Anda di halaman 1dari 10

Tugas Terstuktur

Analisis Jurnal
Dosen Pengampu: Arina Nurfianti S.Kep.,.Ns.,.M.Kep

Oleh :

Marina I1031171023

Program Studi Ilmu Keperawatan


Fakultas Kedokteran
Universitas Tanjungpura
Pontianak
2018
BAB I

PEDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pneumonia adalah salah satu penyakit infeksi atau peradangan pada organ paru-paru
yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, ataupun parasite sehingga alveoli yang
bertanggungjawab menyerap oksigen dari atmosfer menjadi “inflame” dan terisi oleh
cairan.
Penyakit pneumonia seringkali diderita sebagian besar orang yang telah lanjut usia
(lansia) dan mereka yang memiliki penyakit kronis sebagai akibat rusaknya sistem
kekebalan tubuh. Namun pneumonia juga bisa mnyerang kaum muda yang bertubuh
sehat. Saat ini penyakit pneumonia merupakan pembunuh utama anak-anak di bawah usia
lima tahun (balita) di dunia. Angka kematian yang disebabkan oleh penyakit ini lebih
banyak dibandingkan oleh penyakit lain seperti AIDS, malaria, dan campak. Pneumonia
juga merupakan salah satu penyakit serius yang merenggut beribu-ribu warga yang
berusia tua setiap tahun. (Joko Suryo, 2010)
Kejadian pneumonia sangat tinggi di dunia, yaitu sekitar 15%-20%. Pneumonia juga
merupakan penyebab kematian nomor lima pada usia lanjut (Dahlan, 2014). Pada usia
lanjut angka kejadian pneumonia mencapai 25-44 kasus per 1000 penduduk setiap tahun
(Putri et al, 2014). Di Indonesia prevalensi kejadian pneumonia pada tahun 2013 sebesar
4,5%. Selain itu, pneumonia merupakan salah satu dari 10 besar penyakit rawat inap di
rumah sakit, dengan proporsi kasus 53,95% laki-laki dan 46,05% perempuan. Pneumonia
memiliki tingkat crude fatality rate (CFR) yang tinggi, yaitu 7,6%. Berdasarkan data
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi pneumonia pada usia lanjut
mencapai 15,5% (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Ada berbagai macam pneumonia. Klasifikasi berdasarkan tempat asalnya
ditemukannya patogen penyebab pneumonia, dikenal dua jenis pneumonia yaitu
Community-Acquired Pneumonia (CAP) dan Hospital-Acquired Pneumonia (HAP)
termasuk diantaranya Health Care-Associated Pneumonia (HCAP) dan Ventilator-
Assosiated Pneumonia (VAP).
CAP didefinisikan sebagai pneumonia yang terjadi pada pasien yang tidak
mendapatkan perawatan inap rumah sakit atau fasilitas perawatan inap jangka pangjang
(panti) setidaknya lebih dari 14 hari setelah mulai munculnya tanda dan gejala
pneumonia.
Penanganan pengobatan pada penderita pneumonia tergantung pada tingkat
keparahan gejala yang timbul dan penyebab pneumonia itu sendiri. Pneumonia yang
disebabkan oleh bakteri akan diberikan pengobatan antibotik. Pengobatan harus benar-
benar lengkap sampai benar-benar tidak muncul lagi gejala atau hasil pemeriksaan X-ray
dan sputum tidak lagi menampakkan adanya bakteri pneumonia. Jika tidak, suatu saat
pneumonia akan kembali diderita.
Konsep penggunaan obat yang rasional dalam beberapa tahun belakangan telah
menjadi topik perbincangan dalam berbagai pertemuan tingkat nasional maupun
internasional. Berbagai penelitian mengenai keamanan dan keefektifan penggunaan obat
yang tidak rasional merupakan fenomena global (Ambwani, 2006).
Salah satu indikator penggunaan obat yang tidak rasional di suatu sarana pelayanan
kesehatan ialah angka penggunaan antibiotic (Hardon, 1992). Penggunaan antibiotika
secara tidak tepat dapat menimbulkan terjadinya peningkatan efek samping dan toksisitas
antibiotik, pemborosan biaya dan tidak tercapainya manfaat klinik yang optimal dalam
pencegahan maupun pengobatan penyakit infeksi, serta resistensi bakteri terhadap obat.
Resistensi dapat terjadi di rumah sakit dan berkembang di lingkungan masyarakat,
khusunya Streptococcus pneumoniae yang merupakan bakteri penyebab pneumonia.

B. Masalah Penelitian
Meneliti pengobatan yang efektif untuk pneumonia masyarakat dengan
mempertimbangan faktor resistensi bakteri terhadap antibiotik.

C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan epidemiologi CAP di
Denmark dan mengevaluasi prognosis pasien yang secara empiris diobati dengan
monoterapi penisilin-G / V.
BAB II
ANALISIS JURNAL DAN PEMBAHASAN

D. Analisis Jurnal

1. Judul Penelitian
Penicillin Treatment for Patients with Community-Acquired Pneumonia in Denmark:
a retrospective cohort study

(pengobatan untuk pasien dengan Pneumonia Masyarakat Penicillin -Diakuisisi di


Denmark: studi kohort retrospektif)

2. Nama Peneliti, Tempat, Waktu Penelitian dan Waktu Publisher


Gertrud Baunbæk Egelund, Andreas Vestergaard Jensen, Stine Bang Andersen, Pelle
Trier Petersen, Bjarne Ørskov Lindhardt, Christian von Plessen, Gernot Rohde and
Pernille Ravn.
Penelitian dilakukan di Denmark antara 1 Januari 2011 hingga 30 Juni 2012. Waktu
publisher pada 20 April 2017.

3. Asal Institusi Penulis dan Publisher

Asal Institusi Penulis : Departemen Penyakit Paru dan Penyakit Menular, Rumah
Sakit Nordsjaellands, Dyrehavevej 29, 3400 Hillerød, Denmark. Department of
Infectious Diseases, Rumah Sakit Hvidovre, Kettegård Allé 30, 2650 Hvidovre,
Denmark. Pusat untuk Kualitas, Wilayah Selatan Denmark, P.V. Tuxensvej 3-5,
5500 Middelfart, Denmark. Lembaga Penelitian Kesehatan Daerah, Fakultas
Kesehatan, Universitas dari Denmark Selatan, Winsløwparken 19, 3, 5000 Odense C,
Denmark. Departemen Pengobatan Pernafasan, Pusat Medis Universitas Maastricht,
P.O. Box 58006202AZ Maastricht, Belanda. CAPNETZ Stiftung, Hannover Sekolah
Kedokteran, Carl-Neuberg-Str. 1, 30625 Hannover, Jerman. Universitas Kopenhagen,
Fakultas Kesehatan dan Ilmu Kedokteran, Blegdamsvej 3B, 2200 Kopenhagen,
Denmark.

Asal Institusi Publisher : Biomed Central

4. Desain dan Metode Penelitian


Kami melakukan penelitian kohort retrospektif termasuk semua pasien yang
dirawat dengan CAP ke satu daerah besar dan dua rumah sakit lokal yang lebih kecil
di Selandia Utara, Denmark. Masa penelitian adalah 1 Januari 2011 hingga 30 Juni
2012. Jumlah kasus yang dirawat di rumah sakit selama periode penelitian
menentukan ukuran sampel. Tiga rumah sakit menyediakan perawatan akut untuk
360.000 penduduk di wilayah tersebut dengan daerah perkotaan dan pedesaan dan
populasi yang secara demografis bervariasi secara sosial. Denmark memiliki asuransi
kesehatan universal yang mencakup semua perawatan akut termasuk penerimaan
rumah sakit.

5. Sampel atau Sasaran Penelitian


Kriteria inklusi adalah: Pasien dewasa ≥ 18 tahun dirawat di rumah sakit dengan
CAP. CAP didefinisikan sebagai infiltrasi baru pada rontgen toraks yang dinilai oleh
radiolog on-call dan setidaknya satu dari gejala berikut LRTI: batuk, ekspektasi
purulen, demam (≥38,3 ° C rektal atau ≥37,8 ° C aurikularis) atau bantuan paru-paru
patologis. Hanya pasien rawat inap yang dimasukkan dalam penelitian.
Kriteria eksklusi adalah: masuk rumah sakit selama 28 hari terakhir, tuberkulosis
aktif atau imunosupresi. Pasien diklasifikasikan sebagai imunosupresif jika mereka
telah menerima pengobatan dengan kortikosteroid (≥ 20 mg prednisolon-setara / hari>
14 hari), adalah HIV-positif, telah menerima kemoterapi kanker selama 28 hari
terakhir dan memiliki neutropenia (neutrofil granulosit <1000 / μl) atau imunosupresi
setelah transplantasi organ.

6. Hasil Penelitian
Dari 1320 pasien Insiden CAP rumah sakit adalah 3,1 / 1000 penduduk. Usia rata-
rata adalah 71 tahun (IQR; 58-81) dan mortalitas di rumah sakit adalah 8%. Lama
pengobatan antibiotik rata-rata adalah 10 hari (IQR; 8–12). Secara total 45% diobati
dengan penisilin-G / V sebagai monoterapi empiris dan mereka tidak memiliki
mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang diobati dengan
antibiotik spektrum luas (OR 0,92, CI 95% 0,55-1,53). Pengobatan empiris dengan
penisilin spektrum kecil Pasien yang diobati dengan monoterapi penicillin-G / V
memiliki skor CURB-65 yang lebih rendah, komorbiditas yang lebih sedikit, admisi
yang lebih sedikit ke ICU dan mortalitas yang lebih rendah dalam analisis yang tidak
disesuaikan. Kami tidak menemukan hubungan antara monoterapi penicillin-G / V
dan mortalitas setelah disesuaikan untuk pembaur: skor CURB-65, jumlah
komorbiditas (0, 1 atau> 1), masuk ke ICU, dan usia.
Analisis subkelompok pasien yang diobati dengan monoterapi penicillin-G / V
menunjukkan bahwa pasien yang meninggal di rumah sakit dibandingkan dengan
korban yang lebih tua, 81 (IQR; 77-89) dibandingkan 70 (IQR; 56-80) tahun (p
<0,0001) dan lebih sering penghuni panti jompo, 32% berbanding 6% (p <0,0001).
Selanjutnya, mereka memiliki komorbiditas lebih banyak, 76% berbanding 53%
memiliki komorbiditas ≥ 1 (p = 0,002) dan skor CURB-65 yang lebih tinggi, 90%
berbanding 38% memiliki CURB-65 ≥ 2 (p <0,0001). Kami menemukan hasil yang
sama ketika melihat kematian 90 hari.

7. Pembahasan dan Opini Mahasiswa


Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan akut parenkim
paru yang disebabkan oleh mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan parasite.
Community-Acquired Pneumonia (CAP) termasuk salah satu jenis dari pneumonia
yang masuk kedalam 3 penyakit yang menyebabkan kematian di dunia. Antibiotic
digunakan pada terapi pneumonia karena dapat menghambat pertumbuhan atau
membunuh bakteri penyebab infeksi.
Diagnosis CAP yaitu berdasarkan adanya gejala klinik dan didukung gambaran
radiologis paru (radiografi thoraks). Kriteria minimal untuk dapat mendiagnosis klinis
CAP adalah adanya infeksi akut paru yang didapat dari komunitas dan tidak didapat
di rumah sakit, dengan gambaran radiologis infiltrate paru, dan ditandai dua atau
lebih kelainan, diantaranya suhu badan lebih dari 37°C dengan atau tanpa menggigil;
leukositosis lebih dari 10.000/mm3; sputum purulent, lebih dari 23 neutrofil/LPB;
disertai dengan batuk, sesak napas, nyeri dada.
Cara penularan virus atau bakteri pneumonia sampai saat ini belum diketahui
pasti. Namun, ada beberapa hal yang memungkinkan seseorang beresiko tinggi
terserang penyakit pneumonia diantaranya adalah orang yang memiliki daya tahan
tubuh lemah (penderita HIVAIDS, penderita penyakit kronis, orang yang pernah atau
rutin menjalani kemoterapi, orang yang meminum obat golongan immunosuppressant
dalam waktu lama); perokok dan peminum alkohol; pasien yang berada di ruang
perawatan intensif (ICU/ICCU); menghirup udara yang tercemar polusi zat kimia;
pasien yang lama berbaring.
Pneumonia oleh mikroba cepat sekali memburuk. Oleh karena itu untuk
mengatasinya perlu diberikan antibiotic secara empiris, tanpa menunggu hasil
pemeriksaan bakteriologik. Terapi empiris diberikan dengan mempertimbangkan
kondisi-kondisi sebagai berikut, yaitu variabel utama yang mempengaruhi spectrum
mikroba penyebab pneumonia dan pemilihan antibiotic adalah derajat beratnya
penyakit pada presentasi/penampakkan awal; adanya kormobiditas; adanya faktor-
faktor tertentu dengan resiko pathogen yang telah resisten terhadap banyak obat atau
pathogen yang tidak lazim; meningkatnya prevalensi pathogen-patogen pada infeksi
saluran napas bawah yang resisten terhadap banyak obat terutama penisilin dan
makrolid, telah membuat para ahli melirik fluorokuinolon seperti levoflaksasin.
Keunggulan levoflaksasin apabila dibandingkan amoksisilin, seftriakson, sefuroksim
pada penderita pneumonia ternyata levoflaksasin lebih superior dari segi efektivitas.
Pneumonia yang didapat di masyarakat (CAP) adalah infeksi mematikan yang paling
sering terjadi di Eropa, dan masalah ekonomi yang besar, terutama karena sering
masuk rumah sakit. Kejadian yang dilaporkan berkisar dari 1,1 hingga 8:1000 dalam
studi yang berbeda. Infeksi saluran pernapasan bawah (LRTI), termasuk CAP, adalah
indikasi yang paling serinng untuk meresepkan antibiotik. Karena kesulitan
mendapatkan diagnosis mikrobilogi, pengobatan empiris jauh lebih umum daripada
pengobatan spesifik pathogen.
Streptococcus pneumonia adalah agen bakteri yang paling sering menyebabkan
infeksi saluran pernapasan, bakteri inilah yang paling umum menjadi penyebab
pneumonia yang didapat di masyarakat (CAP). Di beberapa negara Eropa, terutama
yang terletak di Eropa Utara, pneumonia diobati dengan penisilin V karena resistensi
dari pneumokokus ini terhadap antibiotik ini rendah.
Dari hasil penelitian pada jurnal utama menunjukkan 1320 pasien usia rata-rata 71
tahun dengan insiden CAP rumah sakit 3,1/1000 penduduk dan mortalitas di rumah
sakit adalah 8% dengan lama pengobatan antibiotik rata-rata adalah 10 hari yang
secara total 45% diobati dengan penisilin-G/V sebagai monoterapi empiris dan
mereka tidak memiliki mortalitas lebih tinggi dibanding dengan pasien yang diobati
dengan antibiotik spektrum luas. Pengobatan empiris dengan penisilin spektrum kecil
dengan monoterapi penisilin-G/V memiliki skor CURB-65 yang lebih rendah,
komorbiditas yang lebih sedikit, admisi yang lebih sedikit ke ICU dan mortalitas yang
lebih rendah dengan analisis yang tidak disesuaikan. Tidak ditemukan hubungan
antara monoterapi penisilin-G/ V dan mortalitas setelah disesuaikan untuk pembaur.
Analsis subkelompok pasien yang diobati dengan monoterapi penisilin-G / V
menunjukan bahwa pasien yang meninggal di rumah sakit dibanding dengan korban
yang lebih tua, 81 dibandingkan 70 tahun dan lebih sering penghuni panti jompo,
32% berbanding 6%. Selanjutnya mereka memiliki komorbiditas lebih banyak, 76%
berbanding 53% memilliki komorbiditas lebih dari sama dengan 1 dan skor CURB-65
yang lebih tinggi, 90% berbanding 38% memiliki CURB-65 ≥ 2. Ditemukan hasil
yang sama ketika melihat kematian 90 hari.
Dari 38 pasien yang menerima monoterapi dengan penisilin-G / V dan meninggal
di rumah sakit, 71% memiliki etiologi yang tidak diketahui. Dari 11 pasien yang
tersisa, 3 terinfeksi dengan Streptococcus spp. Rentan terhadap penisilin-G / V, 3
dengan Klebsiella pneumonia, 3 dengan Escherichia coli, 1 dengan Haemophilus
influenza, dan 1 dengan Moraxela cat arhalis. Dari 8 pasien yang tidak rentan
terhadap penisilin 3 memiliki skor CURB-65 lebih dari 2 dan monoterapi dengan
penisilin adalah pilihan antibiotik empiric yang tidak sesuai dengan pedoman. Satu
memiliki skor CURB-65 yang tidak diketahui karena data yang hilang.
Secara keseluruhan, penisilin-G / V tampak aman dalam kelompok pasien yang
benar, yaitu mereka yang dirawat dirumah sakit dengan CAP ringan sampai sedang
(CURB-65 < 3) dalam pengaturan dengan tingkat resisten yang rendah dari
Streptococcus pneumonia terhadap pensilin. Dalam memberikan pengobatan penting
untuk memastikan kepatuhan dengan pedoman tentang durasi pengobatan dan
validasi strategi untuk mengurangi durasi pengobatan untuk memanimalkan efek
samping yang tidak perlu.
Pada penelitian kuzman di Denmark, 85% sari 2.377 pasien terdaftar yang
mengidap CAP dengan indeks keparahan rendah CBR-65 diberikan terapi
moxifloxasin selama 10 hari sangat efektif. 96% pasien dalam populasi efikasi
membaik dan 93,2% sembuh dari infeksi selama penelitian tingkat keparahan infeksi
berubah dari “sedang” atau “berat” pada 91,8% pasien pada awal sampai “tidak ada
infeksi” atau “ringan” pada 95,5% pada kunjungan terakhir. Pada populasi keamanan
127 (4,9%) pasien mengalami efek samping yang timbul akibat pengobatan (TEAE)
dan 40 (1,54%) pasien memiliki TEAE serius, tidak satupun dari 40 pasien ini
meninggal. Hasil keamanan konsisten dengan profil moxifloxasin yang diketahui.
Pada penelitian ini dosis moxifloxasin yang direkomendasikan adalah 400 mg sekali
setiap jam, konsisten dengan Ringkasan Total Karakteristik Produk. Moxifloxasin
diberikan secara ekslusif sebagai terapi intravena atau terapi sekuensial yang terdiri
dari intevena diikuti oleh pemberian oral. Durasi terapi moxifloxasin yang
direkomendasikan untuk CAP dalam pedoman adalah 7 hingga 14 hari, tergantung
pada tingkat keparahan penyakit dan respon klinis. Penyembuhan infeksi dilaporkan
pada 93,2% pasien pada akhir terapi, dibandingkan dengan 5,2% yang tidak sembuh.
Tingkat penyembuhan pada pasien dengan infeksi ringan, sedang, atau berat masing-
masing adalah 94,3%, 94,6%, dan 89,6%.
Sama seperti pada penelitian jurnal utama, pada penelitian yang dilakukan Llor di
negara-negara eropa tentang kemanjuran penisilin dosis tinggi dengan amoksisilin
pada pengobatan CAP non-berat menunjukkan bahwa pemberian terapi dosis tinggi
antibiotik spektrum sempit (penisilin V) pada pasien dengan pneumonia non-berat
yang didapat di masyarakat tidak kurang efektif daripada dosis tinggi amoxicillin
pada pasien di bawah usia 65 tahun.
Dari sudut pandang mikrobiologis, pemberantasan bakteri dicapai ketika
konsentrasi antibiotik di atas 40-50% dari waktu antara interval dosis B-laktam.
Untuk galur yang resisten sebagian, direkomendasikan bahwa waktu ini di atas 60%.
Bioavailabilitas penisilin V sangat bervariasi mulai dari 25% dn 60%. Konsentrasi
penisilin yang diukur 1-3 jam setelah konsumsi kapsul vilinilinilin 250 mg yang
diminum empat kali sehari selama 3-4 hari. Menurut data dari Pusat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Eropa untuk tahun 2011, ketahanan terhadap pneumokokus
antara penisilin adalah 20,4% di Spanyol, 4,6% di Denmark, 3,4% di Norwegia dan
0,3% di Swedia. Formularium Nasional Inggris merekomendasikan dosis hingga 1
gram penisilin V setiap 6 jam.
Kenyataan bahwa penisilin sama efektifnya dengan amoxicillin pada pneumonia
yang didapat di masyarakat yang tidak rumit akan memiliki dampak sosioekonomi
yang cukup besar. Ini mungkin juga berdampak pada pengobatan infeksi saluran
pernapasan lainnya. Jika infeksi pernapasan yang paling berat (pneumonia) dengan
penisilin ditemukan seefektif dengan ᵦ-laktam spectrum luas, ini akan membantu
dalam mengadopsi penggunaan antibiotik yang lebih rasional dalam infeksi saluran
pernapasan. Baik jumlah antibiotik yang digunakan dan bagaimana mereka diguanaka
berkontribusi pada pengembangan resistensi. Penggunaan antibiotik spektrum luas
daripada spektrum sempit dikenal untuk mendukung resitensi dengan secara luas
menghilangkan flora yang rentan bersaing. Jika kemajuran penisilin sebanding untuk
pneumonia maka hal ini akan mendorong penggunaan antibiotik spektrum sempit. Di
sisi lain, penisilin V lebih murah sehingga akan membantu biaya obat untuk
pengobatan infeksi.
Menurut saya, keefektifan pengobatan pada pneumonia yang didapat di
masyarakat (CAP) menggunakan antibiotik tergantung pada keparahan dari
pneumonia it sendiri. Selain mengutamakan keefektifan khasiat dari obat kita juga
harus memperhatikan efek resistensi bakteri terhadap antibiotik karna itu juga sangat
berpengaruh pada keberhasilan pengobatan jangka panjang. Tidak hanya
memperhatikan jenis antibiotik yang akan digunakan, akan tetapi kepatuhan pasien
menngkonsumsi obat secara teratur dalam jangka panjang juga harus
dipertimbangkan karena hal itu juga akan berdampak pada keresistenan bakteri
terhada antibiotik seperti yang telah dijelaskan di atas.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penelitian dalam jurnal yang saya analisis ini mengungkapkan bahwa
penngobatan dengan penisilin- G / V sebagai monoterapi empiris lebih efektif
daripada antibiotik spektrum luas pada CAP. Dimana penisilin- G / V juga memiliki
tingkat resistensi yang rendah terhadap bakteri sehingga pada pengobatan jangka
panjang pemilihan antibiotik ini lebih aman.
B. Saran
Bagi perawat : sebaiknya perawat harus lebih rajin untuk mengapdate informasi-
informasi terbaru mengenai keefektifan antibiotik yang terbaik untuk pasien CAP
(community-Acquired Pneumonia) dan penyakit-penyakit lainnya.
Bagi peneliti : masih harus dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penisilin jenis
apa yang lebih efektif untuk pengobatan CAP dengan tingkat resistensi paling rendah
pada bakteri untuk pengobatan jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA

Egelund et al. 2017. Penicillin Treatment for Patients with Commnuty-Acquired


Pneumonia in Denmark: a retrospective cohort study. BMC Pulmonary Medicine.
17:66

Kuzman et al. 2014. Efficacy and Safety of Moxifloxacin in CommunityAcquired


Pneumonia : a prospective, multicenter, observasional study (CAPRIVI). BMC
Pulmonary Medicine. 14:105

Llor et al. 2013. Efficacy of High Doses of Oral Penicillin Versus Amoxicillin in The
Treatment of Adult with Non-Severe Pneumonia Attended in The Communty: study
protocol for a randomized controlled trial. BMC Family Practice. 14:50

Kaparang, Pingkan C. dkk, 2014. Evaluasi Kerasionalan Penggunaan Antibiotika


Pada Pengobatan Pneumonia Anak di Instalasi Rawat Inap RSUD PROF. DR. R. D
Kandou Manado. Jurnal Ilmiah Farmasi. Manado: Pharmacon. Vol. 3 No. 3

Suryo, Joko. 2010. Herbal Penyembuh Gangguan Pernapasan. Yogyakarta: B First.

Andayani, Novita. 2014. Tingkat Mortalitas dan Prognosis Pasien Pneumonia


Komunitas Dengan Sistem Skoring CURB-65 Di Ruang Rawat Inap Paru RSUD Dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh. Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala. 1: 14-19

Solihati, Euis Novi, dkk. 2017. Studi Epidemiologi Deskriptif Kejadian Pneumonia
Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Langensari II Kota Banjar Jawa Barat.
Bagian Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Diponegoro. Jurnal Kesehatan Masyarakat. Vol. 5 No. 5.

Islam, Zainul. 2017. Penggunaan Antibiotik Pada Terapi Communty Acquired


Pneumonia di RSUD Pasar Rebo dan RSUD Tarakan di Jakarta Tahun 2014. Jurnal
Sains dan Teknologi Farmasi: Vol. 19 No. 01

Mulyadi. 2010. Community Acquired Pneumonia pada Usia Lanjut. Fakultas


Kedokteran Universitas Syiah Kuala. 2: 87-92.

Kementerian Kesehatan RI. 2010. Pneumonia Balita. Buletin Jendela Epidemiologi:


Vol. 3

Anda mungkin juga menyukai