Anda di halaman 1dari 12

PERENCANAAN PAJAK UNTUK PPH 21

REVIEW PPh pasal 21

PPh pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran
lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,jasa dan
kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi.Subjek pajak dalam negeri,sebagaimana dimaksud dalam
pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pemotong PPh Pasal 21

Yang termasuk pemotong pajak PPh Pasal 21 adalah:

1. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang

2. Bendahara atau pemegang kas pemerintah

3. Dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-badan lain

4. Orang pribadi yang melakukan kegitan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar:

a. Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa dan/atau kegiatan
yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Subjek Pajak dalam negeri, termasuk juga tenaga ahli
yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas
nama persekutuannya;

b. Honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang
dilakukan oleh orang pribadi dengan status subjek pajak luar negeri;

c. Honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan magang

5. Penyelenggara kegiatan

Yang tidak termasuk sebagai pemeberi kerja yang mempunyai kewajiban untuk melakukan pemotongan
PPh Pasal 21 adalah:

1. Kantor perwakilan negara asing

2. Organisasi-organisasi internasional yang telah diterapkan oleh Menteri Keuangan

3. Pemberi kerja orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang
semata-mata mempekerjakan orang pribadi untuk melakukan pekerjaan rumah tangga atau pekerjaan
bukan dalam rangka melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas

3. Subjek Potongan PPh Pasal 21/26


Subjek pajak yang dipotong PPh Pasal 21 atau Pasal 26, atau disebut subjek pemotongan adalah orang
pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa atau
kegitan, yang meliputi:

1. Pegawai;

2. Penerima uang pesangon, pensuin atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan
hari tua, termasuk ahli warisnya;

3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
atau kegiatan, antara lain meliputi:

a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter,
konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;

b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan,
sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan
seniman lainnya;

c. Olahragawan;

d. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;

e. Pengarang, peneliti, dan penerjemah;

f. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk tekhnik komputer dan sistem aplikasinya,
telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;

g. Agen iklan;

h. Pengawas dan pengelola proyek;

i. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara;

j. Petugas penjaja barang dagangan;

k. Petugas dinas luar asuransi;

l. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenisnya;

4. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan


keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi:

a. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olehraga, seni, ketangkasan,
ilmu pengetahuan, teknologi, dan perlombaan lainnya;

b. Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;


c. Peserta atau keanggotaan dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara kegiatan tertentu;

d. Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang;

e. Peserta kegiatan lainnya.

4. Objek PPh Pasal 21

Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26, adalah:

1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat
teratur maupun tidak teratur; penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara
teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya;

2. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan
pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari
tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lein sejenis;

3. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan,
upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;

4. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis
dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan pekerjaan, jasa, dan kegiatan
yang dilakukan;

5. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat,
honorarium, hadiah, atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apa pun, dan imbalan sejenis
dengan nama apa pun;

6. Penerimaan dalam bentuk natura dan atau kenikmatan lainnya dengan nama dan dalam bentuk
apa pun yang diberikan oleh:

a. bukan Wajib Pajak;

b. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final (deemed tax); atau

c. Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed
profit).

5.Non Objek PPh Pasal 21

Yang tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPPh Pasal 21 adalah:

1. Pembayaran menfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, kecelakaan,
jiwa,dwiguna, dan asuransi beasiswa.
2. Penerimaan dalam bentuk natura atau kenikmatan (benefit in kind) kecuali natura atau kenikmatan
yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, atau diberikan oleh WP yang dikenakan PPh final atau dikenakan
PPh berdasarkan Norma Perhitungan Khusus (deemed profit).

3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
menteri keuangan, dan iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara jamsostek yang dibayar
oleh pemberi kerja.

4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah; atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk
agama yang diakui di Indonesia yang diterima pelh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.

5. Beasiswa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf I UU PPh 2008.

Sesuai dengan PMK No.246/PMK.03/2008, penghasilan berupa beasiswa yang diterima atau diperoleh
WNI dari WP pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan di dalam negeri pada tingkat
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi, di kecualikan dari objek PPh, sepanjang
penerima beasiswa tidak mempunyai hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris, direktur, atau
pengurus dari wajib pajak pemberi beasiswa

6. Kenikmatan berupa pajak yang ditangguang oleh pemberi kerja.

“Pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja” adalah pajak terutang atas penghasilan keryawan tetap
yang menjadi beban atau dibayarkan oleh pemberi pemberi kerja, sehingga termasuk kenikmatan. Pajak
yang ditanggung oleh pemberi kerja berbeda dengan pemberian tunjangan pajak.

Manajemen Pajak

Manajemen pajak dapat diartikan sebagai pengelolaan perusahaan agar kewajiban pemenuhan
kewajiban perpajakannya dapat dilakukan dengan baik dan benar, dengan jumlah pajak yang dapat
ditekan serendah mungkin untuk mendapatkan laba yang diharapkan tanpa unsur pelanggaran yang di
kemudian hari dapat mengakibatkan adanya sanksi atau denda (Permatasari, 2004). Tujuan manajemen
pajak pada dasarnya serupa dengan tujuan manajemen keuangan yaitu sama-sama bertujuan untuk
memperoleh likuiditas dan laba yang cukup (Lumbantoruan, 1996:483). Menurut Suandy (2006:7) tujuan
manajemen pajak dapat dibagi menjadi dua sebagai berikut:

1) Menerapkan peraturan perpajakan secara benar. 2) Usaha efisiensi untuk mencapai laba dan
likuiditas yang seharusnya.

Dari uraian-uraian diatas dikemukakan bahwa fungsi-fungsi manajemen pajak masih menurut
Lumbantoruan (1996:484) adalah :

1) Perencanaan pajak (tax planning) 2) Pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation) 3)


Pengendalian pajak (tax control)
Perencanaan Pajak

Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak. Perencanaan pajak perlu dilakukan
agar pajak yang dibayar proporsional dan sesuai dengan peraturan yang berlaku (Oktavia, 2012).
Perencanaan pajak adalah salah satu contoh memanfaatkan celah peraturan (Rahayu, 2010).Menurut
Wetzler (2006) perencanaan pajak memungkinkan perusahaan dengan relatif struktur pajak yang tidak
efisien untuk memperbaiki masalahnya sehingga mampu bersaing dengan struktur pajak yang lebih
efisien. Perencanaan pajak itu sendiri sesungguhnya merupakan tindakan penstrukturan yang terkait
dengan konsekuensi potensi pajaknya, yang tekanannya kepada pengendalian setiap transaksi yang ada
konsekuensi pajaknya (Mangunsong, 2002). Suatu perencanaan pajak yang tepat akan menghasilkan
beban pajak yang minimal yang merupakan hasil dari perbuatan penghematan pajak dan/atau
penghindaran pajak yang dapat diterima oleh fiskus dan sama sekali bukan karena penyelundupan pajak
yang tidak dapat diterima oleh fiskus dan tidak akan ditolerir (Ruchjana, 2008). Perencanaan yang baik
mengharuskan wajib pajak mengikuti dan mengetahui perkembangan peraturan perpajakan yang
terbaru (Gloritho, 2009). Perencanaan pajak yang baik memungkinkan wajib pajak terhindar dari
pengenaan sanksi pajak, baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana (Hardika, 2007). Dua kegiatan
yang bisa dilakukan dalam perencanaan pajak yaitu tax avoidance dan tax evasion, keduanya merupakan
tindakan penghematan pajak. (Hutami, 2012). Perbedaannya adalah tax avoidancetindakan mengurangi
utang. Tahapan perencanaan pajak:

a. Menganalisis informasi yang ada

b. Membuat satu atau lebih model kemungkinan jumlah pajak

c. .Mengevaluasi pelaksanaan perencanaan pajak

d. Mencari kelemahan dan memperbaiki kembali rencana pajak

e. Memutakhirkan rencana pajak

Tarif PTKP terbaru selama setahun untuk perhitungan PPh Pasal 21 berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan No. 122/PMK010/2015 dan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015 adalah
sebagai berikut:

Rp 36.000.000,- untuk diri Wajib Pajak orang pribadi dan istri yang penghasilannya digabung dengan
penghasilan suami.

Rp 3.000.000,- tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;

Rp 3.000.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 rang untuk
setiap keluarga.

PTKP terbaru per bulan untuk perhitungan PPh Pasal 21 terbaru sebagaimana yang dimaksud Pasal 10
ayat (2) huruf c adalah sebagai berikut:
Rp 3.000.000,- untuk diri wajib pajak orang pribadi;

Rp 250.000,- tambahan untuk wajib pajak yang kawin, dan;

Rp 250.000,- tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus atau anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 untuk setiap
keluarga

TAHAPAN PERENCANAAN PAJAK DAN CONTOH PENERAPANNYA

Menganalisis Informasi Yang Dimiliki Perusaahaan

Informasi yang terkait laporan keuangan pada PT. ADIS yaitu sebagai berikut:

a. Uang lembur, diberikan kepada karyawan yang terlibat langsung dalam pengerjaan tugas tertentu
yang telah bekerja lebih dari jam kerja normal yaitu di atas pukul lima sore sampai dengan pukul tujuh
malam. Uang lembur hanya diberikan kepada golongan tertentu saja dan diterma karyawan bersamaan
dengan gaji bulanan.

b. Tunjangan makan diberikan bersamaan dengan gaji bulanan berdasarkan jumlah hari kerja
karyawan, besarnya tunjangan diberikan sesuai dengan golongan masing-masing karyawan.

c. Tunjangan transportasi kepada karyawan untuk membantu biaya transportasi pulang dan pergi
dan ke tempat kerja yang diberikan bersama gaji bulanan berdasarkan jumlah hari kerja karyawan.
Khusus untuk posisi direksi dan setingkat manajer mendapatkan fasilitas kendaraan yaitu mobil melalui
system COP (Car Ownership Program), dimana biaya pembelian mobil sebagian dibiayakan oleh
perusahaan dengan budget khusus yang telah disediakan dan selebihnya ditanggung karyawan tersebut,
dengan perjanjian mobil dapat dibawa pulang karyawan dan BPKB kendaraan tersebut tetap atas nama
karyawan namun dupegang oleh perusahaan dalam jangka waktu 5 tahun sesuai dengan kebijakan
manajemen perusahaan.

Hal ini dimaksudkan agar dalam jangka waktu tersebut tetap dimiliki ikatan kerja sebagai karyawan atau
dengan kata lain tidak boleh mengundurkan diri dari perusahaan. Setelah melewati masa 5 tahun. BPKB
tersebut dapat dipegang oleh karyawan. Untuk biaya-biaya dan pengeluaran yang berkaitan dengan
penggunaan kendaraan tersebut baik fasilitas perbaikan dan perawatan suku cadang kendaraan seperti
bensin, ili dan lain sebagainya ditanggung oleh perusahaan dengan memberikan tunjangan COP yang
dibayar bersama dengan gaji bulanan dan perusahaan telah memotong pajak atas tunjangan tersebut.
Atas pemberian fasilitas transportasi ini, perusahaan akan terkena risiko dikoreksi oleh pihak fiskus yaitu
koreksi positif, karena dapat diartikan sebagai pemberian natura atau kenikmatan yang tidak bisa
menjadi pengurang penghasilan bruto perusahaan.

d. Selain memberikana tunjangan kesehatan yang dibayar bersama gaji bulanan, perusahaan juga
memberikan biaya pengobatan dan rumah sakit kepada karyawan dan atau keluarga karyawan yang
menderita sakit ringan biasa atau melakukan rawat inap dirumah sakit yang besarnya disesuaikan
dengan system batas atas (plafon) yang berbeda-beda tiap golongan. Karyawan hanya dapat
mengajukan klaim atas biaya pengobatan, apabila minimal telah mempunyai masa kerja 3 bulan
dihitung dari tanggal masuk kerja. Biaya ini diberikan dengan memakai system penggantian
(Reimbursement) dari biaya yang tercantum di kuitansi asli. Atas biaya pengobatan dan rumah sakit
dengan system reimbursement ini, perusahaan akan terkena resiko dikoreksi fiskal positif oleh pihak
fiskus, karena hal ini dapat diartikan sebagai pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan yang
tidak bisa menjadi pengurang penghasilan bruto perusahaan.

e. Tunjangan Hari Raya (THR) diberikan berupa uang kepada karyawan dalam setahun sekali. Jumlah
yang diberikan biasanya sesuai dengan gaji pokoknya. Selain tunjangan dan fasilitas di atas perusahaan
juga mengikuti program Jamsostek dalam memberikan perlindungan bagi karyawannya untuk mengatasi
risiko social ekeonomi tertentu. Jenis program jamsostek yang diberikan yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja
(JKK), Jaminan Kematian (JK) dan Jaminan Hari Tua (JHT) yang dibayar perusahaan dan merupakan
penambah penghasilan bruto bagi karyawan yang besarnya sesuai ketentuan Undang-undang No.3
Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja yaitu:

- Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) sebesar 0.89% x gaji, dibayar oleh pemberi kerja

- Jaminan Kematian (JK) sebesar 0.3% x gaji, dibayar oleh pemberi kerja

- Jaminan Hari Tua (JHT) sebesar 3.7% x gaji, dibayar oleh pemberi kerja dan 2% dibayar oleh
karyawan.

2. Membuat Satu atau Lebih Perencanaan Kemungkinan Besarnya Pajak

a. Perusahaan belum melakukan perencanaan pajak atas PPh Pasal 21, dimana PT ADIS menanggung
semua PPh Pasal 21 atas karyawannya. Dimana hal ini akan merugikan bagi perusahaan karena sesuai
dengan peraturan perpajakan yang berlaku bahwa biaya tersebut tidak diperkenankan sebagai
pengurang penghasilan bruto. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan
Direktur Jenderal Pajak No. Kep-545/PJ/2000 tanggal 29 Desember 2000 Pasal 7 huruf e bahwa PPh
Pasal 21 yang ditanggung pemberi kerja termasuk dalam pengertian kenikmatan dalam bentuk natura
tidak boleh diperlakukan sebagai pengurang penghasilan bruto. Oleh karena itu, PT ADIS harus lebih
cermat dalam melakukan perencanaan pajak atas PPh Pasal 21 tersebut. Untuk mengatasi hal ini, ada
alternative yang dapat dilakukan manajemen perusahaan yaitu dengan mengubah pengeluaran non
deductible tersebut menjadi deductible dengan cara melakukan Gross up. Artinya, perusahaan
memberikan tunjangan pajak sejumlah uang tertentu atau sebesar jumlah PPh Pasal 21 yang terutang
dan memasukkannya sebagai komponen penambah penghasilan bruto karyawan yang akan dipotong
PPh Pasal 21. Metode Gross up ini akan menguntungkan bagi pihak karyawan dan perusahaan karena
jumlah pendapatan yang dibawa pulang karyawan dan perusahaan karena jumlah pendapatan yang
dibawa pulang karyawan (take home pay )akan semakin besar atau tetap dan tidak dipotong pajak,
selain itu tunjangan tersebut dapat dijadikan beban fiscal (deductible expense) bagi perusahaan.
b. Perusahaan kurang efektif dalam memberikan tunjangan makan kepada karyawannya yang dibayar
bersama gaji bulanan, sebaliknya perusahaan mengganti tunjangan dalam bentuk uang tersebut dengan
menyediakan makanan dan minuman bagi seluruh karyawan secara bersama-sama di tempat kerja,
karena hal ini diperkenankan sebagai pengurang penghasilan bruto dan merupakan pengecualian
pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan
No.466/KMK.04/2000 dan Keputusan Direktur Jendral Pajak no. Kep-213/PJ/2001 Pasal 1 huruf a yang
menyatakan bahwa penyediaan makanan dan minuman yang diberikan pemberi kerja bagi seluruh
karyawan secara bersama-sama termasuk Dewan Direksi dan Komisaris yang diberikan di tempat kerja
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan objek PPh Pasal 21 sesuai dengan
Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPH No.17 Tahun 2000.

Perlakuan pajak atas pemberian kepada pegawai dalam bentuk natura dan kenikmatan yang merupakan
keharusan dalam rangka pelaksanaan, keamanan dan keselamatan kerja atau yang berkenaan dengan
situasi lingkungan kerja, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja (deductible
expense)dan bukan merupakan penghasilan bagi karyawan walaupun bukan di daerah terpencil, dengan
menyediakan kan dan minum bagi seluruh karyawan secara bersama-sama di tempat kerja, dari segi
moral akan mendorong semangat moral-moral akan mendorong semangat kebersamaan dan kesetaraan
antara pengusaha dan karyawannya, sedangkan dari segi efisiensi karyawan tidak perlu pergi keluar
kantor hanya untuk membeli makan siang, sehingga waktu jam kerja pun tidak akan terbuang untuk
hal-hal yang kurang bermanfaat.

c. Perusahaan meberikan natura atau kenikmatan khusus kepada direksi dan setingkat manajer
berupa fasilitas kendaraan yaitu mobil melalui system COP (Car Ownership Program). Hal ini akan
merugikan perusahaan karena sesuai UU PPh No. 17 tahun 2000, pemberian dalam bentuk natura tidak
bisa menjadi pengurang penghasilan bruto. Sebaliknya, perusahaan mengalokasikan fasilitas
transportasi pegawai tersebut dapat dijadikan beban fiscal bagi perusahaan sebagai pengurang
penghasilan bruto.

Atas pemberian fasilitas transportasi ini, perusahaan akan terkena resiko dikoreksi positif seluruhnya
oleh pihak fiskus, karena perusahaan telah memberikan sejumlah uang tertentu kepada pegawai atas
pembelian fasilitas transportasi yang digunakan untuk tertentu kepada pegawai atas pembelian fasilitas
transportasi yang digunakan untuk kepentingan pribadi bukan untuk kepentingan operasional
perusahaan. Namun, jika perusahaan memberikan dlam bentuk tunjangan transportasi, aktiva
perusahaan berupa mobil tersebut dapat dijual untuk digunakan dalam operasional perusahaan,
sehingga perusahaan dapat menghemat beban pemeliharaan kendaraan tersebut.

d. Perusahaan memberikan biaya pengobatan dan biaya rumah sakit kepada karyawannya dengan
system reimbursement, hal ini akan merugikan perusahaan, karena hal tersebut merupakan atau dapat
diartikan sebagai pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan yang tidak bisa menjadi pengurang
penghasilan bruto. Sebaliknya perusahaan mengalokasikan biaya reimbursement tersebut menjadi
tunjangan kesehatan yang dibayar bersama gaji bulanan secara rutin baik karyawan tersebut sakit
maupun tidak. Hal ini untuk memastikan tidak ada jumlah aliran uang tertentu yang diterima,
diserahkan atau bisa dinikmati karyawan (objek PPh Pasal 21) baik yang diterima secara langsung
maupun tidak langsung dan beberapa kelemahan administrasi lainnya yang mungkin terjadi.

Jika perusahaan menggunakan system reimbursement atas biaya pengobatan dan rumah sakit, maka
akan terkena risiko dilakukan koreksi positif oleh pihak fiskus karena dianggap ada sejumlah uang
tertentu yang diterima, diserahkan atau bisa dinikmati karyawan dari pembayaran reimbursement
tersebut walauoun hanya sebentar atau sementara. Namun, jika perusahaan mengalokasikannya ke
dalam bentuk tunjangan kesehatan, perusahaan akan dapat memperlakukan biaya tersebut sebagai
biaya fiskal (deductable expenses) dan dapat menjadi penambah penghasilan bagi karyawan itu sendiri.

Selain diganti menjadi tunjangan kesehatan, perusahaan juga dapat mengikutkan karyawannya dalam
program asuransi kesehatan, dimana premi tersebut ditanggung oleh perusahaan atas nama karyawan
sehingga dapat dijadikan beban fiskal sebagai pengurang penghasilan bruto perusahaan dan dikenakan
pajak pada karyawan relatif kecil terhadap tunjangan premi asuransi tersebut.

Penerapan Perencanaan Pajak terhadap PPh Pasal 21

Berikut contoh beberapa alternative perhitungan PPh Pasal 21 atas salah seorang pegawai tetap PT ADIS
yang akan memperlihatkan tunjangan pajak yang akan diterimanya:

A adalah Staf Senior Teknikal Bagian Akuntansi pada PT ADIS dengan masa kerja 12 bulan dan memiliki
status (K/1). A menerima gaji pokok Rp 5.000.000,- setiap bulan ditambah dengan berbagai macam
tunjangan yang diterimanya. Perhitungan PPh Pasal 21 terutang sesuai dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak No. Kep.545/PJ/2001

Pendapatan A dan tunjangan yang diterimanya yaitu:

Gaji

Rp 5.000.000

Uang lembur

Rp 176.000

THR (sekali dalam setahun)

2x gaji

Tunjangan Transport

Rp 360.000

Tunjangan Kesehatan
Rp 264.000

Tunjangan Makan

Rp 312.000

Iuran dibayar oleh Pemberi Kerja :

Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)

0,89% x gaji

Premi Jaminan Kematian (JK)

0,3% x gaji

Iuran Jaminan Hari Tua (JHT)

3,7% x gaji

Iuran dibayar oleh A:

Iuran Jaminan Hari Tua (JHT)

2% x gaji

Perhitungan PPh Pasal 21 dapat dilakukan dengan 4 alternatif yaitu:

1. Alternatif 1 : PPh pasal 21 Ditanggung Pegawai

2. Alternatif 2 : PPh pasal 21 Ditanggung Pemberi Kerja

3. Alternatif 3 : PPh pasal 21 Diberikan dalam Bentuk Tunjangan Pajak

4. Alternatif 4 : PPh pasal 21 di Gross up

3. Mengevaluasi Pelaksanaan Rencana Pajak

PT. ADIS melakukan perencanaan pajak atas PPh Pasal 21 dengan menggunakan metode gross up.
Perencanaan pajak terhadap biaya-biaya, seperti biaya pengobatan dan biaya rumah sakit, uang lembur
dan THR, Tunjangan karyawan (tunjangan transport, tunjangan makan) dapat mengurangi pajak
penghasilan perusahaan yang terutang, karena biaya-biaya tersebut dapat dialihkan menjadi biaya dapat
diperkurangkan dalam perhitungan fiskal. Biaya dan tunjangan tersebut merupakan kenikmatan atau
bersifat natura yang jika diberikan dalam bentuk uang tunai langsung akan menambah penghasilan bagi
karyawan. Dengan ini beban perusahaan akan bertambah dan akan mengurangi laba perusahaan
sehingga PPh terutang perusahaan juga akan berkurang.

4. Mencari Kelemahan dan Kemudian Memperbaiki Kembali Rencana Pajak

Tujuan perencanaan pajak agar dapat mengefisiensikan biaya pajak yang terutang tanpa mengorbankan
kepentingan karyawannya. Setiap perencanaan pajak yang dilakukan diharapkan dapat memberikan
keuntungan bagi perusahaan. Namun tidak menutup kemungkinan, perencanaan pajak ini dapat
menimbulkan dampak yang tidak baik, baik dari sisi perusahaan maupun dari sisi karyawan.

Kelemahan terkait dengan perencanaan pajak di atas yaitu pada tunjangan kesehatan. Perusahaan akan
memberikan sejumlah uang diluar gaji pokok khusus untuk kesehatan. Dengan demikian, maka tidak
menutup kemungkinan biaya pengobatan yang ditanggung oleh karyawan lebih besar dibandingkan
dengan tunjangan kesehatan yang diberikan. Oleh karena itu dalam menentukan besaran nilai dari
tunjangan yang diterima oleh karyawan, maka sebaiknya perusahaan menetapkan kebijakan yang tepat
berkaitan dengan tunjangan kesehatan.

5. Memutakhirkan rencana pajak

a. Dari alternatif diatas, perusahaan dapat memilih alternatif keempat, sebab gaji yang diperoleh
karyawan merupakan setahun gaji dengan jumlah yang terbesar sebesar Rp 94.032.000, dan di lain
pihak perusahaan akan menanggung selisih antara biaya komersial dengan biaya fiskal yang tidak
berbeda dengan alternatif lainnya Rp 1.200.000. hal ini dapat menghemat PPh Pasal 21 karyawan
tersebut. Jika dilihat dari biaya komersial, biaya fiskal yang besar tersebut akan terlihat seeperti suatu
pemborosan, namun tidak demikian, dengan biaya fiskal yang besar tersebut nantinya akan berdampak
pada laba sebelum pajak yang akan menjadi lebih kecil dan PPh Badan yang terutang pun menjadi lebih
kecil.

b. Alternatif kedua dengan PPh Pasal 21 yang ditanggung perusahaan memang menguntungkan
karyawan, karena gaji yang diperoleh setahun memiliki selisih biaya fiskal dan komersial yang terbesar
yaitu Rp 5.406.700 (Disebabkan adanya kenikmatan berupa pajak yang ditanggung perusahaan sebesar
Rp 4.206.700 + iuran JHT sebesar Rp 1.200.000).Alternatif kedua ini merupakan alternatif yang
disarankan untuk tidak digunakan, karena akan menimbulkan koreksifiskal sebesar Rp 5.406.700 yang
berarti adanya tambahanpajak penghasilan .

c. Alternatif ketiga akan merugikan karyawan, meskipun memiliki selisih biaya fiskal dan komersial
sama dengan alternatif pertama dan keempat sebesar Rp 1.200.000, namun gaji yang diperoleh
karyawan setahun sebesar Rp 81.512. 995 kurang maksimal karena tunjangan pajak yang diterima
karyawan pun nilainya kurang maksimal.

d. Alternatif pertama sebaiknya tidak dilakukan peusahaan, karena hal ini akan merugikan kedua
belah pihak, baik itu karyawan maupun perusahaan, dimana gaji yang diperoleh karyawan dalam
setahun memiliki jumlah terkecil dari alternatif yang lainnya yaitu sebesar Rp 77.937.300 meskipun
selisih antara biaya fiskal dan biaya komersial memiliki nilai yang sama besarnya dengan alternative
lainnya. Hal ini akan terjadi koreksi fiskal sebesar Rp 1.200.000, yang dapat mengakibatkan jumlah PPh
Badan bertambah

Anda mungkin juga menyukai