Anda di halaman 1dari 9

NAMA:AHMAD ALFARIZI

NIM:5182111014

PRODI:PTB-B

MATA KULIAH :PSIKOLOGI PENDIDIKAN

UJIAN TENGAH SEMESTER

FILM BAD GENIUS

SEORANG ANAK PEREMPUAN YG SANGAT PINTAR DAN SERING


MEMENANGKAN OLIMPIADE,

Lynn (Chutimon Chuengcharoensukying) adalah gadis yang memiliki otak yang


luar biasa. Kemampuan akademiknya sangatlah baik. Ia sering mendapatkan
prestasi semasa SMP. Berbagai piala dan penghargaan telah diraihnya. Atas
dasar itulah, selepas SMP ia berhak bersekolah di suatu SMA melalui beasiswa
tanpa mengeluarkan uang sepeser pun. Sebenarnya sih ia tidak ingin
bersekolah di sana. Namun karena dorongan dari sang ayah, akhirnya mau tak
mau ia menurutinya.

Awal-awal masuk sekolah, Lynn adalah gadis lugu yang suka belajar. Kacamata
selalu bertengger di matanya. Namun setelah bertemu dengan Grace (Eisaya
Hosuwan), ia pun berubah. Ia tak lagi memakai kacamata. Meski begitu itu tak
berpengaruh pada kemampuan otaknya. Ia tetap jenius. Bahkan
kejeniusannya menjadikan ia sebagai guru les Grace.

Suatu hari Grace mengajak Lynn untuk berkunjung ke rumah Pat (Teeradon
Supapunpinyo). Pat adalah kekasih Grace sekaligus teman sekelas Lynn dan
Grace. Ia adalah anak yang terlahir dari keluarga yang sangat kaya raya. Di
sana mereka bertiga berenang di kolam renang pribadi milik keluarga Pat
Di saat itulah suatu hal yang tak pernah terduga di benak Lynn terjadi. Grace
keceplosan kalau saat ulangan Lynn pernah memberikan contekan yang
dituliskan lewat penghapus. Mendengar hal itu Pat merasa tertarik. Ia pun
meminta jasa Lynn untuk memberikan contekan saat ulangan atau
mengerjakan soal. Gratis? Tentu saja tidak karena Pat yang berlimpah uang
akan membayar jasa tersebut. Pat pun merayu Lynn akan pundi-pundi uang
yang lebih banyak karena ia juga akan mengajak teman-temannya yang lain.
Lynn belum memberikan jawaban.

Di rumah, Lynn teringat akan ibunya. Lynn tinggal berdua dengan ayahnya
karena kedua orang tuanya telah bercerai. Lynn mencoba memainkan piano
yang sudah lama tak ia mainkan. Sang ayah mengingatkan Lynn untuk jangan
menganggu tetangga tetapi Lynn tak menurut. Ia tetap memainkan piano. Di
saat menekan tuts-tuts piano satu per satu tiba-tiba terbersit ide di otaknya.
Piano dan contekan, bukankah itu ide bagus?

Keesokkan harinya Lynn mengajak Grace, Pat dan teman-temannya yang lain
untuk berkumpul. Di saat itu Lynn pun kemudian memberitahu kepada
mereka tentang bagaimana cara mendapatkan jawaban contekan dari Lynn.
Caranya adalah Lynn menggerak-gerakkan jari seperti bermain piano dan
teman-temannya harus memperhatikan dengan saksama. Tiap jawaban A, B, C
atau bahkan D memiliki pola gerakan jari yang berbeda. Semula mereka
bingung namun akhirnya mereka mengerti juga bagaimana cara memahami
apa jawaban yang diberikan Lynn. Sejak itulah Lynn bisa mendapatkan pundi-
pundi uang. Setiap kali melaksanakan misinya, saldo di buku tabungannya
selalu bertambah. Lynn yang sangat sayang dengan sang ayah akhirnya
membelikannya sebuah kemeja.

Bisnis contekan Lynn yang terselubung dengan istilah "les piano" semula
berjalan mulus. Sampai akhirnya Bank (Chanon Santinatornkul), teman Lynn
yang juga memiliki otak encer mengetahuinya. Bank yang merasa tindakan itu
tidak benar kemudian melaporkan tindakan tersebut kepada kepala sekolah.
Akibatnya, hubungan antara Lynn dengan ayahnya sempat memburuk.

Di saat Lynn ingin berubah dengan berhenti dari bisnis mencontek, tawaran
menggiurkan datang. Grace datang kemudian meminta Lynn untuk membantu
dirinya dan Pat agar dapat lolos kuliah di Amerika. Sayangnya, agar dapat
berkuliah di sana, mereka harus lulus dalam ujian STIC yang teramat susah.
Lynn pun tak perlu khawatir karena Pat akan membayar jasa Lynn dengan
bayaran yang lebih tinggi.

Lynn semula menolak. Namun ujian STIC yang dilaksanakan secara serentak di
seluruh dunia membuat Lynn membuat ia berubah pikiran. Ia melihat ada
peluang di sana. Akhirnya terbersit sebuah ide di benaknya. Waktu Australia
lebih cepat daripada Thailand. Bagaimana jika ia mengerjakan soal-soal STIC
terlebih dahulu di Australia kemudian ia memberikan contekan kepada teman-
temannya di Thailand? Sayangnya, Lynn tak bisa melakukan hal ini seorang
diri. Ia butuh orang jenius lainnya. Ia pun mengajak Bank.

INTISARI:

FILM KE 2 FREEDOM WRITERS

FREEDOM Writers merupakan film yang diangkat dari kisah nyata perjuangan
seorang guru di wilayah New Port Beach, Amerika Serikat dalam
membangkitkan kembali semangat anak-anak didiknya untuk belajar.
Dikisahkan, Erin Gruwell, seorang wanita idealis berpendidikan tinggi, datang
ke Woodrow Wilson High School sebagai guru Bahasa Inggris untuk kelas
khusus anak-anak korban perkelahian antargeng rasial. Misi Erin sangat mulia,
ingin memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak bermasalah yang
bahkan guru yang lebih berpengalaman pun enggan mengajar mereka.

Tapi kenyataan tidak selalu seperti yang dipikirkan Erin. Di hari pertamanya
mengajar, ia baru menyadari bahwa perang antargeng yang terjadi di kota
tersebut juga terbawa sampai ke dalam kelas. Di dalam kelas mereka duduk
berkelompok menurut ras masing-masing. Tak ada seorang pun yang mau
duduk di kelompok ras yang berbeda. Kesalahpahaman kecil yang terjadi di
dalam kelas bisa memicu perkelahian antarras.
Erin mencoba menaklukkan murid-muridnya dengan meminta mereka menulis
semacam buku harian. Di buku harian itu, mereka boleh menulis apa pun yang
mereka inginkan, rasakan, dan alami. Cara ini ternyata berhasil. Buku-buku
harian dari para murid-muridnya setiap hari kembali pada Erin dengan tulisan
mereka tentang apa yang mereka alami dan mereka pikirkan setiap hari.

Dari buku-buku harian itu, Erin paham bahwa dia harus membuat para
muridnya sadar bahwa perang antargeng yang mereka alami bukanlah
segalanya di dunia. Melalui cara mengajarnya yang unik, dia berusaha
membuat para muridnya sadar bahwa dengan pendidikan mereka akan bisa
mencapai kehidupan yang lebih baik.

Walaupun semua usahanya itu tidak didukung oleh rekan-rekan guru yang lain
dan pihak sekolah, Erin terus maju. Bahkan, dia rela mengorbankan waktu
luangnya untuk bekerja sambilan demi membeli buku-buku bacaan yang
berguna bagi para muridnya.

Hasilnya, semangat belajar murid-muridnya kembali muncul. Akhirnya, banyak


dari murid-murid di kelas Erin Gruwell yang menjadi orang pertama dari
keluarga mereka yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Buku
harian yang mereka tulis diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul ‘The
Freedom Writers Diary’.

Film ini tidak menjual mimpi From Zero to Hero, tapi lebih menampilkan
bagaimana satu orang yang peduli pada pendidikan anak-anak yang sudah
dianggap sebagai sampah masyarakat mampu merubah mereka menjadi orang
yang lebih berguna. Mengingatkan kita pada film berjudul ‘Dead Poet Society’
yang juga bertema sama dan pernah dibuat pada akhir tahun 80-an dengan
Robin William sebagai bintang utama. Buku-buku yang digunakan Erin Gruwell
untuk mendidik murid-muridnya di film ini semuanya adalah buku yang benar-
benar ada. Termasuk buku ’Diary of Anne Frank’ yang sudah diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia dan sudah dijual di pasaran.

Freedom Writers memiliki alur cerita yang mudah dipahami dan juga dialog
yang gampang dimengerti. Permasalahan-permasalah remaja yang ditampilkan
di film ini juga cukup dekat dengan permasalah remaja pada umumnya,
tentang pencarian jati diri dan pelanggaran-pelanggaran peraturan untuk
mengukuh-kan eksistensi diri. Semua itu dibungkus dalam pemasalahan
perang antargeng.

Fakta menarik dari film ini salah satunya ada pada adegan saat murid-murid
Erin bertemu dengan orang-orang korban Holocaust. Yang berperan menjadi
korban Holocaust adalah benar-benar korban Holocaust sendiri. Sutradara
Richard Lagravenese tak perlu susah payah meng-arahkan aktor dan aktris
pemeran murid-murid Erin untuk terlihat tercengang saat mendengar cerita
para korban Holocaust itu. Hal ini karena saat pengambilan adegan itu, para
aktor dan aktrisnya benar-benar tercengang mendengar cerita para korban
Holocaust tersebut.

Peraih Academy Award 2 kali, Hilary Swank meme-rankan Erin Gruwell de-ngan
sangat pas. Ada pula Imelda Staunton, pameran Dolores Umbridge di Harry
Potter and The Order of The Pheonix, yang menjadi kepala departemen
sekolah yang menyebalkan dan selalu iri dengan keberhasilan Erin. Selain itu
ada Patrick Demsey, pemeran dr McDreamy dalam Grey’s Anatomy, yang
bermain sebagai suami Erin yang tidak mendukung usaha istrinya.

Selain tiga nama di atas tidak ada lagi nama bintang besar yang berperan
dalam film ini. Pemeran murid-murid di kelas Erin Gruwell, sebagian besar
merupakan wajah baru di dunia perfilman yang belum begitu dikenal baik
masyarakat Amerika Serikat sendiri maupun masyarakat Indonesia. Namun,
mere-ka berhasil membawakan peran masing-masing de-ngan sangat baik dan
meyakinkan.

Freedom Writers bisa dikatakan merupakan film untuk anak muda. Di te-ngah-
tengah maraknya film remaja yang ceritanya tidak jauh-jauh dari cerita cinta,
komedi atau horor, Freedom Writers bisa menjadi pilihan bagi anak muda yang
tidak sekedar ingin terhibur, tetapi juga mendapatkan pelajaran tertentu dari
film tersebut.

Bagi Anda yang belum menonton, tidak akan sia-sia Anda meluangkan waktu
sejenak untuk menontonnya. Anda akan dapat mengambil pelajaran-pelajaran
posistif bagi Anda. Selamat menonton!

(Penulis : Riska, Editor : Ayu, Lala, Sita)

Film : Freedom Writers

Sutradara: Richard LaGravenese.

Produksi: Paramount Pictures. Tahun: 2007. Penulis Naskah: Richard


LaGravenese. Dibintangi: Hilary Swank, Scott Glenn, Imelda Staunton, Patrick
Dempsey, dan masih banyak lagi.
---------------------------------------------------------------------------

Print

"Diversity may be both the hardest thing to live with and the most dangerous
thing to be without," the prophetic Protestant clergyman William Sloane Coffin
once observed. One of the greatest challenges of our pluralistic culture is
dealing with the stranger. We give love and respect to kith and kin but are
suspicious and antagonistic toward outsiders. These attitudes are especially
prevalent in many urban enclaves where youth have divided into groups based
on race and gang affiliation. They are loyal to their own and aggressive toward
strangers, constantly upping the ante of distrust and violence. This is the
background for Freedom Writers.

Richard LaGravenese, the screenplay writer of The Fisher King, A Little Princess,
The Bridges of Madison County, and The Horse Whisperer, is the director of
Freedom Writers. This ambitious drama is based on the true story of an
idealistic teacher who took on the challenge of educating a diverse group of
high school students classified as "unteachables" in Los Angeles in 1994 shortly
after the beating of Rodney King and the subsequent riots.

Erin Gruwell (Hilary Swank) arrives for her first day of teaching at Wilson High,
a Long Beach school which once had students with high academic scores but
has now has been integrated with underprivileged boys and girls who use
drugs, have served time in prison, and are very angry about living in a war zone
where people are killed regularly on the streets. They rebel against learning
and have little respect for the educational system. Erin's department head
Margaret Campbell (Imelda Staunton) is a traditional educator who has seen it
all in her 30 years of teaching. She wonders how long this 23-year-old's
idealism and enthusiasm will last once she sees what she is up against. The
students have congregated in the schoolyard and the classrooms in groups
based on race (African Americans, Latinos, Asians) and gang affiliation.
Erin tries to connect with her students by talking their language and by
referring to cultural artifacts they are familiar with but they immediately judge
her as just another white person trying to make them over. Nothing works
until she confiscates an ugly racial cartoon that one student has drawn of an
African American in the class. She compares it to the kind of drawings of Jews
that the Nazis used to inflame resentments in Germany. But to her surprise,
Erin discovers that her students know nothing about the Holocaust and the
persecution suffered by the Jews. She likens the Nazis to a street gang just
protecting their own.

Erin then hands out blank journals and tells the students she wants them to
write something in them every day. They won't be graded, and she will only
read them if they give her permission. For many of them, this is the first time
they have been empowered to share their feelings and ideas with others.
Another time she has them play the "Line Game" (see Spiritual Moment in
Movies at right), and they discover that they share many feelings in common.

Next, she decides to have them read The Diary of Anne Frank, followed by a
trip the Los Angeles Holocaust Museum. A dinner with several survivors
enables the students to further empathize with others who have dealt with
intolerance, hatred, and violence. Erin's most effective program comes with a
visit to the school by Miep Gies (Pat Carroll), the Dutch woman who provided a
hiding place for the Franks. The students have written her letters and consider
her a hero, but she tells them they are heroes, one and all.

Erin's commitment to transforming her students attitudes and opportunities


undergoes many shocks and setbacks. She has to take part-time jobs to buy
books for them and to finance several outings. Her husband, Scott (Patrick
Dempsey), grows increasingly irritated by her passion for the work. Her father
(Scott Glenn), who inspired her with his idealism, also has a hard time
accepting all the time and energy she devotes to teaching. But in the end, all
this pays off for Erin as the students find common ground and form a creative
community of sharing. Among those who stories stand out are Eva (April Lee
Hernandez), a fiery Latino; Andre (Mario), a tough African-American; Marcus
(Jason Finn), an African-American who has been living on the street; and Sindy
(Jacyn Ngan), a Cambodian teenager who spent years in a refugee camp.

This inspiring and thought-provoking movie is based on the book The Freedom
Writers Diary by the Freedom Writers with Erin Gruwell. Not only does this
story pay tribute to a teacher who makes an enormous contribution to the
lives of her students, it also celebrates the unity that can arise out of diversity
when individuals break down the walls that separate them from others. Right
now the communities and nations of the world need to study the spiritual
meaning of unity and the beauty that can arise out of the dignity of difference

Anda mungkin juga menyukai