OLEH
FIONA GITA SAFITRI
E10016123
B.2
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.3. Manfaat
Manfaat dari praktikum ini adalah para praktikan mendapatkan pengetahuan
baru mengenai amoniasi, wafer dan bagaimana cara menganalisa sifat fisiknya serta
potensi jamur yang disurvey sebagai bahan pakan melalui internet.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Amoniasi
Hartadi dkk (1990), menyatakan bahwa ampas tebu tergolong salah satu pakan
dengan serat berkualitas rendah dan mengandung lignin, namun berpotensi sebagai
sumber energi bagi ruminansia karena kandungan karbohidrat yang dimiliki cukup
tinggi (Wijayanti dkk., 2012). Kadar Serat Kasar dan lignin yang terdapat pada ampas
tebu masing-masing sebesar 46,5 % dan 14 % (Ensminger dkk., 1990). Kandungan
ampas tebu apabila ditinjau dari segi komponen seratnya mengandung 82% dinding sel
yang terdiri atas selulosa 40%, hemiselulosa 27%, lignin 13%, dan silica 2%.
Candrasari et al. (2011), menyatakan bahwa penurunan BK disebabkan adanya
penguraian senyawa organik sebagai hasil aktifitas mikrobia selain itu penurunan BK
disebabkan pemecahan zat yang terlarut dan mudah dicerna
Huriawati dkk (2016) proses pengeringan sangat dipengaruhi oleh suhu dan
lama pengeringan. Akan tetapi pengeringan dengan menggunakan suhu yang terlalu
tinggi dapat mengakibatkan pengeringan yang tidak merata, akan tetapi pengeringan
suhu rendah juga kurang efi sien karena membutuhkan waktu yang relatif lebih lama.
Nindi dkk (2013) kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam
bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu pada bahan pangan menggambarkan
kandungan mineral dari sampel bahan makanan. Prinsip pengujian kadar abu ini adalah
bahan makanan dipanaskan dalam tanur listrik dengan suhu 550 oC. Kadar abu
berkatian dengan kandungan mineral dari sampel bahan makan yang dibutuhkan oleh
ternak.
Nurilmala (2006) yang menyatakan bahwa penentuan kadar abu dimaksudkan
untuk mengetahui kandungan komponen yang tidak mudah menguap (komponen
anorganik atau garam mineral) yang tetap tinggal pada pembakaran dan pemijaran
senyawa organic.
Sudarmaji, (1989) bahwa semakin rendah kadar abu suatu bahan, maka semakin
tinggi kemurniannya. Tinggi rendahnya kadar abu suatu bahan antara lain disebabkan
oleh kandungan mineral yang berbeda pada sumber bahan baku dan juga dapat
dipengaruhi oleh proses demineralisasi pada saat pembuatan.
D'Mello dan Macdonald (1998), ada dua tipe jamur kontaminan, yaitu jamur
patogenik pada tanaman pakan dan jamur saprofit yang membusukkan bahan pakan
saat disimpan. Jamur saprofit antara lain Aspergillus dan Penicillium.
Fitriani (2016), yang menyatakan bahwa serat tidak pernah digunakan secara
keseluruhan oleh ruminansia, sekitar 20-70% dari serat yang dikonsumsi ditemukan
dalam feses
Handjani dan Purwoko (2008), yang menyatakan bahwa jamur yang biasa
tumbuh pada pakan yang disimpan, yaitu jenis Aspergillus. Jamur atau kapang
Aspergillus ini memiliki warna koloni putih pada awal pembentukannya dan berubah
warna setelah konidia kapang terbentuk.
Jayusmar (2000), faktor utama yang mempengaruhi kerapatan adalah jenis
bahan baku dan pemadatan hamparan pada mesin pengempaan.
Krishna (1980), komponen abu adalah air dan senyawa organik yang mudah
menguap. Abu sendiri terdiri dari unsur mineral, namun bervariasinya kombinasi unsur
mineral dalam bahan pakan asal tanaman menyebabkan abu tidak dapat dipakai sebagai
indek untuk menentukan jumlah unsur mineral tertentu.
Widiarti (2008) yang menyatakan bahwa Kadar air merupakan faktor yang
sangat penting dalam penentuan kualitas pakan, karena semakin tinggi kadar air suatu
bahan pakan, maka presentase nilai nutrisinya semakin rendah. Kadar air tinggi
menyebabkan bahan pakan lebih cepat terserang jamur, sehingga kualitas pakan akan
menurun dan dapat mengakibatkan keracunan pada ternak.
Zuhran (2006), perubahan aroma yang tidak diinginkan terjadi akibat gangguan
dari mikroorganisme dalam pakan yang menghasilkan bau tidak sedap (off odors).
2.3. Trametes pubescens
Kingdom : Fungi
Division : Basidiomycota
Class : Agaricomycetes
Order : Polyporales
Family : Polyporaceae
Genus : Trametes
Species : Trametes pubescens
Trametes pubescens digambarkan secara ilmiah pada tahun 1803 oleh ahli
mikologi Denmark Heinrich Christian Friedrich Schumacher (1757 - 1830), yang
memberinya nama ilmiah binomial Boletus pubescens, kemudian didistribusikan
kembali di beberapa genus baru lainnya), spesies ini berganti nama menjadi Trametes
pubescens pada tahun 1939 oleh ahli mikologi Ceko Albert Pilát (1903 - 1974).
Trametes pubescens adalah pelapuk kayu mati dari kayu keras, yang menyebar
secara luas di benua Asia, khususnya di Indonesia. Trametes pubescens memiliki pori
pori kecil dan tipis dengan permukaan topi berwarna krem halus yang tidak memiliki
zona warna yang sangat kontras (sebagian besar spesies lain seperti ekor kalkun dari
Trametes jelas dikategorikan). Permukaan pori-nya menjadi kekuningan seiring
bertambahnya usia, dan memiliki 3-5 pori sudut per mm.
Trametes pubescens merupakan salah satu jamur pelapuk putih yang memiliki
sifat melapukkan kayu yang tinggi. Pasalnya jamur pelapuk putih bisa meusak lignin.
Lignin adalah salah satu komponen dinding sel tumbuhan. Jamur kelompok lain
umumnya tak memiliki kemampuan merusak lignin sehingga proses pelapukan
berjalan lebih lambat dan tak sempurna. Menurut Sudirman (1995) jamur sangat erat
hubungannya dengan pelapukan kayu. Jamur tumbuh dengan memanfaatkan sumber
bahan makanan yang berasal dari pelapukan kayu atau lingkungan sekitarnya, baik
kayu yang sedang mengalami pelapukan ataupun kayu yang telah lapuk.
Jamur merupakan organisme eukariota yang digolongkan kedalam kelompok
cendawan sejati. Dinding sel jamur terdiri atas kitin, sel jamur tidak mengandung
klorofil. Jamur mendapatkan makanan secara heterotrof dengan mengambil makanan
dari bahan organik. Bahan organik disekitar tempat tumbuhnya diubah menjadi
molekul-molekul sederhana dan diserap langsung oleh hifa, jadi jamur tidak seperti
organisme heterotrof lainnya yang menelan makanannya kemudian mencernanya
sebelum diserap. (Gunawan, 2000).
Jamur memerlukan makanan dari zat-zat yang terkandung dalam kayu seperti
selulosa, hemiselulosa, lignin dan zat isi sel lainnya. selulosa, hemiselulosa dan lignin
yang menyusun kayu terdapat sebagai makromolekul yang terlalu besar dan tidak larut
dalam air untuk diasimilasi langsung oleh cendawan (Tambunan dan Nandika 1989).
Berdasarkan bentuk penyerangannya, Trametes pubescens termasuk kedalam jenis
jamur White rot. Jamur ini merombak lignin dan sebagian selulosa. Kayu yang diserang
akan berwarna putih. Pelapukan kayu oleh jamur terbagi dalam 2 (dua) tahap yaitu
tahap awal dan tahap lanjut. Pada tahap awal akan terjadi perubahan warna dan
pengerasan pada permukaan kayu.
Setelah tingkat permulaan dilalui, kayu terlihat semakin berubah baik warna
maupun sifat fisiknya hingga pada akhirnya struktur dan penampilan kayu berubah
secara total. Tahap ini disebut sebagai pelapukan tingkat lanjut (advanced decay)
dimana kekuatan kayu berkurang sedenikian rupa sehingga mudah sekali dihancurkan
dengan menggunakan tangan. Serangan tersebut berpengaruh pada berat kayu, dimana
kayu yang terserang beratnya akan ringan, hal ini disebabkan oleh hilangnya lignin dan
selulosa. Lignin, selulosa, dan hemiselulosa adalah senyawa utama yang ada dalam
residu tanaman. Di antara mereka, selulosa dan hemiselulosa dapat didekomposisi oleh
sejumlah besar mikroorganisme aerob dan anaerob melalui aksi enzim hidrolitik.
Sebaliknya, biodegradasi lignin terjadi pada tingkat yang lebih rendah daripada
polisakarida dinding sel tanaman.
Trametes pubescens merupakan salah satu jamu pelapuk putih yang dapat
merombak lignin dan sebagian selulosa sehingga dapat diperuntukkan untuk ternak
ruminansia. Ternak ruminansia menggunakan selulosa sebagai sumber energi utama
dalam menunjang pertumbuhan, produksi dan reproduksi. Selulosa adalah zat penyusun
tanaman yang jumlahnya banyak, sebagai material struktur dinding sel semua tanaman
(Tillman et al., 1989). Selulosa dicerna dalam tubuh ternak dalam saluran pencernaan
oleh selulase hasil jasad renik dan menghasilkan selubiosa, yang kemudian dihidrolisis
lebih lanjut untuk menghasilkan glukosa.
Hemiselulosa adalah polisakarida pada dinding sel tanaman yang larut dalam
alkali dan menyatu dengan selulosa. Hemiselulosa terdiri atas unit D-glukosa,
Dgalaktosa, D-manosa, D-xylosa, dan L-arabinosa yang terbentuk bersamaan dalam
kombinasi dan ikatan glikosilik yang bermacam-macam (McDonald et al., 2002).
Selulosa dan hemiselulosa pada lignoselulosa tidak dapat dihidrolisis oleh enzim
selulase dan hemiselulase kecuali lignin yang ada pada substrat dilarutkan, dihilangkan
atau dikembangkan terlebih dahulu.
Lignin dapat didegradasi oleh jamur pelapuk kayu tetapi hanya dapat
didegradasi secara sempurna oleh jamur pelapuk putih (white-rot fungi). Jamur ini
dapat mendegradasi polimer selulosa, hemiselulosa dan lignin dengan bantuan enzim
ekstraseluler. Jamur Trametes pubescens merupakan salah satu jamur yang dapat
menguraikan ikatan dan mendegradasi lignin dengan bantuan enzim pendegradasi
lignin.
BAB III
MATERI DAN METODA
3.2. Materi
Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah kantong plastik 5kg, tali rapia,
semprotan, sarung tangan latex, gelas ukur, plastik gula kapasitas 1 kg, baskom, piring
styrofoam, dongkrak, mesin pencetak wafer, meteran, terpal, jangka sorong, alat tulis,
kamera.
Sementara bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah bagasse tebu,
urea 6%, air, Leucaena leucocephala atau daun lamtoro 40%, dedak, jagung 38%,
bungkil inti sawit (BIS) 18%, onggok 20%, NaCl 2%, Mineral Feed Supplement 2%.
3.3. Metoda
3.1. Amoniasi
Hartadi dkk (1990), menyatakan bahwa ampas tebu tergolong salah satu pakan
dengan serat berkualitas rendah dan mengandung lignin, namun berpotensi sebagai
sumber energi bagi ruminansia karena kandungan karbohidrat yang dimiliki cukup
tinggi (Wijayanti dkk., 2012). Kadar Serat Kasar dan lignin yang terdapat pada ampas
tebu masing-masing sebesar 46,5 % dan 14 % (Ensminger dkk., 1990). Kandungan
ampas tebu apabila ditinjau dari segi komponen seratnya mengandung 82% dinding sel
yang terdiri atas selulosa 40%, hemiselulosa 27%, lignin 13%, dan silica 2%.
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa pada analisis bahan kering
amoniasi minggu 1-3 mengalami penurunan dari 93,5% hingga 91% sedangkan pada
minggu ke empat kadar bahan keringnya adalah 96,5%. Hal itu dapat disebabkan
karena pada sampel amoniasi minggu pertama hingga ketiga amoniasi telah terhenti
selama kurang lebih 1 hingga 3 minggu. Sementara pada minggu ke empat sampel
hanya dibuka selama satu hari dan diamoniasi pada keesokan harinya. Menurut
Candrasari et al. (2011), penurunan BK disebabkan adanya penguraian senyawa
organik sebagai hasil aktifitas mikrobia selain itu penurunan BK disebabkan
pemecahan zat yang terlarut dan mudah dicerna. Sementara itu pada analisis bahan
organic didapatkan hasil yang sama pada sampel minggu pertama, ketiga dan keempat.
Namun berbeda pada minggu kedua yang mengalami penurunan yaitu sebesar 1%.
Nindi dkk (2013) kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan
cara pengabuannya. Kadar abu pada bahan pangan menggambarkan kandungan
mineral dari sampel bahan makanan. Prinsip pengujian kadar abu ini adalah bahan
makanan dipanaskan dalam tanur listrik dengan suhu 550oC. Kadar abu berkatian
dengan kandungan mineral dari sampel bahan makan yang dibutuhkan oleh ternak.
Didukung oleh pendapat Nurilmala (2006) bahwa penentuan kadar abu dimaksudkan
untuk mengetahui kandungan komponen yang tidak mudah menguap (komponen
anorganik atau garam mineral) yang tetap tinggal pada pembakaran dan pemijaran
senyawa organik. Sudarmaji, (1989) menyatakan bahwa semakin rendah kadar abu
suatu bahan, maka semakin tinggi kemurniannya. Tinggi rendahnya kadar abu suatu
bahan antara lain disebabkan oleh kandungan mineral yang berbeda pada sumber bahan
baku dan juga dapat dipengaruhi oleh proses demineralisasi pada saat pembuatan.
3.3. Wafer Ransum
Uji fisik yang dilakukan dalam praktikum ini meliputi kerapatan wafer,
ketahanan benturan wafer, penyusutan wafer dan berat jenis dengan lama penyimpana
yang berbeda-beda mulai dari penyimpanan 1 minggu sampai lama penyimpanan 4
minggu. Berikut adalah tabel data uji fisik wafer ransum komplit:
Parameter
Minggu Ke-
Kerapatan Penyusutan Ketahanan Berat Jenis
I 1,47 g/cm3 13 g 80% 1,11g/ml
II 0,97 g/cm3 27 g 99,39 % 1,25 g/ml
III 1,09 g/cm3 39,45 g 99,32 % 1 g/ml
IV 1,20 g/cm3 27 g 99,37 % 1,11 g/ml
Kerapatan Wafer
Berdasarkan tabel diatas didapatkan hasil bahwa parameter yang diujikan pada
setiap minggu nya memiliki nilai yang berbeda-beda dan tidak konstan. Namun, pada
uji kerapatan memiliki nilai yang relatif konstan berkisar antara 0,971 – 1,47 g/cm3.
Hal ini sesuai dengan pendapat Prabowo (2003) kerapatan wafer sebesar 0,6 g/cm3
sesuai untuk ternak dan penyimpanan. Hal ini dikarenakan oleh fator bahan baku yang
berbeda. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Lalitya (2004), nilai rataan
kerapatan wafer paling tinggi pada penyimpanan minggu ke 0, karena penyimpanan
minggu ke 0 ikatan antar partikel bahan masih kuat. Kerapatan wafer mengalami
penurunan dari minggu ke 2 sampai minggu ke 6. Kerapatan wafer merupakan salah
satu sifat fisik yang sangat mempengaruhi penampilan wafer, penanganan transportasi
dan mengefisienkan ruang penyimpanan. Nilai kerapatan menunjukkan kepadatan
wafer ransum komplit dan juga menentukan bentuk fisik dari wafer ransum komplit
yang dihasilkan. Furqaanida (2004) menyatakan bahwa kerapatan wafer ransum
komplit juga dapat mempengaruhi palatabilitas ternak terhadap wafer. Pada umumnya
ternak tidak terlalu menyukai pakan yang terlalu keras (wafer dengan kerapatan tinggi)
karena akan menyebabkan sulitnya ternak dalam mengkonsumsi wafer secara
langsung. Nilai kerapatan menunjukkan kepadatan wafer ransum komplit dalam teknik
pembuatannya. Selain itu kerapatan juga menentukan bentuk fisik dari wafer ransum
komplit yang dihasilkan. Di dukung oleh pendapat Nurhidayah (2005) menyatakan
bahwa kerapatan yang tinggi ini, secara fisik diharapkan akan memudahkan dalam hal
penanganan baik penyimpanan maupun goncangan pada saat transportasi dan
diperkirakan akan lebih tahan lama dalam penyimpanan.
Penyusutan Wafer
Pada hasil penyusutan berat wafer ransum komplit minggu ketiga memiliki nilai
penyusutan yang terbesar dibandingkan dengan minggu lainnya yaitu 39,45 g.
penyusutan ini dapat terjadi akibat kondisi selama penyimpanan dengan dijemur
sehingga air yang terdapat dalam wafer menguap. Menurut Putra (2005) semakin lama
disimpan, maka aktivitas air pakan semakin menurun dan seolah-olah menjadi bagus.
Kadar air erat hubungannya dengan aktivitas air, begitu juga dengan suhu dan
kelembaban tempat penyimpanan, dengan adanya adsorpsi uap air dari udara ke dalam
komoditi maka dapat mengakibatkan perubahan kandungan air bebas komoditi
tersebut. Tingginya aktivitas air disebabkan oleh ransum yang disimpan dalam jumlah
yang cukup tinggi, dan pelepasan air ke udara ruang penyimpanan tidak besar tetapi
tinggi sehingga nilai aktivitas air tinggi (Ayu, 2003).
Ketahanan Benturan
Pada hasil ketahanan benturan pada wafer minggu ke dua didapatkan hasil yang
terbaik yaitu 99,39%, semakin tinggi nilai atau mendekati 100% maka wafer
berkualitas baik dengan nilai ketahanan benturan yang berarti memiliki kekerasan
tekstur yang baik. Kekerasan tekstur dapat digunakan untuk mengetahui kerenyahan
wafer ransum komplit. Kondisi ini memiliki hubungan dengan kemampuan gigi ternak
untuk mengunyah wafer ransum komplit. Semakin tinggi kadar air wafer ransum
komplit, maka kekerasan teksturnya semakin rendah dan kerenyahan semakin menurun
(Noviagama, 2002).
Berat Jenis Wafer
Pada hasil berat jenis wafer didapatkan nilai yang berbeda-beda disetiap
minggu nya berkisar antara 1-1,25 g/ml. Berat jenis yang tinggi akan meningkatkan
kapasitas ruang penyimpanan (Syarifudin, 2001), sehingga semakin banyak volume
ruang yang dibutuhkan untuk penyimpanan.
3.4. Trametes pubescens
Sistematika
Kingdom: Fungi
Division : Basidiomycota
Class : Agaricomycetes
Order : Polyporales
Family : Polyporaceae
Genus : Trametes
Species : Trametes pubescens
Trametes pubescens digambarkan secara ilmiah pada tahun 1803 oleh ahli
mikologi Denmark Heinrich Christian Friedrich Schumacher (1757 - 1830), yang
memberinya nama ilmiah binomial Boletus pubescens, kemudian didistribusikan
kembali di beberapa genus baru lainnya), spesies ini berganti nama menjadi Trametes
pubescens pada tahun 1939 oleh ahli mikologi Ceko Albert Pilát (1903 - 1974).
Trametes pubescens adalah pelapuk kayu mati dari kayu keras, yang menyebar
secara luas di benua Asia, khususnya di Indonesia. Trametes pubescens memiliki pori
pori kecil dan tipis dengan permukaan topi berwarna krem halus yang tidak memiliki
zona warna yang sangat kontras (sebagian besar spesies lain seperti ekor kalkun dari
Trametes jelas dikategorikan). Permukaan pori-nya menjadi kekuningan seiring
bertambahnya usia, dan memiliki 3-5 pori sudut per mm.
4.1. Kesimpulan
4.2. Saran