DISUSUN OLEH :
KELOMPOK II
NAMA : - DAHLIA
-RUFAIDA
- SEFTIYA ALAWIYAH
Secara terminologi, kata uswah berarti orang yang ditiru, bentuk jamaknya adalah usan.
Sedangkan hasanah berarti baik. Dengan demikian Uswatun Hasanah adalah contoh yang
baik, kebaikan yang ditiru, contoh identifikasi, suri tauladan atau keteladanan. Definisi
Uswatun Hasanah dalam Al-Qur’an dijelaskan dalam QS. Al-Ahzab : 21 dan QS. Al-
Mumtahanah : 4&6 ;
QS. Al-Ahzab : 21
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.
QS. Al-Mumtahanah : 4
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang
yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya
kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari
(kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat
selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim
kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku
tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata): "Ya
Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah
kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali,
QS. Al-Mumtahanah : 6
Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu;
(yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) Hari
kemudian. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang
Maha Kaya lagi terpuji.
Makna uswah dalam surah al-Mumtahanah ayat 4&6 tersebut, adalah menunjukkan suri
tauladan Nabi Ibrahim tersebut, adalah menunjukkan suri tauladan Nabi Ibrahim untuk
dijadikan contoh. Agama yang dibangkitkan kembali oleh Nabi Muhammad SAW ialah
agama hanifan musliman, yang bertujuan lurus kepada Allah disertai penyerahan diri.
Kaitan antara pengertian uswah dalam surah al-Mumtahanah dan surah al-Ahzab tersebut
adalah kewajiban mengikuti langkah Rasulullah yang berpegang teguh pada pendiriran
tauhid, suri tauladanpun hendaklah diambil juga dari nabi-nabi yang lain, terutama Nabi
Ibrahim AS.
Mengikuti pendapat orang lain, baik dalam keyakinan, ucapan maupun perbuatan tanpa
didasari pada argumen, baik sangka, dan pengesahan dalil yang benar disebut taklid.
Menurut Uwes al-Qarni, taklid seseorang dalam agama dapat terjadi dalam dua hal
berikut:
1. Taklid dalam urusan akidah; yakni keimanan seseorang kepada Allah dan Rasulnya
tanpa didasari pada dalil akal yang dapat mendukung kebenaran imannya.
Keimanannya hanya didasarkan pada apa yang ditemukan dari orang lain.
2. Taklid dalam urusan ibadah; yakni amal ibadah seseorang yang berpedoman pada apa
yang dia temukan dari orang lain (terutama para ulama)tanpa mengetahui apa,
darimana, dan bagaimana dia memahami makna dan sumber yang aslinya.
Jelaslah benang merah antara taklid dan meneladani bahwa meneladani adalah sikap
objektif seorang individu dalam mengaplikasikan sesuatu, sedangkan taklid adalah sikap
subjektif seorang individu dalam mengaplikasikan sesuatu.
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.
Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran)". Al-Quran
itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.
Di samping memiliki pengaruh yang baik dalam bidang kebajikan dan amal shalih,
serta cara-cara da’i dalam menyampaikan dakwahnya, keteladanan nyata akan tidak
efektif dan buruk apabila berada dalam lingkungan yang tidak kondusif atau para da’i
yang tidak memiliki hikmah dan sibghah. Berikut kriteria akhlak da’i teladan:
a. Ia harus menyadari keagungan, ketinggian, dan kemuliaan tugas dakwah.
b. Ia harus menyadari urgensi dan kepentingan dakwah.
c. Harus menyadari akan pahala besar yang diperolehnya dibalik tugas dakwah.
d. Ikhlassunniyah.
e. Harus berpegang teguh pada taujiih Rabbani dalam kerja dakwah.
f. Harus menghidupkan hatinya dengan apa yang didakwahkan oleh lisannya.
g. Harus memahami lapangan (Ma’rifatul maidan) dan medan dakwah yang
dihadapi.
h. Objektif dan realitas dalam pembicaraan.
i. Harus berbekal ilmu.
j. Dalam pembicaraan harus mengaitkan antara topik dan objek dakwah harus
menjadi teladan yang baik dalam perilaku dan kehidupan.
k. Harus mencerminkan pemahaman islam yang shahih.
l. Harus seoptimal mungkin dalam menjauhi perbuatan maksiat.
m. Dalam pembicaraannya jangan sampai melukai hati seseorang atau lembaga.
n. Harus menjauhi uslub “mengkafirkan” atau “memfasiqkan” kaum muslimin
dengan menyebut nama.
o. Harus senantiasa mengambil ibrah dan faedah dalam uslub dakwah.
p. Harus beruswah kepada Rasulullah SAW.
q. Harus menjaga dengan baik waktu yang telah disediakan oleh mad’u.
r. Jangan sampai memandangremeh masalah.
s. Jika banyak yang terkesan, jangan takabur, kembalikan semuanya pada Allah.
Melihat penjelasan di atas dapat pula dikatakan bahwa apa yang kita tiru dari Rasulullah
adalah memilah-milah keteladanan itu sesuai dengan sikap Rasulullah, yakni dengan
menyatakan bahwa sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah itu, selama bukan merupakan
kekhususan yang berkaitan dengan kerasulan dan juga bukan merupakan penjelasan
agama. Apabila yang mengikutinya dengan niat meneladani, maka keteladanan itu
mendapat ganjaran dari Allah SWT.
Menurut bahasa, qudwah berarti uswah; yang berati keteladanan atau contoh. Meneladani atau
menyontoh, sama dengan mengikuti suatu pekerjaan yang dilakukan sebagaimana adanya. Yang
dimaksud keteladanan di sini adalah keteladanan yang baik.Dalam ayat yang dikemukakan di
muka, keteladan sengaja diberi sifat baik, karena dalam prakteknya, bisa saja seseorang menjadi
teladan yang buruk. Dalam hadits diungkapkan: “Barangsiapa yang membuat tradisi baik, maka
baginya pahala atas apa yang dilakukannya serta pahala orang lain yang mengikuti tradisi
tersebut tanpa mengurangi pahala merekayang mengikutinya sedikitpun. Dan barangsiapa yang
membuat tradisi buruk, maka baginya dosa serta dosa yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa
para pengikutnya sedikitpun. (HR. Muslim).
1. Qudwah hasanah yang bersifat mutlak, yaitu suatu teladan atau contoh baik yang sama
sekali tidak tercampuri keburukan karena statusnya benar-benar baik; sebagai teladan
yang diberikan Rasululah saw. pada ummatnya. Status rasul yang ma’shum (terbebas
dari dosa), membuat beliau menjadi teladan yang mutlak bagi ummatnya. Firman Allah
SWT:
}21:لقد كان لكم في رسول هلل أسوة حسنة لمن كان يرجو هللا واليوم األخر وذكر هللا كثيرا {األحزاب
1. Qudwah hasanah nisbi yaitu teladan yang terikat dengan yang disyariatkan oleh Allah
SWT. Karena status teladan itu dari manusia biasa bukan Rasul ataupun Nabi.
Keteladanan dari mereka, seperti para ulama dan pemimpin umat lainnya, hanya sebatas
jika tidak bertentangan dengan syariat.
Personal approach atau pendekatan personal sebagai metode keteladanan sudah dilakukan oleh
Nabi semenjak turunnya wahyu, yaitu yang dengan secara langsung memberikan contoh, dan
karena di antara fitrah manusia adalah suka mengikuti, dan pengaruh asimilasi tersebut lebih
besar.Pengaruh yang diterima lebi membekas karena sifatnya fitri dan alami.
KESIMPULAN
Sejatinya manusia adalah suci sebagai fitrahnya, dan tatkala sebagian manusia melenceng
dari fitrahnya maka bagi manusia yang lain supaya meluruskannya. Ketika sebagian manusia
telah menyimpang dari ketentuan Allah SWT. hendaknya memberi nasihat yang baik, mengajak
kembali ke jalan yang benar. Adapun metode-metode dalam dakwah (hikmah, mauidzah
hasanah, mujadalah hasanah dan qudwah hasanah) adalah tuntunan yang diterangkan dalam Al-
quran (An-Nahl:125) sebagai acuan yang telah dicontohkan oleh Nabi, para ulama, serta orang-
orang yang shalih.