Bakso adalah produk pangan yang terbuat dari bahan utama daging yang dilumatkan,
dicampur dengan bahan lainnya, dibentuk bulat-bulatan, dan selanjutnya direbus (Usmiati dan
Priyanti, 2006). Menurut Astawan (2008), bakso adalah produk olahan daging giling yang
dicampur dengan tepung dan bumbu-bumbu serta bahan lain yang dihaluskan, kemudian dibentuk
bulatan-bulatan dan kemudian direbus hingga matang. Istilah bakso biasanya diikuti dengan nama
jenis dagingnya, seperti bakso ikan, bakso udang, bakso ayam, bakso sapi, bakso kelinci, bakso
Sedangkan menurut BSN (1995-a) pada SNI No 01-3818 1995 bakso daging merupakan
produk makanan basah berbentuk bulatan atau bentuk lain yang diperoleh dari campuran daging
ternak yang dapat berupa sapi atau ayam (kadar daging tidak kurang dari 50%) dan pati atau
serealia dengan atau tanpa Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang diizinkan. Bahan tambahan
pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan yang secara alami bukan merupakan bagian dari
bahan baku pangan, tetapi ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk
bahan pangan. BTP ditambahkan untuk memperbaiki karakter pangan agar kualitasnya meningkat.
Pemakaian BTP merupakan salah satu langkah teknologi yang diterapkan oleh industri pangan
berbagai skala. Sebagaimana langkah teknologi lain, maka risiko-risiko kesalahan dan
penyalahgunaan tidak dapat dikesampingkan. BTP pada umumnya merupakan bahan kimia yang
telah diteliti dan diuji lama sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang ada. Pemerintah telah
mengeluarkan aturan-aturan pemakaian BTP secara optimal. Bumbu-bumbu adalah bahan yang
sengaja ditambahkan dan berguna untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa,
mengendalikan keasaman dan kebasaan, memantapkan bentuk dan rupa produk. Pembuatan bakso
memerlukan bahan pembantu yaitu garam, gula, bawang putih dan merica (Ahmad, 2008).
Garam merupakan komponen bahan makanan yang ditambahkan dan digunakan sebagai
penegas cita rasa dan bahan pengawet. Penggunaan garamtidak boleh terlalu banyak karena akan
menyebabkan terjadinya penggumpalan (salting out) dan rasa produk menjadi asin. Garam
bisaterdapat secara alamiah dalam makanan atau ditambahkan pada waktupengolahan dan
penyajian makanan. Makanan yang mengandung kurang dari0,3% garam akan terasa hambar dan
tidak disukai. Konsentrasi garam yang ditambahkan biasanya berkisar 2 sampai 3% dari berat
Bawang putih (Allium sativum L.) berfungsi sebagai penambah aromaserta untuk
meningkatkan cita rasa produk. Bawang putih merupakan bahanalami yang ditambahkan ke dalam
bahan makanan guna meningkatkan seleramakan serta untuk meningkatkan daya awet bahan
makanan (bersifat fungistotik dan fungisidal). Bau yang khas dari bawang putih berasal dariminyak
ditambahkan dalam bahan pangan. Tujuan penambahan merica adalah sebagai penyedap masakan
dan memperpanjang daya awet makanan. Lada sangat digemari karena memiliki dua sifat penting
yaitu rasa pedas dan aromakhas. Rasa pedas merica disebabkan oleh adanya zat piperin dan
piperanin, serta chavicia yang merupakan persenyawaan dari piperin dengan alkaloida (Ahmad,
2008).
Adonan bakso dibuat dengan cara: daging dipotong kecil – kecil, kemudian dicincang halus
dengan menggunakan blender. Daging tersebut kemudian dicampur dengan es batu atau air es (10-
15% berat daging) dan garam serta bumbu lainnya sampai menjadi adonan yang kalis dan plastis
sehingga mudah dibentuk sambil ditambahkan tepung kanji sedikit demi sedikit agar adonan lebih
mengikat. Penambahan tepung kanji cukup 15 - 20% berat daging (Sunarlim, 1992).
Pada umumnya bahan baku utama bakso biasanya terbuat dari daging segar yang belum
mengalami rigormortis. Daging sapi fase pre-rigormortis memiliki daya ikat air yang tinggi, dalam
arti kemampuan protein daging mengikat dan mempertahankan air tinggi sehingga menghasilkan
bakso dengan kekenyalan tinggi. Hal ini didukung oleh perubahan daging sapi fase pre-rigormortis
memacu kekenyalan bakso. Pada kondisi perubahan fase ini, disamping daya ikat air-protein
tinggi, protein aktin dan miosin belum saling berinteraksi menjadi aktomiosin, pH cukup tinggi,
akumulasi asam laktat cukup rendah dan tekstur tidak lunak (Prastuti, 2010).
Pengukusan adalah proses pemanasan yang sering diterapkan pada sistem jaringan sebelum
enzim yang akan menyebabkanperubahan warna, cita rasa atau nilai gizi yang tidak dikehendaki
selama penyimpanan. Tujuan utama pengukusan adalah mengurangi kadar air dalambahan baku
peristiwapengembangan granula pati sehingga granula tersebut tidak dapat kembali seperti
keadaan semula. Mekanisasi gelatinisasi, diawalioleh granula pati akan menyerap air yang akan
memecah kristal amilosa danakan memutuskan ikatan-ikatan struktur heliks dari molekul tersebut.
Penambahan air dan pemanasan akan menyebabkan amilosa berdifusi keluar granula, sehingga
granula tersebut hanya mengandung sebagian amilopektindan akan pecah membentuk suatu
Syarat mutu bakso daging menurut SNI 01-3818-1995 dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Rasa - Gurih
Warna - Normal
Tekstur - Kenyal
Air % b/b Maksimal 70,0
3.3.1 Alat
3.3.2 Bahan
sendok.
5) Rebus adonan yang telah dicetak selama 20 menit dengan suhu 40oC (Perebusan I).
6) Rebus kembali adonan yang telah dicetak sampai matang (Perebusan II).
Kriteria Hasil
Organoleptik
- Warna 5
- Bau 5
- Rasa 4
Skala hedonik 1 s/d 5 : 5 = sangat suka, 4 = suka, 3 = biasa, 2 = tidak suka, 1 = sangat tidak suka
3.4.2 Pembahasan
Praktikum ini dilakukan pembuatan bakso (meat ball) dengan bahan utama daging ayam,
sehingga bisa dibilang praktikum ini adalah pembuatan bakso ayam. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Astawan (2008), bahwa istilah bakso biasanya diikuti dengan nama jenis dagingnya,
seperti bakso ikan, bakso udang, bakso ayam, bakso sapi, bakso kelinci, bakso kerbau, dan bakso
lalu digiling menggunakan blender sampai halus. Pada saat penggilingan, ditambahkan es batu
pada adonan tersebut agar suhu stabil akibat gesekan dari blender dan menghasilkan emulsi yang
baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Astawan (2008), yang menyatakan bahwa
penghancuran daging dilakukan dengan cara mencacah (mincing), menggiling (grinding), atau
mencincang sampai halus/lumat (chopping) pada proses penggilingan daging perlu ditambah es.
Tujuannya adalah untuk mempertahankan suhu akibat gesekan mesin giling (chopper) serta untuk
Selain itu penggunaan es atau air es sangat penting dalam pembentukan tekstur bakso.
Dengan adanya es ini, suhu dapat dipertahankan tetap rendah sehingga protein daging tidak
terdenaturasi akibat gerakan mesin pengiling dan ekstraksi protein berjalan dengan baik.
Penggunaan es juga berfungsi menambahkan air kedalam adonan sehingga adonan tidak kering
selama pembentukan adonan maupun selama perebusan. Penambahan es juga dapat meningkatkan
daging. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Wibowo (2006), bahwa pengunaan es dapat
digunakan sebanyak 10-15% dari berat daging atau bahkan 30% dari berat daging (Wibowo,
2006). Es batu yang dicampur pada saat penggilingan dimaksudkan agar selama penggilingan daya
elastisitas daging tetap terjaga sehingga bakso yang dihasilkan akan lebih kenyal (Widyaningsih
Pada saat penggilingan daging, ditambahkan bahan-bahan lain seperti garam, merica,
bawang putih, penyedap dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Astawan (2008), yang
menyatakan bahwa proses pembentukan adonan dapat dilakukan dengan mencampur seluruh
bahan kemudian menhancurkannya (mixing and chopping). Dapat juga dengan cara
grinding and mixing). Bintoro (2008), menambahkan bahwa pembuatan adonan dilakukan dengan
cara mencampurkan semua bahan yang terdiri dari daging giling, tepung tapioka serta bumbu-
bumbu sambil diaduk sampai tercampur rata sehingga bahan tersebut menjadi adonan yang kental.
Setelah daging dan semua bahan tercampur menjadi adonan yang merata, adonan tersebut
langsung dibentuk atau dicetak menggunakan tangan dan sendok. Pencetakan yang dilakukan yaitu
tangan kiri yang telah memakai sarung tangan plastik menggenggam adonan sambil membentuk
bulatan-bulatan kecil, lalu tangan yang memegang sendok memotong adonan yang terbentuk. Hal
ini sesuai dengan pernyataan dari Astawan (2008), yang menyatakan bahwa pencetakan bakso
dilakukan dengan menggunakan alat pencetak bakso atau dengan tangan. Serta pernyataan dari
Bintoro (2008), bahwa pembuatan bakso dilakukan dengan tangan dengan cara sebagai berikut:
adonan diambil dengan menggunakan tangan kiri, kemudian tangan kiri tersebut menggenggam
dengan jari telunjuk dan ibu jari membentuk lingkaran sebesar bakso yang diinginkan, lalu tiga
jari yang lain mengeratkan genggaman sehingga adonan keluar melalui lubang yang terbentuk
antara jari telunjuk dan ibu jari tersebut. Kemudian tangan kanan dengan menggunakan sendok
menit dengan suhu 40oC pada perebusan pertama, dan suhu 60 oC pada perebusan kedua sampai
matang. Suhu perebusan ini tidak sesuai dengan pernyataan Astawan (2008), yang menyatakan
bahwa pemasakan bakso dilakukan pada suhu 70 - 80 oC. Ditambahkan juga bahwa agar bakso
tidak saling lengket atau menempel satu sama lainnya, ke dalam air perebus ditambahkan beberapa
sendok minyak goreng. Bakso yang matang akan mengapung ke permukaan. Bintoro (2008),
menambahkan bahwa perebusan dihentikan bila bakso yang tadinya tenggelam itu muncul diatas
permukaan. Perebusan kedua diperlukan bila bakso yang terbentuk kurang matang.
Berdasarkan tabel di atas, uji organoleptik yang dihasilkan yaitu warna mendapatkan nilai
5, bau 5 dan rasa 4. Warna bakso ayam yang dihasilkan yaitu 5 (abu-abu/pucat). Warna bakso
sangat dipengaruhi oleh warna daging yang berhubungan dengan kandungan mioglobin pada
daging. Warna bakso juga dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pengaruh lingkungan dan
penambahan bahan tambahan seperti bahan pengisi dan bumbu-bumbu. Menurut Soeparno (2005),
kadar mioglobin daging ayam 0,025% dari berat daging segar, sehingga kelihatan lebih pucat.
Bau/aroma bakso yang dihasilkan mendapatkan nilai 5. Dimana aroma nya sedap, terasa
aroma bakso dan daging aya nya. Aroma ini bisa dipengaruhi oleh bahan-bahan/bumbu yang
digunakan, temperature dan lama pemasakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Soekarto (1985),
aroma bakso dipengaruhi oleh aroma daging, aroma tepung bahan pengisi, bumbu-bumbu dan
bahan lain yang ditambahkan. Proses pemasakan bakso dapat mempengaruhi warna, aroma, rasa
dan kekenyalan. Selama pemasakan akan terjadi berbagai reaksi antara bahan pengisi dan daging,
sehingga aroma yang khas pada daging sapi maupun daging ayam akan berkurang selama
pengolahan produk. Aroma disebut juga pencicipan jarak jauh, karena manusia dapat mengenal
enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium aromanya dari jarak jauh (Soekarto,
1985). Devidek et al., (1990), menambahkan bahwa proses pembuatan bakso dapat mempengaruhi
aroma bakso seperti jenis, lama dan temperatur pemasakan. Selain itu, aroma daging olahan juga
dipengaruhi oleh bahan-bahan yang digunakan, yaitu daging yang digunakan, bumbu-bumbu, suhu
pemasakan dan lain-lain. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Winarno (1997), yang menyatakan
bahwa rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain suhu, senyawa kimia, konsentrasi dan
interaksi dengan komponen lainnya. Bakso dengan bahan utama daging ayam juga cenderung
3.5 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa bakso dengan
menggunakan bahan dasar daging ayam (bakso ayam), memiliki skala hedonik yang cukup tinggi
Afrisanti, D. W. 2010. Kualitas Kimia dan Organoleptik nugget Dagig Kelinci dengan
Penambahan Tepung Tempe. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Astawan, Made. 2008. Sehat Dengan Hidangan Hewani. Jakarta : Penebar Swadaya.
BSN (BADAN STANDARD NASIONAL). 1995. SNI 01-3818-1995. Bakso Daging. Dewan
Standarisasi Nasional, Jakarta.
Devidek, J., J. Velisek & J. Pokrny. 1990. Chemical Changes during FoodProcessing. Elsevier,
New York.
Prastuti, N. T. 2010. Pengaruh Substitusi Daging Sapi dengan Kulit CakarAyam terhadap Daya
Ikat Air (DIA), Rendemen dan KadarAbu Bakso. Skripsi. Fakultas Peternakan
Universitas Diponegoro. Semarang.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Universitas Gajah Mada Press,Yogyakarta.
Sunarlim, R. 1992. Karakteristik mutu bakso daging sapid an pengaruh penambahan NaCl dan
natrium tripolyfosfat terhadap perbaikan mutu. Disertasi. Program Pasca Sarjana. IPB,
Bogor.
Usmiati. S dan A. Priyanti. 2006. Sifat Fisikokimia dan Palatabilitas Bakso Daging Kerbau.
Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan
Daging Sapi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
IV
Kata sosis berasal dari bahasa latin salsus yang berarti garam. Sosis merupakan salah satu
produk daging giling atau daging cincang yang diberi bumbu dan dimasukan kedalam selongsong
atau casing menjadi bentuk silindris. Casing yang digunakan dapat berupa dari usus hewan atau
bahan sintetis. Kedalam adonan sosis biasanya ditambahkan tepung, susu skim, lemak es atau air
dan protein nabati (Pearson dan Tauber,1984). Forest et al.,(1975) menyebutkan bhawa sosis
adalah daging giling yang diberi bumbu dan juga mengalami proses curing, pemanasan dan
pengasapan. Curing adalah proses pengolahan daging dengan menambhakan garam NaCl,
Menurut SNI 01-3020-1995 sosis adalah produk makanan yang diperoleh dari campuran
daging halus (mengandung daging tidak kurang dari 75%) dengan tepung atau pati dengan atau
tanpa penambahan bumbu-bumbu dan bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan
Bahan baku pembuatan sosis umumnya terdiri dari bahan utama dan bahan tambahan.
Bahan utama terdiri dari daging, lemak atau minyak, es dan garam. Bahan tambahan terdiri dari
bahan pengisi, bahan pengikat, bumbu-bumbu dan bahan makanan lain yang diizinkan (Ridwanto,
2003).
Bumbu adalah suatu substansi tumbuhan organik yang telah dikeringkan dan biasanya
sudah dalam bentuk serbuk (Rust, 1987). Bumbu merupakan senyawa nabati yang dapat dimakan.
Penambahan bumbu pada pembuatan sosis terutama ditujukan untuk menambah atau
meningkatkan cita rasa (Soeparno, 1994). Menurut Aberle et al. (2001), fungsi bumbu yaitu
sebagai pemberi cita rasa, penambah karakteristik warna atau pola tekstur serta sebagai agen
antioksidan. Savic (1985) menyatakan jumlah bumbu yang ditambahkan dalam campuran sosis
bervariasi dari 0,7-2% atau lebih.
Bumbu-bumbu yang biasa dipakai seperti lada, pala, bunga pala, kepulage, cengkeh
ketumbar, bawang putih, paprika dan jahe. Penambahan nitrit pada proses curing terutama berguna
sebagai pembangkit warna khas curing (merah cerah dan stabil) dan pemberi citarasa yang khas.
Fosfat juga sering ditambahkan untuk menurunkan pH dan memperbaiki warna (Schmidt,1988).
Komponen daging yang sangat penting dalam pembuatan sosis adalah protein. Protein daging
berperan dalam peningkatan hancuran daging selama pemasakan sehingga membentuk struktur
produk yang kompak. Peran protein yang lain adalah pembentukan emulsi daging, yaitu protein
Lemak atau minyak dalam pembuatan sosis berfungsi untuk memberikan rasa lezat,
mempengaruhi keempukan dan Juiceness daging dari produk yang dihasilkan (Pearson dan
Tauber, 1973). Penggunaan lemak cair akan menghasilkan emulsi yang kurang stabil bila
dibandingkan dengan lemak hewan. Hal ini karena lemak cair mudah membentuk coalescence
yaitu bergabungnya butiran-butiran lemak kecil menjadi butiran besar atau globula. Bentuk
globula akan lebih sulit terselubungi dalam pembentukan emulsi sehingga emulsi yang terbentuk
mudah pecah yang berakibat pada keluarnya minyak selama proses pemasakan sosis (Smith,
2001).
Es atau air es merupakan salah satu bahan yang sangat diperlukan pada pembuatan sosis.
Jumlah air yang umumnya ditambahkan dalam pembuatan sosis adalah 20%-30% dari berat daging
dan umumnya air yang ditambahkan dalam bentuk es (Aberle et al., 2001). Menurut Kramlich
(1971), penambahan air dalam bentuk es bertujuan untuk dapat melarutkan garam serta
mendistribusikannya secara merata keseluruh bagian massa daging, memudahkan ekstraksi protein
daging, membantu pembentukan emulsi dan mempertahankan suhu daging agar tetap rendah
selama penggilingan dan pembentukan adonan. Menurut Mujiono (1995), tujuan penambahan air
es adalah untuk melarutkan garam dan mendistribusikannya secara merata keseluruh bagian massa
pembuatan sosis, garam mempunyai peranan sebagai pemberi rasa, pengawet dan melarutkan
protein myofibril, garam akan menyelimuti lemak dan mengikat air sehingga akan terbentuk
emulsi yang stabil. Konsentrasi garam yang digunakan dalam berbagai produk sosis bervariasi
tergantung asal pembuatan sosis tersebut, biasanya untuk sosis segar 1,5 -2% (Rust, 1987).
Menurut Savic (1985), jumlah garam yang ditambahkan tergantung pada jenis sosis terutama kadar
lemaknya, biasanya berkisar antara 1,8-2,2%. ). Menurut Soeparno (1994), garam merupakan
bahan terpenting dalam curing, berfungsi sebagai pengawet, penambah aroma dan citarasa. Garam
dapat meningkatkan tekanan osmotik medium pada konsentrasi 2 %, sejumlah bakteri terhambat
protein otot dan memperbaiki daya mengikat airnya. Konsentrasi optimum pada sosis sekitar 1-
5%.
Selongsong atau casing sosis terdapat dalam dua macam, yaitu selongsong alami dan
buatan. Selongsong alami berasal dari saluran pencernaan ternak seperti sapi, domba, dan babi.
Selongsong alami mudah mengalami kerusakan oleh mikroorganisme, sehingga perlu dilakukan
penggaraman yang diikuti dengan pembilasan (Hui et al., 2001). Menurut Kramlich (1971), ada
lima macam selongsong yang biasa digunakan dalam pembuatan sosis, yaitu: 1) selongsong yang
terbuat dari usus hewan, 2) selongsong yang terbuat dari kolagen, 3) selongsong yang terbuat dari
selulosa,4) selongsong yang terbuat dari plastik, 5) selongsong yang terbuat dari logam.
Selongsong sosis dipakai untuk menentukan bentuk dan ukuran sosis. Selongsong sosis dapat
pengangkutan, serta sebagai media display selama diperdagangkan. Selongsong sosis harus
Filler, tujuan penambahan dari bahan-bahan ini adalah untuk meningkatkan stabilitas
emulsi, meningkatkan daya mengikat air produk daging, meningkatkan citarasa, mengurangi
pengerutan produk selama pemasakan, menigkatkan karakteristik irisan produk dan mengurangi
biaya formulasi bahan (Soeparno, 1994). Manurut Kramlich (1971), bahan pengikat dan bahan
pengisi dapat dibedakan berdasarkan kandungan protein dan karbohidratnya. Bahan pengikat
mengandung protein yang lebih tinggi sehingga dapat membantu meningkatkan emulsifikasi
lemak, sedangkan bahan pengisi umumnya hanya terdiri dari karbohidrat dan hanya sedikit
mempengaruhi emulsifikasi lemak. Pemilihan bahan pengikat dan bahan pengisi yang akan
digunakan harus memiliki daya serap air yang baik, memiliki rasa yang enak, memberikan warna
yang menarik, dan harganya murah. Susu skim dapat digunakan sebagai bahan menambah nilai
gizi sosis (Wilson et al., 1981). Menurut Ockerman (1983), komposisi susu skim terdiri dari kadar
air 3,0%, protein 38,0%, lemak 1,0%, abu 7,0% dan karbohidrat 51%.
menghaluskannya hingga menjadi tepung pati (Soetanto Edy, 2005). Menurut Pandisurya et al.,
(1983), Penggunaan tepung pati dalam pembuatan bakso untuk konsumsi rumah tangga biasanya
4-5 persen dari berat daging. Sedangkan adapembuatan komersial, penambahan tepung berkisar
Pala (Imyrtistica fragans houtt) sebagai bumbu dihasilkan dari biji pala yang mengandung
fixed oil yang terdiri atas trimyristin, gliceril ester dari asam-asam palmitat, oleat dan linoleat dari
fraksi yang tidak tersaponifikasi seperti mysristicin. Komposisi kimia pala bubuk per 100 g erdiri
dari 8,2 g air, protein 6,7 g, lemak 32,4 g, abu 2,2 g, dan karbohidrat 50,5 g (Farell, 1990).
Lada memproduksi beberapa komponen antara lain terpen, hidrat a- felandren, dipenten,
dan beta-kariofilin. Lada pada konsentrasi lebih dari 3% dapat menghambat pertumbuhan Listeria
monocytogenes (Ting dan Diebel, 1992). Komposisi kimia pada lada putih per 100 g terdiri dari
11,4 g air, protein 10,4 g, lemak 2,1 g, abu 1,6 g, dan karbohidrat 68,6 g ( Farell, 1990).
Bawang putih merupakan bahan alami yang biasa ditambahkan kedalam bahan makanan
sehingga diperoleh aroma yang khas guna meningkatkan selera. Bawang putih dapat dipakai
sebagai pengawet karena bersifat bakteriostatik yang disebabkan oleh adanya zat aktif Allicin yang
sangat efektif terhadap bakteri. Minyak atsiri bawang putih bersifat antibakteri dan antiseptik.
Selain itu, dalam bawang putih terdapat scordinin, yaitu senyawa komplek Thioglisidin yang
bersifat antioksidan (Palungkun dan Budhiarti, 1992). Komposisi kimia bawang putih bubuk per
100 g terdiri dari 6,5 g air, protein 16,8 g, lemak 0,4 g, abu 3,3 g dan karbohidrat 77,6 g (Farell,
1990).
Fungsi fosfat adalah untuk meningkatkan daya mengikat air oleh protein daging, mereduksi
pengerutan daging dan menghambat ketengikan. Jumlah penambahan fosfat dalam curing tidak
boleh lebih dari 5% dan produk akhir harus mengandung fosfat kurang dari 0.5 %
(Soeparno,1994). Menurut Wilson et al., (1981), penambahan polifosfat pada produk olahan
daging dalam bentuk kering rata- rata 0.3 %. Tujuan utama penambahan fosfat yaitu untuk
mengurangi kehilangan lemak dan air selama pemasakan, pengalengan, atau penggorengan. Fosfat
yang digunakan dalam sistem pangan menampilkan fungsi-fungsi kimia yaitu mengontrol pH,
meningkatkan kekuatan ionik dan memisahkan ion logam. Fungsi-fungsi tersebut dipakai dalam
produk daging untuk meningkatkan daya mengikat air, emulsifikasi dan memperlambat oksidasi.
Fungsi sodium tripolyphosphate (STPP) yang dapat mengikat air, mempertahankan flavor dan
fungsi lainnya.(Sitindaon Jivento, 2007). STPP antara lain berfungsi untuk meningkatkan
dan menstabilkan warna. Penggunaan STPP maksimal adalah 0,5% pada daging yang telah
disimpan dalam freezer atau pendingin lainnya (bukan daging segar) (Litbang, 2009).
pemasakan) kecuali sosis segar, chilling (pendinginan) dan pengepakan (Pearson dan Tauber,
1984).
4.3.1 Alat
4.3.2 Bahan
4.3.3 Prosedur
1) Daging dipotong-potong.
6) Setelah dimasukkan ke dalam casing, ikat adonan tersebut dengan tali menjadi beberapa
bagian.
4.4.1 Hasil
Kriteria Hasil
Organoleptik
- Warna 3
- Bau 4
- Rasa 4
Skala hedonik 1 s/d 5 : 5 = sangat suka, 4 = suka, 3 = biasa, 2 = tidak suka, 1 = sangat tidak suka
4.4.2 Pembahasan
Sebelum melakukan pengolahan sosis, daging ayam yang digunakan terlebih dahulu di
curing selama 1 (satu) malam, dengan menggunakan NaCl, Na-Nitrit atau na-Nitrat dan gula.
Tujuannya yaitu agar warna stabil, aroma, rasa dan tekstur yang baik serta tahan lama. Hal ini
sesuai dengan pernyataan dari Soeparno (1998), yang menyatakan bahwa curing merupakan cara
pengolahan daging dengan penambahan beberapa bahan baku sepergi NaCl, Na-nitrit atau Na-
nitrat, dan gula (dekstroksa atau sukrosa atau pati hidrolisis) serta bumbu-bumbu (Soeparno,
1998). Tujuan dilakukannya adalah untuk mendapatkan warna stabil, aroma, tekstur, dan kelezatan
yang baik, dan untuk mengurangi pengerutan daging selama pengolahan serta memperpanjang
Daging yang telah di curing kemudian digiling menggunakan blender sampai halus. Dalam
proses penggilingan, ditambahkan es batu sebanyak 30 gram (15%), dan juga bumbu dan bahan-
bahan lainnya. Tujuan dari penambahan es batu yaitu untuk melarutkan garam agar merata,
pembentuka emulsi dan mempertahankan suhu agar tetap rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan
dari Kramlich (1971), yang menyatakan bahwa penambahan air dalam bentuk es bertujuan untuk
dapat melarutkan garam serta mendistribusikannya secara merata keseluruh bagian massa daging,
memudahkan ekstraksi protein daging, membantu pembentukan emulsi dan mempertahankan suhu
daging agar tetap rendah selama penggilingan dan pembentukan adonan. Mujiono (1995)
menambahkan bahwa tujuan penambahan air es adalah untuk melarutkan garam dan
mendistribusikannya secara merata keseluruh bagian massa daging, memudahkan ekstraksi protein
otot, membantu pembentukkan emulsi, dan mempertahankan suhu adonan akibat pemanasan
mekanis dari mesin. Namun persentase penambahan es ini tidak sesuai dengan pernyataan Aberle
et al., (2001), bahwa Jumlah air yang umumnya ditambahkan dalam pembuatan sosis adalah 20%
- 30% dari berat daging dan umumnya air yang ditambahkan dalam bentuk es.
Adonan yang telah merata, dimasukkan ke dalam stuffer menggunakan sendok yang
kemudian dimasukkan ke dalam selongsong (casing), untuk selanjutnya dibentuk menjadi sosis.
Selongsong yang telah terisi penuh oleh adonan sosis, kemudian diikat menggunakan tali menjadi
beberapa bagian. Adonan sosis tersebut kemudian direbus di dalam panci berisi air panas dengan
digunakan dalam perebusan yaitu di atas 40oC dan bahan curing yang digunakan tidak segar/sudah
lama disimpan, serta penambahan dari bahan-bahan lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Winarno (1997), yang menyatakan bahwa sosis ayam umumnya berwarna putih yang berasal dari
warna daging ayam. Warna sosis yang bertambah gelap juga disebabkan oleh reaksi Maillard yang
terjadi selama pengukusan. Reaksi Maillard disebabkan oleh adanya interaksi asam amino dan
gula reduksi serta suhu yang tinggi (di atas 40oC). Sosis ayam yang berwarna gelap juga bisa
Bau/aroma dari sosis ayam yang dihasilkan yaitu disukai (4). Aroma ini dapat dipengaruhi
oleh bahan-bahan yang ditambahkan pada adonan dan lama dan temperatur pemasakan. Hal ini
sesuai denga pernyataan dari Soeparno (1994), bahwa aroma produk olahan dapat dipengaruhi
oleh jenis, lama dan temperatur pemasakan. Aroma produk daging olahan juga dapat dipengaruhi
oleh bahan-bahan yang ditambahkan selama pembuatan produk daging olahan dan pemasakan,
khususnya bumbu.
Rasa yang dihasilkan dari uji organoleptik ini yaitu 4 (disukai). Banyak faktor yang
memengaruhi rasa dari produk olahan daging, terutama sosis. Yaitu bahan-bahan yang digunakan,
proses curing, suhu pemasakan, lama pemasakan, konsistensi, komposisi bumbu/bahan tambahan
dan lain-lain. Hal ini sesuai denga pernyataan dari Winarno (1997), bahwa rasa suatu bahan pangan
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, temperatur, konsisitensi, dan interaksi
dengan komponen rasa yang lain serta jenis dan lama pemasakan. Konsumen akan berani
4.5 Kesimpulan
Dari hasil pengamatan dan pembahasan, dapat diketahui bahwa sosis ayam yang telah
dibuat memiliki skala hedonik yang cukup baik dan tingkat kesukaan yang cukup baik pula, rata-
rata skala hedonik nya yaitu 3,67. Hal ini disebabkan karena terdapat beberapa faktor yang
memengaruhi pembuatan sosis ini, yaitu bahan yang digunakan, lingkungan, temperatur, lama
pemasakan dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Aberle., H.B. Forest, J. C., E. D. Hendrick., M.D. judge dan R. A. Merkel. 2001. Principle of Meat
Science. 4th Ed. Kendall/Hunt Publishing Co., Dubuque, lowa.
Badan Standarisasi Nasional. 1995. Syarat Mutu Sosis. SNI 01-30201995. Badan Standarisasi
Nasional, Jakarta.
Farell,K. T. 1990. Spices, Condiments dan Seasonings. 2nd Edit. Van Vostrdan Reinhold, New
York.
Forrest J. C., E. D. Aberle, H. B. Hendrick, dan R. A. Merkel. 1975. Principle of Meat Science.
W. H. Freeman dan Co. San Fransisco.
Hui, Y.H., W.K. Nip, R.W. Rogers, and O.A. Young. 2001. Meat Science and Applications.
Marcel Dekker Inc. USA.
Kramlich. W. E. 1971. Meat and Meat Product. 2nd ed. J. F. Price and B. S. Schweigert. Eds. W.
H. Freeman and Co, San Fransisco.
Kramlich, W.E., A.M. Pearson and F.W. Tauber. 1973. Processed Meat. The AVIPublishing.
Co.Inc. Westport. Conecticut.
Mujiono, R. 1995. Kandungan Gizi dan Palatabilitas Bakso Sapi dan Domba Bagian Paha dan
Lemusir. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Ockerman, H. W. 1983. Chemistry of Meat Tissue. 10th Edition. Department of Animal Science
The Ohio State University and The Ohio Agricultural Research and Development
Center, USA.
Palungkun, R., dan Budiarti, A., 1992, Bawang Putih Dataran Rendah. Penebar Swadaya, Jakarta,
73.
Pandisurya, C. 1983. Pengaruh Jenis Daging dan Penambahan Tepung terhadap Mutu Bakso.
Skripsi, Fateta, IPB, Bogor.
Pearson, A.M. dan E.W. Tauber. 1984. Processed Meat. The Avi Publishing Company Inc.,
Westport, Connecticut.
Ridwanto, I. 2003. Kandungan Gizi dan Palatabilitas Sosis Daging Sapi denganSubstitusi Tepung
Tulang Rawan Ayam Pedaging Sebagai Bahan Pengisi.Skripsi. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rust, R. E. 1987. Sausage Product. Dalam : The Science of Meat and Meat Product, 3rd ED. J.F.
Price dan B. S. Schweigert (ED). Food and Nutrition Press. Inc., Westport Connecticut
Savic, I.V. 1985. Small Scale Sausage Production. In: FAO Animal Production and Health Paper
52nd ed. Food and Agriculture Organization. Rome. Italy.
Schmidt, G.R. 1988. Processing. In: Meat Science, Milk Science and Technology. H.R. Cross, Ed.,
Elsevier Science Publisher B.V., Amsterdam.
Sitindaon, Jivento. 2007. Sifat Fisik Dan Organoleptik Sosis Frankfurters Daging Kerbau
(Bubalus Bubalis) dengan Penambahan Khitosan sebagai Pengganti Sodium
Tripolyphosphate(STPP).Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut pertanian bogor
Smith, D.M. 2001. Fuctional Properties of Muscle Proteins in Processed Poultry Products.
Dalam: A.R. Sams (Editor). Poultry Meat Processing. CRCPress. Washington.
Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Universitas Gajah Mada Press Yogyakarta.
Soetanto, Edy. 2005. Teknologi Tepat Guna Tepung Kasava dan Olahannya. Kanisius.
Yogyakarta
Ting, W.T.E., and K.E Diebel. 1992. Sensitivity Of Listeria Monocytogenes Tospices at Two
Temperature. J. Food Safety. 12:120-137
Wilson, N. R. P., E. J. Dyett, R. B. Hughes, and C. R. V. Jones. 1981. Meat and Meat Products,
San Fransisco.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
LAMPIRAN
Gambar 1. Proses penggilingan adonan bakso Gambar 2. Proses penggilingan adonan sosis
Gambar 5. Pengangkatan bakso/sosis yang telah Gambar 6. Bakso ayam yang matang
matang
Gambar 7. Sosis yang telah matang