Anda di halaman 1dari 8

A.

Konsep dasar penyakit


1. Definisi

Menurut kamus besar, eliminasi adalah penglolaan, penghilangan, penyingkiran,


penyisihan. Dalam bidang kesehatan eliminasi adalah proses pembuangan metabolisme tubuh
baik berupa urine atau bowel (feses).

Eliminasi fekal adalah proses pembuangan atau pengeluaran sisa metabolisme berupa
feses yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus. Perawat sering kali menjadi tempat
konsultasi atau terlibat dalam membantu klien yang mengalami eliminasi.

Buang air besar atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses makhluk hidu puntuk
membuang kotoran atau tinja yang padat atau setengah-padat yang berasaldari sistem pencernaan
(Dianawuri, 2009).

Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana seorang individu mengalami atau
beresiko tinggi mengalami statis pada usus besar, mengakibatkan jarang buang air besar, keras,
feses kering. Untuk mengatasi gangguan eliminasi fekal biasanya dilakukan huknah, baik huknah
tinggi maupun huknah rendah. Memasukan cairan hangat melalui anus sampai ke kolon
desenden dengan menggunakan kanul rekti.

2. Etologi Gangguan Eliminasi Fekal

A. . Pola diet tidak adekuat/tidak sempurna

Makanan adalag faktor utama yang mempengaruhi eliminasi feses. Cukupnya selulosa,
serat pada makanan, penting untuk memperbesar volume feses. Makanan tertentu pada beberapa
orang sulit atau tidak bisa dicerna. Ketidakmampuan ini berdampak pada gangguan pencernaan,
dibeberapa bagian jalur dari pengairan feses. Makanan yang teratur mempengaruhi defekasi.
Makanan yang tidak teratur dapat mengganggu keteraturan pola defekasi. Individu yang makan
pada waktu yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu, respon fisiologi pada
pemasukan makanan dan keteraturan pola aktivitas peristaltik di colon.

B. Cairan

Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika pemasukan cairan yang
adekuat ataupun pengeluaran (contoh: urine, muntah) yang berlebihan untuk beberapa alasan,
tubuh melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat disepanjang colon.
Dampaknya chyme menjadi lebih kering dari normal, menghasilkan feses yang keras. Ditambah
lagi berkurangnya pemasukan cairan memperlambat perjalanan chyme disepanjang intestinal,
sehingga meningkatkan resbsorbsi cairan dari chyme.

C. Meningkatnya stres psikologi


Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi. Penyakit-penyakit tertentu
termasuk diare kronik, seperti ulcus pada collitis, bisajadi mempunyai komponen psikologi.
Diketahui juga bahwa beberapa orang yang cemas atau marah dapat meningkatkan aktivitas
peristaltik dan frekuensi diare. Ditambah lagi orang yang depresi bila memperlambat motilitas
intestinal, yang berdampak pada konstipasi.

D. Kurang aktivitas, kurang olahraga, berbaring lama

Pada pasien imomobilisasu atau bedrest akan terjadi penurunan gerak peristaltic dan
dapat menyebabkan melambatnya feses menuju rectum dalam waktu lama dan terjadi reabsorpsi
cairan feses sehingga feses mengeras.

E. Obat-obatan

Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengaruh terhadap eliminasi yang
normal. Beberapa menyebabkan diare: yang lain seperti dosis yang besar dari tranquilizer
tertentu dan diikuti dengan dengan prosedur pemberian morphin dan codein, menyebabkan
konstipasi. Beberapa obat secara langsung mempengaruhi eliminasi. Laxative adalah obat yang
merangsang aktivitas usus dan memudahkan eliminasi feses. Obat-obatan ini melunakan feses,
mempermudah eliminasi feses. Obat-obatan tertentu seperti dicyclomine hydrochloride (bentyl),
menekan aktivitas peristaltik dan kadang-kadang digunakan untuk mengobati urine.

F. Usia

Umur tidak hanya mempengaruhi karateristik feses, tapi juga pengontrolnya. Anak-anak
tidak mampu mengontrol eliminasinya sampai sistem neuromuskular berkembang, biasanya
antara umur 2-3 tahun. Orang dewasa juga mengalami perubahan pengalaman yang dapat
mempengaruhi proses pengosongan lambung. Diantaranya adalah atony (berkurangnya tonus
otot yang normal) dari otot-otot polos colon yang dapat berakibat pada melambatnya peristaltik
dan mengerasnya (mengering) feses, dan menurunnya tonus dari otot-otot perut yang juga
menurunkan tekanan selama proses pengosongkan lambung. Beberapa orang dewasa juga
mengalami penurunan kontrol terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak pada
proses defekasi.

G. Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus, paralitik ileus, kecelakaan pada spinal cord dan
tumor.

Cedera pada sumsung tulang belakang dan kepala dapat menurunkan stimulus sensori
untuk defekasi. Gangguan mobilitas bisa membatasi kemampuan klien untuk merespon terhadap
keinginan defekasi ketika dia tidak dapat menemukan toilet atau mendapat bantuan. Akibatnya,
klien bisa mengalami konstipasi. Atau seorang klien bisa mengalami fecal inkontinentia karena
sangat berkurangnya fungsi dari spinkter ani.
3. Manifestasi Klinis gangguan eliminasi fekal

A. Konstipasi

1. Menurunnya frekuensi BAB


2. Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan
3. Nyeri rektum

B. Impaction

1. Tidak BAB
2. Anoreksia
3. Kembung/kram
4. Nyeri rektum

C. Diare

1. BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk


2. Isi intensinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat
3. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang menyebabkan meningkatkan
sekresi mukosa
4. Feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan menahan BAB

D. Inkontinensia fekal

1. Tidk mampu mengontrol BAB dan udara dari anus


2. BAB encer dan jumlahnya banyak
3. Gangguan fungsi spingter, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord dan tumor
spingter anal eksternal

E. Flatulens

1. Menunpuknya gas pada lumen intestinal


2. Dinding usus merenggang dan distended, merasa penuh, nyeri dan kram
3. Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) dan anus (platus)

F. Hemoroid

1. Pembengkakan vena pada dinding rectum


2. Perdarahan jika dinding pembuluh darah vena meregang
3. Merasa panas dan gatal jika terjadi inflamsi
4. Nyeri

4. Masalah-Masalah Gangguan Eliminasi Fekal


A. Konstipasi

konstipasi adalah penurunan frekuensi defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran feses yang
lama atau keras, kering dan disertai upaya mengedan saat defekasi. Tanyakan pada diri anda
sendiri apakah saudara pernah mengalami menurunnya frekuensi BAB hingga beberapa hari,
diseryai dengan pengeluaran feces yang sulit, keras dan mengedan. Dan dapat menyebabkan
nyeri rectum, keadaan ini disebut konstipasi. Konstipasi merupakan gejala, bukan merupakan
penyakit. Kondisi ini terjadi karena feses berada diintestinal lebih lama, sehingga banyak air
diserap. Biasanya disebabkan oleh pada defekasi yang tidak teratur, peggunaan laksatif yang
lama, stres psikologis, obat-obatan, kurang aktivitas dan faktor usia. Stiap individu mempunyai
pola defekasi individul yang harus dikaji perawat, tidak setiap orang dewasa memiliki pola
defekasi setiap hari (Ebersole dan Hess, 1994). Defekasi hanya setiap 4 hari sekali atau lebih
dianggap tidak normal (Lueckenotte, 1994). Pola defekasi yang biasanya setiap 2-3 hari sekali,
tanpa kesulitan, nyeri atau perdarahan dapat dianggap untuk lansia (Ebersole dan Hess, 1994;
Luecknotte, 1994). Mengedan selama defekasi menimbulkan masalah pada klien baru
pembedahan abdomen, genekologi, rektum hal ini dapat menyebabkan jahitan terpisah sehingga
luka terbuka. Klien dengan riwayat kardiovaskuler, glaukoma, dan peningkatan tekanan
intrakranial harus mencegah konstipasi dan hindari penggunaan manuver valsalva dengan
menghembuskan napas melalui mulut selama mengedan

B. Fecal Imfaction

Fecal imfaction atau impaksi feses akibat dari kontipasi yang tidak diatasi. Impaksi
adalah kumpulan feses yang mengeras, mengendap didalam rektum, hal ini tidakdapat
dikeluarkan. Feses yang keras dikolon dan lipatan sigmoid yang diakibatkan oleh retensi dan
akumulasi material feses yang berkepanjangan. Klien menderita kelemahan, tidak sadar akan
kebutuhan defekasi. Biasanya juga disebabkan oleh konstiasi, intake cairan kurang, kurang
aktivitas,diet rebdah serat dan kelemahan tonus otot. Tanda yang bisa saudara idntifikasi adalah
tidak BAB beberapa hari, walaupun ada keinginan untuk defekasi, anoreksia, kembung/kram
nyeri rektum. Perawat yang mencurigai klien dengan memasukan ke dalam rektum dan
mempalpasi masa yang terimpaksi.

C. Diare

Diare adalah meningkatnya frekuensi buang air besar dengan pengeluaran feses yang cair
dan tidak terbentuk (Lueckenotte, 1994). Diare adalah gejala gangguan proses pencernaan,
absorpsi dan sekresi dalam saluran GI, akibatnya cbyme melewati usus terlalu ceoat, sehingga
usus besar tidak mempunyai waktu untuk menyerap air.

Diare dapat disebabkan karena stres fisik, obat-obatan, alergi penyakit kolon dan iritasi
itestinal. Diare seringkali sulit dikaji pada bayi, seperti bayi menerima susu botol pengeluaran
feses pada setiap 2 hari sekali, sementara bayi yang disusui ibunya dapat mengeluarkan feses
lunak dalam jumlah kecil 5-8 kl/hari.
Akibat pada seseorang diare adalah gangguan elektrolit dan kulit terganggu, terutama
pada bayi dan orang tua. Diare secara berulang biasa mengiritasi perineum dan bokong, maka
diperlukan perawatan kulit yang cermat untuk mencegah kerusakan kulit dan dibutuhkan
draimase fese.

D. Inkontinesnsia Bowel/Fecal/Alvi

Inkontinesnsia feses adalah hilangnya kemampuan otot untuk mengontrol pengeluaran


feses dan gas dari anus. Kerusakan spinter anus akibat kerusakan fungsi spinter atau persarafan
didaerah anus yang menyebabkan inkontinensia. Penyebabnya penyakit neuromuskuler, trauma
spinal cord dan tumor spinter anus eksternal, 60% usila inkontinensi.

Inkontinensia dapat membahayakan citra tubuh dan mental klien, maka klien sangat
tergantung pada perawat untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Perawat harus mengerti dan
sabar meskipun berulang-ulang kali membereskannya. Seperti diare, inkontinensia bisa
menyebabkan kerusakan kulit. Jadi perawat harus sering memeriksa perineum dan anus, apakah
kering atau basah.

E. Kembung

Kembung merupakan menumpuknya gas pada lumen intestinal sehingga dinding usus
meregang dan distensi, dapat disebabkan karena konstipasi, penggunaan obat-obatan seperti
barbiturate, ansietas. Penurunan aktivitas intestinal, makan banyak mengandung gas, pemecahan
makanan oleh bakteri-bakteri dan efek anastesi.

F. Flatulensi

Flatulensi merupakan keadaan penuh udara didalam perut akibat penumpukan gas
dilumen intestinal yang menumbulkan rasa kembung, nyeri, dan kram. Kondisi ini ditandai
dengan distensi lambung dan usus, terdapat rasa tidak nyaman didaerah abdomen, serta terdengar
bunyi timpanu diabdomen.

Penumpukan gas dilumen intestinal dapat disebabkan oleh peningkatan gas akibat
pemecahan gas makanan oleh bakteri yang menghasilan gas metan sertas pembusukan diusus
yang menghasilkan CO2. Selain itu, oenumpukan gas juga dapat disebabkan oleh konstipasi,
penggunaaan obat-obatan yang mengakibatkan penurunan aktivitas dan ansietas (misalnya
barbiturat), pengonsumsian makanan yang banyak mengandung gas, serta dampak dari tindakan
anestesia.

G. Hemeroid

Pembengkakan atau pelebaran vena pada dinding rectum (bisa internal atau eksternal)
akibat peningkatan tekanan didaerah tersebut penyebarannya adalah konstipasu kronis, kehmilan,
dan obesitas. Jika terjadi inflamasi dan pengerasan, maka klien merasa panas dan rasa gatal.
Kadang-kadang BAB dilupakan oleh klien, karena saat BAB menimbulkan nyeri. Akibat
lanjutannya adalah komstipasi.

5. Patofisiologi Gangguan Eliminasi Fekal

Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut juha bowel
movement. Frekwensi defeksi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari
sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasu setiap orang. Ketika
gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam
rektum dirangsang dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.

Defeksi biasnya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu refleks defekasi instrinsik. Ketika
feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum memberi suatu signal yang
menyebar melalui pleksus mesenrrikus untuk memulai gelombang peristaltik pada kolon
desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan feses kearah anus.
Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak menutup dan bila
spingter eksternal tenang maka feses keluar.

Refleksi defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang,
signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2-4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon
sigmoid dan rektum. Sinyal-sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang peristaltik,
melemaskn spingter anus internal dan meningkatkan refleks defekasi instrinsik. Spingger anus
individu duduk ditoilet atau bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.

Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut diapahragma yang akan
meningkatkan tekanan abdomial oleh kotrasi muskulus levator ani pada dasar panggul yang
menggerakan fases melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi paha yang
meningkat tekanan didalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan tekanan bawah kearah
rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika defekasi diihambat secara sengaja.dengan
mengkontraksikan muskulus spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara
berulag dapat menghasilkan rektum melluas untuk menampunng kumpulan feses. Cairan feses
diabsorpsi sehingga fases menjadi keras dan terjadi konstipasi.

7. Faktor Yang Mempengaruhi Fekal

A. Usia

Perkembangan seseorang memengaruhi kemampuan orang tersebut untuk mengendalikan


(mengontrol) defekasi. Bayi belum memiliki kemampuan mengendalikan defekasi secara penuh.
Sehingga ia sering melakukan defekasi secara langsung. Orang dewasa sudah memiliki
kemampuan mengendalikan defekasi secara penuh. Pada lansia, kemampuan mengendalikan
defekasi berkurang karena kemampuan fisiologia sejumlah organ menurun. Oleh sebab itu, lansia
juga terkadanf melakukan defekasi secara langsung.

B. Diet
Diet atau pola makan tertentu mempengaruhi supan nutrisi. Beberapa jenis makanan
dapat membantu memperlancar proses defekasi, misalnya makanan berserat. Kekurangan
makanan berserat akan menyebabkan kesulitan melakukan defekasi.

Selain itu, secara fisiologis, jumlah makanan yang dikonsumsi oleh tubuh juga
berpengaruh terhadap keinginan defekasi. Makin banyak makanan yang masuk kedalam tubuh,
makin kuat keinginan defekasi.

C. Asupam cairan

Kekurangan asupan cairan menyebabkan feses menjadi lebih keras karena adanya a
sorbsi air di kolon. Akibatnya, proses defekasi menjadi sulit.

D. Tonus Otot

Proses defekasi dibantu oleh kontraksi dari berbagai macam otot, contohnya otot perut
perut dan diafragma. Aktivitas tonus otot-otot tersebut membantu kelancaran proses defekasi.
Apabila tonus otot kolon baik, gerakan peristaltik didaerah kolon juga baik sehingga proses
defekasi dapat berjalan dengan lancar.

E. Gaya Hidup dan Kebiasaan

Orang yang terbiasa buang air besar ditoiler tertutup akn kesulitan apabila harus buang
air besar ditempat terbuka. Terkadang, orang yang terbiasa buang air besar ditoilet jongkok akan
kesulitan apabila harus buang air besar ditoilet duduk. Begitupula sebaliknya.

A. Faktor Psikologis

Stres psikologis seperti perasaan cemas arau takut dapat memengaruhi gerak peristaltik
atau motilitas usus. Akibatnya, proses defekasi menjadi terganggu, dan akhirnya dapat
menyebabkan diare atau konstipasi.

B. Medikasi

Beberapa jenis obat dapat menyebabkan konstipasi, misalnya morfin dan kokain. Obat
yang bersifat laksarif dan katartik dapat melunakan feses dan meningkatkan peristaltik.

C. Penyakit

Beberapa jenis penyakit yang menyerang sistem pencernaan dapat menyebabkan diare
atau konstipasi.

D. Nyeri
Kondisi tertentu, misalnya hemoroid, bedah rektum, dan melahirkan, dapat menumbulkan
rasa nyeri pada saat defekasi. Hal ini menyebabkan pasien sering kali menahan keinginannya
untu defekasi. Jika hal ini dibiarkan terlalu lama lama, dapat terjadi konstipasi

E. Kerusakan sensoris dan motoris

Kerusakan pada sisten sensoris dan motoris dimedula spinalis atau di daerah atau
didaerah kepala dapat menyebabkan penurunan stimulasj sensoris dalam berdefekasi.

F. Pembedahan dan anestesi

Pemberian anestesi pada saat pembedahan dapat menurunkan atau memberhentikan


gerakan peristaltik untuk sementara waktu. Kondisi ini disebut ileus paralitik dan umumnya
berlangsung selama 24-48 jam.

G. Pemeriksaan diagnostik

Pemeriksaan diagnostik tertentu mengharuskan dilakukan pengosongan lambung,


misalnya dengan enema atau katarik. Tindakan ini dapat menyebabkan pola eliminasi terganggu.
Prosedur pemeriksaan dengan menggunakan barium juga dapat mengganggu defekasi karena
barium yang tersisa disaluran pencernaan dapat mengeras dan menyebabkan impaksi usus.

8. Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan USG
B. Pemeriksaan Foto Rontgen
C. Pemeriksaan Laboratorium Urin dan Feses

Anda mungkin juga menyukai