Analisis Jurnal
Dosen Pengampu: Arina Nurfianti S.Kep.,.Ns.,.M.Kep
Oleh :
Marina I1031171023
PEDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pneumonia adalah salah satu penyakit infeksi atau peradangan pada organ paru-paru
yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, ataupun parasite sehingga alveoli yang
bertanggungjawab menyerap oksigen dari atmosfer menjadi “inflame” dan terisi oleh
cairan.
Penyakit pneumonia seringkali diderita sebagian besar orang yang telah lanjut usia
(lansia) dan mereka yang memiliki penyakit kronis sebagai akibat rusaknya sistem
kekebalan tubuh. Namun pneumonia juga bisa mnyerang kaum muda yang bertubuh
sehat. Saat ini penyakit pneumonia merupakan pembunuh utama anak-anak di bawah usia
lima tahun (balita) di dunia. Angka kematian yang disebabkan oleh penyakit ini lebih
banyak dibandingkan oleh penyakit lain seperti AIDS, malaria, dan campak. Pneumonia
juga merupakan salah satu penyakit serius yang merenggut beribu-ribu warga yang
berusia tua setiap tahun. (Joko Suryo, 2010)
Kejadian pneumonia sangat tinggi di dunia, yaitu sekitar 15%-20%. Pneumonia juga
merupakan penyebab kematian nomor lima pada usia lanjut (Dahlan, 2014). Pada usia
lanjut angka kejadian pneumonia mencapai 25-44 kasus per 1000 penduduk setiap tahun
(Putri et al, 2014). Di Indonesia prevalensi kejadian pneumonia pada tahun 2013 sebesar
4,5%. Selain itu, pneumonia merupakan salah satu dari 10 besar penyakit rawat inap di
rumah sakit, dengan proporsi kasus 53,95% laki-laki dan 46,05% perempuan. Pneumonia
memiliki tingkat crude fatality rate (CFR) yang tinggi, yaitu 7,6%. Berdasarkan data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi pneumonia pada usia lanjut
mencapai 15,5% (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Ada berbagai macam pneumonia. Klasifikasi berdasarkan tempat asalnya
ditemukannya patogen penyebab pneumonia, dikenal dua jenis pneumonia yaitu
Community-Acquired Pneumonia (CAP) dan Hospital-Acquired Pneumonia (HAP)
termasuk diantaranya Health Care-Associated Pneumonia (HCAP) dan Ventilator-
Assosiated Pneumonia (VAP).
CAP didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi pada pasien yang tidak
mendapatkan perawatan inap rumah sakit atau fasilitas perawatan inap jangka pangjang
(panti) setidaknya lebih dari 14 hari setelah mulai munculnya tanda dan gejala
pneumonia.
Penanganan pengobatan pada penderita pneumonia tergantung pada tingkat
keparahan gejala yang timbul dan penyebab pneumonia itu sendiri. Pneumonia yang
disebabkan oleh bakteri akan diberikan pengobatan antibotik. Pengobatan harus benar-
benar lengkap sampai benar-benar tidak muncul lagi gejala atau hasil pemeriksaan X-ray
dan sputum tidak lagi menampakkan adanya bakteri pneumonia. Jika tidak, suatu saat
pneumonia akan kembali diderita.
Konsep penggunaan obat yang rasional dalam beberapa tahun belakangan telah
menjadi topik perbincangan dalam berbagai pertemuan tingkat nasional maupun
internasional. Berbagai penelitian mengenai keamanan dan keefektifan penggunaan obat
yang tidak rasional merupakan fenomena global (Ambwani, 2006).
Salah satu indikator penggunaan obat yang tidak rasional di suatu sarana pelayanan
kesehatan ialah angka penggunaan antibiotic (Hardon, 1992). Penggunaan antibiotika
secara tidak tepat dapat menimbulkan terjadinya peningkatan efek samping dan toksisitas
antibiotik, pemborosan biaya dan tidak tercapainya manfaat klinik yang optimal dalam
pencegahan maupun pengobatan penyakit infeksi, serta resistensi bakteri terhadap obat.
Resistensi dapat terjadi di rumah sakit dan berkembang di lingkungan masyarakat,
khusunya Streptococcus pneumoniae yang merupakan bakteri penyebab pneumonia.
B. Masalah Penelitian
Meneliti pengobatan yang efektif untuk pneumonia masyarakat dengan
mempertimbangan faktor resistensi bakteri terhadap antibiotik.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan epidemiologi CAP di
Denmark dan mengevaluasi prognosis pasien yang secara empiris diobati dengan
monoterapi penisilin-G / V.
BAB II
ANALISIS JURNAL DAN PEMBAHASAN
D. Analisis Jurnal
1. Judul Penelitian
Penicillin Treatment for Patients with Community-Acquired Pneumonia in Denmark:
a retrospective cohort study
Asal Institusi Penulis : Departemen Penyakit Paru dan Penyakit Menular, Rumah
Sakit Nordsjaellands, Dyrehavevej 29, 3400 Hillerød, Denmark. Department of
Infectious Diseases, Rumah Sakit Hvidovre, Kettegård Allé 30, 2650 Hvidovre,
Denmark. Pusat untuk Kualitas, Wilayah Selatan Denmark, P.V. Tuxensvej 3-5,
5500 Middelfart, Denmark. Lembaga Penelitian Kesehatan Daerah, Fakultas
Kesehatan, Universitas dari Denmark Selatan, Winsløwparken 19, 3, 5000 Odense C,
Denmark. Departemen Pengobatan Pernafasan, Pusat Medis Universitas Maastricht,
P.O. Box 58006202AZ Maastricht, Belanda. CAPNETZ Stiftung, Hannover Sekolah
Kedokteran, Carl-Neuberg-Str. 1, 30625 Hannover, Jerman. Universitas Kopenhagen,
Fakultas Kesehatan dan Ilmu Kedokteran, Blegdamsvej 3B, 2200 Kopenhagen,
Denmark.
6. Hasil Penelitian
Dari 1320 pasien Insiden CAP rumah sakit adalah 3,1 / 1000 penduduk. Usia rata-
rata adalah 71 tahun (IQR; 58-81) dan mortalitas di rumah sakit adalah 8%. Lama
pengobatan antibiotik rata-rata adalah 10 hari (IQR; 8–12). Secara total 45% diobati
dengan penisilin-G / V sebagai monoterapi empiris dan mereka tidak memiliki
mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang diobati dengan
antibiotik spektrum luas (OR 0,92, CI 95% 0,55-1,53). Pengobatan empiris dengan
penisilin spektrum kecil Pasien yang diobati dengan monoterapi penicillin-G / V
memiliki skor CURB-65 yang lebih rendah, komorbiditas yang lebih sedikit, admisi
yang lebih sedikit ke ICU dan mortalitas yang lebih rendah dalam analisis yang tidak
disesuaikan. Kami tidak menemukan hubungan antara monoterapi penicillin-G / V
dan mortalitas setelah disesuaikan untuk pembaur: skor CURB-65, jumlah
komorbiditas (0, 1 atau> 1), masuk ke ICU, dan usia.
Analisis subkelompok pasien yang diobati dengan monoterapi penicillin-G / V
menunjukkan bahwa pasien yang meninggal di rumah sakit dibandingkan dengan
korban yang lebih tua, 81 (IQR; 77-89) dibandingkan 70 (IQR; 56-80) tahun (p
<0,0001) dan lebih sering penghuni panti jompo, 32% berbanding 6% (p <0,0001).
Selanjutnya, mereka memiliki komorbiditas lebih banyak, 76% berbanding 53%
memiliki komorbiditas ≥ 1 (p = 0,002) dan skor CURB-65 yang lebih tinggi, 90%
berbanding 38% memiliki CURB-65 ≥ 2 (p <0,0001). Kami menemukan hasil yang
sama ketika melihat kematian 90 hari.
A. Kesimpulan
Penelitian dalam jurnal yang saya analisis ini mengungkapkan bahwa
penngobatan dengan penisilin- G / V sebagai monoterapi empiris lebih efektif
daripada antibiotik spektrum luas pada CAP. Dimana penisilin- G / V juga memiliki
tingkat resistensi yang rendah terhadap bakteri sehingga pada pengobatan jangka
panjang pemilihan antibiotik ini lebih aman.
B. Saran
Bagi perawat : sebaiknya perawat harus lebih rajin untuk mengapdate informasi-
informasi terbaru mengenai keefektifan antibiotik yang terbaik untuk pasien CAP
(community-Acquired Pneumonia) dan penyakit-penyakit lainnya.
Bagi peneliti : masih harus dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penisilin jenis
apa yang lebih efektif untuk pengobatan CAP dengan tingkat resistensi paling rendah
pada bakteri untuk pengobatan jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Llor et al. 2013. Efficacy of High Doses of Oral Penicillin Versus Amoxicillin in The
Treatment of Adult with Non-Severe Pneumonia Attended in The Communty: study
protocol for a randomized controlled trial. BMC Family Practice. 14:50
Solihati, Euis Novi, dkk. 2017. Studi Epidemiologi Deskriptif Kejadian Pneumonia
Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Langensari II Kota Banjar Jawa Barat.
Bagian Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Diponegoro. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 5 No. 5.