PEMBAHASAN
2.1.2 Etiologi
Penyebab autisme adalah multifaktorial. Faktor genetik
maupun lingkungan diduga mempunyai peranan yang signifikan.
Sebuah studi menggemukakan bahwa apabila 1 keluarga memiliki 1
anak autis maka risiko untuk memiliki anak kedua dengan kelainan
yang sama mencapai 5%, risiko yang lebih besar dibandingkan dengan
populasi umum. Di lain pihak, lingkungan diduga pula berpengaruh
karena ditemukan pada orang tua maupun anggota keluarga lain dari
penderita autistik menunjukkan kerusakan ringan dalam kemampuan
sosial dan komunikasi atau mempunyai kebiasaan yang repetitif. Akan
tetapi penyebab secara pasti belum dapat dibuktikan secara empiris.
2.1.3 Manifestasi Klinis
Biasanya tidak ada riwayat perkmbangan yang jelas, tetapi
jika di jumpai abnormalitas tampak sebelum usia 3 tahun. Selalu
dijumpai hendaknya kualitatif dalam interaksi sosialnya yang berupa
tidak adanya apresiasi adekuat terhadap isyarat sosio-emosional, yang
tampak sebagai kurangnya respon terhadap emosi orang lain dan atau
kurang modulasi terhadap perilaku dalam konteks sosial,buruk dalam
menggunakan isyarat sosial dan lemah dalam integrasi perilaku sosial,
emosionl dan komunikatif dan khususnya kurang respon timbal balik
sosio-emosionl.
Selain itu juga terdapat hendaknya kualitatif dalam komunikasi
yang berupa kurangnya penggunan sosial dari kemampuan bahasa
yang ada, hendaknya dalam permainan imiginatif dan iminatasi sosial,
buruknya keserasian dan kurangnya interaksi timbal balik dlm
percakapan, buruknya fleksibilitas dalam bahasa ekspresif dan relatif
kurang dalam kretivitas dan fantasi dalam proses fikir, kurangnya
respon emosional terhadap ungkapan verbal dan non verbal orang lain,
hendaknya dalam menggunakan variasi irama atau tekanan modulasi
komuniktif, dan kurangnya isyarat tubuh untuk menekankan atau
mengartikan kmunikasi lisan.
Kondisi ini juga ditandai juga pola perilaku, minat dan
kegiatan yang terbatas, pengulangan dan stereotipik ini berupa
kecenderungan untuk bersifat kaku dan rutin dalam aspek kehidupan
sehar-hari, ini biasanya berlaku untuk kegitasn baru atau kebiasaan
sehari-hari yang rutin pola bermain. Terutama sekali dalam masa dini
anak,terdapat kelekatan yang aneh terhadap benda yang tidak lembu.
Anak dapat memaksakan suau kegaiatan rutin seperti ritual dari
kegiatan yang sepertinya tidak perlu, dapat menjadi preokuasi yang
streotipik dengan perhatian pada tanggal, rute dan jadwal, sering
terdapat streotipik motorik, serimg menunjukan perhatian khusus
terhadap unsur sampinan dari benda (seperti bau dan rasa), dan
terdapat penolakan terhadap dari rutinitas atau tata ruang dari
kehidupan pribadi (perpindahan dari mebel atau hiasan dalam rumah).
2.1.4 Prognosis
Intervensi dini yang tepat dan perogram pendidikan
terspesialisasi serta pelayanan pendukung mempengaruhi hasil pada
penderita autisme. Autisme tidak fatal dan tidak mempengaruhi
harapan hidup normal. Penderita autis yang dideteksi dini serta
langsung mendapat perawatan dapat hidup mandiri tergantung dari
jenis gangguan autistik apa yang diderita dan berapa umurnya saat
terdeteksi dan ditangani sebagai penderita autis.
2.1.5 Klasifikasi
Autisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian
berdasarkan gejalanya. Sering kali pengklasifikasian disimpulkan
setelah anak di diagnosa autis. Klasifikasi ini dapat diberikan melalui
Childhood Autism Rating Scale (CARS). Klasifikasinya adalah
sebagai berikut :
1) Autis Ringan
Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan adanya
kontak mata walaupun tidak berlangsung lama. Anak autis ini
dapat memberikan sedikit respon ketika dipanggil namanya,
menunjukkan ekspresi-ekspresi muka, dan dalam berkomunikasi
dua arah meskipun terjadinya hanya sesekali.
2) Autis Sedang
Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan sedikit
kontak mata namun tidak memberikan respon ketika namanya
dipanggil. Tindakan agresif atau hiperaktif, menyakiti diri sendiri,
acuh, dan gangguan motorik yang stereopik cenderung agak sulit
untuk dikendalikan tetapi masih bisa dikendalikan.
3) Autis Berat
Anak autis yang berada pada kategori ini menunjukkan
tindakan-tindakan yang sangat tidak terkendali. Biasanya anak
autis memukul-mukulkan kepalanya ke tembok secara berulang-
ulang dan terus menerus tanpa henti. Ketika orang tua berusaha
mencegah, namun anak tidak memberikan respon dan tetap
melakukannya, bahkan dalam kondisi berada di pelukan orang
tuanya, anak autis tetap memukul-mukulkan kepalanya. Anak
baru berhenti setelah merasa kelelahan kemudian langsung
tertidur (Mujiyanti, 2011)
2.1.6 Patofisiologi
Sel saraf otak (neuron) terdiri atas badan sel dan serabut untuk
mengalirkan impuls listrik (akson) serta serabut untuk menerima
impuls listrik (dendrit). Sel saraf terdapat di lapisan luar otak yang
berwarna kelabu (korteks). Akson dibungkus selaput bernama mielin,
terletak di bagian otak berwarna putih. Sel saraf berhubungan satu
sama lain lewat sinaps.
Sel saraf terbentuk saat usia kandungan 3 – 7 bulan. Pada
trisemester ketiga, pembentukan sel saraf berhenti dan dimulai
pembentukan akson, dendrit, dan sinaps yang berlanjut sampai anak
berusia sekitar 2 tahun, setelah anak lahir, terjadi proses pengaturan
pertumbuhan otak berupa bertambah dan berkurangnya struktur akson,
dendrit dan sinaps. Proses ini dipengaruhi secara genetik melalui
sejumlah zat kimia yang dikenal sebagai growth factor dan proses
belajar anak. Makn banyak sinaps terbentuk, anak makin cerdas.
Pembentukan akson, dendrit dan sinaps sangat tergantung pada
stimulasi dari lingkungan. Bagian otak yang digunakan dalam belajar
menunjukkan pertambahan akson,dendrit dan sinaps. Sedangkan
bagian otak yang tidak digunakan menunjukkan kematian sel,
berkurangnya akson, dendrit, dan sinaps. Kelainan genetis, keracunan
logam berat, dan nutrisi yang tidak adekuat dapat menyebabkan
terjadinya gangguan pada proses – proses tersebut sehingga akan
menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel saraf.
Diketahui pertumbuhan abnormal pada penderit autis dipicu
oleh berlebihannya neurotropin dan neuropeptida otak yang
merupakan zat kimia otak yng bertanggung jawab untuk mengatur
penambahan sel saraf, migrasi, diferensiasi, pertumbuhan, dan
perkembangan jalinan sel saraf.
Peningkatan neurokimia otak secara abnormal menyebabkan
pertumbuhan abnormal pada daerah tertentu. Pada ganggua autisme
terjadi kondisi growth without guidance, dimana bagian – bagian otak
tumbuh dan mati secara tak beraturan.
Partus Lama Genetik Keracunan logam
AUTISME
Keterlambatan dalam Mengabaikan dan Faktor Organik dan non- Penglihatan dan
berbahasa/komunikasi menghindari orang lain organik tidak adekuat pendengaran
abnormal
Bicara monoton dan Acuh tak acuh terhadap Tumbuh kembang Sensitif terhadap
tidak dimengerti orang lingkungan dan orang terhambat cahaya, menutup telinga
lain lain bila mendengar suara
DX.
Gangguan Komunikasi Perilaku yang aneh DX.
GANGGUAN
TUMBUH DAN GANGGUAN
KEMBANG PERSEPSI
SENSORI
DX. GANGGUAN DX. GANGGUAN
KOMUNIKASI INTERAKSI
VERBAL SOSIAL
2.1.7 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat muncul pada penderita autis
antara lain (Kim, 2015 dalam Amni,2015):
1) Masalah sensorik
Pasien dengan autis dapat sangat sensitif terhadap input
sensorik. Sensasi biasa dapat menimbulkan ketidaknyamanan
emosi. Kadang-kadang pasien autis tidak berespon terhadap
beberapa sensasi yang ekstrim, antara lain panas, dingin, atau
nyeri.
2) Kejang
Kejang merupakan komponen yang sangat umum dari
autisme. Kejang sering dimulai pada anak-anak autis muda atau
remaja.
3) Masalah kesehatan Mental
Menurut National Autistic Society, orang dengan ASD
rentan terhadap depresi, kecemasan, perilaku impulsif, dan
perubahan suasana hati.
4) Tuberous sclerosis
Gangguan langka ini menyebabkan tumor jinak tumbuh di
organ, termasuk otak. Hubungan antara sclerosis tuberous dan
autisme tidak jelas. Namun, tingkat autisme jauh lebih tinggi di
antara anak-anak dengan tuberous sclerosis dibandingkan mereka
yang tanpa kondisi tersebut.
2.1.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada autisme harus secara terpadu, meliputi
semua disiplin ilmu yang terkait: tenaga medis (psikiater, dokter anak,
neurolog, dokter rehabilitasi medik) dan non medis (tenaga pendidik,
psikolog, ahli terapi bicara/okupasi/fisik, pekerja sosial). Tujuan terapi
pada autis adalah untuk mengurangi masalah perilaku dan
meningkatkan kemampuan belajar dan perkembangannya terutama
dalam penguasaan bahasa. Dengan deteksi sedini mungkin dan
dilakukan manajemen multidisiplin yang sesuai yang tepat waktu,
diharapkan dapat tercapai hasil yang optimal dari perkembangan anak
dengan autisme.2 Manajemen multidisiplin dapat dibagi menjadi dua
yaitu non medikamentosa dan medika mentosa.
1) Non medikamentosa
a. Terapi edukasi
Intervensi dalam bentuk pelatihan keterampilan sosial,
keterampilan sehari-hari agar anak menjadi mandiri. Tedapat
berbagai metode penganjaran antara lain metode TEACHC
(Treatment and Education of Autistic and related
Communication Handicapped Children) metode ini
merupakan suatu program yang sangat terstruktur yang
mengintegrasikan metode klasikal yang individual, metode
pengajaran yang sistematik terjadwal dan dalam ruang kelas
yang ditata khusus
b. Terapi perilaku
Intervensi terapi perilaku sangat diperlukan pada
autisme. Apapun metodenya sebaiknya harus sesegera
mungkin dan seintensif mungkin yang dilakukan terpadu
dengan terapi-terapi lain. Metode yang banyak dipakai adalah
ABA (Applied Behaviour Analisis) dimana keberhasilannya
sangat tergantung dari usia saat terapi itu dilakukan (terbaik
sekitar usia 2 – 5 tahun).
c. Terapi wicara
Intervensi dalam bentuk terapi wicara sangat perlu
dilakukan, mengingat tidaks emua individu dengan autisme
dapat berkomunikasi secara verbal. Terapi ini harus diberikan
sejak dini dan dengan intensif dengan terapi-terapi yang lain.
d. Terapi okupasi/fisik
Intervensi ini dilakukan agar individu dengan autisme
dapat melakukan gerakan, memegang, menulis, melompat
dengan terkontrol dan teratur sesuai kebutuhan saat itu.
e. Sensori integrasi
Adalah pengorganisasian informasi semua sensori
yang ada (gerakan, sentuhan, penciuman, pengecapan,
penglihatan, pendengaran)untuk menghasilkan respon yang
bermakna. Melalui semua indera yang ada otak menerima
informasi mengenai kondisi fisik dan lingkungan sekitarnya,
sehingga diharapkan semua angguan akan dapat teratasi.
f. AIT (Auditory Integration Training)
Pada intervensi autisme, awalnya ditentukan suara
yang mengganggu pendengaran dengan audimeter. Lalu
diikuti dengan seri terapi yang mendengarkan suara-suara
yang direkam, tapi tidak disertai dengan suara yang b. Terapi
perilaku Intervensi terapi perilaku sangat diperlukan pada
autisme. Apapun metodenya sebaiknya harus sesegera
mungkin dan seintensif mungkin yang dilakukan terpadu
dengan terapi-terapi lain. Metode yang banyak dipakai adalah
ABA (Applied Behaviour Analisis) dimana keberhasilannya
sangat tergantung dari usia saat terapi itu dilakukan (terbaik
sekitar usia 2 – 5 tahun).
g. Intervensi keluarga
Pada dasarnya anak hidup dalam keluarga, perlu
bantuan keluarga baik perlindungan, pengasuhan, pendidikan,
maupun dorongan untuk dapat tercapainya perkembangan
yang optimal dari seorang anak, mandiri dan dapat
bersosialisai dengan lingkungannya. Untuk itu diperlukan
keluarga yang dapat berinteraksi satu sama lain (antar anggota
keluarga) dan saling mendukung. Oleh karena itu pengolahan
keluarga dalam kaitannya dengan manajemen terapi menjadi
sangat penting, tanpa dukungan keluarga rasanya sulit sekali
kita dapat melaksanakan terapi apapun pada individu dengan
autisme.
2) Medikamentosa
Individu yang destruktif seringkali menimbulkan suasana
yang tegang bagi lingkungan pengasuh, saudara kandung dan guru
atau terapisnya. Kondisi ini seringkali memerlukan medikasi
dengan medikamentosa yang mempunyai potensi untuk mengatasi
hal ini dan sebaiknya diberikan bersama-sama dengan intervensi
edukational, perilaku dan sosial.
1) Jika perilaku destruktif yang menjadi target terapi, manajemen
terbaik adalah dengan dosis rendah antipsikotik/neuroleptik
tapi dapat juga dengan agonis alfa adrenergik dan antagonis
reseptor beta sebagai alternatif.
a. Neuroleptik
b. Neuroleptik tipikal potensi rendah-Thioridazin-dapat
menurunkan agresifitas dan agitasi.
c. Neuroleptik tipikal potensi tinggi-Haloperidol-dapat
menurunkan agresifitas, hiperaktifitas, iritabilitas dan
stereotipik.
d. Neuroleptik atipikal-Risperidon-akan tampak perbaikan
dalam hubungan sosial, atensi dan absesif.
e. Agonis reseptor alfa adrenergik
f. Klonidin, dilaporkan dapat menurunkan agresifitas,
impulsifitas dan hiperaktifitas.
g. Beta adrenergik blocker
h. Propanolol dipakai dalam mengatasi agresifitas terutama
yang disertai dengan agitasi dan anxietas.
2) Jika perilaku repetitif menjadi target terapi Neuroleptik
(Risperidon) dan SSRI dapat dipakai untuk mengatasi perilaku
stereotipik seperti melukai diri sendiri, resisten terhadap
perubahan hal-hal rutin dan ritual obsesif dengan anxietas
tinggi.
3) Jika inatensi menjadi target terapi Methylphenidat (Ritalin,
Concerta) dapat meningkatkan atensi dan mengurangi
destruksibilitas.
4) Jika insomnia menjadi target terapi Dyphenhidramine
(Benadryl) dan neuroleptik (Tioridazin) dapat mengatasi
keluhan ini.
5) Jika gangguan metabolisme menjadi problem utama Ganguan
metabolisme yang sering terjadi meliputi gangguan
pencernaan, alergi makanan, gangguan kekebalan tubuh,
keracunan logam berat yang terjadi akibat ketidak mampuan
anak-anak ini untuk membuang racun dari dalam tubuhnya.
Intervensi biomedis dilakukan setelah hasil tes laboratorium
diperoleh. Semua gangguan metabolisme yang ada diperbaiki
dengan obatobatan maupun pengaturan diet.