Anda di halaman 1dari 31

BAB 1

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Retardasi mental adalah fungsi intelektual di bawah rata-rata yang muncul bersamaan
dengan defisit perilaku adaptif dan bermanifestasi dalam periode perkembangan serta
berakibat buruk terhadap kemampuan belajar. Keterbatasan fungsi akan terlihat sebelum usia
18 tahun. Keterbatasan ini berkaitan dengan dua atau lebih area keterampilan seperti:
komunikasi, merawat diri, keterampilan sosial, kemampuan bermasyarakat, pengarahan diri,
kesehatan dan keamanan, akademik fungsional, istirahat, dan bekerja. Fungsi intelektual
dapat diketahui dengan tes fungsi kecerdasan dan hasilnya dinyatakan sebagai suatu taraf
kecerdasan atau IQ.

Epidemiologi retardasi mental belum diketahui secara jelas namun penelitian secara
konsisten menunjukkan bahwa retardasi mental paling sering terjadi di antara anak-anak usia
sekolah, dengan angka yang lebih rendah pada periode pra sekolah atau post sekolah.1
Berdasarkan statistik (menurut American Psychiatric Association) 2,5 % dari populasi
menderita retardasi mental dan 85% diantaranya merupakan retardasi mental ringan. Di
Amerika serikat Tahun 2001-2002 lebih kurang 592.000 atau 1,2 % anak usia sekolah
mendapat pelayanan retardasi mental.2

Retardasi mental terbagi atas retardasi mental ringan dan berat. Retardasi mental ringan
lebih dihubungkan dengan pengaruh lingkungan dan adanya riwayat keluarga sedangkan
retardasi mental berat lebih dihubungkan dengan penyebab biologis seperti sindrom genetik
dan kromosom, abnormalitas perkembangan otak, gangguan metabolisme sejak lahir,
gangguan neurodegenerative, malnutrisi berat, paparan radiasi, infeksi, kelainan pada masa
perinatal, serta kelainan pada masa postnatal.2

Perkembangan adalah proses multidimensional yang mempengaruhi performa di semua


bidang kehidupan, gangguan perkembangan dapat mengenai satu atau beberapa bidang
kemampuan, dan dapat memiliki dampak pada fungsi intelektual maupun adaptif di

1
sepanjang kehidupan.1 Hal tersebut menyebabkan penatalaksanaan anak dengan retardasi
mental haruslah bersifat multidimensi dan sangat individual. Tetapi perlu diingat bahwa tidak
setiap anak membutuhkan penanganan multidisiplin sebagai jalan yang terbaik. 2,3

Retardasi mental yang diketahui penyakit dasarnya, biasanya prognosisnya lebih baik.
Tetapi pada umumnya sukar untuk menemukan penyakit dasarnya. Anak dengan retardasi
mental ringan, dengan kesehatan yang baik, tanpa penyakit kardiorespirasi, pada umumnya
umur harapan hidupnya sama dengan orang yang normal. Tetapi sebaliknya pada retardasi
mental yang berat dengan masalah kesehatan dan gizi, sering meninggal pada usia muda.3

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI
Menurut WHO, retardasi mental adalah kemampuan mental yang tidak mencukupi.3
Retardasi mental menurut The Individuals with Disabilities Education Act (IDEA) adalah fungsi
intelektual di bawah rata-rata yang muncul bersamaan dengan defisit perilaku adaptif dan
bermanifestasi dalam periode perkembangan serta berakibat buruk terhadap kemampuan belajar.2
The American Association on Intellectual and Developmental Disabilities (AAIDD,2002)
mendefinisikan retardasi mental sebagai keterbatasan dalam fungsi intelektual dan perilaku
adaptif.4

Menurut Association American of Mental Retardation (AAMR), retardasi mental


mengacu pada fungsi intelektual yang secara signifikan berada di bawah rata-rata, didefinisikan
sebagai nilai Intelegence Quotient (IQ) <70-75, terdapat bersamaan dengan keterbatasan yang
berkaitan dengan dua atau lebih area keterampilan adaptif yang dapat diterapkan: komunikasi,
merawat diri, keterampilan sosial, kemampuan bermasyarakat, pengarahan diri, kesehatan dan
keamanan, akademik fungsional, istirahat, dan bekerja.1

Fungsi intelektual dapat diketahui dengan tes fungsi kecerdasan dan hasilnya dinyatakan
sebagai suatu taraf kecerdasan atau IQ yang merupakan persentase yang didapatkan dari umur
mental berbanding umur kronologis. Apabila IQ di bawah 70, anak tidak dapat mengikuti
pendidikan sekolah biasa, karena cara berpikirnya yang terlalu sederhana, daya tangkap dan daya
ingatnya lemah, demikian pula dengan pengertian bahasa dan berhitungnya juga sangat lemah. 3

Perilaku adaptif sosial adalah kemampuan seseorang untuk mandiri, menyesuaikan diri
dan mempunyai tanggung jawab sosial yang sesuai dengan kelompok umur dan budayanya. Pada
penderita retardasi mental, gangguan perilaku adaptif yang paling menonjol adalah kesulitan
menyesuaikan diri dengan masyarakat sekitarnya. Biasanya tingkah lakunya kekanak-kanakan
tidak sesuai dengan umurnya.

3
2. EPIDEMIOLOGI

Berdasarkan statistik (menurut American Psychiatric Association) 2,5 % dari populasi


menderita retardasi mental dan 85% diantaranya merupakan retardasi mental ringan. Di Amerika
serikat tahun 2001-2002 lebih kurang 592.000 atau 1,2 % anak usia sekolah mendapat pelayanan
retardasi mental. 2

Perkiraan prevalensi berdasarkan pada tes psikometrik standar menunjukkan bahwa


hanya di bawah 3% populasi umum memiliki “ fungsi intelektual yang secara signifikan berada
di bawah rata-rata “ (memiliki nilai tes yang berada lebih dari dua standar deviasi di bawah rata-
rata). Prevalensi retardasi mental ringan paling tinggi diantara anak-anak dari keluarga miskin,
sementara individu yang mengalami kecacatan yang lebih berat diwakilkan secara sama pada
semua kelompok masyarakat. Kira-kira 5% populasi mengalami retardasi mental berat atau
sangat berat.

Menurut Sondakh, Retardasi mental di dunia merupakan masalah dengan implikasi yang
besar terutama di negara berkembang. Diperkirakan terdapat 3% dari total populasi di dunia yang
mengalami retardasi mental, tetapi hanya 1 - 1.5% yang terdata. WHO memperkirakan jumlah
anak retardasi metal di Indonesia sekitar 7 – 10% dari total jumlah anak. Pada tahun 2003 jumlah
anak retardasi mental 679.048 atau 21.42%, dengan perbandingan laki-laki 60% dan perempuan
40%. Dengan kategori retardasi mental sangat berat 25%, kategori berat 2.8%, retradasi mental
cukup berat 2.6%, dan retradasi mental ringan 3.5%.1

Anak-anak dengan retardasi mental dapat didiagnosis juga dengan gangguan lain seperti
autisme dan cerebral palsy. Secara keseluruhan, prevalensi retardasi mental dapat terjadi lebih
tinggi pada laki-laki di banding perempuan yaitu 2:1 pada retardasi mental ringan dan 1,5 : 1
pada retardasi mental berat.2

3. ETIOLOGI
Terdapat 2 populasi gangguan retardasi
1. Retardasi mental ringan (IQ > 50), lebih dihubungkan dengan pengaruh lingkungan.
Retardasi mental ringan ini 4 kali lebih banyak terjadi pada anak yang ibunya tidak tamat
SMA. Hal ini kemungkinan akibat dari gabungan faktor genetik (anak yang mewarisi
gangguan intelektual) dan faktor sosio-ekonomi (kemiskinan dan Undernutrition).

4
Penyebab spesifik gangguan retardasi mental ringan hanya teridentifikasi pada <50%
penderita. Penyebab biologis paling sering adalah sindrom genetik dengan kelainan
kongenital, prematuritas, penyalahgunaan obat yang menyebabkan gangguan intrauterin,
dan abnomalitas kromosom seks. Sering ditemukan adanya riwayat keluarga.2, 5
2. Retardasi mental berat (IQ < 50), lebih dihubungkan dengan penyebab biologis.
Penyebab biologis dapat diidentifikasi pada 75% kasus. Penyebab penyakit tersebut
antara lain : sindrom genetic (sindrom Fragile X, Prader willi Syndrome) dan kromosom
(Down sindrom, klinefelter syndrome), Abnormalitas perkembangan otak (ensefalopati,
Lissencephaly), gangguan metabolisme sejak lahir [Fenilketonuria(PKU), Tay-sach],
gangguan neurodegenerative (mukopolisakaridosis), malnutrisi berat, paparan radiasi,
infeksi [Human Imunodefisiensi Virus (HIV), toksoplasma, rubella,
Sitomegalovirus(CMV), Syphilis, Herpes Simpleks], kelainan pada masa perinatal,
meningitis, intoksikasi alkohol pada masa fetal, kelainan pada masa postnatal (trauma,
meningitis, Hipotiroid)2, 5

Adanya disfungsi otak merupakan dasar dari retardasi mental. Untuk mengetahui adanya
retardasi mental perlu anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Penyebab dari
retardasi mental sangat kompleks dan multifaktorial. Walaupun terdapat beberapa faktor yang
potensial berperan dalam terjadinya retardasi mental seperti yang dinyatakan oleh Taft LT dan
Shonkoff JP di bawah ini. Faktor-faktor yang potensial sebagai penyebab retardasi mental:3
1. Non organik
 Kemiskinan dan keluarga yang tidak harmonis
 Faktor sosiokultural
 Interaksi anak dengan pengasuh yang tidak baik
 Penelantaran anak
2. Organik
 Faktor pra konsepsi
- Abnormalitas single gen (penyakit-penyakit metabolik, kelainan
neurokutaneus, dll)
- Kelainan kromosom (x-linked, translokasi, fragile-x)
 Faktor pranatal

5
- Gangguan pertumbuhan otak trimester I
 Kelainan kromososm (trisomi, mozaik, dll)
 Infeksi intrauterin, TIRCH, HIV
 Zat-zat teratogen (alkohol, radiasi)
 Disfungsi plasenta
 Kelainan kongenital dari otak (idiopatik)
- Gangguan pertumbuhan otak trimester II dan III
 Infeksi intrauterin
 Zat-zat teratogen (alkohol, kokain, logam berat)
 Ibu: diabetes melitus, fenilketonuria (PKU)
 Toksemia gravidarum
 Disfungsi plasenta
 Ibu malnutrisi
 Faktor perinatal
- Sangat prematur
- Asfiksia neonatorum
- Trauma lahir: perdarahan intrakranial
- Meningitis
- Kelainan metabolik: hipoglikemia, hiperbilirubinemia
 Faktor postnatal
- Trauma berat pada kepala atau susunan saraf pusat
- Neurotoksin
- CVA (Cerebrovascular Accident)
- Anoksia, misalnya teggelam
- Metabolik
 Gizi buruk
 Kelainan hormonal, misalnya hipotiroid
 Aminoasiduria, misalnya PKU
 Kelainan metabolisme karbohidrat, galaktosemia, dll
 Polisakaridosis, misalnya sindrom hurler
 Serebral lipidosis (Tay Sachs), dengan hepatomegali

6
- Infeksi
 Meningitis, ensefalitis
 Subakut sklerosing panensefalitis

4. PATOFISIOLOGI

Perlu dipahami bahwa otak bayi dan anak bukanlah miniatur otak dewasa. Otak bayi dan
anak merupakan organ tubuh yang masih tumbuh dan berkembang. Otak bayi dan anak akan
tumbuh menjadi besar, lebih besar, dan masih berkembang dari otak yang semula imatur menjadi
otak matur. Masa selama 2 minggu setelah pembuahan atau disebut masa praembrio terjadi
pembelahan sel telur yang telah dibuahi. Sedangkan pada usia kehamilan 2-8 minggu disebut
sebagai masa embrio.6

Awal pembentukan susunan saraf pusat atau otak dimulai setelah kehamilan 8 minggu.
Pertumbuhan dan perkembangan otak dimulai dengan pembentukan lempeng saraf (neural plate)
pada masa embrio, yakni sekitar hari ke-16. Kemudian menggulung membentuk tabung saraf
(neural tube) pada hari ke-22. Pada minggu ke-5 mulailah terlihat cikal bakal otak besar di ujung
tabung saraf. Selajutnya terbentuklah batang otak, serebelum (otak kecil), dan bagian-bagian
lainnya. Perkembangan otak sangat kompleks dan memerlukan beberapa seri proses
perkembangan, yang terjadi atas penambahan (poliferasi) sel, perpindahan (migrasi sel),
perubahan (diferensiasi) sel, pembentukan jalinan saraf satu dengan yang lainnya (sinaps), dan
pembentukan selubung saraf (mielinasi). 8

Sel saraf (neuron) pada permulaan bentuknya masih sederhana, mengalami pembelahan
menjadi banyak, dan proses ini disebut proliferasi. Proses proliferasi ini berlangsung selama
kehamilan 4-24 minggu, dan selesai pada waktu bayi lahir. Setelah proses proliferasi, sel saraf
akan migrasi ke tempat yang semestinya. Proses migrasi berlangsung sejak kehamilan kira-kira
16 minggu sampai akhir bulan ke-6 masa gestasi. Proses migrasi ini terjadi secara bergelombang,
yaitu sel saraf yang bermigrasi awal akan menempati lapisan dalam dan yang bermigrasi
kemudian menempati lapisan dalam dan yang bermigrasi kemudian menempati lapisan luar
korteks serebri.8

7
Pada akhir bulan ke-6, lempeng korteks ini sudah memiliki komponen sel neuron yang
lengkap dan sudah tampak adanya diferensiasi menjadi 6 lapis seperti orang dewasa. Di tempat
yang semestinya, sel saraf mengalami proses diferensiasi (perubahan bentuk, komposisi, dan
fungsi). Sel saraf berubah menjadi sel neuron dengan cabang-cabangnya dan terbentuk pula sel
penunjang (sel Glia). Fungsi sel inilah yang mengatur kehidupan kita sehari-hari. 8

Ada yang mengatakan penambahan jumlah sel saraf telah selesai pada saat kelahiran.
Setelah lahir hanya terjadi pematangan fungsi sel saraf, tetapi selubung saraf atau myelin yang
disebut mielinisasi masih berkembang. Tetapi, setelah lahir terjadi penambahan volume dan
berat otak, bayi tampak lebih pintar. Hal ini karena adanya pertumbuhan serabut saraf, adanya
peningkatan jumlah sel glia yang luar biasa dan proses mieliniasi akibat proses stimulasi yang
didapat saat lahir.8

Proses perkembangan otak ini memegang peranan penting dalam perkembangan mental
anak, hanya saja keterbatasan pengetahuan tentang neuropatologi terhadap hal yang
menyebabkan kemunduran intelektual, sebagaimana telah dibuktikan dengan adanya 10-20%
otak manusia dengan retardasi mental berat, tetapi terlihat normal secara keseluruhan. Sebagian
besar otak manusia menunjukkan perubahan yang ringan dan non-spesifik yang tidak
mempunyai hubungan yang kuat dengan derajat kemunduran intelektual. Perubahan-perubahan
tersebut meliputi mikrosefal, heterotopi substansia grisea pada substansial alba bagian
subkortikal, korteks dengan susunan regular yang tidak biasa dan neuron yang terikat lebih kuat
dari biasanya. Hanya sebagian kecil dari otak yang menunjukkan perubahan spesifik pada
susunan dendrit dan sinap, dengan adanya disgenesis dari dendrit di spinal atau di neuron
kortikal atau adanya gangguan pertumbuhan dendrit. Pengaturan sistem saraf pusat yang
mencakup proses induksi; maturasi sistim saraf pusat dipengaruhi oleh genetik, molekuler,
autokrin, parakrin, dan endokrin. Reseptor-reseptor yang merangsang molekul dan gen sangatlah
penting dalam perkembangan otak, Pemeliharaan fenotip neuron pada orang dewasa mencakup
transkrip genetik yang sama, yang berperan penting selama perkembangan fetus melalui aktivasi
mekanisme transduksi intrasel.6

5. DIAGNOSIS

8
Anamnesis yang sangat diperlukan yaitu mengetahui penyebab retardasi mentalnya, baik
organik atau non organik, apakah kelainannya dapat diobati/tidak, dan apakah ada faktor
genetik/tidak. Dengan melakukan skrining secara rutin misalnya dengan menggunakan DDST
(Denver Developmental Screening Test), maka diagnosis dini dapat segera dibuat. Demikian pula
anamnesis yang baik dari orang tua, pengasuh atau gurunya, akan sangat membantu dalam
menegakkan diagnosis. Setelah anak berumur 6 tahun dapat dilakukan tes IQ. Sering kali hasil
evaluasi medis tidak khas dan tidak dapat diambil kesimpulan. Pada kasus seperti ini, apabila
tidak ada kelainan pada sistem susunan saraf pusat, perlu anamnesis yang teliti untuk mengetahui
apakah ada keluarga yang cacat, dan mencari masalah lingkungan/faktor non organik lainnya
yang diperkirakan mempengaruhi kelainan pada otak anak.3, 7

Gejala klinis retardasi mental terutama yang berat sering disertai beberapa kelainan fisik
yang merupakan stigmata kongenital, yang kadang-kadang gambaran stigmata mengarah kesuatu
sindroma penyakit tertentu. Dibawah ini beberapa kelainan fisik dan gejala yang sering disertai
retardasi mental, yaitu : 3

1. Kelainan pada mata:


1.1 Katarak

- Sindrom Cockayne - Sindrom Down


- Sindrom Lowe - Kretin
- Galactosemia - Rubela Pranatal, dll

1.2 Bintik cherry – merah pada daerah makula

- Mukolipidosis - Penyakit Tay - Sachs


- Penyakit Niemann –Pick

1.3 Korioretinitis

- Lues Kongenital - Sindrom Hurler


- Sindroma Hunter - Sindrom Lowe

2. Kejang

9
2.1 Kejang umum tonik klonik

- Defisiensi glikogen sinthetase


- Hiperlisinemia
- Hipoglikemia, terutama yang disertai glycogen storage disease I, II, IV, danVI
- Phenyl ketonuria
- Sindrom malabsorbsi methionin, dll

2.2 Kejang pada masa neonatal

- Arginosuccinic asiduria
- Hiperaminonemia I dan II
- Laktik Asidosis,dll

3. Kelainan Kulit

Bintik cafe –au-lait

- Ataksia – telengiektasia
- Sindrom Bloom
- Neurofibromatosis
- Tuberous sclerosis

4. Kelainan Rambut
4.1 Rambut rontok

- Familial laktik asidosis dengan necrotizing ensefalopati

4.2 Rambut cepat memutih

- Atrofi progresif serebral hemisfer


- Ataksia telangiektasia
- Sindrom malabsorpsi methionin

4.3 Rambut halus

10
- Hipotiroid
- Malnutrisi

5. Kepala

- Mikrosefali
- Makrosefali
o Hidrosefalus
o Mucopolisakaridase
o Efusi subdural

6. Perawakan pendek

- Kretin
- Sindrom Prader-Willi

7. Distonia

- Sindrom Hallervorden-Spaz

Gejala retardasi mental berdasarkan tipenya:

1. Retardasi mental ringan

Kelompok ini merupakan bagian terbesar dari retardasi mental. Diagnosis dibuat setelah
anak beberapa kali tidak naik kelas. Golongan ini termasuk mampu didik, artinya selain
dapat diajar baca tulis bahkan bisa sampai kelas 4-6 SD, juga bisa dilatih keterampilan
tertentu sebagai bekal hidupnya kelak dan mampu mandiri seperti orang dewasa yang
normal. Tetapi pada umumnya mereka kurang mampu menghadapi stress, sehingga tetap
membutuhkan bimbingan dari keluarganya.

2. Retardasi mental sedang

Kelompok ini kira-kira 12% dari seluruh penderita retardasi mental, mereka mampu latih
tetapi tidak mampu didik. Taraf kemampuan intelektualnya hanya dapat sampai kelas 2

11
SD saja, tetapi dapat dilatih menguasai suatu keterampilan tertentu misalnya pertukangan,
pertanian, dll. Dan apabila bekerja nanti mereka memerlukan pengawasan. Mereka juga
perlu dilatih bagaimana mengurus diri sendiri. Kelompok ini juga kurang mampu
menghadapi dan kurang dapat mandiri, sehingga memerlukan bimbingan dan
pengawasan.

3. Retardasi mental berat

Sekitar 7% dari seluruh penderita retardasi mental masuk kelompok ini. Diagnosis mudah
ditegakkan secara dini , karena selain adanya gejala fisik yang menyertai juga
berdasarkan keluhan dari orang tua dimana anak sejak awal sudah terdapat
keterlambatan perkembangan motorik dan bahasa. Kelompok ini termasuk tipe klinik.
Mereka dapat dilatih higiene dasar saja dan kemampuan berbicara yang sederhana , tidak
dapat dilatih keterampilan kerja dan memerlukan pengawasan dan bimbingan sepanjang
hidupnya.

4. Retardasi mental sangat berat

Kelompok ini sekitar 1 % dan termasuk dalam tipe klinik. Diagnosis dini mudah dibuat
karena gejala baik mental dan fisik sangat jelas. Kemampuan berbahasanya sangat
minimal. Mereka ini seluruh hidupnya tergantung pada orang disekitarnya. 3

Kriteria diagnostik retardasi mental menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR) :2, 8

1. Fungsi intelektual yang secara signifikan dibawah rata-rata. IQ kira-kira 70 atau dibawahnya.

2. Gangguan terhadap fungsi adaptif paling sedikit 2, misalnya komunikasi, perawatan diri,
kemampuan melakukan tugas-tugas rumah tangga, sosial, pekerjaan, kesehatan dan keamanan.

3. Onsetnya sebelum berusia 18 tahun.

Pemeriksaan yang paling sering dilakukan pada anak dengan retardasi mental antara lain
neuroimaging, tes metabolik, genetik, kromosom darah, dan elektro ensefalografi (EEG). Tes-tes

12
tersebut sebaiknya tidak digunakan untuk anak dengan keterbelakangan intelektual. Jenis tes
yang dilakukan sebaiknya didasarkan pada riwayat keluarga/kesehatan, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan oleh bidang keilmuan yang lain, dan keinginan keluarga.2
Tes Karyotype terutama ditujukan untuk melihat jumlah kromosom, duplikasi, delesi,
atau translokasi kromosom. Tes molekuler genetik untuk sindrom Fragile X tepat digunakan
untuk laki-laki dengan retardasi mental sedang, perawakan fisik yang tidak normal, dan/atau
memiliki riwayat retardasi mental pada keluarga; atau perempuan dengan defisit kognitif ringan
dengan sikap pemalu yang berlebihan dan memiliki riwayat keluarga. Anak dengan gangguan
neurologis yang progresif atau perubahan perilaku tiba-tiba membutuhkan investigasi metabolik
(asam organik urin, asam amino plasma, laktat darah, enzim lisosom dalam limfosit), anak
dengan episode mirip kejang harus mendapatkan pemeriksaan EEG. Anak dengan pertumbuhan
kepala abnormal atau asimetris dan temuan neurologis fokal harus menjalankan prosedur
neuroimaging.
Lebih kurang 6 % retardasi mental tanpa sebab yang jelas kemungkinan disebabkan oleh
abnormalitas kromosom “mikro” yang dapat diidentifikasi dengan penyatuan kromosom resolusi
tinggi, fluorescent insitu hybridization (FISH) atau penggambaran kromosom untuk pengaturan
subtelomeric. MRI dapat digunakan untuk mengidentifikasi sejumlah marker disgenesis serebral
pada anak dengan keterbelakangan intelektual.

Diagnosis retardasi mental membutuhkan pula tes intelijensia individual dan tes
kemampuan fungsi adaptif. The Bayley Scales of Infant Development (BSID-II) merupakan skala
penilaian intelejensi yang paling umum dipakai, skala ini menilai kemampuan bahasa,
kemampuan pemecahan masalah, perilaku, kemampuam motorik halus, dan kemampuan motorik
kasar pada anak usia 1 bulan – 3 tahun, dari skala tersebut akan diperoleh hasil berupa mental
developmental index (MDI) dan skor psikomotor developmental index (PDI, sebuah pengukuran
kompetensi motorik).2, 9 Tes ini dapat membedakan anak dengan retardasi mental berat dan anak
normal, namun tes ini tidak terlalu bermanfaat untuk membedakan anak normal dengan anak
yang mengalami retardasi mental ringan. Tes psikologis yang paling umum digunakan untuk
anak > 3 tahun adalah Wechsler scales. The Wechsler Preschool and Primary Scale of
Intelligence-revised (WPPSI-III) digunakan untuk anak usia mental 2,5 – 7,3 tahun. The
Wechlser Intelligence Scale for Children-4th edition (WISC-IV) digunakan untuk anak dengan
usia mental diatas 6 tahun. Kedua skala tersebut terdiri dari beberapa subtest dalam area verbal

13
dan keterampilan. Meskipun anak dengan retardasi mental memiliki skor dibawah rata-rata pada
seluruh subscale scores, namun kadang mereka memiliki skor rata-rata pada satu atau lebih area
keterampilan.2
Tes perilaku adaptif yang paling umum digunakan adalah Vineland Adaptive Behavior
Scale yang melibatkan wawancara dengan orangtua atau guru dan menilai perilaku adaptif dalam
4 domain utama: komunikasi, keterampilan hidup sehari-hari, sosialisasi dan kemampuan
motorik. Bisanya terdapat hubungan antara skor intelijensia dan skor adaptif. Kemampuan
adaptif dasar (makan, berpakaian, hygiene) lebih mudah diperbaiki dibandingkan dengan skor
IQ.2

6. DIAGNOSIS BANDING

Sebelum menegakkan diagnosis retardasi mental, kelainan-kelainan lain yang


mempengaruhi kemampuan kognitif dan perilaku adaptif juga harus menjadi pertimbangan,
diantaranya kondisi yang mirip dengan retardasi mental dan kondisi lain yang melibatkan
keterbelakangan intelektual sebagai salah satu manifestasinya. Defisit sensoris (kemampuan
pendengaran yang buruk dan kehilangan penglihatan), gangguan komunikasi, dan kejang tak
terkontrol dapat menyerupai retardasi mental; gangguan neurologis progresif tertentu
munculannnya dapat menyerupai retardasi mental sebelum terjadinya regresi. Lebih dari
setengah anak-anak yang menderita serebral palsi atau autisme juga menderita retardasi mental.
Serebral palsi dengan retardasi mental tampak pada kemampuan motoriknya, dimana pada
serebral palsi kemampuan motorik lebih dipengaruhi dibandingkan kemampuan kognitif, dan
disertai adanya refleks patologis dan perubahan tonus. Pada autisme, kemampuan adaptif sosial
lebih dipengaruhi dibandingkan kemampuan nonverbal, dimana pada retardasi mental biasanya
terdapat lebih banyak defisit pada kemampuan sosial, motorik, adaptif dan kognitif.2

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Beberapa pemerikasaan penunjang perlu dilakukan pada anak yang menderita retardasi
mental, yaitu: 3

14
1. Kromosomal kariotip

- Terdapat beberapa kelainan fisik yang tidak khas


- Anamnesis ibu tercemar zat-zat teratogen
- Terdapat beberapa kelainan kongenital
- Genitalia abnormal

2. EEG (Elektro Ensefalogram)

- Gejala kejang yang dicurigai


- Kesulitan mengerti bahasa yang berat

3. CT (Cranial Computed Tomography) atau MRI (Magnetic Resonance Imaging)

- Pembesaran kepala yang progresif


- Tuberous sklerosis
- Dicurigai kelainan otak yang luas
- Kejang lokal
- Dicurigai adanya tumor intrakranial

4. Titer virus untuk infeksi kongenital

- Kelainan pendengaran tipe sensorineural


- Neonatal hepatosplenomegali
- Petechie pada periode neonatal
- Chorioretinitis
- Mikroptalmia
- Kalsifikasi intrakranial
- Mikrosefali

5. Serum asam urat (uric acid serum)

- Choreoatetosis
- Gout

15
- Sering mengamuk

6. Laktat dan piruvat darah

- Asidosis metabolik
- Kejang mioklonik
- Kelemahan yang progresif
- Ataksia
- Degenerasi retina
- Ophtalmoplegia
- Episode seperti stroke yang berulang

7. Plasma asam lemak rantai sangat panjang

- Hepatomegali
- Tuli
- Kejang dini dan hipotonia
- Degenerasi retina
- Ophtalmoplegia
- Kista pada ginjal

8. Serum Zeng (Zn)

- Acrodermatitis

9. Logam berat dalam darah

- Anamnesis adanya pika


- Anemia

10. Serum tembaga (Cu) dan ceruloplasmin

- Gerakan yang involunter


- Sirosis

16
- Cincin Kayser-Fleischer

11. Serum asam amino atau asam organik

- Kejang yang tidak diketahui sebabnya pada bayi


- Gagal tumbuh
- Bau yang tidak biasa pada air seni atau kulit
- Warna rambut yang tidak khas
- Mikrosefali
- Asidosis yang tidak diketahui sebabnya

12. Plasma amonia

- Muntah-muntah dengan asidosis metabolik

13. Analisa enzim lisozom pada leukosit atau biopsi kulit:

- Kehilangan fungsi motorik dan kognitif


- Atrofi N. Optikus
- Degenerasi retina
- Serebelar ataksia yang berulang
- Mioklonus
- Hepatosplenomegali
- Kulit yang kasar dan lepas-lepas
- Kejang
- Pembesaran kepala yang dimulai setelah umur 1 tahun

14. Urin mukopolisakarida

- Kifosis
- Anggota gerak yang pendek
- Badan yang pendek
- Hepatosplenomegali
- Kornea keruh

17
- Gangguan pendengaran
- Kekakuan pada sendi

15. Urine reducing substance

- Katarak
- Hepatosplenomegali
- Kejang

16. Urin ketoacid

- Kejang
- Rambut yang mudah putus

17. Urin asam vanililmandelik

- Muntah-muntah
- Isapan bayi pada saat menyusu yang lemah
- Gejala disfungsi autonomik

8. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan anak dengan retardasi mental adalah multidimensi dan sangat individual.
Tetapi perlu diingat bahwa tidak setiap anak penanganan multidisiplin merupakan jalan yang
terbaik.2, 3
Sebaiknya dibuat rancangan suatu strategi pendekatan bagi setiap anak secara
individual untuk mengembangkan potensi anak tersebut seoptimal mungkin. Untuk itu perlu
melibatkan psikolog untuk menilai perkembangan mental anak terutama kognitifnya, dokter anak
untuk memeriksa fisik anak, menganalisis penyebab, dan mengobati penyakit atau kelainan yang
mungkin ada. Juga kehadiran pekerja sosial kadang-kadang diperlukan untuk menilai situasi
keluarganya.10 Atas dasar itu maka dibuatlah strategi terapi. Sering kali melibatkan lebih banyak
ahli lain, misalnya ahli saraf bila anak juga menderita epilepsi, palsi serebral, dll. Psikiater, bila
anaknya menunjukkan kelainan tingkah laku atau bila orang tuanya membutuhkan dukungan

18
terapi keluarga. Ahli rehabilitasi medis, bila diperlukan untuk merangsang perkembangan
motorik dan sensoriknya. Ahli terapi wicara, untuk memperbaiki gangguan bicara atau untuk
merangsang perkembangan bicara. Serta diperlukan guru pendidikan luar biasa untuk anak-anak
yang retardasi mental ini.3, 11

Pada orang tua perlu diberi penerangan yang jelas mengenai keadaan anaknya, dan apa
yang dapat diharapkan dari terapi yang diberikan. Kadang-kadang diperlukan waktu yang lama
untuk meyakinkan orang tua mengenai keadaaan anaknya. Bila orang tua belum dapat menerima
keadaan anaknya, maka perlu konsultasi pula dengan psikolog atau psikiater.3, 11 Disamping itu
diperlukan kerja sama yang baik antara guru dengan orang tua, agar tidak terjadi kesimpang
siuran dalam strategi penanganan anak disekolah dan dirumah. Anggota keluarga lainnya juga
harus diberi pengertian, agar anak tidak diejek atau dikucilkan. Disamping itu masyarakat perlu
diberikan penerangan tentang retardasi mental, agar mereka dapat menerima anak tersebut
dengan wajar.3

8.1 Pendekatan Individual dan Keluarga

Retardasi mental umumnya merupakan kondisi seumur hidup dan tidak dapat disembuhkan
dengan pengobatan medis. Hal-hal berikut ini penting untuk dipertimbangkan sebagai panduan
dalam penatalaksanaan:

1. Bukti Ilmiah: Penelitian ilmiah telah menunjukkan bahwa dengan memberikan dukungan
dan pelayanan yang tepat, adalah mungkin untuk memastikan bahwa penderita retardasi
mental dapat hidup sehat dan relatif independen. Pelayanan yang dimaksud terdiri dari
banyak bidang seperti perawatan kesehatan, intervensi dini, pendidikan, pelatihan
kejuruan, dan sebagainya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penyakit fisik maupun
perilaku pada penderita retardasi mental disebabkan oleh kurangnya perawatan yang tepat
dan oleh karenanya dapat dicegah.
2. Standar Kemanusiaan: Sebagai bagian dari masyarakat, merupakan hak penderita
retardasi mental untuk menjalani kehidupan mereka dengan bermartabat. Hal ini dapat
dicapai dengan adanya kesadaran sosial, tingkah laku dan kepercayaan yang “positif” dari
lingkungan terkait retardasi mental itu sendiri.

19
3. Perspektif Keluarga: Masalah retardasi mental seringkali tidak dapat dipisahkan dari
masalah yang dihadapi keluarga. Pelayanan yang teroganisir sangat dibutuhkan oleh
keluarga untuk dapat beradaptasi dengan baik dan menghadapi segala masalah dengan
percaya diri.12

Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, professional dari berbagai bidang, keluarga, organisasi
pemerintah, LSM, dan masyarakat secara keseluruhan harus saling bekerjasama.3, 11, 12

Prinsip-prinsip berikut dapat membantu dalam membimbing dan mengarahkan pengembangan


pelayanan yang sesuai :

 Normalisasi. Konsep ini berasal dari negara-negara Skandinavia. Secara sederhana,


normalisasi berarti memastikan bahwa kondisi lingkungan kehidupan sehari-hari yang
didapatkan para penderita retardasi mental tidak berbeda dengan yang didapatkan orang
normal lainnya. Hal ini juga berarti menyediakan fasilitas-fasilitas bagi mereka untuk
dapat mengembangkan potensi yang dimiliki.
 Integrasi. Penderita retardasi mental haruslah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
masyarakat; mereka tidak boleh diisolasi ataupun mendapat diskriminasi dalam hal
apapun.

Perawatan di Rumah dengan Orangtua Sebagai Mitra.

Penelitian telah menunjukkan bahwa tempat terbaik untuk tumbuh dan berkembang bagi para
penderita retardasi mental adalah keluarga mereka sendiri, di mana mereka dapat diberikan
pengasuhan dengan stimulasi yang sesuai. Oleh karena itu, pelayanan yang terorganisir harus
diberikan agar keluarga mendapat dukungan, diperkuat dan diberdayakan dalam pengasuhan
anggota keluarga dengan retardasi mental. Keluarga memiliki kebutuhan yang berbeda pada
berbagai tahap dalam siklus kehidupan (masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa); oleh karena itu
harus diupayakan untuk memenuhi kebutuhan dari tiap siklus tersebut. Harus disadari juga
bahwa keluarga tidak hanya penerima layanan tetapi juga bertindak sebagai “penyedia layanan”.
Dengan kata lain, mereka adalah mitra dalam perawatan penderita retardasi mental.12

8.2 Pendekatan Berbasis Masyarakat

20
Seringkali pelayanan cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Untuk mengatasi hal ini,
pelayanan berorientasi masyarakat sangat diperlukan. Tidak ada program yang dapat sukses
terlaksana tanpa keterlibatan dan partisipasi dari masyarakat.

Pelayanan untuk individu dengan retardasi mental:

1. Pelayanan Medis dan Psikologis (klinis)

Dibutuhkan fasilitas yang sesuai untuk evaluasi medis / kesehatan yang baik dan diagnosis yang
akurat. Dokter harus dalam posisi untuk mengenali dan mengelola gangguan yang dapat diobati
seperti hipotiroidisme. Masalah terkait seperti kejang, gangguan sensorik dan masalah perilaku,
dapat diperbaiki atau dikendalikan dengan tatalaksana medis yang tepat. Diharapkan tersedia
fasilitas untuk penilaian psikologis dari kekuatan dan kelemahan dalam diri anak yang dapat
dijadikan dasar untuk pelatihan-pelatihan di masa depan.12 Psikoterapi dapat diberikan kepada
anak retardasi mental maupun kepada orangtua anak tersebut. Walaupun tidak dapat
menyembuhkan retardasi mental tetapi dengan psikoterapi dapat diusahakan perubahan sikap,
tingkah laku dan adaptasi sosialnya.13

Semua anak dengan retardasi mental juga memerlukan perawatan seperti pemeriksaan
kesehatan yang rutin, imunisasi, dan monitoring terhadap tumbuh kembangnya. Anak-anak ini
sering juga disertai dengan kelainan fisik yang memerlukan penanganan khusus. Misalnya pada
anak yang mengalami infeksi pranatal dengan cytomegalovirus akan mengalami gangguan
pendengaran yang progresif walaupun lambat, demikian pula anak dengan sindrom Down dapat
timbul gejala hipotiroid. Masalah nutrisi juga perlu mendapat perhatian.2, 3

Tujuan konseling dalam bidang retardasi mental ini adalah menentukan ada atau tidaknya
retardasi mental dan derajat retardasi mentalnya, evaluasi mengenai sistem kekeluargaan dan
pengaruh retardasi mental pada keluarga, kemungkinan penempatan di panti khusus, konseling
pranikah dan pranatal.13

Konseling orangtua yang memadai pada tahap awal sangatlah penting. Dokter, perawat,
psikolog dan pekerja sosial dapat membuat perbedaan besar bagi orang tua dengan cara
memberikan penjelasan yang benar mengenai kondisi dan pilihan untuk pengobatan yang
tersedia. Konseling juga memberikan dukungan emosional dan bimbingan serta penguatan
moral. Setelah orang tua mendapatkan pemahaman yang benar mengenai kondisi anaknya,

21
mereka perlu belajar cara yang tepat dalam membesarkan dan melatih anak. Orang tua secara
terus menerus membutuhkan bantuan, bimbingan, dan dukungan, terutama selama masa remaja,
dewasa awal dan selama periode krisis.12

2. Deteksi Dini dan Stimulasi Dini

Deteksi dan stimulasi dini pada retardasi mental sangat membantu untuk memperkecil retardasi
yang terjadi. Para orangtua biasanya membawa anaknya pada dokter anak bila mereka
mencurigai adanya kelainan pada anaknya. Oleh karena itu dokter anak harus waspada pada
setiap keluhan dari ibu, terutama keluhan tentang keterlambatan perkembangan anaknya. Makin
dini ditemukan, dan makin dini diadakan stimulasi, makin besar kesempatan anak untuk
mengejar ketertinggalannya.11

Banyak penelitian menunjukkan bahwa mendeteksi retardasi mental pada tahap awal,
yaitu pada masa bayi, dan menyediakan lingkungan yang memberikan stimulasi dan penuh
kasih sayang dapat membantu anak-anak ini untuk berkembang lebih baik dan mencegah banyak
komplikasi.

Beberapa kondisi medis yang terkait dengan retardasi mental dapat dideteksi saat lahir.
Dapat pula dilakukan pengelompokan bayi-bayi yang beresiko menderita retardasi mental. Bayi-
bayi tersebut merupakan bayi yang lahir prematur atau dengan berat lahir rendah (kurang dari 2
kg), atau yang menderita asfiksia saat lahir, atau mereka yang menderita penyakit yang serius
pada periode neonatal. Metode yang dilakukan untuk deteksi dini adalah dengan mengikuti
perkembangan semua bayi sejak lahir dan amati apakah mereka mengalami ketertinggalan secara
konsisten. Pada umumnya, sebagian besar bayi dengan retardasi mental yang berat bisa dikenali
pada usia 6-12 bulan. Retardasi mental ringan biasanya menjadi jelas pada usia dua tahun.
Metode standar untuk deteksi dini retardasi mental sekarang telah tersedia, dan dapat disesuaikan
dengan budaya manapun dengan modifikasi yang tepat. Ketika seorang bayi terdeteksi atau
diduga memiliki retardasi mental, penting untuk memberikan stimulasi yang tepat untuk
perkembangannya.

Bayi yang berisiko atau terdeteksi dengan perkembangan yang tertunda harus
mendapatkan stimulasi sensori-motor. Ini adalah teknik di mana orang tua mendorong dan

22
mengajarkan bayi mereka untuk menggunakan dan mengembangkan kemampuan sensorik
mereka (penglihatan, pendengaran dan sentuhan) dan kemampuan motorik (menggenggam,
menggapai, memanipulasi, dan memindahkan). Teknik ini juga meliputi aktif terlibat dengan
anak dengan membelai, berbicara, menunjukkan benda-benda terang, bermain untuk membuat
anak tertawa, menggelitik, memijat lembut, menempatkan anak dalam posisi dan tempat yang
berbeda, menggunakan mainan dan memainkan benda-benda untuk membangkitkan minat anak,
membimbing tangan anak untuk melakukan sesuatu dan sebagainya. Stimulasi semacam itu
sangat dibutuhkan untuk perkembangan normal. 12

3. Pelatihan Self-help, Keterampilan Praktis dan Keterampilan Sosial

Anak normal mempelajari keterampilan hidup sehari-hari (makan, berpakaian, toilet training,
dan keterampilan sosial seperti bermain, dan berinteraksi dengan orang lain) dengan mudah,
yaitu dengan mengamati orang lain dan bimbingan orang dewasa. Tapi anak-anak dengan
retardasi mental sering tidak mampu mempelajari keterampilan-keterampilan tersebut. Melalui
upaya sistematis dan menggunakan teknik yang tepat, sangat mungkin untuk mengajar dan
melatih mereka melakukannya. Tekhnik dengan modifikasi tingkah laku sangat berguna dan
efektif dalam penatalaksanaan anak-anak dengan retardaasi mental, termasuk di antaranya :

 Reinforcement positif dan pemberian reward: Memperhatikan, memuji anak dan


memberikan beberapa hadiah seperti permen atau mainan setiap kali anak menunjukkan
perilaku yang diinginkan atau berusaha untuk belajar, dapat meningkatkan motivasi anak
untuk belajar.
 Modelling: Menunjukkan anak bagaimana cara melakukan sesuatu dan mendorong anak
untuk memulai melakukan hal yang sama merupakan metode yang bagus untuk
mengajarkan anak. Ini lebih baik daripada hanya secara lisan mengatakan atau
menginstruksikan anak.
 Shaping: yaitu mengajarkan bentuk sederhana dari sebuah aktivitas yang rumit, kemudian
secara perlahan menaikkan tingkat kesulitannya.

23
 Chaining: Sebuah kegiatan, seperti berpakaian, dapat dipecah menjadi beberapa langkah
kecil yang berurutan. Anak dapat diajarkan keterampilan ini langkah demi langkah.
Seringkali, back-chaining atau mengajarkan terlebih dahulu langkah terakhir dan
kemudian mundur merupakan cara yang lebih efektif.
 Physical guidance : Jika anak tidak dapat belajar dengan cara modelling, ia dapat
diajarkan dengan cara memegang tangan anak dan menunjukkan mereka bagaimana suatu
hal dilakukan. Setelah pengulangan seperti itu, bimbingan secara fisik ini dapat perlahan-
lahan ditarik sehingga anak belajar untuk melakukan tugas secara independen.12

4. Terapi Bicara

Bicara dan bahasa adalah fungsi yang sangat penting dan sangat khusus bagi manusia. Bicara
dan bahasa memegang peranan penting dalam mengkomunikasikan perasaan dan pikiran
seseorang kepada orang lain. Retardasi mental sering disertai dengan keterbatasan yang
signifikan dalam perkembangan bicara dan bahasa. Penelitian telah memperlihatkan bahwa
aplikasi sistematis teknik terapi wicara, efektif dalam meningkatkan kemampuan bicara dan
bahasa. Terapi bicara dibutuhkan pada anak dengan retardasi mental.12

5. Pendidikan

Ketika mereka tumbuh dan menguasai aktivitas hidup sehari-hari, anak-anak dengan retardasi
mental perlu diberikan pendidikan seperti anak-anak lainnya. Sekolah sangat penting bagi
mereka bukan hanya untuk memperoleh kemampun akademik tetapi juga untuk beajar disiplin,
keterampilan sosial/interaksi, dan keterampilan praktis untuk kehidupan bermasyarakat.
Meskipun mereka lambat dalam belajar, pengalaman dan penelitian telah menunjukkan bahwa
dengan menerapkan teknik pendidikan yang tepat, sangat mungkin untuk memberikan
keterampilan dasar membaca, menulis, dan berhitung bagi banyak anak dengan retardasi mental.
Pendekatan saat ini dalam hal pendidikan, sebisa mungkin, menempatkan mereka di sekolah
normal, daripada mendirikan sekolah khusus (pendidikan inklusif). Hal ini terutama untuk
mereka yang memiliki bentuk ringan dari retardasi mental. Namun, anak dengan retardasi mental
yang lebih parah akan lebih baik ditempatkan di sekolah khusus. Pendekatan lain, adalah dengan
membuat kelas khusus untuk mereka di sekolah normal (opportunity sections).10 Apapun

24
pendekatan yang dipilih, penting untuk menyadari bahwa bahkan anak-anak dengan retardasi
mental pun membutuhkan pendidikan, untuk menjamin perkembangan optimal dan kesejahteraan
mereka.12

Anak dengan retardasi mental ringan (IQ 50-70), yang disebut golongan mampu didik,
mendapatkan pelajaran setaraf sekolah dasar, namun dengan cara dan kecepatan mengajar yang
disesuaikan dengan kemampuan mereka. Pengajar haruslah guru khusus terdidik dalam bidang
pendidikan mereka.

Anak dengan retardasi mental sedang (IQ 30-50) digolongkan ke dalam kelompok
mampu latih. Pada mereka lebih banyak diberikan latihan dalam berbagai macam bidang
keterampilan seperti menjahit, menyulam, memasak dan membuat kue pada anak wanita, atau
pertukangan, perbengkelan, peternakan, dan perkebunan pada anak laki-laki. Diharapkan bahwa
dengan keterampilan tersebut mereka dapat mandiri di kemudian hari, atau mereka dapat bekerja
dalam suatu shltered workshop. Di Indonesia belum ada sheltered workshop untuk
mempekerjakan anak-anak dengan retardasi mental.

Sekolah untuk anak tuna grahita ini disebut SLB-C. dahulu, sebelum didirikan sekolah
khusus ini, anak dengan retardasi mental dimasukkan ke sekolah dasar normal. Mereka dengan
sendirinya tidak mampu mengikuti pelajaran, sehingga setiap kelas biasanya diulang beberapa
kali. Biasanya mereka dicap sebagai anak bodoh dan seringkali menjadi bahan cemoohan teman
mereka. Hal ini tentu saja tidak membantu perkembangan kepribadian anak tersebut yang merasa
makin kehilangan kepercayaan dirinya. Banyak yang kemudian mogok sekolah dan samasekali
menarik diri dari pergaulan.

Anak dengan kecerdasan yang rendah ini kurang dapat meberikan penilaian tentang baik-
buruknya suatu tindakan tertentu, misalnya mencuri, merampas, melakukan kejahatan seksual
dan sebagainya. Pendidikan dalam SLB sedikitnya melindungi mereka terhadap hal-hal tersebut
diatas.

Dengan makin majunya pendidikan maka ada beberapa anak yang sekolah di SLB
mendapat kemajuan sedemikian rupa, sehingga mereka dapat dipindahkan kembali ke SD biasa.
Bahkan di negara yang maju seperti di amerika sudah mulai dilakukan pendidikan terpadu.

25
Anak-anak dengan retardasi mental pada beberapa pelajaran tertentu, seperti misalnya olahraga,
keterampilan, kesenian, diikut sertakan dalam kelas SD yang normal.

Juga dianjurkan adanya sekolah terpadu, kelas bagi anak retardasi mental berada dibawah
satu atap dengan kelas anak yang normal. Hal ini juga dimaksudkan untuk menghapus stigma
yang melekat pada anak dengan retardasi mental, dengan membiasakan mereka bergaul bersama
anak yang normal. Di Indonesia pendidikan terpadu sulit dilaksanakan pleh karena sistem
kurikulum kita yang samasekali berbeda dengan yang ada di Barat. Juga masyarakat di Indonesia
perlu mendapatkan penerangan dan pendidikan tentang pengertian retardasi mental, agar mereka
dapat menerima anak yang terbelakang tersebut dengan wajar sebagaimana adanya.12

6. Pelatihan Kejuruan

Penelitian menunjukkan bahwa mayoritas anak muda dengan retardasi mental dapat
mengikuti pelatihan kejuruan dan kemudian dipekerjakan. Tapi ada banyak rintangan. Salah
satu rintangan utama adalah adanya kecenderungan untuk meremehkan kemampuan mereka.

Harus diingat bahwa mendapatkan pekerjaan juga akan berdampak baik bagi kesehatan
mental, kepuasan diri, dan status social dari para penderita retardasi mental. Ada banyak contoh
inovatif tentang bagaimanahal ini dapat dicapai, misalnya, desa dapat menawarkan berbagai
peluang di bidang pertanian untuk mempekerjakan mereka.12

9. PENCEGAHAN

Preventif primer adalah usaha yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit, yang
dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu: (1) Memberikan perlindungan yang spesifik terhadap
penyakit-penyakit tertentu, misalnya dengan memberikan imunisasi; (2) Meningkatkan
kesehatan dengan memberikan gizi yang baik, perumahan yang sehat, mengajarkan cara-cara
hidup sehat, dengan maksud meninggikan daya tahan tubuh terhadap penyakit.

Preventif sekunder adalah untuk mendeteksi penyakit sedini mungkin dan memberikan
pengobatan yang tepat sehingga tidak terjadi komplikasi pada susunan saraf pusat. Misalnya,
identifikasi dini dan penanganan yang tepat berbagai kondisi yang dapat ditanggulangi, seperti

26
hipotiroidisme, dapat mencegah terjadinya retardasi mental di kemudian hari. Intervensi yang
cepat dan tepat terhadap berbagai penyakit anak, seperti keracunan timah atau hematoma
subdural pascatrauma, mengurangi kemungkinan terjadinya kerusakan sel otak. Diagnosis dan
koreksi dini defek sensoris pada anak, dapat meningkatkan secara maksimal kemungkinan anak
tersebut untuk mendapatkan rangsangan sensoris, sehingga dapat dicegah terjadinya retardasi
mental akibat defisiensi sensoris. 11

10. KOMPLIKASI

Anak dengan retardasi mental memiliki resiko lebih tinggi untuk terjadinya gangguan
penglihatan, pendengaran, ortopedi, dan perilaku atau emosi. Defisit yang paling umum terjadi
diantaranya gangguan motoric, ganngguan perilaku atau emosi, komplikasi medis, dan kejang.
Makin parah tingkat retardasi makin banyak kompikasi yang terjadi. Dengan mengetahui tingkat
retardasi mental dapat membantu memprediksi ganngguan yang dapat terjadi. Sindrom Fragile X
dan Sindrom Fetal Alcohol dihubungkan dengan tingginya angka kejadian gangguan perilaku;
Down Syndrome memiliki banyak komplikasi medis (hipotiroidisme, Celiace disease, penyakit
jantung bawaan). Bila gangguan tersebut terjadi dibutuhkan terapi fisik jangka panjang,
occupational terapi, terapi wicara, alat bantu dengar, dan obat-obatan medis. Kegagalan dalam
mengidentifikasi dan tata laksana adekuat terhadap gangguan yang terjadi dapat menghambat
kesuksesan dan rehabilitasi dan menyebabkan kesulitan daalam aktifitas di sekolah, rumah, dan
lingkungan. 2

11. PROGNOSIS

Retardasi mental yang diketahui penyakit dasarnya, biasanya prognosisnya lebih baik.
Tetapi pada umumnya sukar untuk menemukan penyakit dasarnya. Anak dengan retardasi mental
ringan, dengan kesehatan yang baik, tanpa penyakit kardiorespirasi, pada umumnya umur
harapan hidupnya sama dengan orang yang normal. Tetapi sebaliknya pada retardasi mental yang
berat dengan masalah kesehatan dan gizi, sering meninggal pada usia muda.3

Pada anak dengan retardasi mental berat, gejalanya telah dapat terlihat sejak dini.
Retardasi mental ringan tidak selalu menjadi gangguan yang berlangsung seumur hidup. Seorang

27
anak bisa saja pada awalnya memenuhi kriteria retardasi mental saat usianya masih dini, namun
seiring dengan bertambahnya usia, anak tersebut dapat saja hanya menderita gangguan
perkembangan (gangguan komunikasi, autisme, slow learner-intelejensia ambang normal). Anak
yang didiagnosa dengan retardasi mental ringan di saat masa sekolah, mungkin saja dapat
mengembangkan perilaku adaptif dan berbagai keterampilan yang cukup baik sehingga mereka
tidak dapat lagi dikategorikan menderita retardasi mental ringan, atau dapat dikatakan efek dari
peningkatan maturitas menyebabkan anak berpindah dari satu kategori diagnosis ke kategori
lainnya (contohnya, dari retardasi mental sedang menjadi retardasi mental ringan). Beberapa
anak yang didiagnosis dengan gangguan belajar spesifik atau gangguan komunikasi dapat
berkembang menjadi retardasi mental seiring dengan berjalannya waktu. Ketika masa remaja
telah dicapai, maka diagnosis biasnya telah menetap.

Prognosis jangka panjang dari retardasi mental tergantung dari penyebab dasarnya,
tingkat defisit adaptif dan kognitif, adanya gangguan perkembangan dan medis terkait, dukungan
keluarga, dukungan sekolah/masyarakat, dan pelayanan dan training yang tersedia untuk anak
dan keluarga. Saat dewasa, banyak penderita retardasi mental yang mampu memenuhi kebutuhan
ekonmi dan sosialnya secara mandiri. Mereka mungkin saja membutuhkan supervisi secara
periodik, terutama di saat mengalami masalah sosial maupun ekonomi. Kebanyakan penderita
dapat hidup dengan baik dalam masyarakat, baik secara mandiri maupun dalam supervisi. Angka
harapan hidup tidak terpengaruh oleh adanya retardasi mental ini.2

28
BAB III

PENUTUP

1. KESIMPULAN

Retardasi mental disebabkan oleh berbagai faktor yang penyebab dasarnya belum dapat
dijelaskan secara pasti. Anak dengan retardasi mental akan banyak mengalami hambatan dalam
fungsi intelektual maupun aktivitas sehari-hari. Kebanyakan anak dengan kemunduran
intelektual ini tidak bisa mengikuti teman sebayanya dan tidak bisa mencapai perkembangan
sesuai dengan umur.

Dalam mendiagnosa retardasi mental, tidak hanya dinilai dari IQ saja akan tetapi kita
perlu mendapatkan anamnesa yang komprehensif dari orang tua mengenai riwayat kehamilan,
persalinan dan tumbuh kembang anak. Selain itu diperlukan pemeriksaan fisik, psikologis,
pemeriksaan laboratorium secara cermat terhadap seorang anak. Observasi psikiatrik juga perlu
dikerjakan untuk mengetahui adanya gangguan psikiatrik disamping retardasi mental.

Dokter juga harus mampu memberi penerangan yang jelas kepada orang tua mengenai
keadaan anaknya, dan apa yang dapat diharapkan dari terapi yang diberikan. Serta penerangan
yang jelas tentang retardasi mental kepada masyarakat juga sangat diperlukan agar mereka dapat
menerima anak tersebut dengan wajar.

Penatalaksanaan anak dengan retardasi mental adalah multidimensi dan sangat individual.
Oleh karena itu seorang dokter harus mampu membuat strategi pendekatan dalam penatalaksaan
yang komprehensif dengan melibatkan psikolog yang berperan dalam menilai perkembangan
mental anak terutama kognitifnya, ahli rehabilitasi medis, ahli terapi wicara, dan guru sebagai
pendidik anak tersebut. anak yang retardasi memerlukan perawatan intensif dan khusus seperti
pemeriksaan kesehatan yang rutin, imunisasi, dan monitoring terhadap tumbuh kembangnya
serta masalah nutrisi.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Yatchmink Yvette. Keterlambatan Perkembangan: Maturasi Yang Tertinggal Hingga


Retardasi Mental. In: Bani PA, Limanjaya D, Anggraini D, Mahanani DA, Hartanto H,
Mandera LI, et al, editors. Buku Ajar Pediatri Rudolph. 20th ed. Jakarta: EGC; 2006. p. 136-
9.

2. Shapiro Bruce K, Batshaw Mark L. Mental Retardation (Mental Disability). In: Shreiner
Jennifer, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier;
2007. p. 191-7.

3. Soetjiningsih. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC; 1995.

4. Armatas V. Mental Retardation: Definitions, Etiology, Epidemiology, and Diagnosis. Jurnal


of Sport and Health Research 2009; 1 (2): 112-122.

5. Prugh Dane G. Mental Retardation. The Psychosocial Aspects of Pediatrics. Philadelphia:


Lea & Febiger; 1983. p. 395-412.

6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pertumbuhan, perkembangan otak pada bayi dan anak
[Online]. 2009; available from: URL:
http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=1983413154521

7. Goldson Edward, Reynolds Ann. Child Development & Behavior. In : Hay WW, Levin MJ,
Sondheimer JM, Deterding RR, editors. Current Diagnosis & Treatment Pediatrics. 20th ed.
New York: McGraw-Hill Companies; 2011. p. 99-103.

8. O’Callaghan M. Developmental Disability. In: Roberton DM, South M, editor. Practical


Pediatrics. 6th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2006. p. 108-14.

9. Santrock John W. Perkembangan Anak. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2007.

30
10. Hull David, Johnston Derek I. Gangguan Mental. In: Yusna Daulika, editor. Dasar-Dasar
Pediatri. 3rd ed. Jakarta: EGC; 2008. p. 300-7.

11. Budhiman Melly. Perkembangan Mental. In: Markum AH, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta: FKUI; 2002. P 68-9.

12. South East Asian Regional Office. Mental Health and Substance Abuse [Online]. 2011;
available from: URL:
http://www.searo.who.int/en/Section1174/Section1199/Section1567/Section1825_8090.htm

13. Sularyo Titi Sunarwati, Kadim Muzal. Retardasi Mental. Sari Pediatri 2000 Dec; 2 (3): 170-
7.

31

Anda mungkin juga menyukai