Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN SEMESTER

TEKNOLOGI PAKAN TERNAK

OLEH
FIONA GITA SAFITRI
E10016123
B.2

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyediaan pakan ternak ruminansia di tingkat peternak masih memiliki
kualitas pakan yang rendah karena berkaitan dengan ketersediaan hijauan pakan
sehingga perlu diberikan suplemen pakan yang berkualitas tinggi untuk meningkatkan
produktivitasnya. Peningkatan kualitas pakan salah satunya dengan penggunaan
leguminosa sebagai sumber protein tambahan bagi ternak. Leguminosa merupakan
tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak sumber protein karena
memiliki kandungan protein yang cukup tinggi. Leguminosa dan produk hasil ikutan
(limbah) perkebunan adalah salah dua hal yang dapat dimanfaatkan sebagai alternatif
hijauan pakan antara lain lamtoro (Leucaena leucocephala), dan bagasse tebu.
Bagas atau ampas tebu merupakan salah satu limbah padat dalam industri gula
yang terdiri dari kumpulan serat batang tebu yang telah diekstraksi cairannya
(Sulistianingsih, 2006). Berdasarkan data yang diperoleh dari Pusat Penelitian
Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), di Indonesia bagas yang dihasilkan dari proses
penggilingan tebu yaitu sebanyak 32% dari berat tebu giling. Pabrik gula sudah
memanfaatkan 60% dari bagas tersebut sebagai bahan bakar pembangkit tenaga listrik,
bahan baku industri kanvas rem, pembuatan kertas, serta media pertumbuhan jamur.
Jadi, dapat diperkirakan sebanyak 40% dari bagas tersebut belum dimanfaatkan (Husin,
2007).
Namun, pemberian bahan tersebut secara langsung tidak dapat dimanfaatkan
secara optimal bagi ternak. Maka dari itu, diperlukan pengolahan berupa amoniasi,
pembuatan wafer ransum, dan melakukan survey untuk menemukan jamur yang dapat
digunakan sebagai bahan pakan ternak ruminansia.
Fermentasi (Amoniasi fermentasi) merupakan salah satu upaya dalam
peningkatan kualitas bahan pakan ternak. Secara biokimia, fermentasi merupakan
pembentukan energi melalui senyawa organik, sedangkan aplikasi ke dalam bidang
industri diartikan sebagai proses mengubah bahan dasar menjadi produk oleh massa sel
mikrobia. Dan proses fermentasi dapat terjadi jika ada kontak antara mikroorganisme
penyebab fermentasi dengan subtrat organik yang sesuai. Wafer pakan merupakan
salah satu hasil teknologi pengawetan pakan agar lebih tahan lama selama masa
penyimpanan. Keuntungan pengolahan pakan bentuk wafer ini antara lain adalah
meningkatkan daya simpan hijauan segar, memudahkan distribusi ke peternak, mudah
dalam pemberiannya pada ternak, serta dapat digunakan sebagai stok pakan hijauan
saat musim kemarau.

1.2. Tujuan Praktikum


Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui
1. Nilai BK dan BO, dan karakteristik fisik pada sampel amoniasi yang
disimpan pada minggu pertama, kedua, ketiga dan keempat.
2. Karakteristik fisik pada sampel yang disimpan pada minggu pertama,
kedua, ketiga, dan keempat.
3. Bentuk fisik jamur yang terdapat pada kayu serta potensinya sebagai pakan
ternak yang didapatkan melalui internet digging.

1.3. Manfaat
Manfaat dari praktikum ini adalah para praktikan mendapatkan pengetahuan
baru mengenai amoniasi, wafer dan bagaimana cara menganalisa sifat fisiknya serta
potensi jamur yang disurvey sebagai bahan pakan melalui internet.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Amoniasi

Hartadi dkk (1990), menyatakan bahwa ampas tebu tergolong salah satu pakan
dengan serat berkualitas rendah dan mengandung lignin, namun berpotensi sebagai
sumber energi bagi ruminansia karena kandungan karbohidrat yang dimiliki cukup
tinggi (Wijayanti dkk., 2012). Kadar Serat Kasar dan lignin yang terdapat pada ampas
tebu masing-masing sebesar 46,5 % dan 14 % (Ensminger dkk., 1990). Kandungan
ampas tebu apabila ditinjau dari segi komponen seratnya mengandung 82% dinding sel
yang terdiri atas selulosa 40%, hemiselulosa 27%, lignin 13%, dan silica 2%.
Candrasari et al. (2011), menyatakan bahwa penurunan BK disebabkan adanya
penguraian senyawa organik sebagai hasil aktifitas mikrobia selain itu penurunan BK
disebabkan pemecahan zat yang terlarut dan mudah dicerna
Huriawati dkk (2016) proses pengeringan sangat dipengaruhi oleh suhu dan
lama pengeringan. Akan tetapi pengeringan dengan menggunakan suhu yang terlalu
tinggi dapat mengakibatkan pengeringan yang tidak merata, akan tetapi pengeringan
suhu rendah juga kurang efi sien karena membutuhkan waktu yang relatif lebih lama.
Nindi dkk (2013) kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam
bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu pada bahan pangan menggambarkan
kandungan mineral dari sampel bahan makanan. Prinsip pengujian kadar abu ini adalah
bahan makanan dipanaskan dalam tanur listrik dengan suhu 550 oC. Kadar abu
berkatian dengan kandungan mineral dari sampel bahan makan yang dibutuhkan oleh
ternak.
Nurilmala (2006) yang menyatakan bahwa penentuan kadar abu dimaksudkan
untuk mengetahui kandungan komponen yang tidak mudah menguap (komponen
anorganik atau garam mineral) yang tetap tinggal pada pembakaran dan pemijaran
senyawa organic.
Sudarmaji, (1989) bahwa semakin rendah kadar abu suatu bahan, maka semakin
tinggi kemurniannya. Tinggi rendahnya kadar abu suatu bahan antara lain disebabkan
oleh kandungan mineral yang berbeda pada sumber bahan baku dan juga dapat
dipengaruhi oleh proses demineralisasi pada saat pembuatan.

2.2. Wafer Ransum

D'Mello dan Macdonald (1998), ada dua tipe jamur kontaminan, yaitu jamur
patogenik pada tanaman pakan dan jamur saprofit yang membusukkan bahan pakan
saat disimpan. Jamur saprofit antara lain Aspergillus dan Penicillium.
Fitriani (2016), yang menyatakan bahwa serat tidak pernah digunakan secara
keseluruhan oleh ruminansia, sekitar 20-70% dari serat yang dikonsumsi ditemukan
dalam feses
Handjani dan Purwoko (2008), yang menyatakan bahwa jamur yang biasa
tumbuh pada pakan yang disimpan, yaitu jenis Aspergillus. Jamur atau kapang
Aspergillus ini memiliki warna koloni putih pada awal pembentukannya dan berubah
warna setelah konidia kapang terbentuk.
Jayusmar (2000), faktor utama yang mempengaruhi kerapatan adalah jenis
bahan baku dan pemadatan hamparan pada mesin pengempaan.
Krishna (1980), komponen abu adalah air dan senyawa organik yang mudah
menguap. Abu sendiri terdiri dari unsur mineral, namun bervariasinya kombinasi unsur
mineral dalam bahan pakan asal tanaman menyebabkan abu tidak dapat dipakai sebagai
indek untuk menentukan jumlah unsur mineral tertentu.
Widiarti (2008) yang menyatakan bahwa Kadar air merupakan faktor yang
sangat penting dalam penentuan kualitas pakan, karena semakin tinggi kadar air suatu
bahan pakan, maka presentase nilai nutrisinya semakin rendah. Kadar air tinggi
menyebabkan bahan pakan lebih cepat terserang jamur, sehingga kualitas pakan akan
menurun dan dapat mengakibatkan keracunan pada ternak.
Zuhran (2006), perubahan aroma yang tidak diinginkan terjadi akibat gangguan
dari mikroorganisme dalam pakan yang menghasilkan bau tidak sedap (off odors).
2.3. Trametes pubescens

Kingdom : Fungi
Division : Basidiomycota
Class : Agaricomycetes
Order : Polyporales
Family : Polyporaceae
Genus : Trametes
Species : Trametes pubescens
Trametes pubescens digambarkan secara ilmiah pada tahun 1803 oleh ahli
mikologi Denmark Heinrich Christian Friedrich Schumacher (1757 - 1830), yang
memberinya nama ilmiah binomial Boletus pubescens, kemudian didistribusikan
kembali di beberapa genus baru lainnya), spesies ini berganti nama menjadi Trametes
pubescens pada tahun 1939 oleh ahli mikologi Ceko Albert Pilát (1903 - 1974).
Trametes pubescens adalah pelapuk kayu mati dari kayu keras, yang menyebar
secara luas di benua Asia, khususnya di Indonesia. Trametes pubescens memiliki pori
pori kecil dan tipis dengan permukaan topi berwarna krem halus yang tidak memiliki
zona warna yang sangat kontras (sebagian besar spesies lain seperti ekor kalkun dari
Trametes jelas dikategorikan). Permukaan pori-nya menjadi kekuningan seiring
bertambahnya usia, dan memiliki 3-5 pori sudut per mm.
Trametes pubescens merupakan salah satu jamur pelapuk putih yang memiliki
sifat melapukkan kayu yang tinggi. Pasalnya jamur pelapuk putih bisa meusak lignin.
Lignin adalah salah satu komponen dinding sel tumbuhan. Jamur kelompok lain
umumnya tak memiliki kemampuan merusak lignin sehingga proses pelapukan
berjalan lebih lambat dan tak sempurna. Menurut Sudirman (1995) jamur sangat erat
hubungannya dengan pelapukan kayu. Jamur tumbuh dengan memanfaatkan sumber
bahan makanan yang berasal dari pelapukan kayu atau lingkungan sekitarnya, baik
kayu yang sedang mengalami pelapukan ataupun kayu yang telah lapuk.
Jamur merupakan organisme eukariota yang digolongkan kedalam kelompok
cendawan sejati. Dinding sel jamur terdiri atas kitin, sel jamur tidak mengandung
klorofil. Jamur mendapatkan makanan secara heterotrof dengan mengambil makanan
dari bahan organik. Bahan organik disekitar tempat tumbuhnya diubah menjadi
molekul-molekul sederhana dan diserap langsung oleh hifa, jadi jamur tidak seperti
organisme heterotrof lainnya yang menelan makanannya kemudian mencernanya
sebelum diserap. (Gunawan, 2000).
Jamur memerlukan makanan dari zat-zat yang terkandung dalam kayu seperti
selulosa, hemiselulosa, lignin dan zat isi sel lainnya. selulosa, hemiselulosa dan lignin
yang menyusun kayu terdapat sebagai makromolekul yang terlalu besar dan tidak larut
dalam air untuk diasimilasi langsung oleh cendawan (Tambunan dan Nandika 1989).
Berdasarkan bentuk penyerangannya, Trametes pubescens termasuk kedalam jenis
jamur White rot. Jamur ini merombak lignin dan sebagian selulosa. Kayu yang diserang
akan berwarna putih. Pelapukan kayu oleh jamur terbagi dalam 2 (dua) tahap yaitu
tahap awal dan tahap lanjut. Pada tahap awal akan terjadi perubahan warna dan
pengerasan pada permukaan kayu.
Setelah tingkat permulaan dilalui, kayu terlihat semakin berubah baik warna
maupun sifat fisiknya hingga pada akhirnya struktur dan penampilan kayu berubah
secara total. Tahap ini disebut sebagai pelapukan tingkat lanjut (advanced decay)
dimana kekuatan kayu berkurang sedenikian rupa sehingga mudah sekali dihancurkan
dengan menggunakan tangan. Serangan tersebut berpengaruh pada berat kayu, dimana
kayu yang terserang beratnya akan ringan, hal ini disebabkan oleh hilangnya lignin dan
selulosa. Lignin, selulosa, dan hemiselulosa adalah senyawa utama yang ada dalam
residu tanaman. Di antara mereka, selulosa dan hemiselulosa dapat didekomposisi oleh
sejumlah besar mikroorganisme aerob dan anaerob melalui aksi enzim hidrolitik.
Sebaliknya, biodegradasi lignin terjadi pada tingkat yang lebih rendah daripada
polisakarida dinding sel tanaman.
Trametes pubescens merupakan salah satu jamu pelapuk putih yang dapat
merombak lignin dan sebagian selulosa sehingga dapat diperuntukkan untuk ternak
ruminansia. Ternak ruminansia menggunakan selulosa sebagai sumber energi utama
dalam menunjang pertumbuhan, produksi dan reproduksi. Selulosa adalah zat penyusun
tanaman yang jumlahnya banyak, sebagai material struktur dinding sel semua tanaman
(Tillman et al., 1989). Selulosa dicerna dalam tubuh ternak dalam saluran pencernaan
oleh selulase hasil jasad renik dan menghasilkan selubiosa, yang kemudian dihidrolisis
lebih lanjut untuk menghasilkan glukosa.
Hemiselulosa adalah polisakarida pada dinding sel tanaman yang larut dalam
alkali dan menyatu dengan selulosa. Hemiselulosa terdiri atas unit D-glukosa,
Dgalaktosa, D-manosa, D-xylosa, dan L-arabinosa yang terbentuk bersamaan dalam
kombinasi dan ikatan glikosilik yang bermacam-macam (McDonald et al., 2002).
Selulosa dan hemiselulosa pada lignoselulosa tidak dapat dihidrolisis oleh enzim
selulase dan hemiselulase kecuali lignin yang ada pada substrat dilarutkan, dihilangkan
atau dikembangkan terlebih dahulu.
Lignin dapat didegradasi oleh jamur pelapuk kayu tetapi hanya dapat
didegradasi secara sempurna oleh jamur pelapuk putih (white-rot fungi). Jamur ini
dapat mendegradasi polimer selulosa, hemiselulosa dan lignin dengan bantuan enzim
ekstraseluler. Jamur Trametes pubescens merupakan salah satu jamur yang dapat
menguraikan ikatan dan mendegradasi lignin dengan bantuan enzim pendegradasi
lignin.
BAB III
MATERI DAN METODA

3.1. Waktu dan Tempat


Praktikum Teknologi Pakan Ternak ini dilaksanakan setiap hari selasa mulai
dari tanggal 26 Maret 2019 – 30 April 2019 pada pukul 9.30 WIB s/d selesai. Bertempat
di Laboratorium Fakultas Peternakan Universitas Jambi.

3.2. Materi
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah kantong plastik 5kg, tali rapia,
semprotan, sarung tangan latex, gelas ukur, plastik gula kapasitas 1 kg, baskom, piring
styrofoam, dongkrak, mesin pencetak wafer, meteran, terpal, jangka sorong, alat tulis,
kamera.
Sementara bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah bagasse tebu,
urea 6%, air, Leucaena leucocephala atau daun lamtoro 40%, dedak, jagung 38%,
bungkil inti sawit (BIS) 18%, onggok 20%, NaCl 2%, Mineral Feed Supplement 2%.

3.3. Metoda

Metode yang digunakan pada praktikum amoniasi adalah dilakukan pencacahan


dan penjemuran terhadap bagasse tebu selama 3 hari. Lalu sebanyak 2 gr sampel cacah
halus dan dianalisis proksimat untuk mendapatkan data kontrol bahan kering. Proses
amoniasi bagasse tebu diawali dengan melarutkan urea ke dalam air, kemudian
dimasukkan kedalam botol semprotan dan disemprot ke bagasse tebu hingga larutan
tersebut habis tak bersisa dan seluruh bagasse tebu tercampur rata (homogen).
Masukkan kedalam 4 kantong plastic 5kg, dan biarkan selama 4 minggu dan sampel
diberi tanda B2.1-B2.4 dikarenakan setiap minggu amoniasi dibuka dan diamati
karakteristik fisiknya. Setelah 4 minggu semua sampel dijemur selama satu hari dan
digiling untuk dimasukkan kedalam oven dengan suhu 60°C selama 24 jam yang
kemudian dianalisis untuk dilihat bahan kering, dan bahan organik.
Metoda dalam pembuatan wafer ransum komplit yaitu hijauan dicacah halus,
dengan ukuran 1-2 cm. Tujuannya untuk mempercepat proses pengeringan serta
memudahkan dalam pencampuran dengan bahan perekat. Bahan yang sudah dicacah
dikeringkan dibawah sinar matahari. Hijauan yang sudah dicacah halus dicampur
dengan bahan perekat dan konsentrat dan diaduk sampai homogen dengan
mencampurkan dari konsentrasi yang paling kecil sampai paling besar secara
berurutan. Campuran yang sudah homogen dimasukkan kedalam cetakan (mall) yang
telah disiapkan untuk dipadatkan. Kemudian dikeluarkan dari cetakan dan dibiarkan
selama beberapa minggu, dan siap untuk dilakukan uji fisik. Uji fisik kerapatan
dilakukan dengan cara mengukur diameter dan tebal dari wafer lalu dilakukan
perhitungan. Pada uji fisik penyusutan berat dilakukan dengan cara wafer ditimbang
setelah dan sebelum penyimpanan dilakukan. Pada uji ketahanan benturan dilakukan
dengan cara membanting wafer dari ketinggian 1 m, lalu wafer yang masih utuh
ditimbang dan dilakukan perhitungan. Pada uji fisik berat jenis dilakukan dengan cara
wafer yang telah digiling sebelumnya ditimbang sebanyak 20 g, lalu dimasukkan ke
dalam gelas ukur yang telah diisi dengan 100 ml aquades dan dilakukan perhitungan
berat jenis.
Pada praktikum proses pencarian jamur hal yang pertama dilakukan yaitu
mencari lokasi atau tempat tumbuh dari jamur tersebut. Kemudian ambil gambar atau
foto dari jamur tersebut. Setelah itu lakukan identifikasi dari jamur tersebut, mulai dari
klasifikasi dan ciri-ciri dari jamur tersebut. Lalu letakkan titik koordinat di tempat
jamur tersebut tumbuh, hal ini agar memudahkan kita saat hendak mencari jamur
tersebut lagi.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Amoniasi

Hartadi dkk (1990), menyatakan bahwa ampas tebu tergolong salah satu pakan
dengan serat berkualitas rendah dan mengandung lignin, namun berpotensi sebagai
sumber energi bagi ruminansia karena kandungan karbohidrat yang dimiliki cukup
tinggi (Wijayanti dkk., 2012). Kadar Serat Kasar dan lignin yang terdapat pada ampas
tebu masing-masing sebesar 46,5 % dan 14 % (Ensminger dkk., 1990). Kandungan
ampas tebu apabila ditinjau dari segi komponen seratnya mengandung 82% dinding sel
yang terdiri atas selulosa 40%, hemiselulosa 27%, lignin 13%, dan silica 2%.

Tabel 1. Karakteristik fisik amoniasi minggu 1-4


Parameter
Minggu Ke-
Warna Bau Tekstur
I Cokelat Muda Alkohol Kasar dan lembab
II Cokelat gelap Alkohol Halus
III Cokelat gelap Alkohol Halus
IV Cokelat Muda Alkohol Halus

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa amoniasi selama empat


minggu menyebabkan perubahan warna dari cokelat muda-cokelat gelap-cokelat muda.
Perubahan warna dari minggu ke tiga dan minggu ke empat dari cokelat gelap ke
cokelat muda dapat disebabkan karena proses amoniasi pada minggu ke empat
merupakan amoniasi dengan jangka waktu terlama sehingga reaksi perubahan warna
kecoklatan berubah menjadi warna paling maksimal yaitu warna pucat atau muda.
Sementara itu, dari minggu pertama hingga minggu ke empat amoniasi bau sampel
tetap sama yaitu bau alkohol. Dan pada amoniasi minggu pertama hingga minggu
keempat tekstur bagasse tebu yang didapatkan adalah perubahan dari kasar dan lembab
menjadi halus.
Tabel 2. Analisis kimiawi amoniasi minggu 1-4
Parameter
Minggu Ke-
Bahan Kering (%) Bahan Organik (%)
I 93,5% 98,5%
II 92,5% 97,5%
III 91% 98,5%
IV 96,5% 98,5%

Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa pada analisis bahan kering
amoniasi minggu 1-3 mengalami penurunan dari 93,5% hingga 91% sedangkan pada
minggu ke empat kadar bahan keringnya adalah 96,5%. Hal itu dapat disebabkan
karena pada sampel amoniasi minggu pertama hingga ketiga amoniasi telah terhenti
selama kurang lebih 1 hingga 3 minggu. Sementara pada minggu ke empat sampel
hanya dibuka selama satu hari dan diamoniasi pada keesokan harinya. Menurut
Candrasari et al. (2011), penurunan BK disebabkan adanya penguraian senyawa
organik sebagai hasil aktifitas mikrobia selain itu penurunan BK disebabkan
pemecahan zat yang terlarut dan mudah dicerna. Sementara itu pada analisis bahan
organic didapatkan hasil yang sama pada sampel minggu pertama, ketiga dan keempat.
Namun berbeda pada minggu kedua yang mengalami penurunan yaitu sebesar 1%.
Nindi dkk (2013) kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan
cara pengabuannya. Kadar abu pada bahan pangan menggambarkan kandungan
mineral dari sampel bahan makanan. Prinsip pengujian kadar abu ini adalah bahan
makanan dipanaskan dalam tanur listrik dengan suhu 550oC. Kadar abu berkatian
dengan kandungan mineral dari sampel bahan makan yang dibutuhkan oleh ternak.
Didukung oleh pendapat Nurilmala (2006) bahwa penentuan kadar abu dimaksudkan
untuk mengetahui kandungan komponen yang tidak mudah menguap (komponen
anorganik atau garam mineral) yang tetap tinggal pada pembakaran dan pemijaran
senyawa organik. Sudarmaji, (1989) menyatakan bahwa semakin rendah kadar abu
suatu bahan, maka semakin tinggi kemurniannya. Tinggi rendahnya kadar abu suatu
bahan antara lain disebabkan oleh kandungan mineral yang berbeda pada sumber bahan
baku dan juga dapat dipengaruhi oleh proses demineralisasi pada saat pembuatan.
3.3. Wafer Ransum
Uji fisik yang dilakukan dalam praktikum ini meliputi kerapatan wafer,
ketahanan benturan wafer, penyusutan wafer dan berat jenis dengan lama penyimpana
yang berbeda-beda mulai dari penyimpanan 1 minggu sampai lama penyimpanan 4
minggu. Berikut adalah tabel data uji fisik wafer ransum komplit:

Tabel 3. Uji fisik wafer ransum

Parameter
Minggu Ke-
Kerapatan Penyusutan Ketahanan Berat Jenis
I 1,47 g/cm3 13 g 80% 1,11g/ml
II 0,97 g/cm3 27 g 99,39 % 1,25 g/ml
III 1,09 g/cm3 39,45 g 99,32 % 1 g/ml
IV 1,20 g/cm3 27 g 99,37 % 1,11 g/ml

Kerapatan Wafer
Berdasarkan tabel diatas didapatkan hasil bahwa parameter yang diujikan pada
setiap minggu nya memiliki nilai yang berbeda-beda dan tidak konstan. Namun, pada
uji kerapatan memiliki nilai yang relatif konstan berkisar antara 0,971 – 1,47 g/cm3.
Hal ini sesuai dengan pendapat Prabowo (2003) kerapatan wafer sebesar 0,6 g/cm3
sesuai untuk ternak dan penyimpanan. Hal ini dikarenakan oleh fator bahan baku yang
berbeda. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Lalitya (2004), nilai rataan
kerapatan wafer paling tinggi pada penyimpanan minggu ke 0, karena penyimpanan
minggu ke 0 ikatan antar partikel bahan masih kuat. Kerapatan wafer mengalami
penurunan dari minggu ke 2 sampai minggu ke 6. Kerapatan wafer merupakan salah
satu sifat fisik yang sangat mempengaruhi penampilan wafer, penanganan transportasi
dan mengefisienkan ruang penyimpanan. Nilai kerapatan menunjukkan kepadatan
wafer ransum komplit dan juga menentukan bentuk fisik dari wafer ransum komplit
yang dihasilkan. Furqaanida (2004) menyatakan bahwa kerapatan wafer ransum
komplit juga dapat mempengaruhi palatabilitas ternak terhadap wafer. Pada umumnya
ternak tidak terlalu menyukai pakan yang terlalu keras (wafer dengan kerapatan tinggi)
karena akan menyebabkan sulitnya ternak dalam mengkonsumsi wafer secara
langsung. Nilai kerapatan menunjukkan kepadatan wafer ransum komplit dalam teknik
pembuatannya. Selain itu kerapatan juga menentukan bentuk fisik dari wafer ransum
komplit yang dihasilkan. Di dukung oleh pendapat Nurhidayah (2005) menyatakan
bahwa kerapatan yang tinggi ini, secara fisik diharapkan akan memudahkan dalam hal
penanganan baik penyimpanan maupun goncangan pada saat transportasi dan
diperkirakan akan lebih tahan lama dalam penyimpanan.
Penyusutan Wafer
Pada hasil penyusutan berat wafer ransum komplit minggu ketiga memiliki nilai
penyusutan yang terbesar dibandingkan dengan minggu lainnya yaitu 39,45 g.
penyusutan ini dapat terjadi akibat kondisi selama penyimpanan dengan dijemur
sehingga air yang terdapat dalam wafer menguap. Menurut Putra (2005) semakin lama
disimpan, maka aktivitas air pakan semakin menurun dan seolah-olah menjadi bagus.
Kadar air erat hubungannya dengan aktivitas air, begitu juga dengan suhu dan
kelembaban tempat penyimpanan, dengan adanya adsorpsi uap air dari udara ke dalam
komoditi maka dapat mengakibatkan perubahan kandungan air bebas komoditi
tersebut. Tingginya aktivitas air disebabkan oleh ransum yang disimpan dalam jumlah
yang cukup tinggi, dan pelepasan air ke udara ruang penyimpanan tidak besar tetapi
tinggi sehingga nilai aktivitas air tinggi (Ayu, 2003).
Ketahanan Benturan
Pada hasil ketahanan benturan pada wafer minggu ke dua didapatkan hasil yang
terbaik yaitu 99,39%, semakin tinggi nilai atau mendekati 100% maka wafer
berkualitas baik dengan nilai ketahanan benturan yang berarti memiliki kekerasan
tekstur yang baik. Kekerasan tekstur dapat digunakan untuk mengetahui kerenyahan
wafer ransum komplit. Kondisi ini memiliki hubungan dengan kemampuan gigi ternak
untuk mengunyah wafer ransum komplit. Semakin tinggi kadar air wafer ransum
komplit, maka kekerasan teksturnya semakin rendah dan kerenyahan semakin menurun
(Noviagama, 2002).
Berat Jenis Wafer
Pada hasil berat jenis wafer didapatkan nilai yang berbeda-beda disetiap
minggu nya berkisar antara 1-1,25 g/ml. Berat jenis yang tinggi akan meningkatkan
kapasitas ruang penyimpanan (Syarifudin, 2001), sehingga semakin banyak volume
ruang yang dibutuhkan untuk penyimpanan.
3.4. Trametes pubescens

Sistematika

Kingdom: Fungi
Division : Basidiomycota
Class : Agaricomycetes
Order : Polyporales
Family : Polyporaceae
Genus : Trametes
Species : Trametes pubescens

Trametes pubescens digambarkan secara ilmiah pada tahun 1803 oleh ahli
mikologi Denmark Heinrich Christian Friedrich Schumacher (1757 - 1830), yang
memberinya nama ilmiah binomial Boletus pubescens, kemudian didistribusikan
kembali di beberapa genus baru lainnya), spesies ini berganti nama menjadi Trametes
pubescens pada tahun 1939 oleh ahli mikologi Ceko Albert Pilát (1903 - 1974).
Trametes pubescens adalah pelapuk kayu mati dari kayu keras, yang menyebar
secara luas di benua Asia, khususnya di Indonesia. Trametes pubescens memiliki pori
pori kecil dan tipis dengan permukaan topi berwarna krem halus yang tidak memiliki
zona warna yang sangat kontras (sebagian besar spesies lain seperti ekor kalkun dari
Trametes jelas dikategorikan). Permukaan pori-nya menjadi kekuningan seiring
bertambahnya usia, dan memiliki 3-5 pori sudut per mm.

Enzim yang terkandung didalam Trametes pubescens


Trametes pubescens merupakan salah satu jamur pelapuk putih yang memiliki
sifat melapukkan kayu yang tinggi. Pasalnya jamur pelapuk putih bisa meusak lignin.
Lignin adalah salah satu komponen dinding sel tumbuhan. Jamur kelompok lain
umumnya tak memiliki kemampuan merusak lignin sehingga proses pelapukan
berjalan lebih lambat dan tak sempurna. Menurut Sudirman (1995) jamur sangat erat
hubungannya dengan pelapukan kayu. Jamur tumbuh dengan memanfaatkan sumber
bahan makanan yang berasal dari pelapukan kayu atau lingkungan sekitarnya, baik
kayu yang sedang mengalami pelapukan ataupun kayu yang telah lapuk.
Jamur merupakan organisme eukariota yang digolongkan kedalam kelompok
cendawan sejati. Dinding sel jamur terdiri atas kitin, sel jamur tidak mengandung
klorofil. Jamur mendapatkan makanan secara heterotrof dengan mengambil makanan
dari bahan organik. Bahan organik disekitar tempat tumbuhnya diubah menjadi
molekul-molekul sederhana dan diserap langsung oleh hifa, jadi jamur tidak seperti
organisme heterotrof lainnya yang menelan makanannya kemudian mencernanya
sebelum diserap. (Gunawan, 2000).
Jamur memerlukan makanan dari zat-zat yang terkandung dalam kayu seperti
selulosa, hemiselulosa, lignin dan zat isi sel lainnya. selulosa, hemiselulosa dan lignin
yang menyusun kayu terdapat sebagai makromolekul yang terlalu besar dan tidak larut
dalam air untuk diasimilasi langsung oleh cendawan (Tambunan dan Nandika 1989).
Berdasarkan bentuk penyerangannya, Trametes pubescens termasuk kedalam jenis
jamur White rot. Jamur ini merombak lignin dan sebagian selulosa. Kayu yang diserang
akan berwarna putih. Pelapukan kayu oleh jamur terbagi dalam 2 (dua) tahap yaitu
tahap awal dan tahap lanjut. Pada tahap awal akan terjadi perubahan warna dan
pengerasan pada permukaan kayu.
Setelah tingkat permulaan dilalui, kayu terlihat semakin berubah baik warna
maupun sifat fisiknya hingga pada akhirnya struktur dan penampilan kayu berubah
secara total. Tahap ini disebut sebagai pelapukan tingkat lanjut (advanced decay)
dimana kekuatan kayu berkurang sedenikian rupa sehingga mudah sekali dihancurkan
dengan menggunakan tangan. Serangan tersebut berpengaruh pada berat kayu, dimana
kayu yang terserang beratnya akan ringan, hal ini disebabkan oleh hilangnya lignin dan
selulosa. Lignin, selulosa, dan hemiselulosa adalah senyawa utama yang ada dalam
residu tanaman. Di antara mereka, selulosa dan hemiselulosa dapat didekomposisi oleh
sejumlah besar mikroorganisme aerob dan anaerob melalui aksi enzim hidrolitik.
Sebaliknya, biodegradasi lignin terjadi pada tingkat yang lebih rendah daripada
polisakarida dinding sel tanaman.
Pemanfaatan Trametes pubescens untuk ternak Ruminansia
Trametes pubescens merupakan salah satu jamu pelapuk putih yang dapat
merombak lignin dan sebagian selulosa sehingga dapat diperuntukkan untuk ternak
ruminansia. Ternak ruminansia menggunakan selulosa sebagai sumber energi utama
dalam menunjang pertumbuhan, produksi dan reproduksi. Selulosa adalah zat
penyusun tanaman yang jumlahnya banyak, sebagai material struktur dinding sel
semua tanaman (Tillman et al., 1989). Selulosa dicerna dalam tubuh ternak dalam
saluran pencernaan oleh selulase hasil jasad renik dan menghasilkan selubiosa, yang
kemudian dihidrolisis lebih lanjut untuk menghasilkan glukosa.
Hemiselulosa adalah polisakarida pada dinding sel tanaman yang larut dalam
alkali dan menyatu dengan selulosa. Hemiselulosa terdiri atas unit D-glukosa,
Dgalaktosa, D-manosa, D-xylosa, dan L-arabinosa yang terbentuk bersamaan dalam
kombinasi dan ikatan glikosilik yang bermacam-macam (McDonald et al., 2002).
Selulosa dan hemiselulosa pada lignoselulosa tidak dapat dihidrolisis oleh enzim
selulase dan hemiselulase kecuali lignin yang ada pada substrat dilarutkan, dihilangkan
atau dikembangkan terlebih dahulu.
Lignin dapat didegradasi oleh jamur pelapuk kayu tetapi hanya dapat
didegradasi secara sempurna oleh jamur pelapuk putih (white-rot fungi). Jamur ini
dapat mendegradasi polimer selulosa, hemiselulosa dan lignin dengan bantuan enzim
ekstraseluler. Jamur Trametes pubescens merupakan salah satu jamur yang dapat
menguraikan ikatan dan mendegradasi lignin dengan bantuan enzim pendegradasi
lignin.
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Amoniasi bagasse tebu selama empat minggu menghasilkan perbedaan


karakteristik fisik, nilai BK dan BO, perbedaan itu dapat disebabkan karena amoniasi
pada minggu ke 1-3 memiliki jeda waktu penyimpanan kurang lebih 1-3 minggu.
Sementara pada amoniasi minggu keempat hanya memiliki jeda 1 hari setelah dibuka,
dijemur, kemudian dianalisis. Demikian pula dengan wafer ransum yang disimpan
selama 4 minggu, memiliki perbedaan nilai kerapatan, penyusutan, ketahanan benturan
dan berat jenis. Trametes pubescens memiliki potensi untuk dijadikan sebagaai pakan
ternak dikarenakan jamur tersebut dapat merombak lignin dan sebagian selulosa
sehingga dapat diperuntukkan untuk ternak ruminansia. Ternak ruminansia
menggunakan selulosa sebagai sumber energi utama dalam menunjang pertumbuhan,
produksi dan reproduksi.

4.2. Saran

Diharapkan kepada semua praktikan saat melaksanakan praktikum lebih teliti


dan kondusif lagi terkhusus pada saat melakukan analisis proksimat agar data yang
didapat akurat.

Anda mungkin juga menyukai