Anda di halaman 1dari 11

MARKAS BESAR

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


SEKOLAH STAF DAN PIMPINAN

KONTRIBUSI PAJAK
TERHADAP PEMBANGUNAN

I. LATAR BELAKANG.

Pelaksanaan pembangunan ekonomi yang merupakan


bagian besar dari pembangunan nasional, disamping
meningkatkan pendapatan nasional ditujukan juga untuk
mempercepat pertumbuhan kesempatan kerja. Pemberantasan
pengangguran dengan jalan memperluas kesempatan kerja
merupakan sasaran penting bagi pembangunan jangka panjang
bukan saja karena kesempatan kerja memiliki nilai ekonomi,
melainkan juga karena mengandung nilai kemanusiaan dengan
menumbuhkan harga diri, sehingga dengan demikian memberi isi
asas kemanusiaan. Untuk mencapai tujuan itu perlu di didik
tenaga kerja yang memiliki kecakapan dan keterampilan sesuai
dengan keperluan pembangunan.

Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka


pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, artinya bahwa
pembangunan itu tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah atau
kepuasan batiniah saja, melainkan menghendaki keseimbangan
antara keduanya dan merata di seluruh tanah air, tidak hanya
untuk suatu golongan atau sebagian dari masyarakat.

Setiap manusia berusaha untuk senantiasa dapat


memenuhi kebutuhan diri sendiri maupun keluarga
sepersekutuannya. Dalam lingkup kehidupannya, manusia

1
hidup bersama-sama dalam masyarakat, dimana untuk tatanan
yang begitu besar terjelma dalam suatu wadah negara. Dalam
organisasi seperti itu dibutuhkan adanya sarana dan prasarana
yang mendukung kelangsungan hidup rakyat beserta negara itu
sendiri, yang dapat diperoleh melalui peran serta masyarakat
secara bersama dalam berbagai bentuk, salah satu bentuk peran
tersebut adalah membayar pajak.

II. PERMASALAHAN DAN PERSOALAN.

1. Permasalahan.

“ Apa kontribusi pajak terhadap pembangunan ? “

2. Persoalan-persoalan.

a. Bagaimana sejarahnya pemungutan pajak di


Indonesia ?

b. Mengapa kita harus membayar pajak ?

c. Bagaimana kontribusi pajak bagi pembangunan ?

III. PEMBAHASAN.

Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa


ke masa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan negara.
Pada mulanya pajak belum merupakan suatu pungutan, tetapi
hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja
dalam memelihara kepentingan negara, seperti menjaga keamanan
negara, menyediakan jalan umum, membayar gaji pegawai dan
sebagainya. Bagi penduduk yang tidak melakukan penyetoran
dalam bentuk natura, maka ia diwajibkan melakukan pekerjaan-
pekerjaan untuk kepentingan umum untuk beberapa hari
lamanya. Orang-orang yang memiliki status sosial yang tinggi
termasuk orang-orang yang kaya dapat membebaskan diri dari
kewajiban melakukan pekerjaan untuk kepentingan umum tadi,

2
dengan cara membayar uang ganti rugi. Besarnya pembayaran
ganti rugi di sesuaikan dengan jumlah uang yang diperlukan
untuk membayar orang lain yang menggantikan melakukan
pekerjaan itu.

Setelah terbentuknya negara nasional dan tercapainya


pemisahan antara rumah tangga negara dan rumah tangga pribadi
raja pada akhir abad pertengahan, pajak mendapat tempat yang
lebih mantap diantara berbagai pendapatan negara.

1. Sejarah pemungutan pajak di Indonesia.

Jaman kolonial pengenaan pajak secara sistemastis


dan permanen, dimulai dengan pengenaan pajak terhadap
tanah. Pengenaan pajak terhadap tanah atau sesuatu yang
berhubungan dengan tanah yang lebih dikenal dengan
tanam paksa, yang seperti diketahui menimbulkan perang
pada tahun 1925 – 1830, kemudian oleh Gubernur Jenderal
Raffles pajak atas tanah disebut “ Landrent “ yang arti
sebenarnya “ Sewa tanah “.

Setelah penjajahan Inggris berakhir, kemudian


Indonesia dijajah kembali oleh Belanda, pajak tersebut
kemudian diganti nama menjadi “ Landrente “ dengan
sistem atau cara pengenaan yang sama. Untuk penertiban
pemungutannya, menurut Munawir, maka pemerintah
Belanda mengadakan pemetaan desa untuk keperluan
klasiran dan pengukuran tanah milik perorangan yang
disebut “ Rincihan “ peraturan tentang Landrente
dikeluarkan tahun 1907 yang kemudian diubah dan
ditambah dengan ordonansi Landrente tahun 1939.

Pada jaman penjajahan Jepang namanya diganti


dengan “ Pajak Tanah “ dan setelah Indonesia merdeka
namanya diubah menjadi “ Pajak Bumi “ kemudian istilah

3
pajak bumi diubah menjadi “ Pajak Hasil Bumi “ yang
dikenakan pajak tidak lagi nilai tanah, melainkan hasil yang
keluar dari tanah, sehingga timbul frustasi karena hasil
yang keluar dari tanah merupakan obyek dari pajak
penghasilan yang pada saat itu namanya pajak peralihan,
oleh karena itu pajak hasil bumi ini kemudian dihapuskan
pada tahun 1952 sampai tahun 1959. Rupanya pemerintah
menyadari kekeliruannya sehingga sejak tahun 1959
dipungut lagi pajak hasil bumi atas nilai tanah, bukan hasil
yang keluar dari tanah dan bangunan dengan mendasarkan
pada Undang-undang No. 11 tahun 1959 yang dengan
Undang-undang No. 1 tahun 1961 telah ditetapkan menjadi
Undang-undang. Undang-undang ini semula hanya
mengatur tentang pungutan pajak atas tanah adat, tanah
yang dimiliki dan dikuasai oleh orang Indonesia asli, tidak
termasuk tanah hak barat, karena tanah barat tersebut di
atur berdasarkan ordonansi / Undang-undang Verponding
Indonesia tahun 1928, tetapi pada tahun 1960 dikeluarkan
Undang-undang No. 5 tahun 1960 yang mengemukakan
bahwa hukum atas tanah berlaku atas semua tanah di
Indonesia, hal itu dipertegas lagi dengan Keputusan
Presidium Kabinet tanggal 10 Februari 1967 Nomor : 87 /
Kep / V / 4 / 1967, dengan demikian Undang-undang No.
11 Prp 1959 yang menjadi landasan pajak hasil bumi harus
ditafsirkan bahwa semua tanah di Indonesia dipungut pajak
bumi, termasuk tanah-tanah yang diatur dalam Ordonansi
Verponding Indonesia tahun 1923 dan Verponding 1928.

2. Keharusan membayar pajak.

Pajak adalah gejala masyarakat, artinya bahwa pajak


hanya terdapat dalam masyarakat, jika tidak ada
masyarakat tidak akan ada pajak, mengapa pajak hanya
akan ada dalam masyarakat ? kita ketahui bahwa

4
masyarakat adalah merupakan manusia yang pada suatu
waktu berkumpul di suatu tempat (untuk jangka waktu
pendek atau untuk jangka waktu panjang) dengan tujuan
tertentu. Masyarakat terdiri dari individu, menurut organ
theori dari Otto Van Gierke, individu tidak mungkin ada /
tidak mungkin hidup tanpa ada masyarakat, sehingga
individu tidak dapat dipisahkan dari masyarakat.

Individu mempunyai hidup sendiri dan mempunyai


kepentingan sendiri, yang dapat dibedakan dari hidup
masyarakat dan kepentingan masyarakat, walaupun
demikian hidup individu dan kepentingan individu tidak
dapat dipikirkan terlepas sama sekali dari hidup dan
kepentingan negara. Kelangsungan hidup negara juga
berarti kelangsungan hidup individu, hidup negara adalah
lain daripada hidup individu, tetapi walaupun lain masing-
masing tetap memerlukan biaya. Adapun biaya hidup
individu, menjadi beban sendiri, dan berasal dari
penghasilan individu, biaya hidup negara adalah untuk
kelangsungan alat-alat negara administrasi negara, lembaga
negara, dan lain sebagainya yang harus dibiayai dari
penghasilan negara.

Penghasilan negara adalah berasal dari rakyatnya


melalui penyetoran pajak, dan atau dari hasil kekayaan
alam yang ada di dalam negara itu, dua sumber itu
merupakan sumber yang terpenting yang memberikan
penghasilan kepada negara. Jadi penghasilan itu untuk
membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga
mencakup kepentingan pribadi dan sebagainya, jadi dimana
ada kepentingan masyarakat, disitu timbul pungutan pajak
sehingga pajak adalah senyawa dengan kepentingan umum.

5
Pungutan pajak mengurangi penghasilan / kekayaan
individu tetapi sebaliknya merupakan penghasilan
masyarakat yang kemudian dikembalikan lagi kepada
masyarakat, melalui pengeluaran-pengeluaran rutin dan
pembangunan yang akhirnya kembali lagi kepada seluruh
masyarakat yang bermanfaat bagi rakyat (tidak hanya yang
membayar pajak, tetapi juga kepada rakyat yang tidak
membayar pajak).

3. Kontribusi pajak bagi pembangunan.

Pelaksanaan pembangunan nasional harus berjalan


bersama-sama dengan pembinaan dan pemeliharaan
stabilitas nasional yang sehat dan dinamis, baik dibidang
politik maupun dibidang ekonomi, karena kegoncangan-
kegoncangan ekonomi dapat menghambat pembangunan.
Dapat ditegaskan pula bahwa stabilitas nasional
memperlancar pembangunan nasional dan sebaliknya
pembangunan nasional memperluas stabilitas nasional.
Pelaksanaan pembangunan disamping meningkatkan
pendapatan nasional, sekaligus harus menjamin
pendapatan yang merata bagi seluruh rakyat sesuai dengan
rasa keadilan dalam mewujudkan asas keadilan sosial,
sehingga disatu pihak pembangunan itu tidak hanya
ditujukan untuk meningkatkan produksi, melainkan
sekaligus mempunyai tujuan untuk mencegah melebarnya
jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin dengan
menumbuhkan asas hidup sederhana dan wajar, bukan saja
untuk masyarakat yang makmur, melainkan juga untuk
mewujudkan masyarakat yang adil.

Adapun pihak lapisan masyarakat yang terlibat dalam


pembangunan harus semakin meluas dan merata, baik
dalam hal memikul beban pembangunan maupun dalam

6
ikut serta menyelenggarakan pertanggungan jawab. Dalam
melaksanakan pembangunan nasional segenap kemampuan
modal dan potensi dalam negeri harus dimanfaatkan
sebesar-besarnya dengan disertai kebijaksanaan serta
langkah-langkah guna membantu, membimbing
pertumbuhan dan meningkatkan kemampuan yang lebih
besar lagi bagi golongan ekonomi lemah untuk
berpartisipasi dalam proses pembangunan, sehingga dapat
berdiri sendiri, antara lain peningkatan kegiatan Koperasi
agar mampu memainkan peranan yang sesungguhnya
dalam tata ekonomi Indonesia. Kebijaksanaan yang
demikian itu harus diambil dalam rangka memecahkan
ketidakselarasan di dalam masyarakat, karena adanya
lapisan masyarakat yang mempunyai kedudukan ekonomi
yang sangat luas dan menguasai sebagian besar kehidupan
ekonomi nasional, sedangkan di lain pihak sebagian besar
terdiri dari masyarakat yang berada dalam keadaan ekonomi
lemah dan belum pernah dapat menjalankan peranannya
yang besar dalam kegiatan perekonomian nasional.
Dalam meningkatkan produksi nasional, maka
pertumbuhan ekonomi harus pula mempercepat
pertumbuhan lapangan kerja, karena pemberantasan
pengangguran dengan jalan memperluas kesempatan kerja
merupakan sasaran penting bagi pembangunan jangka
panjang.

IV. KESIMPULAN.

1. Tata kehidupan masyarakat dalam suatu negara di


butuhkan adanya sarana prasarana yang mendukung
kelangsungan hidup rakyat beserta negara itu sendiri, yang
dapat diperoleh melalui peran serta masyarakat secara
bersama dalam berbagai bentuk, salah satu bentuk peran
tersebut adalah membayar pajak.

7
2. Pajak digunakan untuk membiayai kepentingan umum
yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat,
melalui pengeluaran-pengeluaran rutin dan pembangunan
yang akhirnya kembali lagi kepada seluruh masyarakat
yang bermanfaat bagi rakyat.

Lembang, Juni 2004

PASIS

Drs. MOHAMMAD YASIN


KOMPOL NRP. 66050425

8
1. Penyertaan (Delnemy) dalam tindak pidana pajak adalah :

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 dan 39


KUHP berlaku juga bagi wakil, kuasa atau pegawai dari wajib
pajak, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan
yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak
pidana dibidang perpajakan.

Contoh :

Pada perbuatan penggelapan atau penyelewengan pajak


sebagaimana diatur dalam pasal 37 ayat (2) UU PDRB dan pasal
39 (1) huruf c UU KUP uang pajak harus terlebih dahulu diteliti
jenis pajaknya, pasal peraturan perudangan pajak yang mengatur,
unsur-unsur dari perbuatan pidana tersebut, siapa yang
melakukan, membantu, turut serta yang menyuruh melakukan
atau yang membayar supaya perbuatan pidana tersebut
dilakukan, untuk dapat mengidentifikasikasi dan menentukan
bahwa perbuatan tersebut adalah tindak pidana pajak.

2. Tindak pidana pajak pada umumnya diikuti tindak pidana


lainnya (Samenloop), maksudnya adalah hukum pajak mempunyai
hubungan yang erat dengan hukum pidana. Ketentuan pidana
tidak hanya ada dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum
Pidana) saja, melainkan juga di luar KUHP di dalam pasal 103
KUHP disebutkan : “ Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai
dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-
perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya
diancam dengan pidana, kecuali jika oleh Undang-undang
ditentukan lain dengan adanya ketentuan pasal 103 tersebut,
jelas bahwa ketentuan umum itu berlaku terhadap perbuatan-
perbuatan yang oleh ketentuan-ketentuan di luar KUHP

9
diancam dengan sanksi pidana. Dengan demikian ketentuan
itu juga berlaku terhadap tindak pidana dibidang pajak,
sepanjang tidak ditentukan lain oleh Undang-undang “.

Contoh :

Tindak pidana bidang pajak yang dapat dikenakan sanksi


pidana baik oleh KUHP maupun ketentuan pajak misalnya :
Larangan membuka rahasia jabatan yang dapat diancam pidana
oleh KUHP pasal 322 maupun pasal 41 UU KUTAP, penggunaan
materi tempel yang telah digunakan dapat dikenakan pasal 260
KUHP maupun pasal 13 UU No. 13 / 1985.

3. Koordinasi dan kerjasama Kapolres / Kasat Serse Polda dalam


meningkatkan penegakan hukum dibidang perpajakan meliputi 3
hal yaitu :

a. Bantuan penyidikan dan pengamanan kepolisian.

1) Perlindungan terhadap pemeriksa pajak, penyidik


pajak dan juru sita pajak.

2) Pengawalan barang bukti dan atau barang sitaan


sampai ketempat penyimpanan atau rumah
penyimpanan benda sitaan.

3) Pencarian atau penangkapan wajib pajak /


penanggung pajak yang akan disandera atau
tersangka dibidang perpajakan.

4) Pengamatan, pemberian dan pengumpulan bahan


keterangan / bukti.

5) Upaya paksa atas permintaan penyidik pajak.

b. Pertukaran data dan informasi.

10
1) Dalam hal menemukan data / informasi laporan
atau pengaduan masyarakat tentang adanya dengan
pidana yang terkait bidang perpajakan saling
menginformasikan.

2) Dalam rangka penegakan hukum saling


memberikan informasi dan data serta
mengembangkan basis data dan informasi.

c. Pendidikan dan latihan.

1) Kerjasama bidang pendidikan dan latihan dalam


penegakan hukum dibidang perpajakan.

2) Masing-masing pihak saling mendukung dalam


pelaksanaan pendidikan dan latihan.

4. Peran Polri dalam menanggulangi tindak pidana pajak yang


pada umumnya terorganisir atau White Collor Crime.

Penyidikan atas kasus tindak pidana pajak senantiasa


dilakukan oleh Polri bekerjasama dengan aparat Dirjen Pajak,
sesuai dengan MOU karena pada hakekatnya untuk
menyimpulkan terjadinya tindak pidana pajak tidak sesederhana
sebagaimana melaksanakan yang tampak, apalagi kita sadari
masih banyak kelemahan dari SDM Polri yang masih sangat awam
terhadap prinsip-prinsip hukum pajak yang paling elementer
sekalipun. Penyelewengan uang perusahaan selaku wajib pajak,
oleh oknum perusahaan tersebut semestinya disetorkan sebagai
pembayaran pajak, tetapi diselewengkan untuk kepentingannya
atau kepentingan orang lain, sering terjadi atau dilakukan pada
saat ini, mengingat kejahatan dibidang perpajakan akan
senantiasa berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi masyarakat Indonesia dan masyarakat
global.

11

Anda mungkin juga menyukai