikan kerugian karena hal tersebut akan merubah suasana flora usus
dan akan menyebabkan terjadinya keadaan hiperemia usus yang merupakan
permulaan dari proses inflamasi. Bila sakit perut yang dialami disebabkan
apendisitis maka pemberian purgative akan merangsang peristaltik yang
merupakan predisposisi untuk terjadinya perforasi dan peritonitis.

2.5 Klasifikasi Apendisitis


2.5.1 Apendisitis akut tanpa komplikasi (cataral appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan submukosa saja.
Appendiks kadang tampak normal, atau hanya hiperemia saja. Bila appendiks

16
tersebut dibuka, maka akan tampak mukosa yang menebal, oedema dan
kemerahan. Kondisi ini disebabkan invasi bakteri dari jaringan limfoid ke
dalam dinding appendiks. Karena lumen appendiks tak tersumbat, maka hal
ini hanya menyebabkan peradangan biasa (simple appendicitis) ataupun
dapat menjadi appendisitis supuratif jikaterjadi infeksi dari bakteri piogenik .
Bila jaringan limfoid di dinding apendiks mengalami oedema, maka
akan mengakibatkan obstruksi lumen apendiks, yang akan mempengaruhi
vaskularisasi sehingga terjadi gangren, atau hanya mengalami perforasi
(mikroskopis), dalam hal ini serosa menjadi kasar dan dilapisi eksudat fibrin
post apendisitis akut, kadang-kadang terbentuk adesi yang mengakibatkan
kinking, dan kejadian ini bisa membentuk sumbatan pula.

2.5.2 Appendisitis akut dengan komplikasi


Komplikasi dapat berupa peritonitis, infiltrat, atau abses
periapendikular. Merupakan apendisitis yang berbahaya, karena appendiks
menjadi lingkaran tertutup yang berisi fecal material, yang telah mengalami
dekomposisi. Perubahan setelah terjadinya surnbatan lumen appendiks
tergantung dari isi sumbatan. Bila lumen appendiks kosong, appendiks hanya
mengalami distensi yang berisi cairan mukus dan terbentuklah mucocele.
Sedangkan bakteria penyebab biasanya merupakan flora normal lumen usus
berupa bakteri aerob (gram positif dan atau gram negatif) dan anaerob.
Appendiks yang telah menjadi gangren dapat mengalami perforasi
ataupun ruptur. Bila kondisi penderita baik, maka perforasi tersebut akan
dikompensasi dengan proses pembentukan dinding oleh jaringan sekitar,
misal omentum dan jaringan viscera lain, terjadilah infiltrat (mass), atau
proses pustulasi yang mengakibatkan abses periapendiks.

2.5.3 Apendisitis Periapendikular


Appendisitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang
kemudian disertai adanya massa periapendikular. Gejala klasik apendisitis

17
akut biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus
yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri beralih kekuadran
kanan, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat
juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi.
Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual
dan muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan
abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan
bawah akan semakin progresif.1

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Umunya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik
McBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya
sehingga merupakan somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium
tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat
pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah
terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum biasanya pasien
mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.7

Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya


terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan
tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan
atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayor yang
menegang dari dorsal. 7

Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat


menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga
peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya. 7

18
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga
tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala apendisitis akut
pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau
makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya dalam beberapa jam
kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak akan menjadi lemah dan
letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering apendisitis diketahui
setelah perforasi. Pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah
terjadi perforasi. 7

Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja,


tidak jarang terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separo penderita baru
dapat didiagnosis setelah perforasi. 7

Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual,


dan muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester
pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut sekum
dengan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak
dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan. 7

2.5.4 Klasifikasi Klinikopatologi Cloud


Klasifikasi apendisitis pada anak yang sampai saat ini banyak dianut
adalah klasifikasi yang berdasarkan pada stadium klinikopatologis dari
Cloud, klasifikasi ini berdasarkan pada temuan gejala klinis dan temuan
durante operasi :
 Apendisitis Simpel (grade I): Stadium ini meliputi apendisitis dengan
apendiks tampak normal atau hiperemi ringan dan edema, belum
tampak adatya eksudat serosa.
 Apendisitis Supurativa (grade II): Sering didapatkan adanya obstruksi,
apendiks dan mesoapendiks tampak edema, kongesti pembuluh darah,
mungkin didapatkan adanya petekhie dan terbentuk eksudat

19
fibrinopurulen pada serosa serta terjadi kenaikan jumlah cairan
peritoneal. Pada stadium ini mungkin bisa tampak jelas adanya proses
walling off oleh omentum, usus dan mesenterium didekatnya.
 Apendisitis Gangrenosa (grade III): Selain didapatkan tanda-tanda
supurasi didapatkan juga adanya dinding apendiks yang berwarna
keunguan, kecoklatan atau merah kehitaman (area gangren). Pada
stadium ini sudah terjadi adanya mikroperforasi, kenaikan cairan
peritoneal yang purulen dengan bau busuk.
 Apendisitis Ruptur (grade IV): Sudah tampak dengan jelas adanya ruptur
apendiks, umumnya sepanjang antimesenterium dan dekat pada letak
obstruksi. Cairan peritoneal sangat purulen dan berbau busuk.
 Apendisitis Abses (grade V): Sebagian apendiks mungkin sudah hancur,
abses terbentuk disekitar apendiks yang rupture biasanya di fossa iliaka
kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal atau seluruh rongga
pelvis bahkan mungkin seluruh rongga abdomen.

Menurut klasifikasi klinikopatologi Cloud, apendisitis akut grade I dan


II belum terjadi perforasi (apendisitis simpel) sedangkan apendisitis akut
grade III, IV, dan V telah terjadi perforasi (apendisitis komplikata).

2.6 Diagnosis

2.6.1 Anamnesis
Variasi pada posisi appendiks, usia pasien, dan derajat inflamasi
menjadikan presentasi klinis dari appendisitis menjadi tidak konsisten.
Gejala utama appendisitis akut adalah nyeri abdomen. Pada mulanya terjadi
nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya hilang timbul tumpul dengan sifat
nyeri ringan sampai berat, kadang-kadang disertai dengan kram intermiten.
Hal tersebut timbul oleh karena apendiks dan usus halus mempunyai
persarafan yang sama, maka nyeri visceral itu akan dirasakan mula-mula di
daerah epigastrium dan periumbilikal. Nyeri abdomen yang ditimbulkan oleh

20
karena adanya hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi, distensi dari
lumen apendiks ataupun karena tarikan dinding appendiks yang mengalami
peradangan. Apabila telah terjadi inflamasi (>6 jam), nyeri akan beralih dan
menetap di kuadran kanan bawah. Pada keadaan tersebut sudah terjadi nyeri
somatik yang berarti sudah terjadi rangsangan pada peritoneum parietal
dengan sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir, serta nyeri akan lebih hebat
bila batuk ataupun berjalan. Pasien biasanya lebih menyukai posisi supine
dengan paha kanan ditarik ke atas, karena suatu gerakan akan meningkatkan
nyeri.
Muntah merupakan rangsangan viseral akibat aktivasi n.vagus.
Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya,
merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Keadaan
anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita appendisitis akut, bila hal
ini tidak ada maka diagnosis appendisitis akut perlu dipertanyakan. Hampir
75% penderita disertai dengan vomitus, namun jarang berlanjut menjadi
berat dan kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali. Gejala disuria juga
timbul apabila peradangan appendiks dekat dengan vesika urinaria.
Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa
nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya
pada letak appendiks pelvikal yang merangsang daerah rektum. Obstipasi
dapat pula terjadi karena penderita takut mengejan.
Variasi lokasi anatomi appendiks akan menjelaskan keluhan nyeri
somatik yang beragam. Sebagai contoh appendiks yang panjang dengan
ujung yang mengalami inflamasi di kuadran kiri bawah akan menyebabkan
nyeri di daerah tersebut, nyeri kuadran kanan bawah secara klasik ada bila
appendiks yang meradang terletak di anterior, appendiks retrosekal akan
menyebabkan nyeri flank area atau punggung, appendiks pelvikal akan
menyebabkan nyeri pada suprapubik dan appendiks retroileal bias
menyebabkan nyeri testikuler, mungkin karena iritasi pada arteri spermatika
dan ureter. Urutan kejadian gejala mempunyai kemaknaan diagnosis banding

21
yang besar, lebih dari 95% appendisitis akut, anoreksia merupakan gejala
pertama, diikuti oleh nyeri abdomen dan baru diikuti oleh vomitus.
Tanda vital tidak berubah banyak. Peninggian temperatur jarang lebih
dari 1oC, yaitu antara 37,50 - 38.50C. Frekuensi nadi normal atau sedikit
meninggi. Adanya perubahan atau peninggian yang besar menunjukkan telah
terjadi komplikasi seperti perforasi atau diagnosis lain yang perlu
diperhatikan.
Adanya hiperestesi pada daerah yang diinervasi oleh n. spinalis T10,
T11, Tl2, meskipun bukan penyerta yang konstan tetapi sering didapatkan
pada appendisitis akut.

2.6.2 Pemeriksaan fisik


Kesalahan membuat diagnosis dapat terjadi kalau apendiks terletak
pada tempat yang bukan tempat biasanya yaitu kuadran kanan bawah.
2.6.2.1 Inspeksi
Penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang
sakit. Perut kembung bila terjadi perforasi, penonjolan perut kanan bawah
terlihat pada appendikuler abses. Pasien tidur miring ke sisi yang sakit
sambil melakukan fleksi pada sendi paha, karena setiap ekstensi
meningkatkan nyeri.
2.6.2.2 Palpasi
Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit
tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri, kemudian secara
perlahan-lahan mendekati daerah kuadran kanan bawah. Status lokalis
abdomen kuadran kanan bawah, antara lain:
 Nyeri tekan Mc. Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan maksimal pada kuadran
kanan bawah atau titik Mc.Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
Oleh Mc.Burney titik ini dinyatakan terletak antara 1,5 - 2 inchi dari spina

22
iliaca anterior superior (SIAS) pada garis lurus yang ditarik dari SIAS ke
umbilikus.
 Rebound tenderness
Nyeri lepas adalah rasa nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah
saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan
penekanan yang perlahan dan dalam di titik Mc. Burney karena rangsangan
atau iritasi peritoneum.
 Defans muskuler
Defans muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang
menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale pada m.Rektus
abdominis. Tahanan muskuler terhadap palpasi abdomen sejajar dengan
derajat proses peradangan, yang pada awalnya terjadi secara volunter seiring
dengan peningkatan iritasi peritoneal terjadi peningkatan spamus otot,
sehingga kemudian terjadi secara involunter.
 Rovsing sign
Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila
dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah. Hal ini dikarenakan
tekanan merangsang peristaltik dan udara usus, sehingga menggerakan
peritoneum sekitar appendik yang meradang (iritasi peritoneal).
 Psoas sign
Iritasi muskuler ditunjukkan oleh adanya psoas sign dan obturator
sign. Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh
peradangan yang terjadi pada apendiks letak retrocaecal.
Ada 2 cara pemeriksaan :
o Aktif: Pasien posisi supine, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa,
pasien diminta memfleksikan articulatio coxae kanan, dikatakan
positif jika menimbulkan nyeri perut kanan bawah.
o Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiper-ekstensikan oleh
pemeriksa, dikatakan positif jika timbul nyeri perut kanan bawah.
 Obturator Sign

23
Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut
difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara pasif, hal
tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah
hipogastrium.

2.6.2.3 Perkusi
Nyeri ketok abdomen positif

2.6.2.4 Auskultasi
Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis.
Peristaltik biasanya normal, tetapi jika sudah terjadi peritonitis generalisata
akibat appendisitis perforata maka bunyi usus menurun ataupun tidak
terdengar bunyi peristaltik usus.

2.6.2.5 Rectal Toucher


Nyeri tekan pada arah jam 9 sampai 12

2.6.2.6 Gejala dan tanda pada komplikasi appendisitis


Untuk apendisitis akut yang telah mengalami kornplikasi, misalnya
perforasi, peritonitis dan infiltrat atau abses, gejala klinisnya yaitu sebagai
berikut:
 Perforasi
Terjadi pada 20% penderita terutama usia lanjut. Perforasi apendiks
paling sering terjadi di distal obstruksi lumen apendiks sepanjang tepi
antimesenterium. Oleh sebab itu pada perforasi appendiks jarang didapatkan
gambaran udara bebas ekstralumen pada pemeriksaan foto polos abdomen.
Appendiks yang mengalami gangren atau perforasi lebih sering terjadi
dengan gejaladan tanda sebagai berikut:
 Gejala progresif dengan durasi lebih dari 36 jam. Rasa nyeri
bertambah hebat dan mulai dirasakan menyebar.

24
 Demam tinggi > 38,50C
 Leukositosis (leukosit > 14.000)
 Dehidrasi dan asidosis
 Distensi
 Menghilangnya bising usus
 Nyeri tekan kuadran kanan bawah
 Rebound tenderness sign
 Rovsing sign

 Peritonitis
Peritonitis lokal merupakan akibat dari mikroperforasi dari apendisitis
yang telah mengalami gangren. Sedangkan peritonitis umum merupakan
kelanjutan dari peritonitis lokal tersebut. Bertambahnya rasa nyeri, defans
muskuler yang meluas, distensi abdomen, bahkan ileus paralitik merupakan
gejala-gejala peritonitis umum. Bila demam makin tinggi dan timbul gejala-
gejala sepsis menunjukkan peritonitis yang makin berat.

 Abses atau Infiltrat


Riwayat klasik apendisitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri
di region iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa atau
abses apendikuler. Penegakan diagnosis didukung dengan pemeriksaan fisik
maupun penunjang. Kadang keadaan ini sulit dibedakan dengan karsinoma
sekum, penyakit Crohn, amuboma dan Lymphoma maligna intra abdomen. Perlu
juga disingkirkan kemungkinan aktinomikosis intestinal, enteritis tuberkulosa, dan
kelainan ginekolog seperti Kehamilan Ektopik Terganggu (KET), Adneksitis dan
Kista Ovarium terpuntir . Kunci diagnosis biasanya terletak pada anamnesis yang
khas.7

Tumor caecum, biasanya terjadi pada orang tua dengan tanda keadaan
umum jelek, anemia dan turunnya berat badan. Hal ini perlu dipastikan
dengan colon in loop dan benzidin test. Pada anak-anak tumor caecum yang

25
sering adalah sarcoma dari kelenjar mesenterium. Pada apendisitis
tuberkulosa, klinisnya antara lain keluhan nyeri yang tidak begitu hebat
disebelah kanan perut, dengan atau tanpa muntah dan waktu serangan dapat
timbul panas badan, leukositosis sedang, biasanya terdapat nyeri tekan dan
rigiditas pada kuadran lateral bawah kanan, kadang-kadang teraba massa. 3

Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan:

1. keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih


tinggi;
2. pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih
jelas terdapat tanda-tanda peritonitis;
3. laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis
terdapat pergeseran ke kiri.

Massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda dengan


ditandai dengan

1. keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh
tidak tinggi lagi;
2. pemeriksaan lokal abdomen tenang, tidak terdapat tanda-tanda
peritonitis dan hanya teraba massa dengan batas jelas dengan nyeri
tekan ringan
3. laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.
Pada 2-6% penderita dengan apendisitis menunjukkan adanya massa di
kuadran kanan bawah pada pemeriksaan fisik. Hal ini menunjukkan inflamasi
abses yang terfiksasi dan berbatasan dengan apendiks yang mengalami
inflamasi.

26
2.6.3 Pemeriksaan Penunjang
2.6.3.1 Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting dalam
menegakkan diagnosis appendisitis akut. Pada pasien dengan appendisitis
akut, 70-90% menunjukkan peningkatan jumlah leukosit terutama neutrofil
(shift to the left), walaupun hal ini tidak spesifik untuk appendisitis. Penyakit
infeksi pada pelvis terutama pada wanita akan memberikan gambaran
laboratorium yang terkadang sulit dibedakan dengan appendisitis akut.
Pada pasien dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik
appendisitis akut, akan ditemukan adanya leukositosis 11.000-14.000/mm3.
Jika jumlah leukosit >18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi
dan peritonitis. Namun beberapa penderita dengan apendisitis akut
terkadang memiliki jumlah leukosit dan granulosit normal.
Pemeriksaan urinalisa dapat digunakan sebagai konfirmasi dan
menyingkirkan kelainan urologi yang menyebabkan nyeri abdomen.
Urinalisa sangat penting pada pasien dengan keluhan nyeri abdomen untuk
menentukan atau menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kencing.
Apendisitis yang menempel pada ureter atau vesika urinaria, pada
pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan jumlah sel leukosit 10-15
sel/lapangan pandang.

2.6.3.7 Sistem skor Alvarado


Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan
medis ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara
untuk menurunkan insidensi apendektomi negatif, salah satunya adalah
dengan instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring
sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat, dan kurang invasif.
Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada
tiga gejala, tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini

27
berdasarkan pada temuan pra operasi dan untuk menilai derajat keparahan
apendisitis.
Berdasarkan skoring terhadap faktor risiko yang digunakan dalam
sistem skor Alvarado maka dapat diasumsikan bahwa semakin lengkap
gejala, tanda dan pemeriksaan laboratorium yang muncul atau
keberadaannya positif maka skor Alvarado akan semakin mendekati 10, dan
ini mengarahkan kepada apendisitis akut atau apendisitis perforasi.
Demikian pula sebaliknya jika semakin tidak lengkap maka skor Alvarado
semakin mendekati 1, ini mengarahkan kepada apendisitis kronis atau bukan
apendisitis. Alvarado merekomendasikan untuk melakukan operasi pada
semua pasien dengan skor ≥ 7 dan melakukan observasi untuk pasien dengan
skor 5 atau 6.

Tabel 1. Skor Alvarado untuk diagnosis apendisitis akut:


Gejala dan tanda Skor
Nyeri berpindah 1
Anoreksia 1
Mual-muntah 1
Nyeri fossa iliaka kanan 2
Rebound tenderness 1
Peningkatan suhu tubuh 1
Leukositosis > 10.000 sel/mm3 2
Shift to the left (persentase neutrofil > 75%) 1

2.7 Diagnosis Banding

Gastroenteritis

Pada terjadi mual, muntah, diare mendahului rasa sakit. Sakit perut
lebih ringan dan terbatas tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan. Panas dan

28
leukosit kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut. laboratorium
biasanya normal karena hitung normal.1,4

Limfedenitis Mesenterika

—Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis ditandai dengan sakit


perut, terutama kanan disertai dengan perasaan mual, nyeri tekan, perut
samar terutama kanan.4

Demam Dengue

—Dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan hasil
positif untuk Rumple Leed, trombositopeni, hematokrit yang meningkat.4

Infeksi Panggul

—Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu


biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah
lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan
infeksi urin. Pada gadis dapat dilakukan colok vagina jika perlu untuk
diagnosis banding. Rasa nyeri pada colok vagina jika uterus diayunkan.4

Gangguan alat kelamin perempuan

—Folikel ovarium yang pecah dapat memberikan nyeri perut kanan bawah
pada pertengahan siklus menstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa
hilang dalam waktu dalam 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama
dua hari, pada anamnesis nyeri yang sama pernah timbul lebih dahulu. 4

Kehamilan di luar kandungan

—Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak
menentu Ruptur tuba, abortus kehamilan di luar rahim disertai pendarahan
maka akan timbul nyeri mendadak difus di pelvis dan bisa terjadi syok

29
hipovolemik. Nyeri dan penonjolan rongga Douglas didapatkan pada
pemeriksaan vaginal dan didapatkan pada kuldosintesis.4

Divertikulosis Meckel

—Gambaran klinisnya hampir serupa dengan apendisitis akut. Pembedaan


sebelum operasi hanya teoritis dan tidak perlu, sejak diverticulosis Meckel
dihubungkan dengan komplikasi yang mirip pada apendisitis akut dan
diperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama.1

Divertikulosis Meckel

—Ini harus dibedakan dengan apendisiit akut karena pengobatan berbeda


umur pasien sangat penting, apendisitis jarang pada umur di bawah 2 tahun
sedangkan hampir seluruh Intususception idiopatik terjadi di bawah umur 2
tahun.1

Ulkus Peptikum yang Perforasi

—Ini sangat mirip dengan apendisitis jika isi gastroduodenum terbalik


mengendap turun ke daerah usus bagian kanan (Saekum).

Batu Ureter

—Jika diperkirakan mengendap dekat apendiks, ini menyerupai apendisitis


retrocecal. Nyeri menjalar ke labia, scrotum, atau penis, hematuria dan / atau
demam atau leukosotosis membantu. Pielography biasanya untuk
mengkofirmasi diagnosa.1

30
2.8 Penatalaksanaan
2.8.1 Tindakan Umum
Pada apendisitis akut dengan komplikasi berupa peritonitis karena
perforasi menuntut tindakan yang lebih intensif, karena biasanya keadaan
pasien sudah sakit berat. Timbul dehidrasi yang terjadi karena muntah,
sekuestrasi cairan dalam rongga abdomen dan febris. Pasien memerlukan
perawatan intensif sekurang-kurangnya 4-6 jam sebelum dilakukan
pembedahan. Pipa nasogastrik dipasang untuk mengosongkan lambung agar
mengurangi distensi abdomen dan mencegah muntah dan pasien dipuasakan.
Jika pasien dalam keadaan syok hipovolemik akibat dehidrasi ataupun
sepsis maka diberikan cairan ringer laktat 20 mg/kgBB secara intravena,
kemudian diikuti dengan pemberian plasma atau darah sesuai indikasi.
Setelah pemberian cairan intravena sebaiknya dievaluasi kembali kebutuhan
dan kekurangan cairan, serta pantau output urin.
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus
halus. Pada massa periapendikular yang pendidingannya belum sempurna,
dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika perforasi
diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa
periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk
mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak,
dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan
massa periapendikular yang terpancang dengan pendindingan sempurna,
dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu
tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam,
massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang
dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar
perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi
perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan

31
suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan
massa, serta bertambahnya angka leukosit. 7

Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya


dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena
dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan
pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka
lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa
perforasi.

Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut,


tindakan bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih
banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu
minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam
perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum.

Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada


anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif
tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi
secepatnya. 7

Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka


luka operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada
periapendikular infiltrat:

1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2. Diet lunak bubur saring
3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang
aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan
tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan apendiktomi.
Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja dan apendiktomi
dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada

32
keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan
laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat
dipertimbangkan membatalakan tindakan bedah.3,7

Untuk menurunkan demam diberikan antipiretik. Jika suhu di atas


380C pada saat masuk rumah sakit, kompres alkohol dan sedasi diindikasikan
untuk mengontrol demam. Berikan pula analgesik dan antiemetik parenteral
untuk kenyamanan pasien. Tetapi tidak dianjurkan pemberian analgetik pada
pasien dengan akut abdomen yang penyebabnya belum diketahui karena
dapat mengaburkan penegakkan diagnosis. Berikan pula antibiotik intravena
pada pasien yang menunjukkan tanda-tanda sepsis dan pada pasien yang
akan menjalani prosedur pembedahan laparotomi.

2.8.2 Appendektomi
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan terbaik. Penundaan
apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau
perforasi. Insidensi apendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar
20%. Apendektomi dapat dicapai melalui insisi Mc Burney. Tindakan
pembedahan pada kasus apendisitis akut dengan penyulit peritonitis berupa
apendektomi yang dicapai melalui laparotomi. Pembedahan darurat (cito),
dilakukan pada kasus apendisitis akut, abses, dan perforasi, sedangkan
pembedahan elektif dilakukan pada apendisitis kronik.
Indikasi dari apendektomi antara lain:
1. Appendisitis akut (apendektomi Chaud)
2. Appendisitis kronis (apendektomi Froid)
3. Peri-appendikular infiltrat dalam stadium tenang (a-Froid)
4. Appendiks terbawa pada laparotomi operasi kandung empedu
5. Appendisitis perforasi

33
Gambar 5. Titik McBurnay

Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi :


1. Kutis
2. Subkutis
3. Fascia Scarfa
4. Fascia Camfer
5. Aponeurosis M. Obliqus Eksternus
6. M. Obliqus Internus
7. M. Transversus
8. Fascia Transversalis
9. Pre-peritoneum
10. Peritoneum

34
Macam insisi pada appendektomi:
1. Insisi Gridiron (Mc Burney), yaitu insisi tegak lurus garis Mc Burney.
Keuntungannya adalah caecum lebih mudah dipegang dan kontaminasi
kuman minimal.
2. Incisi Paramedian kanan, terutama digunakan pada wanita, karena dapat
sekaligus melakukan eksplorasi adneksa, genitalia interna, khususnya
pada kasus-kasus yang meragukan. Kerugiannya yaitu caecum lebih
sukar dipegang dan kontaminasi lebih besar.

Padaappendisitis infiltrat, dilakukan konservatif terlebih dahulu


kemudian operasi elekfif dalam masa tenang, terapi konservatifnya antara
lain:
 Bed rest total posisi Fowler (anti Trendelenburg)
 Diet rendah serat
 Antibiotika spektrum luas
 Metronidazol
 Monitor tanda - tanda peritonitis (perforasi), suhu tiap 6 jam,
LED, leukosit. Bila keadaan membaik dianjurkan untuk
mobilisasi dan selanjutnya dipulangkan.

2.8.3 Terapi medikamentosa


Antibiotika sebelum pembedahan diberikan pada semua pasien
dengan apendisitis. Antibiotika profilaksis mengurangi insidensi komplikasi
infeksi apendisitis. Pemberian antibiotika dihentikan setelah 24 jam selesai
pembedahan. Antibiotika berspektrum luas diberikan secepatnya sebelum
ada biakan kuman. Pemberian antibiotika untuk infeksi anaerob sangat
berguna untuk kasus-kasus perforasi apendisitis. Antibiotika diberikan
selama 5 hari setelah pembedahan atau melihat kondisi klinis penderita.
Kombinasi antibiotika yang efektif melawan bakteri aerob dan
anaerob spektrum luas diberikan sebelum dan sesudah pembedahan.

35
Kombinasi ampisilin (100 mg/kgBB), gentamisin (7,5 mg/kgBB) dan
klindamisin (40 mg/kgBB) dalam dosis terbagi selama 24 jam cukup efektif
untuk mengontrol sepsis dan menghilangkan komplikasi apendisitis
perforasi. Metronidazol aktif terhadap bakteri gram negatif dan
didistribusikan dengan baik ke cairan tubuh dan jaringan..

2.9 Komplikasi dan Penyulit


Bila tidak ditangani dengan baik maka apendisitis akut dapat
mengalami perforasi dan berlanjut menjadi peritonitis lokal maupun umum.
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah perforasi baik berupa perforasi
bebas maupun perforasi pada bagian apendiks yang telah mengalami
pendindingan (Walling off) sehingga berupa massa yang terdiri dari
kumpulan mesoapendiks, apendiks, sekum dan lengkung usus yang disebut
sebagai massa periapendikuler.
Terjadinya massa periapendikuler bila apendisitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi pendindingan oleh omentum dan lengkung usus.
Pada massa periapendikuler yang pendindingannya belum sempurna, dapat
terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum saat terjadi perforasi,
akibatnya akan terjadi peritonitis umum.
Komplikasi lain yang cukup berbahaya adalah pylephlebitis, yaitu
trombophlebitis supurativa pada sistem vena porta akibat perluasan infeksi
apendisitis. Gejalanya berupa menggigil, demam tinggi, ikterik ringan dan
abses hepatik.
Komplikasi yang terjadi setelah pembedahan apendisitis diantaranya
adalah infeksi. Infeksi setelah pembedahan sering terjadi pada apendisitis
perforasi atau gangrenosa. Meskipun infeksi bisa terjadi di sejumlah lokasi,
infeksi yang terletak di lokasi pembedahan adalah yang paling sering, yaitu
pada luka subkutan dan dalam rongga abdominal. Insidensi kedua
komplikasi ini bervariasi tergantung pada derajat apendisitis, umur

36
penderita, kondisi fisiologis dan tipe penutupan luka. Obstruksi intestinal
bisa terjadi setelah pembedahan pada kasus apendisitis, hal ini disebabkan
oleh abses, phlegmon intraperitoneal atau adhesi. Infertilitas dapat terjadi
pada perempuan dengan apendisitis perforasi.
Komplikasi lain, di antaranya:
 Nekrosis dinding appendiks
 Perforasi dinding appendiks dan pus masuk ke kavum peritonii
 General peritonitis
 Periappendikular infiltrat atau Phlegmon atau
Periappendicular abses
 Sepsis
 Appendisitis kronis

Penyulit Appendektomi :
1. Pre Operasi
 Perdarahan dari a. mesenterium atau omentum
 Robekan sekum atau usus lain
2. Pasca Operasi
 Perdarahan
 Infeksi
 Hematom
 Paralitik ileus
 Peritonitis
 Fistel usus
 Streng Ileus karena band
 Hernia sikatrik

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid


Kedua. Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.
2. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent
edition. Mc-Graw Hill a Division of The McGraw-Hill Companies.
Enigma an Enigma Electronic Publication.
3. Anonim, . Ilmu Bedah dan Teknik Operasi. Bratajaya Fakultas
Kedokteran UNAIR. Surabaya.
4. Lugo,. V.H., 2004. Periappendiceal Mass. Pediatric Surgery Update.
Vol.23 No.03 September 2004.

5. Sedlak M, Wagner OJ, Wild B, Papagrigoriades S, Exadaktylos AK. Is


there still a role for rectal examination in suspected appendicitis in
adults?. Am J Emerg Med. Mar 2008;26(3):359-60.

6. Shakhatreh HS. The accuracy of C-reactive protein in the diagnosis of


acute appendicitis compared with that of clinical diagnosis. Med
Arh. 2000;54(2):109-10.

7. Yang HR, Wang YC, Chung PK, Chen WK, Jeng LB, Chen RJ. Laboratory
tests in patients with acute appendicitis. ANZ J Surg. Jan-
Feb 2006;76(1-2):71-4.

8. Reksoprodjo, S., dkk.1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah


Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bina Rupa
Aksara. Jakarta.

9. Hardin, M., 1999. Acute Appendisitis :Review and Update. The American
Academy of Family Physicians. Texas A&M University Health Science
Center, Temple, Texas

38

Anda mungkin juga menyukai