Anda di halaman 1dari 35

Case Report Session(CRS)

Maret 2019

UVEITIS ANTERIOR OS + EC HERPES ZOSTER INFECTION

OLEH :
Gendis Siti Nuromas (G1A217061)

PEMBIMBING:
dr.Vonna Riasari, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA RSUD RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
TAHUN 2019
LEMBAR PENGESAHAN

CASE REPORT SESSION (CRS)


UVEITIS ANTERIOR OS + EC HERPES ZOSTER INFECTION

OLEH :
Gendis Siti Nuromas (G1A217061)

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan


Pada, Maret 2019

Pembimbing

dr. Vonna Riasari, Sp.M


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Session (CRS)
yang berjudul “Uveitis Anterior Os + Ec HZ Infection”untuk memenuhi tugas Kepaniteraan
Klinik Ilmu Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Jambi di RSUD H.Abdul Manap.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada
dr.Vonna Riasari,Sp.M, selaku konsulen ilmu mata yang telah membimbing dalam
mengerjakan Case Report Session (CRS) ini sehingga dapat diselesaikan tepat waktu.
Dengan laporan kasus ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi penulis dan
orang banyak yang membacanya terutama mengenai menyelesaikan Case Report Session
(CRS) yang berjudul “Uveitis Anterior Os + Ec HZ Infection” . Saya menyadari bahwa
Case Report Session (CRS) ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu saya harapkan
saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan yang akan datang.

Jambi, Maret 2019

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Uveitis merupakan peradangan pada daerah uvea, dimana jaringan uvea ini
terdiri atas iris, badan siliar dan koroid. Secara anatomis, uveitis dibagi menjadi
empat yaitu uveitis anterior, uveitis intermediet, uveitis posterior dan panuveitis.
Uveitis anterior adalah peradangan yang mengenai iris (iritis) dan jaringan
badan siliar (iridosiklitis) biasanya bersifat unilateral dengan onset akut. Penyebab
uveitis anterior diantaranya yaitu: idiopatik (idiopatik iridosiklitis), penyakit yang
berhubungan dengan vaskulitis/arthritis (HLA-B27 iridosiklitis, juvenile
rheumatoid arthitis, ankylosing spondilitis, reiter syndrome, inflammatory bowel
disease), penyakit infeksi (Herpes simpleks keratouveitis, Herpes zoster
keratouveitis), penyakit neoplasma (leukemia/lymphoma) dan penyebab lain
(Fuchs heterochromic iridocyclitis, traumatic iridocyclitis, glaucomatocyclitis
crisis).
Uveitis terjadi akut berupa mata merah, sakit/sakit ringan dan penglihatan
turun perlahan-lahan. Keluhan pasien adalah mata sakit, merah, fotofobia,
penglihatan turun ringan, mata berair dan kadang-kadang disertai keluhan sulit
melihat dekat.
Herpez zoster adalah radang kulit akut yang bersifat khas seperti gerombolan
vesikel unilateral, sesuai dengan dermatomanya (persyarafannya). Herpes Zoster
merupakan suatu infeksi yang dialami oleh seseorang yang tidak mempunyai
kekebalan terhadap varicella (misalnya seseorang yang sebelumnya tidak terinfeksi
oleh varicella dalam bentuk cacar air). Di negara maju seperti Amerika, penyakit
ini dilaporkan sekitar 6% setahun, di Inggris 0,34% setahun sedangkan di
Indonesia lebih kurang 1% setahun.1,2 Herpes zoster oftalmikus merupakan
infeksi virus horpes zooster yang mengenai bagian ganglion gasseri yang
menerima serabut saraf dari cabang ophtalmicus saraf trigeminus (N.V), ditandai
erupsi herpetik unilateral pada kulit.
BAB II
LAPORAN KASUS
Anamnesis
Identifikasi Nama : Ny. S
Umur : 66 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : IRT
Alamat : Rt. 05 Kebun kopi
Tanggal berobat : 05 Maret 2019
Keluhan utama Nyeri pada mata kiri sejak ± 3 hari yang lalu.
Anamnesa Khusus Pasien mengeluhkan nyeri yang muncul timbul terus
menerus ketika pasien mencoba mengangkat kelopak mata
kiri dan menggerakan bola mata. Sehingga pasien tidak
dapat melihat seperti biasanya.
Pasien juga merasakan penglihatan kabur pada mata kiri
secara perlahan dirasakan sejak ±1 bulan yang lalu, pasien
juga merasakan mata kirinya sering berair, keluhan mata
merah (+). Keluhan sakit kepala (-),kotoran mata
berlebihan (-), riwayat mata kemasukan debu atau benda
asing (-), riwayat trauma (-)
± 1 bulan yang lalu sebelum datang ke RS awalnya berupa
bengkak kemerahan disertai nyeri. Kemudian timbul
gelembung bewarna putih dan berisi cairan. Gelembung
pertama kali muncul di kelopak mata kiri, terus menyebar
hingga dahi dan pipi kiri pasien. Gelembung yang muncul
kemudian pecah mengeluarkan cairan dan timbul seperti
koreng dengan dasar bewarna merah yang kemudian
mengering. Pasien juga mengalami demam yang tidak
terlalu tinggi sebelum timbul gelembung-gelembung.
Untuk keluhan ± 1 bulan ini pasien sudah diberi obat oleh
dokter spesialis kulit berupa cetirizine, valacyclovir dan
gabapentin untuk mengurangi keluhan.
Riwayat penyakit a. Riwayat keluhan serupa (-)
dahulu a. Riwayat cacar (+)
b. Riwayat penyakit DM (-)
c. Trauma pada mata (-)
d. Alergi (-)
e. Riwayat hipertensi (-)
f. Riwayat pakai kaca mata (-)
Riwayat penyakit a. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama (-)
keluarga b. Riwayat Hipertensi (-)
c. Riwayat DM (-)
Riwayat gizi IMT = BB/(TB)2= 58/156 = IMT 23,83 (Normal)
Keadaan sosial Menengah
ekonomi
Penyakit sistemik
 Tractus respiratorius Tidak ada keluhan
 Tractus digestivus Tidak ada keluhan
 Kardiovaskuler Tidak ada keluhan

 Endokrin Tidak ada keluhan

 Neurologi Tidak ada keluhan

 Kulit Tidak ada keluhan


Tidak ada keluhan
 THT
Tidak ada keluhan
 Gigi dan mulut
Tidak ada keluhan
 Lain-lain
I.Pemeriksaan visus dan refraksi
OD OS
Visus 6/9 4/60
PH - -
II. Muscle Balance
Kedudukan bola mata Ortophoria Ortophoria

Pergerakan bola mata

Duksi : baik Duksi : baik


Versi : baik Versi : baik

Pemeriksaan Eksternal
OD OS

multiple scar (+)

Pemeriksaan Eksternal OD OS
Palpebra Superior Hiperemis (-), edema (-) Hiperemis (-), edema (-)
Palpebra Inferior Hiperemis (-), edema (-) Hiperemis (-), edema (-),
multiple scar (+)
Silia Trichiasis (-) Trichiasis (-)
Konjungtiva tarsus Sup Papil (-), folikel (-), Papil (-),folikel(-),
& Inf
Konjungtiva Bulbi Injeksi siliar (-),Injeksi Injeksi siliar (-), Injeksi
Konjungtiva (-) Konjungtiva (+)
Aparatus Lakrimasi Sumbatan (-) Sumbatan (-)
Kornea Jernih, Edema (-) Keruh,edema (-) Infiltrat
Infiltrat (-), sikatrik (-), (-), sikatrik (-), ulkus (-),
ulkus (-) defek epitel (-)
COA Sedang Sedang
Pupil Bulat, Isokor Bulat, Isokor
Diameter 3mm 3mm
RCL/RCTL + +/+ +/+
Iris Kripta iris normal, Kripta iris normal,
warna coklat warna coklat
Lensa Jernih Jernih
Pemeriksaan Slit Lamp
(Tidak dilakukan)
Tekanan Intra Okuler
Palpasi : N N
Tonometer Schiotz : Tidak dilakukan Tidak dilakukan
NCT: Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tonometer Aplanasi: Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Funduskopi(Tidak dilakukan)
VISUAL FIELD
Konfrontasi Normal Normal

Pemeriksaan Umum
Tinggi badan 156 cm
Berat badan 58 Kg
Tekanan darah 120/80 mmHg
Nadi 80 kali/menit
Suhu 36,50C
Pernapasan 20 kali/menit

Diagnosis : Uveitis Anterior OS ec Susp herpes zoster


Diffrential Diagnosa :
- Keratitis OS
- Ulkus kornea
Pengobatan :
- Moxifloxacin HCL 5 % eye drops 4 x gtt OS
- Cendo lyteers (sodium chloride 4,4 mg/potassium chloride 0,8 mg) 4x gtt OS
- Vitamin B tab 3x1 mg
Prognosis :
Q Quoad vitam : Bonam
Quoad functionam : dubia ad bonam
Quoad sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Uvea

Uvea atau traktus uvealis merupakan lapisan vaskular di dalam bola mata yang
terdiri atas iris, badan siliar, dan koroid.

1. Iris
Iris merupakan suatu membran datar sebagai lanjutan dari badan siliar ke depan
(anterior). Di bagian tengah iris terdapat lubang yang disebut pupil yang berfungsi untuk
mengatur besarnya sinar yang masuk mata. Permukaan iris warnanya sangat bervariasi dan
mempunyai lekukan-lekukan kecil terutama sekitar pupil yang disebut kripte. Pada iris
terdapat 2 macam otot yang mengatur besarnya pupil, yaitu : Musculus dilatator pupil
yang berfungsi untuk melebarkan pupil dan Musculus sfingter pupil yang berfungsi untuk
mengecilkan pupil. Kedua otot tersebut memelihara ketegangan iris sehingga tetap tergelar
datar. Dalam keadaan normal, pupil kanan dan kiri kira-kira sama besarnya, keadaan ini
disebut isokoria. Apabila ukuran pupil kanan dan kiri tidak sama besar, keadaan ini
disebut anisokoria. Iris menipis di dekat perlekatannya dengan badan siliar dan menebal di
dekat pupil. Pembuluh darah di sekeliling pupil disebut sirkulus minor dan yang berada
dekat badan siliar disebut sirkulus mayor. Iris dipersarafi oleh nervus nasoiliar cabang dari
saraf cranial III yang bersifat simpatik untuk midriasis dan parasimpatik untuk miosis.

2. Corpus Siliar
Korpus siliaris merupakan susunan otot melingkar dan mempunyai sistem eksresi
dibelakang limbus. Badan siliar dimulai dari pangkal iris ke belakang sampai koroid terdiri
atas otot-otot siliar dan prosesus siliaris. Otot-otot siliar berfungsi untuk akomodasi.
Badan siliar berbentuk cincin yang terdapat di sebelah dalam dari tempat tepi kornea
melekat di sklera. Badan siliar merupakan bagian uvea yang terletak antara iris dan koroid.
Badan siliar menghasilkan humor akuos. Humor akuos ini sangat menentukan tekanan
bola mata (tekanan intraokular = TIO). Humor akuos mengalir melalui kamera okuli
posterior ke kamera okuli anterior melalui pupil, kemudian ke angulus iridokornealis,
kemudian melewait trabekulum meshwork menuju canalis Schlemm, selanjutnya menuju
kanalis kolektor masuk ke dalam vena episklera untuk kembali ke jantung.

3. Koroid
Koroid merupakan bagian uvea yang paling luar, terletak antara retina (di sebelah
dalam) dan sklera (di sebelah luar). Koroid berbentuk mangkuk yang tepi depannya berada
di cincin badan siliar. Koroid adalah jaringan vascular yang terdiri atas anyaman
pembuluh darah. Retina tidak menempati (overlapping) seluruh koroid, tetapi berhenti
beberapa millimeter sebelum badan siliar. Bagian koroid yang tidak terselubungi retina
disebut pars plana.
Vaskularisasi uvea berasal dari arteri siliaris anterior dan posterior yang berasal dari arteri
oftalmika. Vaskularisasi iris dan badan siliaris berasal dari sirkulus arteri mayoris iris yang
terletak di badan siliaris yang merupakan anastomosis arteri siliaris anterior dan arteri
siliaris posterior longus. Vaskularisasi koroid berasal dari arteri siliaris posterior longus
dan brevis.
Fungsi dari uvea antara lain : Regulasi sinar ke retina,Imunologi (bagian yang berperan
dalam hal ini adalah khoroid), Produksi akuos humor oleh korpus siliaris, dan sebagai
nutrisi.

3.2 Uveitis
Definisi

Uveitis adalah inflamasi traktus uvea (iris, korpus siliaris, dan koroid) dengan
berbagai penyebabnya. Struktur yang berdekatan dengan jaringan uvea yang mengalami
inflamasi biasanya juga ikut mengalami inflamasi.

Etiologi
Uveitis anterior merupakan peradangan iris dan badan siliar yang dapat berjalan
akut maupun kronis. Penyebab dari iritis tidak dapat diketahui dengan melihat gambaran
klinisnya saja. Iritis dan iridisiklitis dapat merupakan suatu manifestasi klinik reaksi
imunologik terlambat, dini atau sel mediated terhadap jaringan uvea anterior.
Penyebab terjadinya uveitis anterior dibagi menjadi beberapa golongan antara lain:
autoimun, infeksi, keganasan, dan lain-lain. Penyebab autoimun terdiri dari: artritis
Rhematoid juvenile, spondilitis ankilosa, sindrom Reiter, kolitis ulseratif, uveitis terinduksi-
lensa, sarkoidosis, penyakit crohn, psoriasis. Penyebab infeksi terdiri dari: sifilis,
tuberkulosis, lepra, herpes zooster, herpes simpleks, onkoserkiasis, adenovirus. Untuk
penyebab keganasan terdiri dari: sindrom masquerada, retinoblastoma, leukemia, limfoma,
melanoma maligna. Sedangkan yang lainnya berasal dari: iridopati, uveitis traumatika,
ablatio retina, gout, dan krisis glaukomatosiklitik. Uveitis anterior dapat disebabkan oleh
gangguan sistemik di tempat lain, yang secara hematogen dapat menjalar ke mata atau
timbul reaksi alergi mata. Uveitis anterior juga dapat disebabkan oleh infeksi fokal seperti:
gigi, telinga, hidung, tenggorokan, traktus urogenitalis, traktus digestivus, kulit, dan lain-
lain. Trauma perforata dan oftalmia simpatika juga dapat menyebabkan uveitis anterior.1-6
Riwayat yang berhubungan dengan uveitis adalah usia, kelamin, suku bangsa
penting untuk di catat karena dapat memberikan petunjuk ke arah diagnosis uveitis tertentu.
Riwayat pribadi tentang penderita, yang utama adalah adanya hewan peliharaan seperti
anjing dan kucing, serta kebiasaan memakan daging atau sayuran yang tidak dimasak
termasuk hamburger mentah. Hubungan seks diluar nikah untuk menduga kemungkinan
terinfeksi oleh STD atau AIDS. Penggunaan obat-obatan untuk penyakit tertentu atau
narkoba (intravenous drug induced), serta kemungkinan tertular penyakit infeksi menular
(seperti Tbc) dan terdapatnya penyakit sistemik yang pernah diderita. Riwayat tentang mata
didapatkan apakah pernah terserang uveitis sebelumnya atau pernah mengalami trauma

tembus mata atau pembedahan.2

Tabel 1. Etiologi uveitis anterior berdasakan agen penyebab infeksi

Patofisiologi
Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh defek langsung suatu
infeksi atau merupakan fenomena alergi. Infeksi piogenik biasanya mengikuti suatu trauma
tembus okuli; walaupun kadang-kadang dapat juga terjadi sebagai reaksi terhadap zat toksik
yang diproduksi mikroba yang menginfeksi jaringan tubuh di luar mata. Uveitis yang
berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan reaksi hipersensitifitas terhadap antigen
dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari dalam badan (antigen endogen). Dalam banyak
hal antigen luar berasal dari mikroba yang infeksius. Sehubungan dengan hal ini peradangan
uvea terjadi lama setelah proses infeksinya yaitu setelah munculnya mekanisme
hipersensitivitas.2,8
Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrrier
sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin dan sel-sel radang dalam humor akuos yang
tampak pada slitlamp sebagai berkas sinar yang disebut fler (aqueous flare). Fibrin
dimaksudkan untuk menghambat gerakan kuman, akan tetapi justru mengakibatkan
perlekatan-perlekatan, misalnya perlekatan iris pada permukaan lensa (sinekia posterior). 2,8
Sel-sel radang yang terdiri dari limfosit, makrofag, sel plasma dapat membentuk
presipitat keratik yaitu sel-sel radang yang menempel pada permukaan endotel kornea.
Akumulasi sel-sel radang dapat pula terjadi pada tepi pupil disebut koeppe nodules, bila
dipermukaan iris disebut busacca nodules, yang bisa ditemukan juga pada permukaan lensa
dan sudut bilik mata depan. Pada iridosiklitis yang berat sel radang dapat sedemikian
banyak sehingga menimbulkan hipopion.2,8
Otot sfingter pupil mendapat rangsangan karena radang, dan pupil akan miosis dan
dengan adanya timbunan fibrin serta sel-sel radang dapat terjadi seklusio maupun oklusio
pupil, sehingga cairan di dalam kamera okuli posterior tidak dapat mengalir sama sekali
mengakibatkan tekanan dalam dalam kamera okuli posterior lebih besar dari tekanan dalam
kamera okuli anterior sehingga iris tampak menggelembung kedepan yang disebut iris
bombe (Bombans).2,8
Gangguan pada humor akuos terjadi akibat hipofungsi badan siliar menyebabkan
tekanan bola mata turun. Adanya eksudat protein, fibrin dan sel-sel radang dapat berkumpul
di sudut kamera okuli anterior sehingga terjadi penutupan kanal schlemm sehingga terjadi
glukoma sekunder. Pada fase akut terjadi glaukoma sekunder karena gumpalan – gumpalan
pada sudut bilik depan, sedang pada fase lanjut glaukoma sekunder terjadi karena adanya
seklusio pupil. Naik turunnya bola mata disebutkan pula sebagai peran asetilkolin dan
prostaglandin. 2,8

Klasifikasi Uveitis Anterior


Berdasarkan spesifitas penyebabnya uveitis anterior dapat dibagi atas uveitis
infeksius, uveitis non infeksius, dan uveitis tanpa penyebab yang jelas. Uveitis infeksius
dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, dan virus. Uveitis non infeksius dapat disebabkan
oleh agen non spesifik (endotoksin dan mediator peradangan lainnya), agen spesifik pada
mata (oftalmia simpatika, uveitis akibat lensa), dan penyakit sistemik seperti Behcet,
sarkoidosis, sindroma Reiter, dll.
Berdasarkan asalnya uveitis anterior dibedakan menjadi uveitis eksogen dan uveitis
endogen. Uveitis eksogen pada umumnya dikarenakan oleh trauma, operasi intra okuler,
ataupun iatrogenik. Sedangkan uveitis endogen dapat disebabkan oleh fokal infeksi di organ
lain maupun reaksi autoimun.
Secara klinis (menurut cara timbul dan lama perjalanan penyakitnya) uveitis
anterior dibedakan menjadi uveitis anterior akut dan uveitis anterior kronis. Uveitis anterior
akut onset simptomatik, biasanya timbulnya mendadak dan perjalanan penyakitnya kurang
dari 6 minggu, jika inflamasi kambuh diikuti dengan serangan inisial disebut rekuren akut.
Sedangkan uveitis kronik mulainya berangsur-angsur berlangsung selama berbulan-bulan
atau bertahun-tahun, seringkali onset tidak jelas dan bersifat asimtomatik.
Berdasarkan patologi anatomi dapat dibedakan 2 jenis uveitis anterior, yaitu
granulomatosa dan non granulomatosa. Pada jenis non granulomatosa umumnya tidak dapat
ditemukan organisme patogen dan karena berespon baik terhadap terapi kortikosteroid
diduga peradangan ini semacam fenomena hipersensitivitas. Uveitis ini timbul terutama
dibagian anterior traktus yakni iris dan korpus siliaris. Terdapat reaksi radang dengan
terlihatnya infiltrasi sel-sel limfosit dan sel plasma dalam jumlah cukup banyak dan sedikit
sel mononuklear. Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion
didalam kamera okuli anterior.

Tabel perbedaan uveitis granulomatosa dan nongranulomatosa

Beberapa keadaan yang menyebabkan tanda dan gejala yang berhubungan dengan
uveitis anterior akut, yaitu: Reiter, Inflamatory bowel disease, psoariasis, arthritis, dan
Uveitis Anterior yang berulang. 9

Manifestasi Klinis
Keluhan subyektif yang menyertai uveitis anterior adalah nyeri, terutama di bulbus
okuli, sakitnya spontan atau pada penekanan di daerah badan siliar, sakit kepala di kening
yang menjalar ke temporal, fotofobia, bervariasi dan dapat demikian hebat pada uveitis
anterior akut, lakrimasi yang terjadi biasanya sebanding dengan derajat fotofobia, gangguan
visus dan bersifat unilateral. 2
Pada kasus akut nyeri disebabkan oleh iritasi saraf siliar bila melihat cahaya dan
penekanan saraf siliar bila melihat dekat. Sifat nyeri menetap atau hilang timbul. Lokalisasi
nyeri bola mata, daerah orbita dan kraniofasial. Nyeri ini disebut juga nyeri trigeminal.
Intensitas nyeri tergantung hiperemi iridosiliar dan peradangan uvea serta ambang nyeri
pada penderita, sehingga sulit menentukan derajat nyeri. Pada kasus kronik nyeri jarang
dirasakan oleh penderita, kecuali telah terbentuk keratopati bulosa akibat glaukoma
sekunder.
Fotofobia dan lakrimasi pada uveitis anterior akut dan subakut ditandai dengan
blefarospasmus. Fotofobia disebabkan spasmus siliar dan kelainan kornea bukan karena
sensitif terhadap cahaya. Derajat 3+ 4+ blefarospasmus menetap, ringan 1+ 2+ bila disinari
dengan sinar yang kuat baru timbul bleforaspasmus. Lakrimasi disebabkan oleh iritasi saraf
pada kornea dan siliar, jadi berhubungan erat dengan fotofobia. Pada uveitis anterior kronik,
gejala subjektif ini hampir tidak ada atau ringan.
Gangguan penglihatan berupa kabur. Derajat kekaburan bervariasi mulai dari
ringan sedang, berat atau hilang timbul, tergantung penyebab. Pada uveitis anterior akut
disebabkan oleh pengendapan fibrin, edema kornea, kekeruhan akuos dan badan kaca depan
karena eksudasi sel radang dan fibrin. Pada uveitis anterior residif atau kronik disebabkan
oleh kekeruhan lensa, badan kaca, dan kelainan kornea seperti edema, lipatan Descemet,
vesikel epitel dan keratopati. Edema kornea akibat glaukoma sekunder dapat mengalami
kalsifikasi. Pada infeksi herpes simpleks terdapat edema menetap disertai neovaskularisasi
stroma perifer dan pannus kornea

Tabel 2. Berat ringannya flare dan Cells


Grade Flare Cells
tidak ada tidak ada

flare 1tipis atau lemah 5-10 /lapang pandang


+

flare 2tingkat sedang (Iris dan lensa secara 10-20/lapang pandang


detail masih tampak)
+

kekeruhan
3 lebih berat (Iris dan lensa 20-50/lapang pandang
diselimuti kekeruhan
+
flare 4sangat berat (penggumpalan fibrin pada >50/lapang pandang
humor aquos)
+
Pada kamera okuli anterior terdapat flare, terlihat sebagai peningkatan kekeruhan
dalam humor akuos dalam COA, dapat terlihat dengan menggunakan slitlamp atau lampu
kecil dengan intensitas kuat dengan arah sinar yang kecil sehingga menimbulkan fenomena
Tyndal. Pada uveitis non granulomatosa, reaksi flare sangat menonjol tapi reaksi sel
biasanya terdiri dari sel-sel kecil dan jarang sel besar seperti monosit atau sel raksasa.
Sedangkan pada uveitis granulomatosa, sel besar-besar dan reaksi flare biasanya sangat
ringan. 2,8

Gambar 4. Uveitis anterior dengan aquous cell dan flare dan sinekia posterior

Gambar 5. Tanda-tanda uveitis anterior akut

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium sangat dibutuhkan guna mendapat sedikit gambaran mengenai
penyebab uveitis. Pada pemeriksaan darah, yaitu Differential count, eosinofilia :
kemungkinan penyebab parasit atau alergi, VDRL, FTA, Autoimun marker (ANA,
Reumatoid factor, Antidobble Stranded DNA), Calcium, serum ACE level (sarcoidosis),
Toxoplasma serologi dan serologi TORCH lainnya. Pemeriksaan urin berupa kalsium urin
24 jam (sarcoidosis) dan Kultur (bechet’s reitters). Pemeriksaan Radiologi, yaitu Foto
thorax (Tbc, Sarcoidosis, Histoplasmosis), Foto spinal dan sendi sacroiliaka (Ankylosing
sponfilitis), Foto persendian lainya (Reumatoid arthritis, juvenile rheumatoid arthritis) dan
Foto tengkorak, untuk melihat adakah kalsifikasi cerebral (toxoplasmosis).9
Skin Test, yaitu Mantoux test, untuk Tbc, Pathergy test, untuk Bechet’s disease
akan terjadi peningkatan sensivitas kulit terhadap trauma jarum pada pasien bila disuntikkan
0,1 ml saline intradermal dalam 18-24 jam kemudian terjadi reaksi pustulasi. Pemeriksaan-
pemeriksaan tersebut diperlukan untuk mengetahui etiologi secara spesifik, bila dicurigai
adanya kecurigaan penyakit sistemik, Uveitis rekuren, Uveitis bilateral, Uveitis berat,
Uveitis posterior dan Onsetnya muda.10

Diagnosis Banding
Diagnosis banding uveitis anterior adalah konjungtivitis, keratitis atau
keratokonjungtivitis dan glaukoma akut. Pada konjungtivitis penglihatan tidak kabur, respon
pupil normal, dan umumnya tidak ada rasa sakit, fotofobia, atau injeksi ciliar. Pada keratitis
atau keratokonjungtivitis, penglihatan dapat kabur dan ada rasa sakit dan fotofobia.
Beberapa penyebab keratitis seperti herpes simplek dan zoster dapat mengenai uveitis
anterior sebenarnya. Pada glaukoma akut, pupil melebar, tidak ada sinekia posterior, dan
korneanya “beruap”.7

Uveitis akut Konjungtivitis Keratitis Glaukoma akut


Rasa nyeri ++ - ++ ++/+++
Fotofobia +++ - +++ +
Visus N/ sedang N Menurun Menurun
Sekret - + -/+ -
Hiperemi/injeksi Perikornea Konjungtiva Siliar Episklera
Fler ++ - -/+ -/+
Pupil <N N ≤N >N
Reflek pupil Lambat N N -
Kornea Presipitat Jernih Keruh/ infiltrate Edema
Iris Warna kotor N N Warna kotor
Bilik mata depan Flare + N N Dangkal
TIO <N> N N N+++

Komplikasi
Ada empat komplikasi utama uveitis anterior antara lain: katarak, glaukoma, band
keratopathy, dan cystoid macular edema (CME). Uveitis anterior dapat menimbulkan
sinekia anterior perifer yang manghalangi humor akuos keluar dari sudut kamera anterior
dan berakibat glaukoma. Sinekia posterior dapat menimbulkan glaukoma dengan
memungkinkan berkumpulnya humor aqueus di belakang iris, sehingga menonjolkan iris ke
depan. Pelebaran pupil sejak dini dan terus menerus mengurangi kemungkinan timbulnya
sinekia posterior. Gangguan metabolisme lensa dapat menimbulkan katarak. Katarak
subkapsular posterior merupakan salah satu komplikasi dari pengobatan uveitis anterior
berupa penggunaan kortikosteroid topikal jangka panjang. Ablasio retina kadang-kadang
timbul akibat tarikan pada retina oleh benang-benang vitreus. Edema kistoid makular dan
degenerasi dapat terjadi pada uveitis anterior yang berkepanjangan. Hal ini mungkin
disebabkan karena penurunan kadar prostaglandin. Band keratopathi terjadi pada uveitis
yang lama. Terjadi karena penumpukan kalsium pada kornea anterior.7,8

Penatalaksanaan
Penatalaksanan yang utama untuk uveitis tergantung pada keparahannnya dan
bagian organ yang terkena. Baik pengobatan topical atau oral adalah ditujuan untuk
mengurangi peradangan. Tujuan dari pengobatan uveitis anterior adalah memperbaiki visual
acuity, meredakan nyeri pada okular, menghilangkan inflamasi okular atau mengetahui asal
dari peradangannya, mencegah terjadinya sinekia, dan mengatur tekanan intraokular.10
Pengobatan uveitis anterior adalah tidak spesifik, pada umumnya menggunakan
kortikosteroid topical dan cycloplegics agent. Adakalanya steroid atau nonsteroidal anti
inflammatory ( NSAIDs) oral dipergunakan. Namun obat-obatan steroid dan imunosupresan
lainnya mempunyai efek samping yang serius, seperti gagal ginjal, peningkatan kadar gula
darah, hipertensi, osteoporosis, dan glaukoma, khususnya pada steroid dalam bentuk pil. 10

Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal adalah terapi awal dan secepatnya diberikan.8 Tujuan
penggunaan kortikosteroid untuk pengobatan uveitis anterior adalah mengurangi
peradangan, yaitu mengurangi produksi eksudat, menstabilkan membran sel, menghambat
penglepasan lysozym oleh granulosit, dan menekan sirkulasi limfosit.9 Efek terapeutik
kortikosteroid topikal pada mata dipengaruhi oleh sifat kornea sebagai sawar terhadap
penetrasi obat topikal ke dalam mata, sehingga daya tembus obat topikal akan tergantung
pada konsentrasi dan frekuensi pemberian, jenis kortikosteroid, jenis pelarut yang dipakai,
bentuk larutan. 10
Konsentrasi dan frekuensi pemberian, makin tinggi konsentrasi obat dan makin
sering frekuensi pemakaiannya, maka makin tinggi pula efek antiinflamasinya. Peradangan
pada kornea bagian dalam dan uveitis diberikan preparat dexametason, betametason dan
prednisolon karena penetrasi intra okular baik, sedangkan preparat medryson, fluorometolon
dan hidrokortison hanya dipakai pada peradangan pada palpebra, konjungtiva dan kornea
superfisial. 10

Kornea terdiri dari 3 lapisan yang berperan pada penetrasi obat topikal mata yaitu,
epitel yang terdiri dari 5 lapis sel, stroma, endotel yang terdiri dari selapis sel. Lapisan epitel
dan endotel lebih mudah ditembus oleh obat yang mudah larut dalam lemak sedangkan
stroma akan lebih mudah ditembus oleh obat yang larut dalam air. Maka secara ideal obat
dengan daya tembus kornea yang baik harus dapat larut dalam lemak maupun air (biphasic).
Obat-obat kortikosteroid topikal dalam larutan alkohol dan asetat bersifat biphasic. 10
Kortikosteroid tetes mata dapat berbentuk solutio dan suspensi. Keuntungan bentuk
suspensi adalah penetrasi intra okular lebih baik daripada bentuk solutio karena bersifat
biphasic, tapi kerugiannya bentuk suspensi ini memerlukan pengocokan terlebih dahulu
sebelum dipakai. Pemakaian steroid tetes mata akan mengakibatkan komplikasi seperti:
Glaukoma, katarak, penebalan kornea, aktivasi infeksi, midriasis pupil, pseudoptosis dan
lain-lain.10
Beberapa kortikosteroid topikal yang tersedia adalah prednisolon acetate 0,125%
dan 1%, prednisolone sodium phospat 0,125% , 0,5%, dan 1%, dexametason alcohol 0,1%,
dexamethasone sodium phospat 0,1%, fluoromethasone 0,1% dan 0,25%, dan
medrysone 1%. 10
Cycloplegics dan mydriatics
Semua agent cycloplegic adalah cholinergic antagonist yang bekerja memblokade
neurotransmitter pada bagian reseptor dari sphincter iris dan otot ciliaris. Cycloplegic
mempunyai tiga tujuan dalam pengobatan uveitis anterior, yaitu untuk mengurangi nyeri
dengan memobilisasi iris, mencegah terjadinya perlengketan iris dengan lensa anterior
(sinekia posterior), yang akan mengarahkan terjadinya iris bombe dan peningkatan tekanan
intraokular, menstabilkan blood-aqueous barrier dan mencegah terjadinya protein leakage
(flare) yang lebih jauh. Agent cycloplegics yang biasa dipergunakan adalah atropine 0,5%,
1%, 2%, homatropine 2%, 5%,Scopolamine 0,25%, dan cyclopentolate 0,5%, 1%, dan 2%.

Oral steroid dan Nonsteroidal Anti Inflammatory Drugs


Prednisone oral dipergunakan pada uveitis anterior yang dengan penggunaan
steroid topikal hanya berespon sedikit. Penghambat prostaglandin, NSAIDs (biasanya
aspirin dan ibuprofen) dapat mengurangi peradangan yang terjadi. Sebagai catatan, NSAIDs
dipergunakan untuk mengurangi peradangan yang dihubungkan dengan cystoids macular
edema yang menyertai uveitis anterior. 9
Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat peradangan dan
perpanjangan periode remisi. Banyak dipakai preparat prednison dengan dosis awal antara
12 mg/kg BB/hari, yang selanjutnya diturunkan perlahan selang sehari (alternating single
dose). Dosis prednison diturunkan sebesar 20% dosis awal selama2 minggu pengobatan,
sedangkan preparat prednison dan dexametason dosis diturunkan tiap 1 mg dari dosis awal
selama 2 minggu. 9
Indikasi pemberian kortikosteroid sistemik adalah Uveitis posterior, Uveitis
bilateral, Edema macula, Uveitis anterior kronik (JRA, Reiter). Pemakaian kortikosteroid
dalam jangka waktu yang lama akan terjadi efek samping yang tidak diingini seperti
Sindrom Cushing, hipertensi, Diabetes mellitus, osteoporosis, tukak lambung, infeksi,
hambatan pertumbuhan anak, hirsutisme, dan lain-lain.9

Pengobatan lainnya
Jika pasien tidak koperatif atau iritis tidak berespon banyak dengan penggunaan
topikal steroid, injects subkonjuctival steroid (seperi celestone) akan berguna. Depot steroid
seharusnya dihindari pada kasus uveitis sekunder, seperti yang diakibatkan oleh herpes atau
toksoplasmosis karena dapat memperparah.8
Injeksi periokular dapat diberikan dalam bentuk long acting berupa Depo maupun
bentuk short acting berupa solutio. Keuntungan injeksi periokular adalah dicapainya efek

anti peradangan secara maksimal di mata dengan efek samping sistemik yang minimal.10
Indikasi injeksi periokular adalah apabila pasien tidak responsif terhadap
pengobatan tetes mata, maka injeksi periokular dapat dianjurkan, Uveitis unilateral, pre
operasi pada pasien yang akan dilakukan operasi mata, anak-anak, dan komplikasi edema
sistoid makula pada pars planitis. Penyuntikan steroid periokular merupakan kontra indikasi
pada uveitis infeksi (toxoplasmosis) dan skleritis. 10
Lokasi injeksi periokular subkonjungtiva dan subtenon steroid repository serta
Injeksi subtenon posterior dan retrobulbar. Keuntungan injeksi subkonjungtiva dan
subtenon adalah dapat mencapai dosis efektif dalam 1 kali pemberian pada jaringan
intraokular selama 24 minggu sehingga tidak membutuhkan pemberian obat yang berkali-
kali seperti pemberian topikal tetes mata. Untuk kasus uveitis anterior berat dapat dipakai
dexametason 24 mg. Injeksi subtenon posterior dan retrobulbar, cara ini dipergunakan pada
peradangan segmen posterior (sklera, koroid, retina dan saraf optik). 10

Follow-up awal pasien uveitis anterior harus terjadwal antara 1 – 7 hari, tergantung
pada keparahannya. Yang dinilai pada setip follow-up adalah visual acuity, pengukuran
tekanan intraokular, pemeriksaan dengan menggunakan slitlamp, assesment cell dan flare,
dan evaluasi respon terhadap terapi. 9

Prognosis
Kebanyakan kasus uveitis anterior berespon baik jika dapat didiagnosis secara awal
dan diberi pengobatan. uveitis anterior mungkin berulang, terutama jika ada penyebab
sistemiknya. Dengan pengobatan, serangan uveitis non-granulomatosa umumnya
berlangsung beberapa hari sampai minggu dan sering kambuh. Uveitis granulomatosa
berlangsung berbulan-bulan sampai tahunan, kadang-kadang dengan remisi dan eksaserbasi,
dan dapat menimbulkan kerusakan permanen dengan penurunan penglihatan yang nyata.
Prognosis bagi lesi korioretinal perifer lokal jauh lebih baik, sering sembuh tanpa gangguan
penglihatan yang berarti. Karena baik para klinisi dan pasien harus lebih waspada terhadap
tanda dan mengobati dengan segera. Prognosis visual pada iritis kebanyakan pulih dengan
baik, tanpa adanya katarak, glaukoma atau uveitis posterior.9,10

3.3 Herpes Zoster Oftalmikus

Definisi
Herpes zoster merupakan infeksi umum yang disebabkan oleh Human Herpes
Virus 3 (Varisela Zoster Virus), virus yang sama menyebabkan varisela (chicken pox).
Virus ini termasuk dalam famili Herpes viridae, seperti Herpes Simplex, Epstein Barr Virus,
danCytomegalovirus.2

Herpes Zoster Oftalmikus (HZO) merupakan hasil reaktivasi dari Varisela Zoster
Virus (VZV) pada Nervus Trigeminal (N.V). Semua cabang dari nervus tersebut bisa
terpengaruh, dan cabang frontal divisi pertama N.V merupakan yang paling umum terlibat.
Cabang ini menginervasi hampir semua struktur okular dan periokular.2

Blefarokonjungtivitis pada HZO ditandai dengan hiperemis dan konjungtivitis


infiltratif disertai dengan erupsi vesikuler yang khas sepanjang penyebaran dermatom N.V
cabang oftalmikus. Konjungtivitis biasanya papiler, tetapi pernah ditemukan folikel,
pseudomembran, dan vesikel temporer, yang kemudian berulserasi. Lesi palpebra mirip lesi
kulit di tempat lain, bisa timbul di tepi palpebra ataupun palpebra secara keseluruhan, dan
sering menimbulkan parut. Lesi kornea pada HZO sering disertai keratouveitis yang
bervariasi beratnya, sesuai dengan status kekebalan pasien. Keratouveitis pada anak
umumnya tergolong jinak, pada orang dewasa tergolong penyakit berat, dan kadang-kadang
berakibat kebutaan.4

Etiologi

Herpes zoster disebabkan oleh Varisela Zoster Virus (VZV). VZV mempunyai kapsid yang
tersusun dari 162 sub unit protein dan berbentuk simetri isohedral dengan diameter 100 nm.
Virion lengkapnya berdiameter 150-200 nm, dan hanya virion yang berselubung yang
bersifat infeksius. Infeksiositas virus ini dengan cepat dapat dihancurkan oleh bahan
organik, deterjen, enzim proteolitik, panas, dan lingkungan dengan pH yang tinggi. HZO
merupakan reaktivasi dari VZV di N.V divisi oftalmik (N.V1).3
Epidemiologi

Lebih dari 90% dari dewasa di Amerika Serikat mempunyai bukti serologik
mengenai infeksi VZV dan merupakan resiko untuk HZ. Laporan tahunan insidens HZ
bervariasi daripada 1.5 – 3.4 kasus per 1000 orang. 5,6 Faktor resiko untuk perkembangan
HZ ini ialah kekebalan imun sistem yang rendah berasosiasi juga dengan proses penuaan
yang normal. Bagaimanapun, insidens ini terjadi pada individu berusia di atas 75 tahun rata
– ratanya iaitu 10 kasus per 1000 orang. 5,6

HZO khas mempengaruhi 10-20 % populasi. HZO biasanya berpengaruh pada usia
tua dengan meningkatnya pertambahan usia. Dari data insiden terjadinya HZO pada
populasi Caucasian adalah 131 : 100.000.7 Populasi American-Afrika mempunyai insiden
50 % dari Caucasian. Alasan untuk perbedaan ini tidak sepenuhnya dipahami. Kebanyakan
kasus HZO disebabkan reaktivasi dari virus laten.

Lebih dari 90 % dewasa di Amerika terbukti mempunyai serologi yang terinfeksi


VZV. Dari hasil tahunan, insiden dari herpes zoster bervariasi, dari 1,5 – 3, 4 kasus per
1000 orang. Faktor resiko dari perkembangan oleh herpes zoster adalah menyusutnya sel
mediated dari sistem imun yang berhubungan dengan perkembangan usia. Insiden HZO
pada usia 75 tahun ke atas melebihi 10 kasus per 1.000 orang per tahun, dan risiko seumur
hidup diperkirakan 10-20 %.8

Faktor risiko lain untuk herpes zoster diperoleh dari hambatan respon sel mediated
imun, seperti pada pasien dengan obat imunosupresif dan HIV, dan yang lebih spesifik
dengan AIDS. Pada kenyataannya, risiko relatif dari herper zoster sedikitnya 15x lebih
besar dengan HIV dibandingkan tanpa HIV. HZO terdapat 10-25 % dari semua kasus
herpes zoster. Resiko komplikasi oftalmik pada pasien herpes zoster tidak terlihat
berhubungan dengan umur, jenis kelamin, atau keganasan dari ruam kulit.8

Faktor predisposisi

Faktor predisposisi timbulnya herpes zoster oftalmikus ini adalah :

a. Kondisi imunocompromise (penurunan imunitas sel T)

- Usia tua
- HIV
- Kanker
- Kemoterapi

b. Faktor reaktivasi

- Trauma lokal
- Demam
- Sinar UV
- Udara dingin
- Penyakit sistemik
- Menstruasi
- Stres dan emosi

Patogenesis

Seperti herpes virus lainnya, VZV menyebabkan infeksi primer


(varisela/cacar air) dan sebagian lagi bersifat laten, dan ada kalanya diikuti dengan
penyakit yang rekuren di kemudian hari (zoster/shingles). Infeksi primer VZV
menular ketika kontak langsung dengan lesi kulit VZV atau sekresi pernapasan
melalui droplet udara. Infeksi VZV biasanya merupakan infeksi yang self-limited
pada anak-anak, dan jarang terjadi dalam waktu yang lama, sedangkan pada orang
dewasa atau imunosupresif bisa berakibat fatal. 3,4

Pada anak-anak, infeksi VZV ini ditandai dengan adanya demam, malaise,
dermatitis vesikuler selama 7-10 hari, kecuali pada infeksi primer yang mengenai
ma ta (berupa vesikel kelopak mata dan konjungtivitis vesikuler). VZV laten
mengenai ganglion saraf dan rata-rata 20 % terinfeksi dan bereaktivasi di
kemudian hari. HZO timbul akibat infeksi N.V1. Kondisi ini akibat reaktivasi
VZV yang diperoleh selama masa anak-anak.
Gambar 1. Morfologi golongan virus DNA & RNA dan patogenesis virus dalam sel target
penderita. Gambar dikutip daripada Suwarji Haksuhusodo, Bagian Mikrobiologi,
Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.

Varisela zoster adalah virus DNA yang termasuk dalam famili Herpes
viridae. Selama infeksi, virus varisela berreplikasi secara efisien dalam sel
ganglion. Bagaimanapun, jumlah VZV yang laten per sel terlalu sedikit untuk
menentukan tipe sel apa yang terkena. Imunitas spesifik sel mediated VZV
bertindak untuk membatasi penyebaran virus dalam ganglion dan ke kulit.5

Kerusakan jaringan yang terlihat pada wajah disebabkan oleh infeksi yang
menghasilkan inflamasi kronik dan iskemik pembuluh darah pada cabang N. V.
Hal ini terjadi sebagai respon langsung terhadap invasi virus pada berbagai
jaringan. Walaupun sulit dimengerti, penyebaran dermatom pada N. V dan daerah
torak paling banyak terkena.6,7

Tanda-tanda dan gejala HZO terjadi ketika N.V1 diserang virus, dan
akhirnya akan mengakibatkan ruam, vesikel pada ujung hidung (dikenal sebagai
tanda Hutchinson), yang merupakan indikasi untuk resiko lebih tinggi terkena
gannguan penglihatan. Dalam suatu studi, 76% pasien dengan tanda Hutchinson
mempunyai gangguan penglihatan.
Gambar 2. Tanda Hutchinson. Gambar dikutip dari C. Stephen Foster, MD,
Massachusetts Eye Research and Surgery Institute, Harvard Medical School.

Manifestasi Klinis

Adapun manifestasi klinis HZO ini, antara lain:

a. Prodormal (didahului ruam sampai beberapa hari)


- Nyeri lateral sampai mengenai mata
- Demam
- Malaise
- Sakit kepala
- Kuduk terasa kaku

Gambar 2. Defek epitel dan infeksi sekunder varicella-zoster virus. Gambar


dikutip daripada C. Stephen Foster, MD, Massachusetts Eye Research and
Surgery Institute, Harvard Medical School.

 Kelopak mata :
HZO sering mengenai kelopak mata. Hal ini ditandai dengan adanya
pembengkakan kelopak mata, dan akhirnya timbul radang kelopak, yang disebut
blefaritis, dan bisa timbul ptosis. Kebanyakan pasien akan memiliki lesi vesikuler
pada kelopak mata, ptosis, disertai edema dan inflamasi. Lesi pada palpebra mirip
lesi kulit di tempat lain.

 Konjungtiva
Konjungtivitis adalah salah satu komplikasi terbanyak pada HZO. Pada
konjungtiva sering terdapat injeksi konjungtiva dan edema, dan kadang disertai
timbulnya petechie. Ini biasanya terjadi 1 minggu. Infeksi sekunder akibat S.
aureus bisa berkembang di kemudian hari.
 Sklera
Skleritis atau episkleritis mungkin berupa nodul atau difus yang biasa menetap
selama beberapa bulan.
 Kornea3,5
Komplikasi kornea kira-kira 65 % dari kasus HZO. Lesi pada kornea sering
disertai dengan keratouveitis yang bervariasi beratnya sesuai dengan kekebalan
tubuh pasien. Komplikasi pada kornea bisa berakibat kehilangan penglihatan
secara signifikan. Gejalanya adalah nyeri, fotosensitif, dan gangguan visus. Hal
ini terjadi jika terdapat erupsi kulit di daerah yang disarafi cabang-cabang N.
nasosiliaris.7

Berbeda dengan keratitis pada HSV yang bersifat rekuren dan biasanya hanya
mengenai epitel, keratitis HZV mengenai stroma dan uvea anterior pada awalnya,
lesi epitelnya keruh dan amorf, kecuali kadang-kadang ada pseudodendrit linear
yang mirip dendrit pada HSV. Kehilangan sensasi pada kornea selalu merupakan
ciri mencolok dan sering berlangsung berbulan-bulan setelah lesi kornea tampak
sudah sembuh.7

Keratitis epithelial : gejala awal, berupa punctat epitel. Multipel, lesi vocal
dengan fluoresen atau rose Bengal. Lesi ini mengandung virus keratitis stroma. Ini
merupakan reaksi imun selama serangan akut dan memungkinkan perpindahan
virus dari ganglion. Keratitis stroma kronik bisa menyerang vaskularisasi,
keratopati, penipisan kornea dan astigmatisme.

 Traktus uvea
Sering menyebabkan peningkatan TIO. Tanpa perawatan yang baik
penyakit ini bisa menyebabkan glaukoma dan katarak.
 Retina
Retinitis pada HZO digambarkan sebagai retinitis nekrotik dengan perdarahan
dan eksudat, oklusi pembuluh darah posterior, dan neuritis optik. Lesi ini dimulai
dari bagian retina perifer.

Diagnosa

Anamesis

Fase prodormal pada herpes zoster oftalmikus biasanya terdapat influenza


–like illness seperti lemah, malaise, demam derajat rendah yang mungkin berakhir
sehingga 1 minggu sebelum perkembangan rash unilateral menyelubungi daerah
kepala, atas kening dan hidung (divisi dermatome pertama daripada nervus
trigeminus).3,5

Kira – kira 60% pasien mempunyai variasi derajat gejala nyeri dermatom
sebelum erupsi kemerahan. Akibatnya, makula eritematosus muncul keliatan yang
lama kelamaan akan membentuk kluster yang terdiri daripada papula dan vesikel.
Lesi ini akan membentuk pustula dan seterusnya lisis dan membentuk krusta
dalam masa 5 – 7 hari.

Pemeriksaan Fisik

 Periksa struktur eksternal/superfisial dahulu secara sistematik mengikut


urutan daripada bulu mata, kunjungtiva dan pembengkakan sklera.
 Periksa keadaan integritas motorik ekstraokular dan defisiensi lapang
pandang.6
 Lakukan pemeriksaan funduskopi dan coba untuk mengeradikasi fotofobia
untuk menetapkan kemungkinan terdapatnya iritis. Pengurangan
sensitivitas kornea dapat dilihat dengan apabila dicoba dengan serat
cotton.
 Lesi epitel kornea dapat dilihat setelah diberikan fluorescein. Defek epitel
dan ulkus kornea akan jelas terlihat dengan pemeriksaan ini.
 Pemeriksaan slit lamp seharusnya dilakukan untuk melihat sel dalam
segmen anterior dan kewujudan infiltrat stroma
 Setelah ditetes anestesi mata, ukur tekanan intraokular (tekanan normal
ialah dibawah 12 – 15 mmHg)

Pemeriksaan Laboratorium

Diagnosis laboratorium terdiri dari beberapa pemeriksaan, iaitu:4

a.
Pemeriksaaan langsung secara mikroskopik

Kerokan palpebra diwarnai dengan Giemsa, untuk melihat adanya sel-sel raksasa
berinti banyak (Tzanck) yang khas dengan badan inklusi intranukleus asidofil

b.
Pemeriksaaan serologik.

HZ dapat terjadi pada individu yang terinfeksi dengan HIV yang kadangkala
asimtomatik, pemeriksaan serologik untuk mendeteksi retrovirus sesuai untuk
pasien dengan faktor resiko untuk HZ (individu muda daripada 50 tahun yang
nonimunosupres).

c.
Isolasi dan identifikasi virus dengan teknik Polymerase Chain Reaction.

Komplikasi

Hampir semua pasien akan pulih sempurna dalam beberapa minggu, meskipun
ada beberapa yang mengalami komplikasi. Hal ini tidak berhubungan dengan
umur dan luasnya ruam, tetapi bergantung pada daya tahan tubuh penderita. Ini
akan terjadi beberapa bulan atau beberapa tahun setelah serangan awal.5
Komplikasi mata terjadi pada 50 % kasus. Nyeri terjadi pada 93% dari pasien
tersebut, 31% nya masih ada sampai 6 bulan berikutnya. Pengaruh itu semua,
terjadi anterior uveitis pada 92% dan keratitis 52%. Pada 6 bulan, 28% mengenai
mata dengan uveitis kronik, keratitis, dan ulkus neuropatik.

Komplikasi jangka panjang, bisa berhubungan dengan lemahnya sensasi dari


kornea dan fungsi motor palpebra. Ini beresiko pada ulkus neuropati dan
keratopati. Resiko jangka panjang ini juga terjadi pada pasien yang memiliki
riwayat HZO, 6-14% rekuren.
Penatalaksanaan

Sebagian besar kasus herpes zoster dapat didiagnosis dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Cara terbaru dalam mendiagnosis herpes zoster adalah
dengan tes DFA (Direct Immunofluorence with Fluorescein-tagged Antibody)
dan PCR (jika ada), terbukti lebih efektif dan spesifik dalam membedakan
infeksi akibat VZV dengan HSV. Tes bisa dilanjutkan dengan kultur virus.6

Pasien dengan herpes zoster oftalmikus dapat diterapi dengan Acyclovir (5


x 800 mg sehari) selama 7-10 hari. Penelitian menunjukkan pemakaian
Acyclovir, terutama dalam 3 hari setelah gejala muncul, dapat mengurangi
nyeri pada herpes zoster oftalmikus. Onset Acyclovir dalam 72 jam pertama
menunjukkan mampu mempercepat penyembuhan lesi kulit, menekan jumlah
virus, dan mengurangi kemungkinan terjadinya dendritis, stromal keratitis,
serta uveitis anterior.6

Terapi lain dengan menggunakan Valacyclovir yang memiliki


bioavaibilitas yang lebih tinggi, menunjukkan efektivitas yang sama terhadap
herpes zoster oftalmikus pada dosis 3 x 1000 mg sehari. Pemakaian
Valacyclovir dalam 7 hari menunjukkan mampu mencegah komplikasi herpes
zoster oftalmikus, seperti konjungtivitis, keratitis, dan nyeri. Pada pasien
imunocompromise dapat digunakan Valacyclovir intravena. Untuk
mengurangi nyeri akut pada pasien herpes zoster oftalmikus dapat digunakan
analgetik oral.3,4

Untuk mengobati berbagai komplikasi yang ditimbulkan oleh herpes


zoster oftalmikus disesuaikan dengan gejala yang ditimbulkan. Pada
blefarokonjungtivitis, untuk blefaritis dan konjungtivitisnya, diterapi secara
paliatif, yaitu dengan kompres dingin dan topikal lubrikasi, serta pada indikasi
infeksi sekunder oleh bakteri (biasanya S. aureus). Pada keratitis, jika hanya
mengenai epitel bisa didebridemant, jika mengenai stromal dapat digunakan
topikal steroid, pada neurotropik keratitis diterapi dengan lubrikasi topikal,
serta dapat digunakan antibiotik jika terdapat infeksi sekunder bakteri.7
Untuk neuralgia pasca herpetik obat yang direkomendasikan di antaranya
Gabapentin dosisnya 1,800 mg - 2,400 mg sehari. Hari pertama dosisnya 300
mg sehari diberikan sebelum tidur, setiap 3 hari dosis dinaikkan 300 mg sehari
sehingga mencapai 1,800 mg sehari.8

Antibiotik sebaiknya digunakan jika terdapat infeksi bakterial. Antibiotik


pada kasus ini ialah ampicillin dan tetes mata gentamisin, merupakan
antibakteri spektrum luas. Isprinol yang diberikan oleh spesialis kulit pada
penderita di atas termasuk obat imunomodulator yang bekerja memperbaiki
sistem imun.

Vitamin neurotropik berupa neurodex digunakan sebagai vitamin untuk


saraf. Pada umumnya direkomendasikan pemberian NSAID topikal 4 kali
sehari dan ibuprofen sebagai analgetik oral. Ahli THT memberikan obat
kumur tantum verde yang berisi benzydamine hydrochloride,8 merupakan anti
inflamasi non steroid lokal pada mulut dan tengggorokan. Penderita di atas
juga mendapatkan antioksidan berupa asthin force dari ahli penyakit dalam
untuk perlindungan kesehatan kulit.

Prognosis

Umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis bergantung pada


tindakan perawatan secara dini. Prognosis dari segi visus penderita baik
karena asiklovir dapat mencegah penyakit-penyakit mata yang menurunkan
visus. Kesembuhan penyakit ini umunya baik pada dewasa dan anak-anak
dengan perawatan secara dini. Prognosis ke arah fungsi vital diperkirakan ke
arah baik dengan pencegahan paralisis motorik dan menghindari komplikasi
ke mata sampai kehilangan penglihatan. Prognosis kosmetikam pada mata
penderita tersebut baik karena bengkak dan merah pada mata dapat hilang.
Pada kulit dapat menimbulkan makula hiperpigmentasi atau sikatrik.7,8
BAB IV
ANALISA KASUS
Pasien Ny. S, perempuan, usia 66 tahun, datang ke poliklinik mata RSUD
H. Abdul Manap untuk kontrol dengan keluhan nyeri yang muncul timbul terus
menerus ketika pasien mencoba mengangkat kelopak mata kiri dan menggerakan
bola mata. Sehingga pasien tidak dapat melihat seperti biasanya. Pasien juga
merasakan penglihatan kabur pada mata kiri secara perlahan dirasakan sejak ±1
bulan yang lalu, pasien juga merasakan mata kirinya sering berair, keluhan mata
merah (+). Keluhan sakit kepala (-),kotoran mata berlebihan (-), riwayat mata
kemasukan debu atau benda asing (-), riwayat trauma (-)
± 1 bulan yang lalu sebelum datang ke RS awalnya berupa bengkak kemerahan
disertai nyeri. Kemudian timbul gelembung bewarna putih dan berisi cairan.
Gelembung pertama kali muncul di kelopak mata kiri, terus menyebar hingga dahi
dan pipi kiri pasien. Gelembung yang muncul kemudian pecah mengeluarkan
cairan dan timbul seperti koreng dengan dasar bewarna merah yang kemudian
mengering. Pasien juga mengalami demam yang tidak terlalu tinggi sebelum
timbul gelembung-gelembung. Untuk keluhan ± 1 bulan ini pasien sudah diberi
obat oleh dokter spesialis kulit berupa cetirizine, valacyclovir dan gabapentin
untuk mengurangi keluhan.

Dari pemeriksaan didapatkan visus od 6/9 dan visus os 4/60. Pada


pemeriksaan fisik mata ditemukan terdapat multiple csar di palpebral superior,
Konjungtiva Bulbi Injeksi Konjungtiva (+), dan iris tidak didapatkan adanya
kelainan. Pada kornea keruh, Pemeriksaan lapangan pandang menunjukkan hasil
normal pada mata kanan dan kiri.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan, diagnosis
pasien ini adalah Uveitis Anterior OS ec Susp herpes zoster yang merupakan
Hampir 90% kasus herpes zoster akan mengalami nyeri. Nyeri dapat berupa nyeri
akut maupun nyeri kronis yang dapat mengurangi kualitas hidup, biasanya timbul
sebelum adanya kelaianan pada kulit.
Pada pasien ini diberikan terapi Moxilfloxacin HCL 5 % eye drops 4 x gtt
OS, Cendo lyteers (sodium chloride 4,4 mg/potasium chloride 0,8 mg) 4x gtt OS,
Vitamin B tab 3x1 mg. Kombinasi obat ini diberikan untuk memberikan efek baik
pada peradangan karena mengurangi permiabilitas pembuluh darah, mengurangi
peradangan, serta mengurangi cacat akibat peradangan dengan mengurangi
pembentukan jaringan parut dan perpanjangan periode remisi.
Prognosis pada pasien ini baik karena pasien datang berobat segera,
inflamasi masih pada fase akut dimana belum terjadi penyulit lanjut sehingga
penanganan didapat secepatnya dan komplikasi yang lebih berat dapat dihindari.
BAB V
KESIMPULAN

Uveitis merupakan salah satu penyebab kebutaan di negara berkembang.


Tatalaksana uveitis bertujuan untuk menekan reaksi inflamasi, memperbaiki
struktur dan fungsi pengelihatan, menghilangkan nyeri dan fotofobia. Obat yang
dapat digunakan adalah kortikosteroid, imunosupresan, NSAID, siklopegik dan
antimikroba bila terdapat infeksi. Penyakit yang mendasari uveitis harus diatasi
secara komprehensif untuk mencegah perburukan dan komplikasi.
Herpes zoster oftalmika pada usia lanjut dapat meningkatkan risiko nyeri
dan komplikasi berupa ocular disease. Penegakkan dan tatalaksana pada pasien ini
sudah tepat. Tatalaksana paling utama adalah antiviral pada usia lanjut atau pasien
yang memiliki risiko tinggi terhadap komplikasi herpes zoster oftalmika.
DAFTAR PUSTAKA
1. Riordan-Eva P, Whitcher J P. Vaughan & Asbury – Oftalmologi umum; alih
bahasa: Brahm U Pendit. Edisi 17. Jakarta: EGC; 2009.
2. Ocampo V V D Jr, Foster S. eMedicine – Senile Cataract. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1210914-overview. 28 Desember
2018.
3. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI; 2010.
4. Carroll E W, Jens S A, Curtis R. Disorder of visual function. Dalam: Port C
M, Matfin G. Pathophysiology – concepts of altered health states. China:
Lippincott William’s & Wilkins; 2009.
5. Corwin E J. Buku saku patofisiologi; alih bahasa: Nike Budhi Subekti. Edisi
3. Jakarta: EGC; 2009.
6. Wevill M. Epidemiology, pathophysiology, causes, morphology, and visual
effects ofcataract. Dalam: Yanoff M, Duker J S. Ophtalmology. Edisi 2.
China: MosbyElsevier;2009.
7. National Eye Institute – National Institute of Health. Facts about cataract.
Diunduhdari: http://www.nei.nih.gov/health/cataract/cataract_facts.asp#top.
22 Maret 2010.
8. Sulistyowati A. Stabilitas visus koreksi pasca operasi katarak senilis secara
masal(pengamatan selama 8 minggu). 2001. Diunduh dari
https://core.ac.uk/download/files/379/11714568.pdf, 28 Desember 2018.
9. Lang, Gerhard K. Opthalmology, A short Textbook, Penerbit Thieme
Stuttgart, NewYork,;2000, h.173-85
10. Panduan Penatalaksanaan Medis: katarak pada penderita dewasa. 2012.
Diunduh dari:www.inascrs.org/old/doc/PPM_1_katarak_rev03.pdf , 28
Desember 2018.
11. Kahnen, T. Cataract and Refractive Surgery, Penerbit Springer,
Germany;2005.h.19.
12. Ilyas HS. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-3. Jakarta: FKUI; 2010.
13. Eva PR, Whitcher JP. Vaughan & Absury Oftalmologi Umum. Edisi ke-17.
Jakarta:EGC; 2010.

Anda mungkin juga menyukai