Anda di halaman 1dari 65

CASE REPORT

(Demam Dengue)

Pembimbing :

dr. Roro Rukmi, M. Kes., Sp.A

dr. Murdoyo Rahmano, Sp.A

Oleh:

Brigita Sanina Manulang, S. Ked

Nurul Hasanah, S. Ked

Vika Annisa Putri, S. Ked

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat pada kita
semua, sehingga kita dapat merasakan nikmat rahmat-Nya sampai saat ini. Dan
berkat ridho-Nya pula laporan kasus yang merupakan salah satu tugas kelompok
dalam rangka mengikuti kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Moeloek Provinsi Lampung ini dapat
diselesaikan.

Kami ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua


pihak yang telah membantu serta dr. Roro Rukmi WP, M. Kes, Sp. A dan dr.
Murdoyo Rahmano, Sp. A yang banyak telah memberikan bimbingan kepada
penulis.

Akhirnya kami menyadari bahwa dalam penulisan tugas ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat
dan tambahan pengetahuan khususnya kepada kami dan kepada pembaca.

Bandar Lampung, September 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................2

DAFTAR ISI...........................................................................................................3

BAB I STATUS PENDERITA...............................................................................4


ANAMNESIS......................................................................................................4
PEMERIKSAAN FISIK....................................................................................7
PEMERIKSAAN PENUNJANG.....................................................................10
DIAGNOSIS BANDING..................................................................................12
DIAGNOSIS KERJA......................................................................................13
PENATALAKSANAAN...................................................................................13
PROGNOSIS....................................................................................................13
KEBUTUHAN...................................................................................................13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................14


DEFINISI...........................................................................................................14
EPIDEMIOLOGI.............................................................................................14
ETIOLOGI........................................................................................................15
PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI INFEKSI VIRUS DENGUE.....17
MANIFESTASI KLINIS DAN PERJALANAN PENYAKIT INFEKSI
VIRUS DENGUE..............................................................................................23
KRITERIA DIAGNOSIS INFEKSI DENGUE.............................................41
TATALAKSANA INFEKSI DENGUE...........................................................45

BAB III ANALISIS KASUS................................................................................65

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................68

3
BAB I
STATUS PENDERITA

No. Rekam Medik : 00.56.36.23


Masuk RSAM : 06 September 2018

ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan dengan alloanamnesis dari ibu pasien pada tanggal 8
September 2018 pukul 08.00 di ruang 104 Alamanda RSAM.

a. Identitas
Nama Pasien : An. IDS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 5 tahun 4 bulan
Agama : Islam
Suku : Palembang
Alamat : Gg Hi. Sapri Serengsem Panjang
Nama Ayah : Hidayat
Umur : 33 tahun
Pekerjaan : Pegawai Swasta
Pendidikan : SMP
Nama Ibu : Rodiana
Umur : 26 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan :-

b. Riwayat Penyakit
Keluhan Utama : Demam
Keluhan Tambahan : Mual, muntah, makan dan minum
terganggu, sakit perut, lidah pahit, badan
pegal-pegal, timbul bintik-bintik merah di
seluruh tubuh.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan demam sejak 5 hari sebelum masuk rumah
sakit (SMRS). Demam tiba-tiba, dirasakan terus menerus sepanjang hari

4
naik turun. Sebelumnya, pasien diajak orang tua ke RSUD menjenguk
kerabat seusia pasien yang terkena DBD, sorenya pasien mendadak
demam tinggi, lalu orang tua pasien mencoba mengerok tubuh pasien
namun demam tidak kunjung turun. Pasien lalu dibawa ke praktek dokter
setempat pada hari senin malam selama dan diberikan obat penurun panas.
Namun, berdasarkan pengakuan orang tua, setelah pemberian obat, demam
tak kunjung turun, pasien menjadi mual, muntah, dan tidak bisa makan
maupun minum. Selain itu, pasien juga mengeluhkan sakit perut dan
lidahnya terasa pahit.

Pada hari selasa sore pasien dibawa ke praktek dokter lain lalu dilakukan
pemeriksaan laboratorium dan disarankan untuk dirujuk ke puskesmas
setempat. Pasien dinyatakan terkena tipes oleh dokter di puskesmas
tersebut, lalu diberikan obat namun demam masih naik turun sepanjang
waktu, mual muntah teratasi dengan pemberian obat dan pasien mulai mau
makan.

Pada kamis sore dilakukan pemeriksaan ulang laboratorium, kemudian


pasien dirujuk ke RSAM karena trombosit turun. Sesampainya di RSAM
keluhan demam sudah tidak lagi dirasakan, muntah hanya 2x/hari, perut
masih terasa sakit, lidah masih terasa pahit. Pasien juga belum BAB sejak
3 hari sebelum pemeriksaan. BAB terakhir lembek 1/hari. Selain itu, orang
tua mengatakan timbul bintik-bintik merah pada kulit mula hari senin (3
hari SMRS) dan badan terasa pegal-pegal.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Sebelumnya tidak pernah mengalami keluhan seperti ini. Batuk pilek
biasanya cepat sembuh dengan minum obat dari puskesmas.

Riwayat Penyakit Keluarga:


Sebelumnya tidak terdapat anggota keluarga dengan keluhan demam.

Riwayat Sosial dan Lingkungan:


Ibu selalu membelikan sarapan di luar. Pasien suka jajan di sekolah dan
tidak rutin mencuci tangan sebelum dan sesudah makan.

Riwayat Penyakit Kehamilan:

5
Tidak ada penyakit saat kehamilan, tidak terdapat perdarahan selama
kehamilan. Ibu kontrol rutin di bidan setiap bulan.

Riwayat Persalinan:
Ibu G1P0A0 persalinan normal dibantu bidan pada usia kehamilan 37
minggu, bayi lahir langsung menangis dengan berat badan lahir 3.000
gram dan panjang badan 50 cm.

Riwayat Makanan:
0 – 6 bulan : ASI eksklusif diberikan tiap bayi ingin minum
6 – 9 bulan : ASI tiap bayi ingin minum dan bubur susu 3 kali sehari
setengah mangkuk kecil
9 – 12 bulan : ASI tiap bayi ingin minum dan nasi tim 3 kali sehari 1
mangkuk kecil
1 tahun : ASI dan makanan orang dewasa

Riwayat Imunisasi:
BCG : 1 kali
DPT : 3 kali
Campak : 1 kali
Hepatitis : 3 kali
Polio : 4 kali
Kesan : Imunisasi dasar lengkap

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan Tanda Vital pada Pengkajian Medis Awal (6 September


2018)
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Suhu : 35,6 ºC
Frekuensi Nadi : 114 x/menit
Frekuensi Nafas : 32 x/menit
SpO2 : 92 %

Pemeriksaan langsung dilakukan pada tanggal 7 September 2018


pukul 08.00 di ruang 104 Alamanda.

a. Status Present
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Suhu : 36,1 ºC
Frekuensi Nadi : 132 x/menit
Frekuensi Nafas : 24 x/menit
SpO2 : 93 %

6
BB : 15 kg
TB : 100 cm
Lingkar Lengan : 14,5 cm
Status Gizi : HAZ (-2) SD (Tinggi Normal)
WAZ (-2) - 0 SD (Gizi Baik)
WHZ (-1) - 0 SD (Normal)
b. Status Generalis
Kelainan mukosa kulit/ subkutan yang menyeluruh
Pucat : Tidak ditemukan
Sianosis : Tidak ditemukan
Ikterus : Tidak ditemukan
Oedem : Tidak ditemukan
Ruam : Ditemukan pada wajah, abdomen, dan ekstremitas
Turgor : Baik
Pembesaran KGB : Tidak ada pembesaran

KEPALA
Muka : Simetris
Rambut : Hitam, tersebar merata, tidak mudah dicabut
Ubun-ubun Besar : Menutup, datar
Mata : Konjungtiva anemis (-)/(-), sklera ikterik (-)/(-)
Telinga : Hiperemis (-), sekret (-), nyeri tekan tragus (-)
Hidung : Sekret (-), napas cuping hidung (-)
Mulut : Lidah tifoid (-), sianosis (-), faring hiperemis (-),
tonsil hiperemis (-)

LEHER
Bentuk : Simetris
Trakea : Tidak ada deviasi
Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran

TORAKS
Bentuk : Normochest, simetris
Retraksi suprasternal : Tidak ada
Retraksi intercostal : Tidak ada
Retraksi subcostal : Tidak ada

7
JANTUNG
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di intercostal V midklavikula
sinistra
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : BJ I/II normal, murmur (-), gallop (-)

PARU Anterior Posterior


Inspeksi : Simetris, Lesi (-) Simetris, Lesi (-)
Palpasi : Nyeri (-) Nyeri (-)
Perkusi : Sonor Sonor
Auskultasi : Vesikuler (+/+) Vesikuler (+/+)

ABDOMEN
Inspeksi : Datar, ptekie (+)
Auskultasi : Bising usus (+) 6 x/menit
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani

GENITALIA EKSTERNA
Tidak dilakukan pemeriksaan

EKSTREMITAS
Superior : Bintik kemerahan (+), edema (-), akral hangat
Inferior : Bintik kemerahan (+), edema (-), akral hangat

c. Status Neurologis
MOTORIK
Kekuatan : 5/5
Gerakan : Aktif
Tonus : Normotonus
Klonus : Negatif
Reflek fisiologis : Normal
Reflek patologis : Tidak dilakukan

8
SENSORIK
Tidak dilakukan pemeriksaan
TANDA – TANDA RANGSANG MENINGEAL
Tidak dilakukan pemeriksaan

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah Rutin Urin Rutin Feces Rutin


(05 September 2018 Lab Rujukan) Tidak Tidak
Hemoglobin = 13,5 g/dl (10,8 - 12,8) dilakukan dilakukan
Trombosit = 120 ribu/ul (150- 450 ribu/ul)
(06 September 2018 Lab Rujukan) Tidak Tidak
Hemoglobin = 14,1 g/dl (10,8 - 12,8) dilakukan dilakukan
Hematokrit = 41,9 % (37 - 47 %)
Trombosit = 92 ribu/ul (150 - 450 ribu/ul)
(06 September 2018 Lab RSAM) Tidak Tidak
Hemoglobin= 14,6 g/dl (10,8 - 12,8) dilakukan dilakukan
Hematokrit = 42 % (37 - 47 %)
Leukosit = 3200/ul (4.800 - 10.800/ul)
Eritrosit = 5,8 juta/ul (4,2 - 5,4 juta/ul)
Trombosit = 92 ribu/ul (150-450 ribu/ul)
MCV = 73 fl (79 - 99 fl)
MCHC = 35 g/dl (26 - 34 g/dl)
MCH = 25 pg (27 - 31 pg)
Hitung jenis
Basofil = 0 % (0 - 1%)
Eosinofil = 0 % (0 - 8%)
Batang = 0% (0 - 8%)
Segmen = 60% (17 - 60%)
Limfosit = 28% (20 - 70%)
Monosit = 12% (1 - 11%)

9
(07 September 2018) Tidak Tidak
Hemoglobin = 15,8 g/dl (10,8 - 12,8) dilakukan dilakukan
Hematokrit = 46 % (37 - 47 %)
Trombosit = 49 ribu/ul (150 - 450 ribu/ul)
(08 September 2018) Tidak Tidak
Hemoglobin = 14,5 g/dl (10,8 - 12,8) dilakukan dilakukan
Hematokrit = 42 % (37 - 47 %)
Trombosit = 36 ribu/ul (150 - 450 ribu/ul)
(09 September 2018) Tidak Tidak
Hemoglobin = 13,5 g/dl (10,8 - 12,8) dilakukan dilakukan
Hematokrit = 39 % (37 - 47 %)
Trombosit = 42 ribu/ul (150 - 450 ribu/ul)
(10 September 2018) Tidak Tidak
Hemoglobin = 14,5 g/dl (10,8 - 12,8) dilakukan dilakukan
Hematokrit = 41 % (37 - 47 %)
Trombosit = 103 ribu/ul (150- 450 ribu/ul)

PEMERIKSAAN PENUNJANG LAIN/ANJURAN


Antigen Typhii H = 1/80
Antigen Typhii O = 1/160
Paratyphii AO = 1/80
Paratyphii BO = 1/80
Kesan : Uji Widal Negatif

Dengue Fever IgM = Negatif


Dengue Fever IgG = Negatif
Kesan : Uji Serologi Anti Dengue Negatif

RESUME
Pasien anak laki-laki usia 5 tahun datang dengan keluhan demam sejak 5
hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Demam tiba-tiba, dirasakan
terus menerus sepanjang hari naik turun. Pasien lalu dibawa ke praktek

10
dokter setempat pada hari senin malam selama dan diberikan obat penurun
panas. Namun, berdasarkan pengakuan orang tua, setelah pemberian obat,
demam tak kunjung turun, pasien menjadi mual, muntah, dan tidak bisa
makan maupun minum. Selain itu, pasien juga mengeluhkan sakit perut
dan lidahnya terasa pahit.

Pada hari selasa sore pasien dibawa ke praktek dokter lain lalu dilakukan
pemeriksaan laboratorium dan disarankan untuk dirujuk ke puskesmas
setempat. Pasien dinyatakan terkena tipes oleh dokter di puskesmas
tersebut, lalu diberikan obat namun demam masih naik turun sepanjang
waktu, mual muntah teratasi dengan pemberian obat dan pasien mulai mau
makan.

Pada kamis sore dilakukan pemeriksaan ulang laboratorium, kemudian


pasien dirujuk ke RSAM karena trombosit turun. Sesampainya di RSAM
keluhan demam sudah tidak lagi dirasakan, muntah hanya 2x/hari, perut
masih terasa sakit, lidah masih terasa pahit. Pasien juga belum BAB sejak
3 hari sebelum pemeriksaan. BAB terakhir lembek 1/hari. Selain itu, orang
tua mengatakan timbul bintik-bintik merah pada kulit mula hari senin (3
hari SMRS) dan badan terasa pegal-pegal.

Pada kajian awal tanda vital didapatkan suhu 35,6 ºC, frekuensi nadi 114
x/menit, frekuensi nafas 32 x/menit, dan SpO2 92 %. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, suhu 36,1 ̊ C, frekuensi nadi
132 x/menit, frekuensi nafas 24 x/menit, SpO2 93 %. Terdapat ptekie pada
wajah, thorax, abdomen, dan seluruh ekstremitas. Pada pemeriksaan
penunjang didapatkan trombositopenia.

DIAGNOSIS BANDING
 Demam dengue
 Demam tifoid
 Campak

DIAGNOSIS KERJA
 Demam dengue

11
PENATALAKSANAAN
Puskesmas
Injeksi Cefotaxime 500 mg/12 jam
Injeksi Ranitidin 1 amp/12 jam
Puyer Antasida + B6 3x1
Paracetamol syr 3x1 ¾

IGD
IVFD RL 10 tetes per menit makro
Paracetamol syr 3x1 ¼ jika demam

Alamanda
IVFD RL XII tetes per menit makro
Omeprazole 15 mg/hari
Ceftriaxone 600 mg/12 jam
Paracetamol 3x1½ cth

PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Ad bonam
Quo ad Fungtionam : Ad bonam
Quo ad Sanationam : Ad bonam

KEBUTUHAN

Kalori Protein Cairan


1600 kkal/hari 35 gram/hari 1500 ml/hari

FOLLOW UP
TANGGAL FOLLOW UP TERAPI
09 September 2018 S: demam (-), mual (-), - IVFD RL XII tpm makro
muntah (-), nyeri perut - Ceftriaxone 600 mg/12
(+), ruam (+) jam
- Omeprazole 15 mg/12
O: jam
- KU: TSS - PCT 4x1½ cth prn
- Kes: CM
- T: 36,7 C
- N: 120 x/menit
- RR: 22 x/menit
- SpO2: 93%

Wajah: ptekie (-)


Mata: CA (-/-)
Thorax: ptekie (+),

12
simetris, vesikuler, BJ I
& II regueler
Abdomen: ptekie (+),
datar, BU (+) 7x/menit
Ekstremitas: ptekie (+),
Akral hangat, crt <2s

Lab:
- Hb: 13,5
- Ht: 39
- Trombosit: 42.000
10 September 2018 S: demam (-), mual (-), - IVFD RL XII tpm makro
muntah (-), ruam (+) - Ceftriaxone 600 mg/12
jam
O: - Omeprazole 15 mg/12
- KU: TSS jam
- Kes: CM - PCT 4x1½ cth prn
- T: 36,3 C
- N: 118 x/menit
- RR: 24 x/menit
- SpO2: 95%

Wajah: ptekie (-)


Mata: CA (-/-)
Thorax: ptekie (+),
simetris, vesikuler, BJ I
& II regueler
Abdomen: ptekie (+),
datar, BU (+) 6x/menit
Ekstremitas: ptekie (+),
Akral hangat, crt <2s

Lab:
- Hb: 14,5
- Ht: 41
Trombosit: 103.000

13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Dengue merupakan salah satu penyakit arbovirus yang paling cepat menular, tidak
hanya terbatas satu wilayah saja, namun telah berkembang dari satu negara ke
negara dan wilayah ke wilayah, dengan angka mortalitas yang tinggi tiap
tahunnya (WHO, 2016). Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan
manifestasi klinis yang bervariasi antara penyakit paling ringan (mild
undifferentiated febrile illness), demam dengue (DD), demam berdarah dengue
(DBD), sampai demam berdarah dengue disertai syok (Dengue Shock Syndrome =
DSS) (IDAI, 2008).

EPIDEMIOLOGI
Infeksi virus dengue merupakan masalah kesehatan global. Dalam tiga dekade
terakhir terjadi peningkatan angka kejadian penyakit tersebut di berbagai negara
yang dapat menimbulkan kematian sekitar kurang dari 1%. Penyakit dengue
terutama ditemukan di daerah tropis dan subtropis dengan sekitar 2,5 miliar
penduduk yang mempunyai resiko untuk terjangkit penyakit ini (IDAI, 2014).
Setiap tahun diperkirakan sekitar 50 juta manusia terinfeksi virus dengue, 500.000
diantaranya memerlukan rawat inap, dan hampir 90% dari pasien rawat inap
adalah anak-anak. Asia Tenggara dengan jumlah penduduk sekitar 1,3 miliar
merupakan daerah endemis, Indonesia bersama dengan Bangladesh, India,
Maladewa, Myanmar, Sri Lanka, Thailand, dan Timor Leste termasuk kedalam
kategori endemik A (endemik tinggi) (WHO, 2011).

14
ETIOLOGI
Infeksi virus dengue ditularkan melalui gigitan vektor nyamuk Stegomiya aegipty
(dahulu disebut Aedes aegipty) dan Stegomiya albopticus (dahulu Aedes
albopticus). Transmisi virus tergantung dari faktor biotik dan abiotik. Faktor virus,
vektor nyamuk, dan pejamu manusia merupakan faktor biotik, sedangkan faktor
abiotik terdiri dari suhu lingkungan, kelembaban, dan curah hujan (IDAI, 2014).

 Virus Dengue
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari famili Flaviviridae. Selain
virus dengue, virus lain yang termasuk dalam genus ini adalah Japanesse
encephalitis virus (JEP), Yellow Fever Virus (YFV), West Nile Virus
(WNV), dan Tickborne Encephalitis Virus (TBEV). Masing-masing virus
tersebut mempunyai kemiripan dalam struktur antigeniknya sehingga
memungkinkan terjadi reaksi silang secara serologik (IDAI, 2014). Virus
dengue berukuran kecil yaitu 50 nm, memiliki single strand RNA sebagai
genom. Genom ini dapat ditranslasikan langsung menghasilkan satu rantai
polipeptida berupa tiga protein struktural (capsid = C, pre-membrane =
prM, dan enveloped = E) dan tujuh protein non struktural (NS1, NS2A,
NS2B, NS3, NS4A, NS4B, dan NS5). Protein NS1 merupakan satu-
satunya protein non struktural yang dapat disekresikan oleh sel pejamu
mamalia tapi tidak oleh nyamuk, sehingga dapat ditemukan oleh sel
pejamu sehingga dapat ditemuka dalam darah sel pejamu sebagai antigen
NS1 (WHO, 2011).

Berdasarkan sifat antigen dikenal ada empat serotipe virus dnegue, yaitu
DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4. Masing-masing serotipe
mempunyai beberapa galur (strain) atau genotip yang berbeda. Serotipe
yang dapat ditemukan dan yang paling banyak beredar di suatu negara atau
area geografis tertentu berbeda-beda. Di Indonesia keempat serotipe virus
dengue tersebut dapat ditemukan dan DENV-3 merupakan galur yang
paling virulen (IDAI, 2014). Infeksi dengan salah satu serotipe apapun
akan memberikan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe tersebut.
Infeksi sekunder dengan serotipe lain atau beberapa infeksi dengan

15
serotipe yang berbeda mengarah ke manifestasi yang lebih parah
(DHF/DSS) (WHO, 2011). Di Asia infeksi sekunder serotipe DENV-2 dan
DENV-3 dikaitkan dengan manifestasi yang berat (WHO, 2009).

 Vektor Nyamuk
Pada saat ini nyamuk Stegomiya aegipty (Aedes aegipty) disebut sebagai
spesies kosmopolitan yang banyak ditemukan di berbagai belahan dunia.
Nyamuk ini merupakan nyamuk domestik yang memiliki afinitas tinggi
untuk menggigit manusia (antropofilik) serta dapat menggigit lebih dari
satu individu (multiple bite) untuk memenuhi kebutuhan nutrisisnya. Pola
hidup seperti ini menyebabkan nyamuk tersebut menjadi vektor yang
sangat potensial untuk menularkan virus dengue dari satu individu ke
individu lain. Hanya nyamuk betina yang mengigit manusia. Stegomiya
albopticus (Aedes albopticus) selain dapat menularkan keempat virus
dengue, juga merupakan vektor 22 spesies arbovirus lainnya (IDAI, 2014).

 Pejamu
Nyamuk yang mengandung virus dengue dapat menginfeksi manusia
melalui gigitannya (WHO, 2011). Setelah masa inkubasi 4-10 hari, infeksi
oleh salah satu dari empat serotipe virus dapat menghasilkan spektrum
penyakit yang luas, meskipin sebagian besar infeksi tidak bergejala atau
subklinis. Infeksi primer diduga menyebabkan perlindungan seumur hidup
terhadap serotipe yang menginfeksi. Individu yang menderita infeksi
dilindungi dari penyakit klinis dengan serotipe yang berbeda dalam 2-3
bulan dari infeksi primer tetapi tanpa kekebalan silang jangka panjang
(WHO. 2009).

 Faktor Abiotik
Transmisi dengue biasanya terjadi selama musim hujan ketika suhu dan
kelembaban kondusif untuk penumpukan populasi vektor di habitat
sekunder serta untuk kelangsungan hidup nyamuk yang lebih lama (WHO,
2011).

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI INFEKSI VIRUS DENGUE

16
Patogenesis infeksi virus dengue berhubungan dengan: 1. Faktor virus, yaitu
serotipe, jumlah virulensi. 2. Faktor pejamu, genetik, usia, status gizi, penyakit
komorbid dan interaksi antara virus dengan pejamu. 3. Faktor lingkungan, musim,
curah hujan, suhu udara, kepadatan penduduk, mobilitas penduduk, dan kesehatan
lingkungan (IDAI, 2014).

Peran sistem imun dalam infeksi virus dengue adalah sebagai berikut,
 Infeksi pertama kali (primer) mnimbulkan kekebalan seumur hidup untuk
serotpe penyebab
 Infeksi sekunder dengan serotipe virus yang berbeda (secondary heterologous
infection) pada umumnya memberikan manifestasi klinis yang lebih berat
dibandingkan dengan infeksi primer
 Bayi yang lahir dari ibu yang memiliki antibodi dapat menunjukkan
manifestasi klinis berat walaupun ada infeksi primer
 Perembesan plasma sebagai tanda karakteristik untuk DBD terjadi apda saat
jumlah virus dalam darah menurun
 Perembesan plasma terjadi dalam waktu singkat (24-28 jam) dan pada
pemeriksaan patologi tidak ditemukan kerusakan dari sel endotel pembuluh
darah

IMUNOPATOGENESIS
Secara umum patogenesis infeksi virus dengue diakibatkan oleh interaksi berbagai
komponen dari respon imun atau reaksi inflamasi yang terjadi secara terintegrasi.
Sel imun yang paling penting dalam berinteraksi dengan virus dengue yaitu sel
dendrit, monosit/makrofag, sel endotel, dan trombosit. Akibat interaksi tersebut
akan dikeluarkan berbagai mediator antara lain sitokin, peningkatan aktivasi
sistem komplemen, serta terjadi aktivasi limfosit T. Apabila aktivasi sel imun
tersebut berlebihan, akan diproduksi sitokin (terutama proinflamasi), kemokin,
danmediator inflamasi lain dalam jumlah banyak. Akibat produksi berlebih dari
zat-zat tersebut akan menimbulkan berbagai kelainan yang akhirnya menimbulkan
berbagai bentuk tanda dan gejala infeksi virus dengue (IDAI, 2014).

Respon Imun Humoral

17
Respon imun humoral diperankan oleh limfosit B dengan menghasilkan antibodi
spesifik terhadap virus dengue. Antibodi spesifik untuk virus dengue terhadap satu
serotipe tertentu juga dapat menimbulkan reaksi silang dengan serotipe lain
selama enam bulan. Antibodi yang dihasilkan dapat menguntungkan dalam arti
melindungi dari terjadinya penyakit, namun sebaliknya dapat pula menjadi
pemicu terjadinya infeksi yag berat melalui mekanisme antibodi-dependent
enhancement (ADE). Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yaitu (1)
Kelompok monoclonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi
memacu replikasi virus dan (2) Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik
tanpa disertai daya pemacu replikasi virus (IDAI, 2012).

Antibodi anti dengue yang dibentuk umumnya berupa immunoglobulin (Ig) G


dengan aktivitas yang berbeda. Antibodi terhadap protein E dapat berfungsi baik
untuk neutralisasi meupun berperan dalam mekanisme ADE. Antibodi terhadap
protein NS1 berperan dalam menghancurkan (lisis) sel yang terinfeksi melalui
bantuan komplemen (complement-dependent lysis). Diketahui bahwa intibodi
terhadap protein prM pada virion imatur juga berpperan dalam mekanisme ADE
(IDAI, 2014).

Virus dengue mempunyai empat serotipe yang secara antigenik berbeda. Infeksi
virus dengue primer oleh satu serotipe tertentu dapat menimulkan kekebalan yang
menetap untuk serotipe yang bersangkutan (antibodi homotipik). Pada saat yang
bersamaan, sebagian bagian dari kekebalan silang (cross immunity) akan dibentuk
antibodi untuk serotupe lain (antibodi heterotipik). Apabila kemudian terjadi
infeksi oleh serotipe yang berbeda, maka antibodi heterotipik yang bersifat non
atau subneutralisasi berikatan dengan virus atau partikel tertentu dari virus
serotipe yag baru membentuk kompleks imun. Kompleks imun akan berikatan
dengan reseptof Fcγ yang banyak terdapat tertutama pada monosit dan makrofag,
sehingga memudahkan virus menginfeksi sel. Virus bermultiplikasi di dalam sel
dan selanjutnya virus keluar dari sel, sehingga terjadi viremia. Kompleks imun
juga dapat mengaktifkan kaskade sistem komplemen untuk menghasilkan C3a dan

18
C5a yang mempunya dampak langsung terhadap peningkatan permeabilitas
vascular (IDAI, 2014).

Respon Imun Selular


Respon imun selular yang berperan yaitu limfosit T (sel T). Sama dengan respon
imun humoral, respon sel T terhadap infeksi virus dengue dapat menguntungkan
sehingga tidak menimbulkan penyakit atau hanya berupa infeksi ringan, namun
juga sebaliknya dapat terjadi hal yang merugikan bagi pejamu. Sel T spesifik
untuk virus dengue dapat mengenali sel yang terinfeksi virus dengue dan
menimbulkan respon beragam berupa proliferasi sel T, menghancurkan sel
terinfeksi dengue, serta memproduksi berbagai sitokin. Pada penelitian in vitro,
diketahun bahwa baik sel T CD4 maupun sel T CD8 dapat menyebabkan lisis sel
target yang terinfeksi degue. Dalam menjalankan fungsinya sel T CD4 lebih
banyak sebagai penghasil sitokin dibandingkan dengan fugsi menghancurkan sel
terinfeksi virus dengue. Sebaliknya, sel T CD8 lebih berperan untuk lisis sel target
dibandingkan dengan produksi sitokin.

Pada infeksi sekunder oleh virus dengue serotipe yang berbeda, ternyata sel T
memori mempunyai aviditas yang lebih besar terhadap serotipe yag sebelumnya
dibandingkan dengan serotipe virus yang baru. Fenomena ini disebut sebagai
original antigenik sin. Dengan demikian, fungsi lisis terhadap virus yang baru
tidak optimal, sedangkan produksi sitokin berlebihan. Sitokin yang dihasilkan
oleh sel T pada umumnya berperan dalam memacu respon inflamasi dan
meningkatkan permeabilitas sel endotel vascular (IDAI, 2014).
Mekanisme autoimun

Di antara komponen protein virus dengue yang berperan dalam pembentukan


antibodi spesifik yaitu protein E, prM, dan NS1. Protein yang paling berperan
dalam mekanisme autoimun dalam pathogenesis infeksi virus dengue yaitu
protein NS1. Antibodi terhadap protein NS1 dengue menunjukkan reaksi silang
dengan sel endotel dan trombosit, sehingga menimbulkan gangguan pada kedua
sel tersebut serta dapat memacu respon inflamasi. Sel endotel yang diaktivasi oleh

19
antibodi terhadap protein NS1 dengue ternyata dapat mengekspresikan sitokin,
kemokin, dan molekul adhesi. Selain antibodi terhadap protein NS1, ternyata
antibodi prM juga dapat menyebabkan reaksi autoimun. Autoantibodi terhadap
protein prM tersebut dapat bereaksi silang dengan sel endotel. Proses autoimun ini
diduga kuat karena terdapat kesamaan atau kemiripan antara protein NS1 dan pM
dengan komponen tertentu yang terdapat pada sel endotel dan trombosit yang
disebur molecular mimicry. Autoantibodi yang bereaksi dengan komponen yang
dimaksud, mengakibatkan sel yang mengandung molekul hasil ikatan antara
keduanya dihancurkan oleh makrofag atau mengalami kerusakan. Akibatnya, pada
trombosit terjadi penghancuran sehingga menyebabkan trombositopenia dan pada
sel endotel terjadi peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan perembesan
plasma (IDAI, 2014).

Peran Sitokin dan Mediator Inflamasi Lain


Sitokin merupakan suatu molekul protein dengan fungsi yang sangat beragam dan
berperan penting dalam respon imun tubuh melawan infeksi. Dalam lingkup
respon inflamasi, secara umu sitokin mempunyai sifat proinflamasi dan
antiinflamasi. Pada keadaan respon fisiologis, terjadi keseimbangan antara kedua
jenis sitokin tersebut. Apabila sitokin diproduksi berlebihan, akan merugikan
pejamu.

Pada infeksi virus dengue, sitokin juga berperan dalam menentukan derajat
penyakit. Infeksi yang berat dalam hal ini DBD (terutama SSD) ditandai dengan
peningkatan jenis dan jumlah sitokin yang sering disebut dengan badai sitokin
(cytokine storm atau cytokine tsunami). Dalam melakukan fungsinya berbagai
sitokin saling berhubungan dan saling memengaruhi satu dengan yang lainnya
berupa suatu kaskade. Sitokin mana yang paling berperan menyebabkan penyakit
yang berat, beberapa penelitian menghasilkan hasil yang beragam. Hal ini
disebabkan karena beberapa alasan, antara lain variasi dalam waktu pengambilan
sampel pemeriksaan, usia, batasan derajat penyakit, dan juga faktor genetik yang
berbeda. Dari beberapa penelitian sitokin yang perannya paling banyak
dikemukakan yaitu TNF-α, IL-1β, IL-6, IL-8, dan IFN-γ. Mediator lain yang

20
sering dikemukakan mempunyai peran penting dalam menimbukan derajat
penyakit berat yaitu kemokin CXCL-9, CXCL-10, dan CXCL-11 yang dipicu oleh
IFN-γ.

Peran Sistem Komplemen


Sistem komplemen diketahui ikut berperan dalam patogenesis infeksi virus
dengue. Pada pasien DBD dan SSD ditemukan penurunan kadar komplemen,
sehingga diduga bahwa aktivasi sistem komplemen mempunyai peran dalam
pathogenesis terjadi penyakit berat. Kompleks imun virus dengue dan antibodi
pada infeksi sekunder dapat mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur klasik.
Protein NS1 dapat mengaktifkan sistem komplemen secara langsung melalui jalur
alternatif dan apabila berlebihan dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas
vascular (IDAI, 2014).

Selain melalui kedua jalur tersebut, ternyata aktivasi komplemen pada infeksi
virus dengue juga dapat melalui jalur mannose-binding lectin. Aktivasi
komplemen menghasilkan peptide yang mempunyai aktivitas biologis sebagai
anafilaktosin yaitu C3a dan C5a. Anafolaktosin C3a dan C5a memiliki
kemampuan untuk menstimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan
merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas kapiler,
pengurangan volume plasma, dan syok hipovolemik. Komplemen juga beraksi
dengan epitop virus sel endotel, permukaan trombosit dan limfosit T, yang
mengakibatkan waktu paru trombosit memendek, kebocoran plasma, syok , dan
perdarahan. Selain itu, komplemen juga merangsang monosit untuk memproduksi
sitokin seperti tumor necrosis factor (TNF), IFN-γ, IL-2 dan IL-1 (IDAI, 2012).

Faktor Pejamu
Beberapa faktor pejamu dilaporkan dapat menjadi faktor risiko untuk terkena
infeksi dengue yang berat, antara lain usia, status gizi, faktor genetik, dan
penyakit tertentu khususnya penyakit yang berhubungan dengan siste imun. Anak-

21
anak umumnya mempunyai perjalanan penyakit yang lebih berat dibandingkan
dengan dewasa. Mengenai mekanisme yang mendasarinya belum jelas, tetapi
diduga anak mempunyai sistem mikrovaskular yang lebih muda untuk mengalami
peningkatan permeabilitas. Bayi usia 6-12 bulan mempunyai risiko lebih berat,
meskipun pada infeksi primer. Hal tersebut diduga melalui mekanisme ADE yang
sama dengan infeksi sekunder pada pejamu dengan usia lebih dari satu tahun.
Antibodi IgG anti dengue yang bersifat nonneutralising ditransfer dari ibu pada
saat kehamilan. Obeisitas merupakan salah satu faktor risiko yang pernah
dilaporkan. Faktor genetik sebagai faktor risiko telah banyak diteliti, pada
umumnya berhubungan dengan human leucocyte antigen (HLA) tertentu yang
menjad faktor risiko untuk lebih rentan atau sebaliknya lebih kebal terhadap
infeksi virus dengue. Beberapa penelitian juga telah banyak melaporkan hubungan
antara faktor genetik dengan derajat penyakit dengue. Faktor genetic lain di luar
pengkode HLA adalah gen pengkode sitokin TNF-α, IFN-γ, dan IL-1, serta gen
yang mengkode reseptor IgG, reseptor vitamin D, dan mannose binding lectin.

Gambar 1. Patofisilogi Infeksi Virus Dengue (WHO, 2011)

22
MANIFESTASI KLINIS DAN PERJALANAN PENYAKIT INFEKSI
VIRUS DENGUE

Manifestasi Klinis Infeksi Virus Dengue


Manifestasi klinis infeksi virus dengue sangat luas dapat bersifat asimptomatik/tak
bergejala, demam yang tidak khas/sulit dibedakan dengan infeksi virus lain
(sindrom virus/viral syndrome, undifferentiated fever), demam dengue (DD),
demam berdarah dengue (DBD) dan expanded dengue syndrome/organopati
(manifestasi klinis yang tidak lazim)

Gambar 2. Manifestasi Infeksi Virus Dengue (WHO, 2011)

Sindrom Virus
Bayi, anak-anak, dan dewasa yang telah terinfeksi virus dengue, terutama
untuk pertama kalinya (infeksi primer), dapat menunjukkan manifestasi klinis
berupa demam sederhana yang tidak khas, yang sulit dibedakan dengan
demam akibat infeksi virus lain. Ruam makulopapular dapat menyertai
demam atau pada saat penyembuhan. Gejala gangguan saluran napas dan
pencernaan sering ditemukan.

Perjalanan penyakit

23
Sindrom virus akan sembuh sendiri (self limited), namu dikhawatirkan
apabila di kemudian hari terkena infeksi virus yang kedua, manifestasi klinis
yang diderita akan lebih berat berupa demam dengue, demam berdarah
dengue atau expanded dengue syndrome.

Demam Dengue
Demam dengue sering ditemukan pada anak besar, remaja besar, dan dewasa.
Setelah melalui masa inkubasi dengan rata-rata 4-6 hari (rentang 3-14 hari),
timbul gejala berupa demam, mialgia, sakit punggung, dan gejala
konstitusional lain yang tidak spesifik seperti rasa lemah (malaise), anoreksia,
dan gangguan rasa kecap. Demam pada umumnya timbul mendadak, tinggi
(39 oC – 40 oC), terus menerus (pola demam kurva kontinua), bifasik,
biasanya berlangsung antara 2-7 hari. Pada hari ketiga sakit pada umumnya
suhu tubuh turun, namun masih di atas normal, kemudian suhu naik tinggi
kembali, pola ini disebut sebagai pola demam bifasik. Demam disertai dengan
mialgia, sakit punggung (karena gejala ini, demam dengue pada masa lalu
disebut sebagai breakbone fever), atralgia, muntah, fotofobia (mata seperti
silau walau terkena cahaya dngan intensitas rendah) dan nyeri retroorbital
pada saat mata digerakkan atau ditekan. Gejala lain dapat ditemukan berupa
gangguan pencernaan (diare atau konstipasi), nyeri perut, sakit tenggorok,
dan depresi.

Pada hari sakit ke-3 atau ke 4 ditemukan ruam makulopapular atau


rubeliformis, ruam ini akan segera berkurang sehingga sering luput dari
perhatian orang tua. Pada masa penyembuhan timbul ruam di kaku dan
tangan berupa ruam makulopapula dan petekie diselingi bercak-bercak putih
(white islands in the sea of red), dapat disertai rasa gatal yang disebut ruam
konvalesens. Manifestasi perdarahan pada umumnya sangat ringan berupa uji
tourniquet yang positif (≥10 petekie dalam area 2,8 x 2,8 cm) atau beberapa
petekie spontan. Pada beberapa kasus demam dengue dapat terjadi perdarahan
masif.

24
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan jumlah leukosit yang normal, namun
pada beberapa kasus ditemukan leukositosis pada awal demam, namun
kemudian terjadi leukopenia dengan jumlah PMN yang turun, dan ini
berlangsung selama fase demam. Jumlah trombosit dapat normal atau
menurun (100.000-150.000/mm3), jarang ditemukan jumlah trombosit kurang
dari 50.000/mm3. Peningkatan nilai hematokrit sampai 10% mungkin
ditemukan akibat dehidrasi karena demam tinggi, muntah, atau karena asupan
cairan yang kurang. Pemeriksaan serum biokimia pada umumnya normal,
SGOT, dan SGPT dapat meningkat.

Diagnosis Banding Demam Dengue

Berbagai penyakit baik yang disebabkan oleh infeksi virus, bakeri, maupun
parasit pada fase awal penyakit menyerupai DD seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1. Diagnosis Banding Demam Dengue
Infeksi virus Virus chikungunya, dan penyakit infeksi virus lain
seperti campak, campak Jerman, dan virus lain yang
menimbulkan ruam; virus eipstein-barr, enterovirus,
influenza, hepatitis A dan hantavirus
Infeksi bakteri Meningokokus, leptospirosis, demam tifoid,
meiloidosis, penyakit riketsia, demam scarlet
Infeksi parasit Malaria

Perjalanan Penyakit Demam Dengue

Lama sakit dan beratnya penyakit bervariasi di antara individu. Masa


konvalesens berlangsung singkat dan sembuh segera, namun rasa lemah dan
mialgia kadang berlangsung lama. Pada pasien remaja masa penyembuhan
dapat terjadi dalam waktu beberapa minggu yang sering disertai dengan rasa
letih dan depresi. Bradikardia dapat ditemukan pada masa konvalesens.
Manifestasi perdarahan berat seperti perdarahan saluran cerna, epistaksis
masif, hipermenore jarang sekali ditemukan, namun apabila ditemukan dapat
merupakan penyebab kematian terutama pada anak besar. Demam dengue

25
dengan manifestasi perdarahan berat harus dibedakan dari demam berdarah
dengue.

Demam Berdarah Dengue


Manifestasi klinis DBD dimulai dengan demam tinggi, mendadak, kontinua,
kadang bifasik, berlangsung 2-7 hari. Demam disertai dengan gejala lain yang
sering ditemukan pada demam dengue seperti muka kemerahan (facial
flushing), anoreksia, mialgia dan atralgia. Gejala lain dapat berupa nyeri
epigastrik, mual, muntah, nyeri di daerah subkostal kanan atau nyeri abdomen
difus, kadang disertai sakit tenggorok. Faring dan konjungtiva yang
kemerahan (pharyngeal injection dan ciliary injection) dapat ditemukan pada
pemeriksaan fisis. Demam dapat mencapai suhu 40oC, dan dapat disertai
kejang demam.

Manifestasi perdaraan dapat berupa uji tourniquet yang positif, petekie


spontan yang dapat ditemukan di daerah ekstreitas, aksila, muka, dan palatum
mole. Epistaksis dan perdarahan gusi dapat ditemukan, kadang disertai
dengan perdarahan ringan saluran cerna, hematuria lebih jarang ditemukan.
Perdarahan berat dapat ditemukan.

Ruam makulopapular atau rubeliformis dapat ditemukan pada fase awal sakit,
namun berlangsung singkat sehingga sering luput dari pengamatan orang tua.
Ruam konvalesens seperti pada demam dengue, dapat ditemukan pada masa
penyembuhan. Hepatomegali ditemukan sejak fase demam, dengan
pembesaran yangbervariasi antara 2-4 cm bawah arkus kosta. Perlu
diperhatikan bahwa hepatomegali sangat tergantung dari ketelitian pemeriksa.
Hepatomegali tidak disertai dengan ikterus dan tidak berhubungan dengan
derajat penyakit, namun hepatomegali lebih sering ditemukan pada DBD
dengan syok (sindrom syok dengue/SSD).

Pada DBD terjadi kebocoran plasma yang secara klinis berbentuk efusi
pleura, apabila kebocoran plasma lebih berat dapat ditemukan asites.

26
Pemeriksaan rontgen foto dada posisi lateral dekubitus kanan, efusi pleura
terutama di hemitoraks kanan merupakan temuan yang sering dijumpai.
Derajat luasnya efusi pleura seiring dengan beratnya penyakit. Pemeriksaan
ultrasonografi dapat dipakai untuk menemukan asites dan efusi pleura.
Penebalan dinding kandung empedu (gall blader wall thickening) mendahului
manifestasi klinis kebocoran plasma lain. Peningkatan nilai hematokrit (≥20%
dari data dasar) dan penurunan kadar protein plasma terutama albumin serum
(>0,5 g/dL dari data dasar) merupakan tanda indirek kebocoran plasma.
Kebocoran plasma berat dapat menimbulkan berkurangnya volume
intravascular yang akan menyebabkan syok hipovolemi yang dikenal sebagai
sindrom syok dengue (SSD) yang memperburuk prognosis.

Perjalanan Penyakit Demam Berdarah Dengue

Manifestasi klinis DBD terdiri atas tiga fase yaitu fase demam, kritis, serta
konvalesens. Setiap fase perlu pemantauan yang cermat, karena setiap fase
mempunyai risiko yang dapat memperberat keadaan sakit.

27
Gambar 3. Perjalanan Penyakit Infeksi Virus Dengue (CDC, 2017)

Fase Demam
Pada kasus ringan semua tanda dan gejala sembuh seiring dengan
menghilangnya demam. Penurunan demam terjadi secara lisis, artinya suhu
tubuh menurun segera, tidak secara bertahap. Menghilangnya demam dapat
disertai berkeringat dan perubahan pada laju nadi dan tekanan darah, hal ini
merupakan gangguan ringan sistem sirkulasi akibat kebocoran plasma yang
tidak berat. Pada kasus sedang sampai berat terjadi kebocoran plasma yang
bermakna sehingga akan menimbulkan hipovolemi dan bila berat
menimbulkan syok dengan mortalitas yang tinggi.

28
Fase Kritis
Fase kritis terjadi pada saat demam turun (time of fever defervescence), pada
saat ini terjadi puncak kebocoran plasma sehingga pasien mengalami syok
hipovolemi. Kewaspadaan dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya
syok yaitu dengan mengenal tanda dan gejala yang mendahului syok
(warning signs). Warning signs umumnya terjadi menjelang akhir fase
demam, yaitu antara hari sakit ke 3-7. Muntah terus-menerus dan nyeri perut
hebat merupakan petunjuk awal perembesan plasma dan bertambah hebat saat
pasien masuk ke keadaan syok. Kelemahan, pusing atau hipotensi postural
dapat terjadi selama syok. Perdarahan mukosa spontan atau perdarahan di
tempat pengambilan darah merupakan manifestasi perdarahan penting.
Hepatomegali dan nyeri perut sering ditemukan. Penurunan jumlah trombosit
yang cepat dan progresif menjadi di bawah 100.000 sel/mm 3 serta kenaikan
hematokrit di atas data dasar merupakan tanda awal perembesan plasma, dan
pada umumnya didahului oleh leukopenia (≤5000 sel/mm3).

Peningkatan hematokrit di atas data dasar merupakan salah satu tanda paling
awal yang sensitive dalam mendeteksi perembesan plasma yang pada
umumnya berlangsung selama 24-48 jam. Peningkatan hematokrit
mendahului peruahan tekanan darah serta volume nadi, oleh karena itu,
pengukuran hematokrit berkala sangat penting, apabila makin meningkat
berarti kebutuha cairan intravena untuk mempertahankan volume
intravaskular bertambah, sehingga penggantian caira yang adekuat dapat
mencegah syok hipovolemi.

Bila syok terjadi, mula-mula tubuh melakukan kompensasi (syok


terkompensasi), amun apabila mekanisme tersebut tidak berhasil pasien akan
jatuh ke dalam syok dekompensasi yang dapat berupa syok hipotensif dan
profound shock yang menyebabkan asidosis metabolik, gangguan organ
progresif, dan koagulasi intravaskular diseminata. Perdarahan hebat yang
terjadi menyebabkan penurunan hematokrit, dan jumlah leukosit yang semula

29
leukopenia dapat meningkat sebagai respon stres pada pasien dengan
perdarahan hebat. Beberapa pasien masuk ke fase kritis perembesan plasma
dan kemudian mengalami syok sebelum demam turun, pada pasien tersebut
peningkatan hematokrit serta trombositopenia terjadi sangat cepat. Selain itu,
pada pasien DBD baik yang disertai syok atau tidak dapat terjadi keterlibatan
organ misalnya hepatitis berat, ensefalitis, miokarditis, dan/atau perdarahan
hebat, yang dikenal sebagai expanded dengue syndrome.

Fase Penyembuhan (fase konvalesens)


Apabila pasien dapat melalui fase kritis yang berlangsung sekitar 24-48 jam,
terjadi reabsorpsi cairan dari ruang ekstravaskular ke dalam ruang
intravascular yang berlangsung secara bertahap pada 48-72 jam berikutnya.
Keadaan umum dan nafsu makan membaik, gejala gastrointestinal mereda,
status hemodinamik stabil, dan dieresis menyusul kemudian. Pada beberapa
apsien dapat ditemukan ruam konvalesens, beberapa kasus lain dapat disertai
pruritus umum. Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi pada umumnya
terjadi pada tahap ini. Hematokrit kembali stabil atau mungkin lebih rendah
karena efek dilusi cairan yang direabsorbsi. Jumlah leukosit mulai meningkat
segera setelah penurunan suhu tubuh akan tetapi pemulihan jumlah trombosit
umumnya lebih lambat. Gangguan pernapasan akibat efusi pleura massif dan
asites, edema paru atau gagal jantung kongestif akan terjadi selama fase kritis
dan/atau fase pemulihan jika cairan intravena diberikan berlebihan. Penyulit
dapat terjadi pada fase demam, fase kritis, dan fase konvalesens.
Tabel 2. Penyulit pada fase demam, kritis dan konvalesens
Fase Gejala klinis
Demam Dehidrasi,
Demam tinggi dapat menyebabkan gangguan neurologi dan
kejang demam
Kritis Syok akibat perembesan plasma,
Perdarahan massif,
Gangguan organ
Konvalesens Hipervolemia (jika terapi cairan intravena diberikan secara
berlebihan dan/atau dilanjutkan sampai fase konvalesens)

30
Edema paru akut

Diagnosis bandng pada fase demam dan fase kritis DBD dapat dilihat pada
Tabel 3 dan 4.

Tabel 3. Kondisi yang menyerupai fase demam


Flu-like syndromes Influenza, campak, chikungunya,
mononucleosis infeksiosa
Penyakit dengan ruam Rubella, campak, demam skarlatina, infeksi
meningokokus, chikungunya, reaksi obat
Penyakit diare Rotavirus dan infeksi mikroorganisme enteric
lain
Penyakit dengan Meningoensefalitis, kejang demam
manifestasi neurologis

Tabel 4. Kondisi yang menyerupai fase kritis


Penyakit infeksi Gastroenteritis akut, malaria, leptospirosis, tifoid,
virus hepatitis, sepsis bakterialis, dan syok septic
Keganasan Leukemia akut dan keganasan lain
Gambaran klinis lain Akut abdomen, apendisitis akut, kolesistitis akut,
asidosis laktat, diabetes ketoasidosis, sindrom
Kawasaki, trombositopenia dan perdarahan,
kelainan trombosit, gagal ginjal, distress pernapasan

Sindrom Syok Dengue


Sindrom syok dengue (SSD) merupakan syok hipovolemik yang terjadi pada
DBD, yag diakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler yang disertai
perembesan plasma. Syok dengue pada umumnya terjadi di sekitar penurunan
suhu tubuh (fase kritis), yaitu pada hari sakit ke 4-5 (rentang hari 3-7) dan
sering kali didahului oleh tanda bahaya (warning signs). Pasien yang tidak
mendapat terapi caira intravena yang adekuat akan segera mengalami syok.

Syok terkompensasi
Syok dengue merupakan satu rangkaian proses fisiologis, aadanya hipovolemi
menyebabkan tubuh melakukan mekanisme kompensasi melalui jalur

31
neurohumoral agar tidak terjadi hipoperfusi pada organ vital. Sistem
kardiovaskular mempertahankan sirkulasi memalui peningkatan isi sekuncup
(stroke volume), laju jantung, dan vasokonstriksi perifer. Pada fase ini
terkanan darah biasanya belum turun, namun telah terjadi peningkatan laju
jantung. Oleh karena itu takikardia yang terjadi pada saat suhu tubuh mulai
turun, walaupun tekanan darah belum banyak menurun, harus diwaspadai
kemungkinan anak jatuh ke dalam syok. Pada beberapa pasien, khususnya
remaja dan dewasa takikardia tidak terjadi.

Tahap selanjutnya, apabila perembesan plasma terus berlangsung atau


pengobatan tidak adekuat, kompensasi dilakukan dengan mempertahankan
sirkulasi kea rah organ vital dengan mengurangi sirkulasi ke daerah perifer
(vasokonstriksi perifer), secara klinis ditemukan ekstremitas teraba dingin dan
lembab, sianosis, kulit tubuh menjadi berbercak-bercak (mottled), pengisian
waktu kapiler memanjang lebih dar dua detik. Dengan adanya vasokonstriksi
perifer, terjadi peningkatan resistensi perifer sehingga tekanan diastolik
meningkat sedang tekanan sistolik tetap sehingga tekanan nadi (perbedaan
tekanan sistolik dan diastolik) akan menyempit kurang dari 20 mmHg.
Pada tahap ini sistem pernapasan melakukan kompensasi berupa quite
tachypnea (takipnea tanpa peningkatan kerja otot pernapasan). Kompensasi
sistem keseimbangan asam basa berupa sidosis metabolik namun nilai pH
masih normal dengan tekanan karbon dioksida rendah dan kadar bikarbonat
rendah. Keadaan anak pada fase ini pada umumnya tetap sadar, sehingga
dibutuhkan pengalaman seorang klinisi untuk mengetahui bahwa pasien
sudah berada dalam keadaan kritis.

Pemberian cairan yang adekuat pada umumnya akan memberikan prognosis


yang baik. Bila keadaan kritis luput dari pengamatan sehingga pengobatan
tidak diberikan dengan cepat dan tepat, maka pasien akan jatuh kedalam syok
dekompensasi.

Syok dekompensasi

32
Pada keadaan syok dekompensasi, upaya fisiologis untuk mempertahankan
sistem kardovaskular telah gagal, pada keadaan ini tekanan sistolis dan
diastolik menurun, disebut syok hipotensif. Selanjutnya apabila pasien
terlambat berobat atau pemberian pengobatan tidak adekuat akan terjadi
profound shock yang ditandai dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah
tidak terukur, sianosis makin jelas terlihat.

Tabel 5. Penilaian Hemodinamik


Parameter Sirkulasi stabil Syok Syok dekompensasi
terkompensasi Syok
hipotensif
Profound
shock
Kesadaran Clear and Clear and lucid Perubahan status
lucid (syok bisa tidak mental (gelisah,
terdeteksi apabila combative)
tidak memegang
pasien)
Waktu Cepat (<2 Memanjang (>2 Sangat memanjang,
pengisian detik) detik) kulit mottled
kapiler
(CRT)
Ekstremitas Ekstremitas Ekstremitas dingin Ekstremitas dingin
hangat dan dan lembab
kemerahan
Volume nadi Volume baik Lemah dan halus Lemah atau
perifer menghilang
Frekuensi Normal sesuai takikardia Takikardia berat,
jantung usia bradikardia pada syok
lanjut
Tekanan Normal sesuai Tekanan sistolik Hipotensi (syok
darah usia normal tetapi hipotensi), tekanan
tekanan diastolik darah tidak terukur
meningkat, tekanan (profound shock)

33
nadi menyempit
(≤20 mmHg pada
anak)
Frekuensi Normal sesuai Quite tachypnea Asidosis
napas usia metabolik/hiperpnea/
pernapasan Kussmaull
Diuresis Normal Cenderung Oligouria/anuria
menurun
(CDC, 2017)

Salah satu tanda perburukan klinis utama adalah perubahan kondisi mental
karena penurunan perfusi otak. Pasien menjadi gelisah, bingung, atau letargi.
Kejang dan agitasi mungkin terjadi bergantian dengan letargi. Pada beberapa
kasus anak-anak dan dewasa muda pasien tetap memiliki status mental yang
baik walaupun sudah mengalami syok. Ketidak mampuan bayi dan anak-anak
untuk mengenali atau melakukan kontak mata dengan orang tua, atau tidak
member respon terhadap rangsang nyeri seperti pada saat pengambilan darah,
dapat merupakan pertanda buruk yaitu awal terjadinya hipoperfusi korteks
serebri. Orang tua mungkin menjadi orang pertama yang mengenali tanda-
tanda ini akan tetapi mereka mungkin tidak dapat menggambarkannya, selain
mengatakan ada sesuatu yang salah. Oleh karena itu keterangan orang tua
harus didengar dan diperhatikan.

Syok hipotensif berkepanjangan dan hipoksia menyebabkan asidosis


metabolik berat, kegagalan organ multiple serta perjalanan klinis yang sangat
sulit diatasi. Perjalanan dari ditemuannya warning signs sampai terjadi syok
terkompensasi, dan dari syok terkompensasi menjadi syok hipotensi dapat
memakan waktu beberapa jam. Akan tetapi dari syok hipotensif sampai
terjadinya kolaps kardiorespirasi dan henti jantung hanya dalam hitungan
menit.

Pasien DBD berat memiliki derajat koagulasi yang bervariasi, tetapi hal in
ipada umumnya tidak sampai menyebabkan perdarahan massif. Terjadinya

34
perdarahan massif hampir selalu berhubungan dengan profound shock yang
bersama-sama dengan trombositopenia, hipoksia serta asidosis dapat
menyebabkan kegagalan organ multiple dan koagulasi intravascular
diseminata. Perdarahan massif tanpa profound shock dapat terjadi oleh karena
penggunaan asam asetil salisilat (aspirin), ibuprofen, atau kortikosteroid. Oleh
karena itu hindarilah penggunaan obat-obat tersebut. Perdarahan juga
mungkin terjadi pada pasien dengan ulkus duodenum.

Gagal hati akut dan gagal ginjal akut serta ensefalopati mungkin terjadi pada
syok berat. Kardiomiopati dan ensefalitis juga telah dilaporkan dalam
sejumlah laporan seri kasus dengue. Namun sebagian besar kematian akibat
dengue terjadi akibat profound shock yang dipersulit oleh perdarahan
dan/atau pemberian cairan berlebih. Pasien dengan perembesan plasma hebat
mungkin saja tidak jatuh ke keadaan syok jika telah dilakukan penggantian
cairan sesegera namun mungkin timbul gangguan pernapasan akibat terapi
cairan intravena yang berlebih.

Expanded Dengue Syndrome


Semakin banyak kasus infeksi dengue dengan manifestasi yang tidak
lazim/jarang yang dilaporkan dari berbagai negara termasuk Indonesia, kasus
ini disebut sebagai expanded dengue syndrome (EDS). Manifestasi klinis
tersebut berupa keterlibatan organ seperti hati, ginjal, otak, maupun jantung
yang berhubungan dengan infeksi dengue dengan atau tidak ditemukannya
tanda kebocoran plasma. Manifestasi yang jarang ini terutama disebabkan
kondisi syok yang berkepanjangan dan berlanjut menjadi gagal organ atau
pasien ddengan komorbiditas atau ko-infeksi. Maka dapat disimpulkan bahwa
EDS dapat berupa penyulit infeksi dengue dan manifestasi klinis yang tidak
lazim (unusual manifestations). Penyulit infeksi dengue dapat berupa
kelebihan cairan (fluid overload) dan gangguan elektrolit, sedangkan yang
termasuk manifestasi klinis yang tidak lazim ialah ensefolapoti dengue atau
ensefalitis, perdarahan hebat (massive bleeding), infeksi ganda (dual
infections), kelainan ginjal, dan miokarditis.

35
Penyulit infeksi dengue, antara lain:
 Kelebihan cairan (fluid overload)
Kelebihan cairan dapat ditemukan saat fase kritis dan fase konvalesens.
Penyulit ini merupakan hal yang serius oleh karena dapat menyebabkan
edema paru atau gagal jantung yang akan menyebabkan gagal napas dan
kematian. Untuk mencegah penyulit tersebut, harus dilakukan monitor
ketat dengan memantau pemberian cairan intravena dari minimal sampai
rumatan. Edema paru adalah penyulit yang mungkin terjadi sebagai akibat
pemberian cairan berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga
sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, pada umumnya tidak akan
menyebabkan edema paru leh karena perembesan plasma yang masih
terjadi. Pada fase penyembuhan edema paru dapat terjadi karena pada fase
ini terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular, sedangkan volume
pemberian intravena tidak disesuaikan. Maka pasien akan mengalami
distress pernapasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan dijumpai
gambaran edema paru pada foto dada. Kelebihan cairan pada umumnya
terjadi karena hanya melihat nilai kadar hemoglobin dan hematokrit tanpa
mempertahankan hari sakit. Gambaran edema paru harus dibedakan
dengan perdarahan paru.

Penyebab kelebihan cairan


 Pemberian cairan intravena terlalu awal dengan volume yang besar
 Menggunakan cairan hipotonik dengan volume yang besar
 Tidak menurunkan jumlah volume cairan infus ataupun
menghentikannya walaupun sudah masuk ke fase konvalesens
 Tidak menggunakan cairan jenis koloid walaupun sudah ada indikasi
 Tidak segera memberikan transfusi darah walaupun sudah jelas ada
indikasi perdarahan terutama tersembunyi, tetapi tetap menggunakan
cairan jenis kristaloid
 Pasien dengan status nutrisi overweight/obesitas diberikan cairan
infuse tidak seusai dengan berat badan ideal.
 Tanda dan gejala kelebihan cairan
 Tampak sakit berat
 Distress pernapasan, dispnea dan takipnea

36
 Hepatomegali yang makin membesar
 Abdomen cembung dengan asites masif
 Nadi meningkat dengan isi dan tekanan masih kuat
 Krepitas dan atau ronki dan atau wheezing di semua lapangan paru
 Perfusi yang buruk didapatkan pada pasien dengan gagal napas
(respiratory failure) oleh karena efusi yang masif dan atau asites.

 Gangguan elektrolit
 Gangguan elektrolit sering terjadi selama fase kritis yaitu
hiponetremia dan hipokalsemia, sedangkan hipokalemia lebih sering
pada fase konvalesens.
 Hiponatremia terjadi sebagai akibat dari pemberian cairan infuse
larutan hipotonis yang tidak adekuat.
 Hipokalsemia sebagai akibat perembesan kalsium mengikuti albumin
masuk ke rongga pleura atau peritoneal.
 Hipokalemia disebabkan adanya kondisi stres dan pemberian diuretik

 Manifestasi tidak lazim (unusual manifestations)


Ensefalopati – Ensefalitis dengue
Beberapa pasien infeksi dengue dapat mengalami manifestasi yang tidak
lazim berupa keterlibatan susunan syaraf pusat, yaitu kejang dan
penurunan kesadaran. Kondisi ini dapat terjadi pada keadaan syok
berat/syok yang berkepanjangan dengan perdarahan, tetapi dapat juga
terjadi pada DBD yang tidak disertai syok yang disebabkan oleh
peradangan otak (ensefalitis) atau ensefalopati. Kedua keadaan ini harus
dipertimbangkan apabila pasien mengalami demam 2-7 hari disertai
adanya penurunan kesadaran da atau kejang, terutama apabila pasien
berasal dari daerah endemis dengue.

Ensefalitis telah dilaporkan dalam sejumlah seri kasus dengue, diduga


virus dengue dapat menembus sawar darah otak. Hal ini dibuktkan dengan
banyak peneliti yang berhasil mengisolasi virus dengue dari cairan
serebrospinal atau dari jaringan otak dalam beberapa tahun terakhir ini.
Ensefalopati terutama berupa hepatoseluler0ensefalopati, namun dapat
pula menjadi penyebab perubahan status mental pasien. Kejang terjadi
akibat hipoksia pada penurunan perfusi di korteks serebri, atau edema otak

37
akibat kebocoran vascular di jaringan otak. Ensefalopati dengue bersifat
sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh thrombosis
pembuluh darah otak temporer akibat dari koagulasi intravascular
diseminata.

Untuk memastikan terjadinya ensefalopati SSD, maka syok harus diatasi


terlebih dulu. Apabila syok teratasi, maka evaluasi kembali kesadaran
pasien. Pungsi lumbal dikerjakan apabila syok telah teratasi dan kesadaran
tetap menurun (hati-hati apabila trombosit <50.000/uL). Pada ensefalopati
dengue dapat dijumpai peningkatan kadar transaminase (SGOT/SGPT), PT
dan APTT memanjang, kadar gula menurun, alkalosis, dan hiponatremia
(apabila mungkin periksa kadar amoniak darah).

Perdarahan masif (massive bleeding)


Perdarahan pada infeksi dengue dapat ringan sampai berat yang kadang
memerlukan perawatan kedaruratan. Perdarahan hebat umumnya akibat
KID dan gagal multiorgan seperti disfungsi hati dan ginjal, hipoksia yang
berhubungan dengan syok yang berat dan berkepanjangan, asidosis
metabolik yang disertai dengan trombositopenia. Adanya aktivasi
koagulasi yang luas menyebabkan pembentukan fibrin intravascular dan
oklusi pembuluh darah kecil yang mengakibatkan timbulnya thrombosis.
Peningkatan penggunaan trombosit pada KID menyebabkan makin
menurunnya jumlah trombosit dan faktor pembekuan sehingga memicu
perdarahan hebat.

Perdarahan berat pada infeksi degue umumnya terjadi pada saluran cerna
berupa hematemesis, hematokezia, dan melena. Hematemesis adalah
muntah darah yang secara klinis tampak sebagai muntah darah segar
kemerahan atau coklat-kehitaman. Melena adalah tinja yang berwarna
hitam, sedangkan hematokezia adalah keluarnya darah segar dari anus
bercampur tinja. Perdarahan samar pada saliran cerna yang terjadi bersama
dengan hemokonsentrasi umumnya sulit untuk didiagnosis. Adanya
perdarahan internal atau tersamar pada saluran cerna harus dicurigai
apabila setelah evaluasi klinis dan pemberian cairan yang adekuat, namun
terjadi kondisi sebagai berikut.

38
Pasien dengan syok refrakter (syok yang tidak berhasil diatasi dengan
pedoman syok pada umumnya), dan memiliki hemoglobin dan hematokrit
rendah atau penurunan hemoglobin dan hematokrit
Pasien dengan tekanan sistolik dan diastolik yang meningkat atau normal
namun denyut nadi masih cepat
Pasien dengan penurunan hematokrit lebih dari 10% selama pemberian cairan

Infeksi ganda (dual infections)


Di daerah endemik terdapat laporan infeksi dengue terjadi bersamaan dengan
infeksi dengue terjadi bersamaan dengan infeksi lain seperti diare akut,
pneumonia, campak, cacar air, demam tifoid, infeksi saluran kemih,
leptospirosis, dan malaria. Jika pasien infeksi dengue masih mengalami
demam setelah fase kritis dan syok terlewati, maka sumber infeksi lainnya
harus segera dicari atau penyebab lain misalnya, infeksi yang terjadi sebelum
masuk rumah sakit, yaitu infeksi saluran cerna infeksi saluran pernapasan,
misalnya pneumonia, infeksi salah satu , infeksi kulit, dan infeksi lainnya.
Healthcare associated infection, yaitu tromboflebitis, pneumonia, infeksi
saluran kemih (akibat pemasangan kateter urin), dan sepsis

Kelainan ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal syok, sebagai
akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat dijumpai sindrom
uremik hemolitik walaupun jarang. Untuk mencegah gagal ginjal maka
setelah syok diatasi dengan mengisi volume intravascular, penting
diperhatikan apakah benar syok telah teratasi dengan baik. Dieresis
merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui
apakah syok telah teratasi. Dieresis diusahakan >1 mL/kgBB/jam. Oleh
karena jika syok belum teratasi dengan baik, sedangkan volume cairan telah
dikurangi dapat terjadi acute kidney injury (AKI), ditandai penurunan jumlah
urin, dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.

Miokarditis
Disfungsi kontraktilitas miokardium dapat terjadi pada pasien infeksi dengue
yang mengalami syok berkepanjangan. Penyebabnya terutama adalah asidosis
metabolik, hipokalsemia, dan kardiomiopati. Sehingga tata laksana pada

39
keadaan ini selain memberikan obat-obatan untuk miokarditis, juga segera
koreksi asidosis dan hipokalsemia. Miokarditis jarang didapatkan dan pada
umumnya bukan sebagai penyebab kematian pasien infeksi dengue. Beberapa
pasien dengan edema paru atau kelebihan cairan dapat mengalami
miokarditis, sehingga jika didapat kecurigaan terhadap miokarditis,
pemberian cairan harus berhati-hati.

KRITERIA DIAGNOSIS INFEKSI DENGUE

Kriteria diagnosis infeksi dengue dibagi menjadi kriteria diagnosis klinis dan
kriteria diagnosis laboratoris. Kriteria diagnosis klinis penting dalam penapisan
kasus, tatalaksana kasus, memperkirakan prognosis kasus, dan surveilans. Kriteria
diagnosis laboratoris yaitu kriteria diagnisis dengan konfirmasi laboratorium yang
penting dalam pelaporan, surveilans, dan langkah-langkah tindakan preventif dan
promotif (IDAI, 2014).

 Kriteria Diagnosis Klinis


Berdasarkan petunjuk klinis dibuat kriteria diagnosis klinis, yang terdiri
dari diagnosis klinis demam dengue (DD), demam berdarah dengue
(DBD), demam berdarah dengue dengan syok (sindrom syok
dengue/SSD), dan expanded dengue syndrome (unusual manifestation).

 Diagnosis Klinis Demam Dengue



Demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-
menerus, bifasik.

Manifestasi perdarahan spontan seperti ptekie, purpura,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan
atau melena, maupun berupa uji tourniquet positif.

Nyeri kepala, mialga, atralgia, nyeri retroorbital.

Dijumpai kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah,
atau di sekitat rumah.

Leukopenia <4.000/mm3

Trombositopenia <100.000/mm3

40
Apabila ditemukan gejala demam ditambah dengan adanya dua
atau lebih dari tanda dan gejala lain diagnosis klinis demam
dnegue dapat ditegakkan.

 Diagnosis Klinis Demam Berdarah Dengue


 Demam 2-7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-
menerus, bifasik.
 Manifestasi perdarahan spontan seperti ptekie, purpura,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan
atau melena, maupun berupa uji tourniquet positif.
 Nyeri kepala, mialga, atralgia, nyeri retroorbital.
 Dijumpai kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah,
atau di sekitat rumah.

Hepatomegali

Terdapat kebocoran plasma yang ditandai dengan salah satu
tanda/gejala:
o Peningkatan nilai hematokrit, >20% dari
pemeriksaan awal atau dari data populasi menurut
umur
o Ditemukan adanya efusi pleura, asites
o Hipoalbuminemia, hipoproteinemia

Trombositopenia <100.000/mm3
Demam disertai dengan dua atau lebih manifestasi klinis,
ditambah bukti perembesan plasma dan trombositopenia cukup
untuk menegakkan diagnosis DBD.

Tanda bahaya (warning sign) untuk mengantisipasi


kemungkinan terjadinya syok pada penderita DBD sebagai
berikut:
 Klinis
 Demam turun tetapi keadaan anak memburuk
 Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen

41
 Muntah yang menetap
 Letargi, gelisah
 Perdarahan mukosa
 Pembesaran hati
 Akumulasi cairan
 Oliguria
 Laboratorium
 Peningkatan kadar hematokrit bersamaan
dengan penurunan cepat jumlah trombosit
 Hematokrit awal tinggi

 Diagnosis Klinis Demam Berdarah Dengue dengan Syok (SSD)


 Memenuhi kriteria diagnosis DBD
 Ditemukan tanda dan gejala syok hipovolemik baik
terkompensasi maupun dekompensasi
 Syok Terkompensasi
 Takikardia
 Takipnea
 Tekanan nadi (perbedaan antara sistolik dan
diastolik) <20 mmHg
 Waktu pengisian kapiler (Capillary refill
time/CRT) >2 detik
 Kulit dingin
 Produksi urin (urine output) menurun, <1
ml/kgBB/jam
 Anak gelisah
 Syok Dekompensasi
 Takikardia
 Hipotensi
 Nadi cepat dan kecil
 Pernapasan kusmaull atau hiperpnoe
 Sianosis

42
 Kulit lembab dan dingin
 Profound shock: nadi tidak teraba dan tekanan
darah tidak terukur

 Expanded Dengue Syndrome


Memenuhi kriteria DD atau DBD baik disertai syok maupun tidak,
dengan manifestasi klinis komplikasi infeksi virus dengue atau
dengan manifestasi klinis yang tidak biasa, seperti tanda dan
gejala:
 Kelebihan cairan
 Gangguan elektrolit
 Ensefalopati
 Ensefalitis
 Perdarahan hebat
 Gagal ginjal akut
 Haemolitic Uremic Syndrome (HUS)
 Gangguan jantung: gangguan konduksi, miokarditis,
perikarditis
 Infeksi ganda

 Kriteria Diagnosis Laboratoris


Kriteria diagnosis laboratoris diperlukan untuk surveilans epidemiologi,
terdiri atas:
 Probable dengue, apabila diagnosis klinis diperkuat oleh hasil
pemeriksaan serologi anti dengue
 Confirmed dengue, apabila diagnosis klinis diperkuat dengan
deteksi genome virus dengue dengan pemeriksaan RT-PCR,
antigen dengue pada pemeriksaan NS1, atau apabila didapatkan
serokonversi pemeriksaan IgG dan IgM (dari negatif menjadi
positif) pada pemeriksaan serologi berpasangan.

43
TATALAKSANA INFEKSI DENGUE

Tata laksana Rawat Jalan Demam Dengue


Pasien DD yang tidak memiliki komorbiditas dan indikasi social,
diperlakukan sebagai pasien rawat jalan. Pasien diberi pengobatan
simtomatik berupa antipiretik seperti parasetamol dengan dosis 10-15
mg/kgBB/dosis yang dapat diulang 4-6 jam bila demam. Hindarkan
pemberian antipiretik berupa asetil salisilat, antiinflamasi nonsteroid (non-
steroid anti-inflammatory drug/NSAID) seperti ibuprofen. Upaya
menurunkan demam dengan metode fisik seperti kompres diperbolehkan,

44
yang dianjurkan adalah dengan cara “kompres hangat” (diseka dengan air
hangat suam kuku/tepid sponge). Anak dianjurkan cukup minum, boleh air
putih atau the, namun lebih baik juka diberikan cairan yang mengandung
elektrolit seperti jus buah, oralit, atau air tajin. Tanda kecukupan cairan
adalah diuresis setiap 4-6 jam.

Pasien diharuskan untuk kembali berobat (kontrol) setiap hari hal ini
mengingat tanda dan gejala DBD pada fase awal sangat menyerupai DD,
tanda dan gejala yang karakteristik baru timbul setelah beberapa hari
kemudian. Oleh karena itu pada pasien dengan diagnosis klinis DD yang
ditegakkan pada saat masuk, baik yang kemudian diperlakukan sebagai
pasien rawat jalan maupun rawat inap, masih memerlukan evaluasi lebih
lanjut apakah hanya DD atau merupakan DBD fase awal. Pasien DD,
walaupun kecil mempunyai kemungkinan untuk mengalami penyulit
seperti dehidrasi akibat asupan yang kurang missal karena timbul muntah,
perdarahan berat atau bahkan expanded dengue syndrome. Dengan kontrol
setiap hari dapat diketahui pasien hanya menderita DD, DD dengan
penyulit atau DBD. Tata laksana pasien di rumah harus disampaikan
kepada orang tua denga jelas, sebaiknya dalam bentuk tertulis. Untuk
mengantisipasi kemungkinan pasien menderita DD dengan penyulit atau
DBD yang mungkin timbil selama rawat jalan, orang tua diminta untuk
memantau kondisi anak, bila ditemukan tanda bahaya (warning signs)
harus segera kembali ke rumah sakit tanpa harus menunggu keesokan
harinya.

Tata laksana pasien rawat inap demam berdarah dengue


Tata laksana yang tepat dan segera mengurangi morbiditas dan mortalitas
DBD, terapi yang berlebihan seperti kelebihan cairan (fluid overload) akan
memperberat keadaan sakit. Pengobatan DBD bersifat simtomatis dan
suportif, terapi suportif berupa penggantian cairan yang merupakan pokok
utama dalam tata laksana DBD.
Berbeda dengan DD, pada DBD terjadi kebocoran plasma yang apabila
cukup banyak maka akan menimbulkan syok hipovolemi (demam berdarah
dengan syok/sindrom syok dengue) denan mortalitas yang tinggi. Dengan

45
demikian penggantian caira ditujukan untuk mencegah timbulnya syok.
Perembesan plasma terutama terjadi saat suhu tubuh turun. Pemeriksaan
nilai hematokrit merupakan indicator sensitive untuk mendeteksi derajat
perembesan plasma, sehingga jumlah cairan yang diberikan harus
disesuaikan dengan hasil pemeriksaan hematokrit. Peru diperhatikan
bahwa kebocoran plasma pada demam berdarah dengue bersifat
sementara, sehingga pemberian cairan jumlah banyak dan jangka waktu
lama dapat menimbulkan kelebihan cairan dengan segala akibatnya.

Terapi simtomatis diberikan terutama untuk kenyamanan pasien, seperti


pemberian antipiretik dan istirahat.

Penggantian cairan
 Jenis cairan
Cairan kristaloid isotonik merupakan cairan pilihan untuk pasien
DBD. Tidak dianjurkan pemberian cairan hipotonik seperti NaCl
0,45% kecuali bagi pasien usia <6 bulan. Dalam keadaan normal
setelah satu jam pemberian cairan hipotonis, hanya 1/12 volume
yang bertahan dalam ruang intravaskular sedangkan cairan isotonis
¼ volume yang bertahan, sisanya terdistribusi ke ruang intraselular
dan ekstraselular. Pada keadaan permeabilitas yang meningkat
volume cairan yang bertahan akan semakin berkurang sehingga
lebih mudah terjadi kelebihan cairan pada pemberian cairan
hipotonis. Cairan koloid hiperonkotik (osmolaritas >300 Osm/L)
seperti dextran 40 atau HES walaupun lebih lama bertahan dalam
ruang intravascular namun memiliki efek samping seperti alergi,
mengganggu fungsi koagulasi, dan berpotensi mengganggu fungsi
ginjal. Jenis cairan ini hanya diberikan pada 1) perembesan plasma
massif yang ditujukan dengan nilai hematokrit yang makin
meningkat atau tetap tinggi sekalipun telah diberi cairan kristaloid
yang adekuat, atau 2) pada keadaan syok yang tidak berhasil
dengan pemberian bolus cairan kristaloid yang kedua. Cairan
koloid iso onkotik kurang efektif.

46
Pada bayi <6 bulan diberikan cairan NaCl 0,45% atas dasar
pertimbangan fungsi fisiologi yang berbeda dengan anak yang
lebih besar.

 Jumlah cairan
Volume cairan yang diberikan disesuaikan denga berat badan,
kondisi klinis dan temuan laboratorium. Pasien dengan obesitas,
pemberian jumlah cairan harus hati-hati karena mudah terjadi
kelebihan cairan, perhitungan cairan sebaiknya berdasarkan berat
badan ideal. Pada DBD terjadi hemokonsentrasi akibat kebocoran
plasma >20%, oleh karena itu jumlah cairan yang diberikan
diperkirakan sebesar kebutuhan rumatan (maintenance) ditambah
dengan perkiraan deficit cairan 5%. Pemberian cairan dihentikan
bila keadaan umum stabil dan telah melewati fase kritis, pada
umumnya pemberian cairan dihentikan setelah 24-48 jam keadaan
umum stabil.

Tabel . Kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ideal


BB ideal (kg) Rumatan (mL) Rumatan + Defisit
5% (mL)
5 500 750
10 1000 1500
15 1250 2000
20 1500 2500
25 1600 2850
30 1700 3200

Tabel . Kecepatan pemberian cairan


Jumlah cairan Kecepatan (mL/kgBB/jam)
½ rumatan 1,5
Rumatan 3
Rumatan + deficit 5% 5
Rumatan + deficit 7% 7
Rumatan + deficit 10% 10

 Antipiretik

47
Parasetamol 10-15mg/kgBB/kali diberikan apabila suhu >38oC
dengan interval 4-6 jam, hindari pemberian
aspirin/NSAID/ibuprofen. Berikan kompres hangat.

 Nutrisi
Apabila pasien masih bisa minum, dianjurkan minum yang cukup
terutama minum cairan yang mengandung elektrolit.

Pemantauan
 Selama perawatan pantau keadaan umum pasien, nafsu makan,
muntah, perdarahan, dan tanda peringatan (warning signs)
 Perfusi perifer, harus sering diulang untuk mendeteksi awal gejala
syok
 Tanda-tanda vital, seperti suhu, frekuensi nadi, frekuensi napas,
dan teanan darah harus dilakukan setiap 2-4 jam sekali
 Pemeriksaan hematokrit awal dilakukan sebelum resusitasi atau
pemberian cairan intravena (sebagai data dasar), diupayakan
dilakukan setiap 4-6 jam sekali
 Volume urin perlu ditampung minimal 8-12 jam
 Diupayakan jumlah urin ≥1,0 mL/kgBB/jam (BB diukur
berdasarkan BB ideal)
 Pada pasien dengan risiko tinggi, misalnya obesitas, ayi, ibu hami,
komorbid (diabetes mellitus, hipertensi, thalassemia, sindrom
nefrotik, dan lain-lain) diperlukan pemeriksaan laboratorium atas
indikasi
 Pantau: darah perifer lengkap, kadar gula darah, uji fungsi hati, dan
system koagulasi sesuai indikasi
 Apabila diperlukan pemeriksaan radiologi untuk mendeteksi
adanya efusi pleura, pemeriksaan yang diminta adalah foto
radiologi dengan posisi lateral kanan dekubitus (right lateral
dicubitus)
 Pantau golongan darah
 Pemeriksaan lain atas indikasi, misalnya ultrasonografi abdomen,
EKG, dan lainnya

Tata laksana sindrom syok dengue


Syok pada infeksi dengue merupakan syok hipovolemik akibat terjadi
perembesan plasma, fase awal berupa syok terkompensasi dan fase
selanjutnya dekompensasi. Diagnosis dini syok terkompensasi disertai

48
denga pengobatan yang cepat dan tepat mempunyai prognosis yang jauh
lebih baik dibanding apabila pasien sudah jatuh ke dalam fase syok
dekompensasi. Prinsip utama tata laksana SSD adalah pemberian cairan
yang cepat dengan jumlah yang adekuat. Selain itu bila ditemukan faktor
komorbid dan penyulit seperti hipoglikemia dan gangguan asam basa,
gangguan elektrolit harus diobati segera.

Tatalaksana sindrom syok dengue terkompensasi


Pasien yang mengalami syok terkompensasi harus segera mendapat
pengobatan sebagai berikut:
 Berikan terapi oksigen 2-4 L/menit
 Berikan resusitasi cairan dengan cairan kristaloid isotonic intravena
dengan jumlah cairan 10-20 mL/kgBB dalam waktu 1 jam. Periksa
hematokrit.
 Bila syok teratasi, berikan cairan dengan dosis 10 mLkgBB/jm
selama 1-2 jam
 Bila keadaan sirkulasi tetap stabil, jumlah cairan dikurangi secara
bertahap menjadi 7,5, 5, 3, 1,5 mL/kgBB/jam. Pada umumnya
setelah 24-48 jam pasca resusitasi, cairan intravena sudah tidak
diperlukan. Pertimbangkan untuk mengurangi jumlah cairan yang
diberikan secara intravena bila masukan cairan melalui oral makin
membaik.
 Bila syok tidak teratasi, periksa analisis gas darah, hematokrit,
kalsium dan gula darah untuk menilai kemungkinan adanya A-B-C-S
(A=asidosis, B=bleeding/perdarahan, C=calcium, S=sugar/gula
darah) yang memperberat syok hipovolemik. Apabila salah satu atau
beberapa kelainan tersebut ditemukan, segera lakukan koreksi.

Pemeriksaan laboratorium A-B-C-S


Singkatan Pemeriksaan Keterangan
Laboratorium
A – Acidosis Analisis gas darah Indikasi apabila terjadi
prolonged shock
Apabila terdapat
keterlibatan organ,
periksa: fungsi hati dan

49
BUN, kreatinin
B – Bleeding Hematokrit Apabila Ht menurun
dibandingkan
pemeriksaan
sebelumnya atau tidak
meningkat, segera
periksa golongan darah
untuk persiapan
transfuse
C – Calcium Elektrolit, Ca++ Hipokalsemia terjadi
hamper semua pasien
DD namun
asimtomatik.
Pemberian Ca
diperlukan pada kasus
berat atau dengan
komplikasi. Dosis 1
mg/kgBB dilarutkan
dua kali, diberikan
secara intravena
perlahan-lahan (apabila
diperlukan dapat
diulang setiap 6 jam),
kalsium glukonas
maksimal 10 mL.
S – Blood Sugar Gula darah, destrostix Kasus DBD berat,
nafsu makan
menghilang apalagi
disertai muntah; atau
adanya gangguan
fungsi hati akan
menyebabkan
hipoglikemia. Namun

50
beberapa kasus dapat
terjadi hiperglikemia.

Asidosis
Asidosis yang berat terutama terjadi pada syok yang berkepanjanga
(prolonged shock). Hal ini menimbulkan eksaserbasi hipotensi, gangguan
kontraktilitas otot jantung dan mudah terjadi aritmia bahkan sampai henti
jantung, selain itu akan menurunkan respons kardiovaskular terhadap
katekolamin.
Dengan perkataan lain, asidosis yang tidak segera dikoreksi akan
memmperberat syok hipovolemik.

Perdarahan berat dapat menimbulkan atau memperberat syok hipovolemik.


Tanpa pemberian transfusi akan menimbulkan oksigenisasi jaringan yang
tidak adekuat, menimbulkan hipoksia jaringan sehingga dapat
menyebabkan asidosis dan hal lain yang mempersulit upaya mengatasi
syokhipovolemik. Perdarahan dapat terlihat nyata seperti hematemesis dan
melena, namun dapat tersembunyi (occult/concealed bleeding) yang pada
umumnya terjadi di dalam rongga usus. Sebelum feses yang berwarna
hitam keluar pertama kali, perdarahan usus sulit diketahui. Rasa tidak enak
di perut, distensi perut, penurunan peristaltic/bising usus dapat meupakan
tanda adanya perdarahan tersembunyi di rongga usus. indikator lain
adanya perdarahan adalah melalui pemeriksaan hematokrit berkala. Pada
keadaan syok, hematokrit diperiksa pada saat masuk, setelah resusitasi
cairanm selanjutnya tiap 4-6 jam. Bila pada pemeriksaan selanjutnya
hematokrit menurun atau bila pada pemeriksaan awal hematokrit tidak
tinggi namun disertai kondisi hemodinamik yang tidak stabil, harus
dicurigai adanya perdarahan. Transfusi dapat berupa darah segar (fresh
whole blood) dengan dosis 10 mL/kgBB atau fresh packed red cell dengan
dosis 5 mL/kgBB.

Kalsium pada umumnya menurun pada setiap pasien DBD walaupun


umumnya tidak memberikan gejala. Kalsium berperan penting untuk
kontraktilitas otot jantung. Disfungsi jantung tidak jarang ditemukan pada

51
anak yang mengalami sakit berat, sehingga respons terhadap resusitasi
cairan menjadi kurang atau tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kalsium
glukonat diberikan dengan dosis 1 mg/kgBB dilarutkan dua kali, diberikan
secara intravena perlahan-lahan (apabila diperlukan dapat diulang setiap 6
jam), dosis maksimal 10 mL.
Hipoglikemia disebabkan asupan yang rendah akibat nafsu makan yang
menghilang dan atau muntah. Selain itu adanya gangguan fungsi hati akan
menyebabkan hipoglikemia pula. Namun pada beberapa kasus dapat
terjadi hiperglikemia. Hipoglikemia yang tidak dikoreksi dapat
menimbulkan gangguan kesadaran, kejang, aritmia, bahkan henti jantung
seingga akan mempersulit upaya dalam mengatasi syok. Hipoglikemia
merupakan keadaan darurat medis dan harus segera dikoreksi dengan
larutan glukosa dengan dosis glukosa 0,5-1,0 g/kgBB diberikan secara
bolus.

Apabila hematokrit masih tetap tinggi atau meningkat, berikan bolus


kedua. Sebaiknya dipilih larutan koloid dengan jumlah cairan 10-20
mL/kgBB dalam waktu 10.20 menit, apabila tidak ada dapat diberikan
larutan kristaloid isotonic. Walaupun tidak ditemukan perdarahan tetapi
keadaan klinis tidak membaik, pertimbangkan pemberian transfusi.

Apabila syok teratasi, pertahankan jumlah cairan 10 mL/kgBB/jam selama


1-2 jam, setelah itu jenis cairan diganti degan larutan kristaloid dengan
jumlah cairan dikurangi secara bertahap menjadi 7,5, 5, 3, 1,5
mL/kgBB/jam. Pada umumnya dalam waktu 24-48 jam setelah syok
teratasi pemberian cairan inravena sudah tidak diperlukan lagi. Namun
apabila tidak teratasi, pasien dapat jatuh ke dalam profound shock, maka
seringkali diperlukan bantuan napas buatan dan pemberian obat notropik,
dan memerlukan perawatan di unit perawatan intensif.

Tata laksana sindrom syok dengue dekompensasi


Syok dekompensasi memerlukan tindaka yang cepat dan segera,
pertolongan terlambat akan mengakibatkan pasien jatuh ke dalam kondisi
profound shock yang mempunyai prognosis buruk. Apabila pasien saat
berobat sudah dalam syok dekompensasi, baik yang masih dalam fase

52
hipotensif meupun yang sudah jatuh ke dalam profound shock, diberi
pengobatan sebagai berikut.
 Berikan oksigen 2-4 L/menit
 Lakukan pemasangan akses vena, apabila dua kali gagal atau lebih
dari 3-5 menit, berikan cairan melalui prosedur intraosseus
 Berikan caira kristaloid dan/atau koloid 10-20 mL/kgBB secara
bolus dalam waktu 10-20 menit. Pada saat bersamaan usahakan
dilakukan pemeriksaan hematokrit, analisis gas darah, gula darah,
dan kalsium
 Apabila syok teratasi, berikan cairan kristaloid dengan dosis 10
mL/kgBB/jam selama 1-2 jam.
 Apabila keadaan sirkulasi tetap stabil, berikan larutan kristaloid
dengan jumlah cairan dikurangi secara bertahap menjadi 7,5, 5, 3,
1,5 mL/kgBB/jam. Pada umumnya setelah 24-48 jam pasca
resusitasi, cairan intravena sudah tidak diperlukan. Pertimbangkan
untuk mengurangi jumlah cairan melalui oral makin membaik.
 Apabila syok belum teratasi periksa ulang hematokrit, jika
hematokrit tinggi diberikan kembali bolus kedua. Koreksi apabila
asidosis, hipoglikemia atau hipokalsemua.
 Bila hematokrit rendah atau normal dan ditemukan tanda
perdarahan massif, berikan transfusi darah segar (fresh whole
blood) dengan dosis 10 mL/kgBB atau fresh packed red cell
dengan dosis 5 mL/kgBB. Jika nilai hematokrit rendah atau turun
namun tidak ditemukan tanda perdarahan berikan bolus kedua,
apabila tidak membaik pertimbangkan peberian transfusi darah.
 Pada syok berat (prolonged shock recurrent shock, profound
shock), perdarahan massif, ensefalopati/ensefalitis, atau gagal
napas, yang sulit diatasi memerlukan perawatan di unit perawatan
intensif.

Pemantauan DBD dengan syok


o Setiap pasien DBD yang mengalami syok harus dilakukan
pemeriksaan berkala.
o Tanda vital setiap 15-30 menit, selanjutnya setiap jam apabila syok
sudah teratasi

53
o Analisis gas darah, gula darah, kalsium pada saat masuk rumah
sakit terutama pad apasien syok dekompensasi atau yang
mengalami syok yang berkepanjangan
o Hematokrit harus diperiksa sebelum pemberian cairan resusitasi
pertama dan kedua, selanjutnya setiap 4-6 jam
o Produksi urin harus ditampung dan diukur
o Apabila ditemukan gangguan fungsi organ atau system lain, seperti
ginjal, hati, ganggua pembekuan, dan jantung; periksa fungsi
ginjal, fungsi hati, fungsi koagulasi, dan EKG
o Perhatian khusus harus diberikan untuk kemungkinan terjadinya
edema paru akibat kelebihan cairan. Periksa keadaan respirasi
(napas cepat, napas cuping hidung, retraksi, ronki basah tidak
nyaring), peninggian tekanan vena jugularis (jugular venous
pressure/JVP), hepatomegali asites, efusi pleura. Edema paru jika
tidak diobati akan menimbulkan asidosis, sehingga pasien dapat
kembali jatuh ke dalam syok.
Tata laksana expanded dengue syndrome
o Tata laksana kelebihan cairan
 Pada keadaan kelebihan cairan perlu dinilai keadaan klinis,
dihitung kembali cairan yang telah diberikan, dan cek A-B-
C-S apakah telah dikoreksi.
 Turunkan jumlah cairan menjadi 1 mL/kgBB/jam, bila
tersedia cairan koloid, ganti kristaloid dengan cairan koloid.
 Pada stadium lanjut dengan tanda edema paru, furosemid 1
mg/kgBB/ dosis segera diberikan apabila tekanan darah
stabil serta kadar ureum dan kreatinin normal. Setelah
pemberian furosemid perlu dipantau setiap 15 menit untuk
menilai keberhasilan pengobatan.
 Ukur volume dieresis melalui kateter urin
 Apabila tidak ada perbaikan setelah pemberian furosemid,
periksa status volume intravascular (pemantauan CVP).
Apabila volume intravaskualr baik, pemberian furosemid
dapat diulang untuk kedia kalinya dengan dosis ganda.
Namun apabila masih terjadi oliguria maka harus segera

54
dilakukan dialysis, berarti pasien dalam keadaan gagal
ginjal akut, keadaan ini mempunyai prognosis yang buruk.
Apabila volume intravascular tidak adekuat maka cek A-B-
C-S dan koreksi gangguan keseimbangan elektrolit.

o Tata laksana gangguan elektrolit


Gangguan elektrolit sering terjadi selama fase kritis dan tersering
yaitu hiponatremia dan hipokalsemia. Sedangkan hipokalemia
sering pada fase konvalesens. Hiponatremia terjadi sebagai akibat
dari pemberian cairan hipotonis yang tidak adekuat. Apabila
terdapat kejang diberikan Natrium 3%, namun apabila tidak ada
kejang cukup diberikan cairan dekstrose 5%-NaCl 0,9%.

Hipokalsemia
Hipokalsemia disebabkan perembesa kalsium yang mengikuti
albumin masuk ke cairan pleura atau peritoneal. Direkomendasikan
diberikan kalsium glukonas 10% dengan dosis 1 mL/kgBB/dosis
(maksimum 10 mL) diencerkan dengan aquadest, diberikan setiap 6
jam hanya untuk kasus SSD dekompensasi atau pasien degan
kelebihan cairan. Tidak diperlukan pemberian kalsium untuk kasus
degue tanpa komplikasi dan tanpa gejala.

o Tata laksana ensefalopati


Ensefalopati dengue, paling sering berhubungan dengan gangguan
fungsi hati, namun dapat pula disebabkan oleh gangguan serebral
sekunder akibat syok, gangguan elektrolit, atau perdarahan
intracranial. Penyebab ensefalopati harus dicari dan diberi
pengobatan sesuai penyebab. Pada pasien ensefalopati harus
diperiksa kadar amoniak, enzim transaminase, pT, APTT, da
albumin untuk memantau fungsi hati. Kadar elektrolit harus
diperiksa dan segera dilakukan koreksi bila ditemukan kelainan.
Pemeriksaan radiologi kepala (CT-scan/MRI) direkomendasikan
untuk menyingkirkan perdarahan intracranial.

55
Tata laksana
 Mempertahankan oksigenasi dengan pemberian oksigen.
 Mencegah/mengurangi tekanan intracranial dengan cara
sebagai berikut.
 Berikan cairan intravena dengan volume yang dibatasi
(restriksi) tidak lebih dari 80% kebutuhan rumatan
 Ganti lebih cepat ke cairan koloid apabila nilai hematokrit
amsih tetap tinggi
 Pemberian diuretic segera ada kasus kelebihan cairan
 Posisi pasien dalam keadaan lebih tegak, posisi kepala 30
derajat lebih tinggi dari tubuh
 Intubasi dini bila diperlukan untuk mencegah hiperkarbia dan
mempertahankan jalan napas
 Steroid 0,15 mg/kBB/dosis intravena diberikan setiap 6-8 jam,
untuk mengurangi tekanan intracranial (apabila tidak ada
perdarahan)
 Mengurangi produksi amoniak dengan memberikan laktulosa
5-10 mL setiap 6 jam.
 Koreksi gangguan asam basa, ketidakseimbangan elektrolit
(hipo/hipernatremia, hipo/hiperkalemia, hipokalsemia), dan
asidosis. Vitamin K1 intravena 3 mg untuk umur <1 tahun, 5
mg untuk umur <5 tahun, dan 10 mg untuk umur >5 tahun atau
dewasa.
 Antikonvulsi diberikan untuk mengatasi kejang: fenobarbital,
dilantin, atau diazepam intravena.
 Apabila transfusi darah diperlukan, sebaiknya fresh red packed
cell. Komponen darah lain seperti suspense trombosit dan FFP
tidak dianjurkan karena menyebabkan kelebihan cairan dan
meningkatkan tekanan intracranial.
 Terapi antibiotik empiris dianjurkan apabila dicurigai terjadi
infeksi bakteri sekunder.
 Hindari pemberian obat-obatan yang tidak diperlukan oleh
karena pada umumnya obat dietabolisme di dalam hati.
 Plasmapheresis, hemodialisis, atau renal replacement therapy
diberikan pada pasien dengan ganguan ginjal.

56
o Tata laksana perdarahan massif
Apabila sumber perdarahan tampak secara klinis, segera lakukan
tindakan untuk menghentkannya, misalnya mimisan berat dapat
dihentikan dengan tamon nasal. Transfusi darah harus segera
diberikan, apabila kadar hematokrit menurun. Apabila volume
darah yang keluar dapat diukur maka ganti dengan volume yang
sama. Namun, apabila sulit diukur berikan darah segar 10
mL/kgBB atau 5 mL/kgBB fresh packed red cell, kemudian periksa
ulang 3 jam pasca transfusi untuk menentukan apakah diperlukan
transfusi lagi atau tidak. Pada perdarahan gastrointestinal,
pemberian H2 antagonis dan proton pump inhibitor, kurang efektif.
Tidak ada bukti nyata khasiat pemberian komponen darah seperti
suspensi trombosit, fresh frozen plasma, atau cryoprecipitate, akan
dapat menyebabkan sindrom kelebihan cairan. Pemberian
rekombinan faktor VII pada sebagian kasus dengan perdarahan
massif tanpa gagal organ memberi hasil baik, namun selain
harganya sangat mahal juga sulit didapat.

o Tata laksana gagal ginjal akut


Gagal ginjal akut dapat terjadi oleh karena hipoperfusi dalam SSD.
Plasmaferesis atau hemodialisis atau renal implacement therapy
dapat dilakukan pada pasien dengan keadaan gagal ginjal yang
semakin memburuk.
o Tata laksana sindrom gangguan pernapasan akut
Kerusakan pembuluh darah paru dapat mengakibatkan sindrom
gangguan pernapasan akut (acute respiratory distress
syndrome=ARDS) yang memerlukan ventilator. Kelebihan cairan
harus dihindari untuk mencegah edema paru

o Tata laksana ensefalitis dengue


Tata laksana umum ensefalitis virus meliputi pemantauan dan
pemeliharaan jalan napas dan oksigenasi yang memadai, hidrasi,

57
dan nutrisi. Pungsi lumbal dikerjakan bila syok teratasi, fase kritis
telah dilewati dan kesadaran tetap menurun (hati-hati bila trombosit
<50,000/uL). Kejang dapat dikontrol dengan obat antikonvulsi,
peningkatan tekanan intracranial dengan pemberian manitol, dan
steroid. Jika dicurigai kemungkinan terjadi infeksi sekunder oleh
bakteri maka antibiotik empiris esuai dengan antibiogram lokal
harus diberikan. Di daerah endemis, kemungkinan penyakit yang
dapat menimbulkan infeksi susunan saraf pusat seperti malaria
serebral, toksoplasmosis, HIV, tuberkulosis, dan Japanese-
ensefalitis, sudah harus disingkirkan.

o Tata laksana miokarditis


Disfungsi kontraktilitas miokardium dapat terjadi pada pasien DBD
yang megalami syok berkepanjangan. Pada umumnya disebabkan
oleh asidosis metabolic dan hipokalsemua. Sehingga tata laksana
miokarditis dengue selain memberikan obat-obatan untuk
miokarditis, juga segera koreksi asidosis dan hipokalsemua.
Miokarditis jarang didapatkan pada anak di bawah 10 tahun dan
pada umumnya tidak menyebabkan kematian pasien DBD. Namun
beberapa pasien dengan edema paru atau kelebihan cairan dapat
mengalami miokarditis. Sehingga jika kecurigaan terhadap
miokarditis terjadi pada pasien, pemberian caira harus berhati-hati.

o Tata laksana pasien dengan risiko tinggi


Obesitas, bayi, diabetes mellitus, ibu hamil, hipertensi, dalam terapi
antikoagulan, penyait hemolitik dan hemoglobinopati, penyakt
jantung bawaan dan kelainan jantung sistemik, serta pasien dalam
pengobatan steroid memperburuk prognosis demam berdarah
dengue.
Obesitas
Pasien obese mempunyai cadangan respirasi yang kurang
dibandingkan anak dengan berat badan ideal, pemberian cairan

58
harus hati-hati karena lebih mudah terjadi kelebihan cairan. Volume
cairan resusitasi dihitung berdasarkan kebutuhan sesuai berat badan
ideal.
Bayi
Bayi juga mempunyai cadangan respirasi yang kurang dan leih
rentan terhadap gangguan hati serta keseimbangan elektrolit. Pada
bayi pereembesan plasma berlangsung relative lebih pendek dan
pada umumnya memberikan respons yang cepat terhadap resusitasi
cairan. Oleh karena itu, pada bayi harus dilakukan pemantauan
yang lebih sering terhadap kemampuan minum dan jumlah diuresis,
bila minum seudah baik dan dieresis baik jumlah intravena harus
segera dikurangi.
Diabetes mellitus
Pada pasien DM yang mengalami infeksi dengue, pada umumnya
diperlukan pemberian insulin intravena. Cairan kristaloid yang
diberikan harus tidak mengandung glukosa.
Ibu hamil
Ibu hamil yang menderita infeksi dengue harus dirawat untuk
dilakukan pemantauan lebih ketat. Kerja sama antara dokter
spesialis kebidanan, spesialis anak, spesialis penyakit dalam, dan
dokter umum snagat diperlukan. Jumlah cairan yang diberikan pada
ibu hamil sama dengan ibu tidak hamil, dengan pedoman berat
badan sebelum hamil. Konseling terhadap keluarga harus diberikan
terutama bila keadaan umum memburuk.
Hipertensi
Pasien hipertensi umumnya sedang minum obat anti hipertensi, hal
ini menyamarkan respon kardiovaskular dalam keadaan syok. Oleh
karena itu diperlukan data dasar tekanan darah sehari-hari dalam
pengobatan anti hipertensi.
Terapi antikoagulan
Pada keadaan kritis, obat antikoagulan harus dihentikan
Penyakit hemolitik dan hemoglobinopati
Pasien hemolitik dan hemoglobinopati mempunyai risiko untuk
memperberat terjadinya hemolisis, maka sering kali memerlukan
transfusi darah. Perhatikan jangan sampai terjadi kelebihan cairan
dan hipokalsemia.
Penyakit jantung bawaan dan penyakit jantung iskemik

59
Pemberian cairan harus berhati-hati karena dapat menimbulkan
gagal jantung akibat kelebihan cairan
Pasien dalam pengobatan steroid
Kortikosteroid tetap diberikan, hanya rute pemberiannya diubah

Tata laksana pada fase pemulihan (recovery phase)


 Fase pemulihan ditandai dengan perbaikan klinis, nafsu makan membaik,
dan secara umum tamak membaik.
 Status hemodinamik dan perfusi perifer yang baik perlu dipantau dengan
baik.
 Didapatkan penurunan kadar hematokrit ke kadar basal dan volume urin
yang cukup.
 Pemberian cairan intravena tidak boleh dilanjutkan lagi untuk mencegah
kelebihan cairan karena pada fase pemulihan cairan dari ekstravaskular
kembali masuk ke dalam rongga intravascular.
 Pada pasien dengan efusi pleura yang luas dan asites, pada fase pemulihan
mudah terjadi kelebihan cairan, maka dapat diberikan furosemid untuk
mengurangi udem paru. Apabila efusi pleura hanya sedikit dan keadaan
umum baik, tidak perlu diberikan diuretika karena akan direabsorbsi
spontan.
 Mungkin terjadi hipokalemia yang disebabkan oleh stress dan dieresis,
perlu segera dikoreksi dengan pemberian buah yang kaya kalium atau
suplemen
 Tidak jarang dijumpai bradkardia, maka perlu pemantauan untuk
terjadinya penyulit yang jarang yaitu heart block atau ventricular
premature contraction.

Tanda-tanda penyembuhan
 Frekuensi nadi, tekanan darah, dan frekuensi napas stabil
 Suhu badan normal
 Tidak dijumpai perdarahan baik eksternal maupun internal
 Nafsu makan membaik
 Tidak dijumpai muntah maupun nyeri perut
 Volume urin cukup
 Kadar hematokrit stabil pada kadar basal
 Ruam konvalesens, ditemukan pada 20%-30% kasus.

60
Kriteria pulang rawat
 Tidak demam minimal 24 jam tanpa terapi antipiretik
 Nafsu makan membaik
 Perbaikan klinis yang jelas
 Jumlah urin cukup
 Minimal 2-3 hari setelah syok teratasi
 Tidak tampak distres pernapasan yang disebabkan efusi pleura atau asites
 Jumlah trombosit >50.000/mm3. Apabila mash rendah namun klinis baik,
pasien boleh pulang dengan nasihat jangan melakukan aktivitas yang
memudahkan mengalami trauma selama 1-2 minggu (sampai trombosit
normal). Pada umumnya apabila tidak ada penyulit atau penyakit lain yang
menyertai (misalnya idiopatik trombositopenia purpura=ITP), trombosit
akan kembali ke kadar normal dalam waktu 3-5 hari.

61
BAB III
ANALISIS KASUS

Apakah diagnosis pada kasus ini sudah tepat?


Ya, diagnosis pada kasus ini sudah tepat berdasarkan keluhan yang dirasakan
pasien yaitu demam 2-7 hari disertai mual, muntah, makan dan minum terganggu,
badan pegal-pegal, dan timbul bintik-bintik merah. Serta didapatkan leukopenia
dan trombositopenia pada pemeriksaan penunjang darah lengkap. Hal ini sesuai
dengan kriteria diagnosis demam dengue berdasarkan “Pedoman Diagnosis dan
Tatalaksana Infeksi Virus Dengue pada Anak, IDAI, 2014” seperti yang telah
disebutkan pada bab 2.

Apakah penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat


Pada kasus ini, pasien mendapatkan terapi dari 3 tempat yang berbeda;
puskesmas, IGD, dan bangsal alamanda. Berikut terapi dari puskesmas:

Injeksi Cefotaxime 500 mg/12 jam


Injeksi Ranitidin 1 amp/12 jam
Puyer Antasida + B6 3x1
Paracetamol syr 3x1 ¾ cth

Cefotaxime merupakan antibiotik golongan cephalosporin generasi III yang


diberikan pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Pada kasus ini, infeksi
disebabkan oleh virus, sehingga antibiotik seharusnya tidak diberikan pada pasien
ini. Antibiotik dapat diberikan apabila pasien memiliki penyakit ko-infeksi bakteri
seperti demam tifoid, dan lain-lain.

62
Prinsip penanganan demam dengue adalah simtomatis dan suportif. Di
puskesmas, pasien mendapatkan terapi simtomatis untuk mengatasi gejala nyeri
ulu hati yang dirasakan pasien berupa injeksi ranitidin 1 amp/12 jam, antasida 3 x
1, dan paracetamol sirup 3 x 1¾. Pada kasus ini, ranitidine yang didapat 1 ampul
= 25 mg/12 jam. Dosis ranitidine adalah 1 mg/kgBB/dosis setiap 6-8 jam.
Dengan berat badan anak 15 kg, maka dosis yang seharusnya adalah 15 mg x 3
atau 4 kali sehari. Paracetamol sirup yang didapat pasien adalah 3 x 1¾ cth,
dimana pada sediaan sirup 120 mg/5mL maka 1¾ cth adalah setara dengan 210
mg. Dosis parasetamol adalah 10-15 mg/kgBB/kali. Maka dosis yang diberikan
adalah tepat, karena masih dalam rentang dosis yang dianjurkan.

Selanjutnya pasien dirujuk ke RSAM dan di IGD pasien mendapatkan terapi


sebagai berikut:
IVFD RL 10 tetes per menit makro
Paracetamol syr 3x1 ¼ jika demam

Di IGD, pasien mendapatkan terapi yang sesuai dengan prinsip tata laksana
demam dengue, yaitu suportif dan simtomatis. Terapi suportif adalah pemberian
cairan, dimana pada kasus ini cairan yang digunakan adalah Ringer Lactate. Pada
pasien ini, belum terjadi perembesan plasma (plasma leakage) yang ditandai
dengan peningkatan hematokrit. Sehingga terapi cairan yang diberikan hanyalah
terapi rumatan yaitu sebesar 1250 cc/hari. Bila dihitung dengan rumus tetesan
infuse makro, maka didapatkan cairan RL yang didapat adalah 17 tetes per menit
makro. Maka, terapi cairan yang diberikan pada kasus ini belum sesuai.

Selain itu, pasien diberikan terapi simtomatis untuk mengatasi demam dengan
parasetamol sirup. Sama seperti yang didapatkan di puskesmas, paracetamol sirup
yang didapat pasien adalah 3 x 1¾ cth, dimana pada sediaan sirup 120 mg/5mL
maka 1¾ cth adalah setara dengan 210 mg. Dosis parasetamol adalah 10-15
mg/kgBB/kali. Maka dosis yang diberikan adalah tepat, karena masih dalam
rentang dosis yang dianjurkan.

63
Di ruang Alamanda, pasien diberikan terapi seperti yang telah didapatkan dari
IGD ditambahceftriaxone dan omeprazole. Pemberian antibiotic kurang tepat
karena pasien demam dengue tidak membutuhkan antibiotic. Pemberian
omeprazole juga kurang tepat, seharusnya pasien diberikan obat mual dan muntah
seperti domperidone untuk mengatasi keluhannya.

64
DAFTAR PUSTAKA

World Health Organization. Dengue Bulletin Volume 39, December 2016. India:

WHO Regional Office for South-East Asia; 2016.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi ke-2.
Jakarta: IDAI; 2008.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Tata Laksana Infeksi
Virus Dengue pada Anak. Jakarta: UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI; 2014.

World Health Organization. Comprenemsive Guidelines for Prevention and


Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Revised and Expanded
Edition. . India: WHO Regional Office for South-East Asia; 2011.

World Health Organization. Dengue: Guidelines for Diagnosis, Treatment,


Prevention, and Control. New Edition. France: WHO; 2009.

65

Anda mungkin juga menyukai