Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN TUTORIAL BLOK KEDOKTERAN KOMUNITAS

MODUL 3

PENYAKIT AKIBAT KERJA

Oleh :

KELOMPOK IX

K1A115063 Dian Indra Malik R K1A116074 Nanda Fadillah Restu


K1A116012 Nadya Septiannisa N. K1A116075 Sitti Nurhastiawati
K1A116013 Nurmawadha Safaad K1A116076 Zuhdi Azyumar Dhini
K1A116014 Nurul Aulia Gaus K1A116077 Patricia Putri N
K1A116071Nishar Rakhman A.L

Tutor:

dr. Rizka Purnama Mulya

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2019

1
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa :

Kelompok 9 telah menyelesaikan tugas laporan dengan Laporan Tutorial Blok


Kedokteran Komunitas Modul Penyakit Akibat Kerja

dalam rangka memenuhi tugas Blok Kedokteran Komunitas Fakultas


Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, 25 April 2019

Pembimbing

dr. Rizka Purnam Mulya


2
A. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)
Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu
menjelaskan tentang diagnosis, pencegahan dan pengendalian
penyakit akibat kerja dengan cara surveillans medis dan health risk
assestment.
B. TUGAS UNTUK MAHASISWA
1. Setelah membaca dengan teliti skenario diatas, mahasiswa
mendiskusikan kasus tersebut pada satu kelompok diskusi terdiri
dari 12-15 orang, dipimpin oleh seorang ketua, dan seorang
penulis yang dipilih oleh mahasiswa sendiri. Ketua dan sekretaris
ini sebaiknya berganti-ganti pada setiap diskusi. Diskusi keompok
ini bisa dipimpin oleh seorang tutor atau secara mandiri.
2. Malkukan aktifitas pembelajaran individual diperpustakaan dengan
menggunakan buku ajar, majalah, slide, tape atau video, dan
internet untuk mencari informasi tambahan.
3. Melakukan diskusi kelompok mandiri (tanpa tutor), melakukan
curah pendapat bebas antar anggota kelompok untuk menganalisa
dan atau mentese informasi dalam menyelesaikan masalah.
4. Setelah menyelesaikan seluruh proses diskusi kelompok,
mahasiswa diwajibkan membuat makalah mengenai hal-hal yang
lebih didiskusikan secara berkelompok.
C. PROSES PEMECAHAN MASALAH
Dalam diskusi kelompok dengan menggunakan metode curah
pendapat, mahasiswa diharapkan memecahkan masalah yang
terdapat dalam scenario ini, yaitu dengan mengikuti langkah
penyelesaian masalah dibawah ini:
1. Klarifikasi semua istilah yang asing (bila ada).
2. Tentukan masalah

3
KATA/KALIMAT SULIT

1. Lesi Papul
Lesi Papul adalah bagian dari kulit yang memiliki pertumbuhan atau
penampilan yang abnormal dibandingkan dengan kulit di
sekitarnya.penonjolan padat diatas permukaan kulit, berbatas tegas,
berukuran kurang dari ½ cm (Siregar, 2003)
2. Ekskoriasi
Eskoriasi adalah kerusakan kulit sampai ujung stratum papilaris
sehingga kulit tampak merah disertai bintik bintik perdarahan.
Ditemukan pada dermatitis kontak dan ektima. (Siregar, 2003)

KALIMAT KUNCI

1. Tiga belas karyawan dari 2 bagian/seksi yang berdekatan pada pabrik


tersebut mengalami kelainan kulit.
2. Karyawan ini yakin bahwa kelainan kulit tersebut disebabkan oleh
debu kayu dan kondisi lingkungan kerja yang buruk.
3. Beberapa anggota keluarga mereka juga menderita keluhan yang
sama.
4. Pada waktu investigasi tempat kerja menunjukan bahwa lingkungan
kerja secara umum memuaskan.
5. Pada pemeriksaan pekerja yang menderita kelainan kulit didapatkan
adanya lesi papul dan tanda-tanda ekskoriasi dan adanya liang pada
kulit sela jari-jari dan permukaan fleksor dari pergelangan tangan.

4
PERTANYAAN

1. Jelaskan pengertian dan perbedaan Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan


Penyakit Akibat Hubungan Kerja (PAHK) !
2. Jelaskan jenis-jensi potensi bahaya serta menentukan jenis potensi
bahaya pada kasus !
3. Jelaskan hubungan gejala pada kasus dengan pekerjaan sebagai
karyawan mebel !
4. Jelaskan langkah-langkah diagnosis pada kasus !
5. Jelaskan penatalaksanaan pada kasus !
6. Jelaskan pencegahan dan pengendalian penyakit pada kasus !

5
JAWABAN

1. Jelaskan pengertian dan perbedaan Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan


Penyakit Akibat Hubungan Kerja (PAHK) !

Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia NO. 7 Tahun 2019


tentang penyakit akibat kerja pada pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa
Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan
dan/atau lingkungan kerja.

Menurut International Labour Organization (ILO), penyakit akibat


hubungan kerja adalah penyakit yang mempunyai beberapa agen
penyebab, dimana factor pada pekerjaan memegang peranan bersama
dengan factor resiko lainnya dalam berkembangnya penyakit yang
mepunyai etiologi yang kompleks dan penyakit dapat diperberat,
dipercepat atau kambuh oleh pemaparan ditempat kerja dan dapat
mengurangi kapasitas kerja. Sifat perorangan, lingkungan, dan factor
social budaya umumnya berperan sebagai factor resiko.

Adapun perbedaan penyakit akibat kerja (PAK) dan penyakit akibat


hubungan kerja (PAHK), dapat dijelaskan dalam table dibawah ini

Penyakit Akibat Kerja Penyakit Akibat


(PAK) Hubungan Kerja (PAHK)
Terjadi hanya diantara Terjadi pula pada populasi
populasi pekerja penduduk
Penyebab spesifik Penyebab multi faktor
Adanya paparan ditempat Pemaparan ditempat kerja
kerja merupakan hal yang mungkin merupakan salah
terpenting satu factor

6
Tercatat dan mendapatkan Mungkin tercatat dan
ganti rugi mendapatkan ganti rugi

2. Jelaskan jenis-jensi potensi bahaya kerja serta menentukan jenis


potensi bahaya kerja pada kasus !
Bahaya (hazard) ialah semua sumber, situasi ataupun aktivitas
yang berpotensi menimbulkan cedera (kecelakaan kerja) dan atau
penyakit akibat kerja (OHSAS 18001, 2007). Bahaya diartikan sebagai
potensi dari rangkaian sebuah kejadian untuk muncul dan menimbulkan
kerusakan atau kerugian. Jika salah satu bagian dari rantai kejadian
hilang, maka suatu kejadian tidak akan terjadi. Bahaya terdapat dimana-
mana baik di tempat kerja atau di lingkungan, namun bahaya hanya
akan menimbulkan efek jika terjadi sebuah kontak atau eksposur
(Tranter, 1999).
Merupakan jenis bahaya yang berdampak pada kesehatan,
menyebabkan gangguan kesehatan dan penyakit akibat kerja.
Dampaknya bersifat kronis. Jenis bahaya kesehatan antara lain:
a. Bahaya Fisik, antara lain kebisingan, getaran, radiasi ion dan non
pengion, suhu ekstrem dan pencahayaan.
b. Bahaya Kimia, antara lain yang berkaitan dengan material atau
bahan seperti antiseptik, aerosol, insektisida, dust, mist, fumes,
gas, vapor.
c. Bahaya Ergonomi, antara lain repetitive movement, static
posture, manual handling dan postur janggal.
d. Bahaya Biologi, antara lain yang berkaitan dengan makhluk hidup
yang berada di lingkungan kerja yaitu bakteri, virus, protozoa,
dan fungi (jamur) yang bersifat patogen.

7
e. Bahaya Psikologi, antara lain beban kerja yang terlalu berat,
hubungan dan kondisi kerja yang tidak nyaman

Berdasarkan pembagian jenis bahaya kesehatan kerja maka, kasus


pada scenario lebih menekankan pengelolaan system sirkulasi udara
yang kurang baik yaitu ventilasi udara tidak dengan optimal mengatur
sirkulasi udara didalam ruang kerja menyebabkan penumpukan debu
hasil olahan kayu dimebel menjadi menumpuk didalam ruangan kerja,
maka jenis bahaya kesehatan kerja pada scenario adalah bahaya
(hazard) fisik.

Bahaya Fisik (Physical hazards) merupakan hazard yang


berasal dari segala energi yang jumlahnya lebih besar dari kemampuan
diri pekerja menerimanya. Energi berlebih ini banyak berasal dari alat-
alat kerja yang ada disekitan tempat kita bekerja. Contohnya bising yang
dapat berasal dari penggunaan alat bersuara tinggi (seperti speaker,
mesin las, bahkan suara knalpot yang sudah dimodifikasi juga termasuk
dalam bahaya fisik), sehingga nantinya pekerja tersebut berpotensi
terjadi tuli; getaran yang dapat berasal dari benda bergetaran tinggi
seperti mesin pembolong jalan, truk-truk besar,dsb, dimana dapat
berpotensi kemandulan pada pria, rusaknya jaringan syaraf tepi, bahkan
hingga lumpuh; energi listrik, radiasi ion dan non-ion, suhu ekstrim, dan
sebagainya.

8
3. Jelaskan hubungan gejala pada kasus dengan pekerjaan sebagai
karyawan mebel !

Paparan debu di ruang kerja secara tidak langsung akan


menimbulkan berbagai gangguan kesehatan seperti gangguan pada kulit
berupa iritasi kulit yang dapat mempengaruhi produktifitas kerja.
Gangguan kesehatan dapat dipengaruhi oleh keterpaparan debu di
ruangan, lamanya waktu bekerja serta perilaku pekerja dalam hal
pengendalian paparan debu kayu seperti penggunaan alat pelindung diri
(APD).

Debu kayu yang dapat dihasilkan melalui proses mekanik seperti


penggergajian, penyerutan dan penghhalusan (pengamplasan). Debu
kayu yang dihasilkan dapat terpapar terhadap pekerja seperti pada
kulit.(Triatmo,2006) Debu yang dihasilkan merupakan salah satu bahaya
potensial terhadap kesehatan pekerja terutama pada bagian pengolahan
kayu. Apabila debu kayu lama tertapar atau kotak secara langsung dengan
kulit dalam waktu yang lama terhadap pekerja maka akan timbul gatal-
gatal pada kulit seperti alergi atau penyakit kulit lainnya yang dikenal
dengan dermatosis.

Nilai Baku Mutu untuk debu yang berada di lingkungan kerja telah
ditetapkan oleh pemerintah dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara
yaitu 230 µg/Nm3 .. Karena keseluruhan memiliki nilai kadar debu yang
lebih dari nilai baku mutu maka diketahui bahwa ada hubungan antara
kadar debu kayu total dengan kelainan kulit. Menurut asumsi peneliti,
pengaruh kadar debu terhadap kelainan kulit pekerja yaitu dikarenakan
jumlah kadar debu yang berada di ruang kerja sudah melebihi nilai baku
mutu yang disyaratkan dan tingkat kelembaban ruang kerja juga tinggi

9
sehingga apabila pekerja berada di tempat itu maka akan menyebabkan
kelainan kulit. Menurut Suma’mur 1996 Dermatitis kontak merupakan
peradangan yang terjadi oleh karena kontak antara kulit dengan bahan
yang datang dari luar dan bersifat toksik maupun alergik atau keduanya
yang terjadi akibat seseorang melakukan pekerjaan. Walaupun dalam
dosis kecil, apabila berlangsung terusmenerus maka dapat menimbulkan
efek kronis pada tubuh. Efek akut dapat berupa gejala-gejala gatal, kulit
kering, kemerahmerahan, dan pecah-pecah.

4. Jelaskan langkah-langkah diagnosis pada kasus !

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia NO. 56


Tahun 2016 tentang penyelenggaraan pelayanan penyakit akibat kerja
pasal 4 ayat 1 diagnosis penyakit akibat kerja dilaksanakan dengan
pendekatan 7 (tujuh) langkah yang meliputi:

a. penegakan diagnosis klinis;


b. penentuan pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja;
c. penentuan hubungan antara pajanan dengan penyakit;
d. penentuan kecukupan pajanan;
e. penentuan faktor individu yang berperan;
f. penentuan faktor lain di luar tempat kerja; dan
g. penentuan diagnosis okupasi.

Berdasarkan kalimat kunci yang telah ditentukan maka sebenarnya


kasus pada scenario merupakan penyakit akibat hubungan kerja (PAHK),
hal ini dikarenakan oleh beberapa factor-faktor diantaranya

1. pekerja yang mengalami kelainan kulit berada dalam 2


bagian/seksi yang lokasi ruang kerjanya berdekatan tetapi pada
bagian/seksi lain yang lokasi ruang kerjanya jauh dengan mereka
tidak mengalami kelainan kulit.

10
2. Telah dilakukan investigasi tempat kerja dan hasilnya mengatakan
bahwa lingkunga kerja secara umum memuaskan.
3. Beberapa anggota keluarga pekerja juga menderita penyakit yang
sama, sementara mereka tidak bekerja di pabrik
4. Adanya hasil pemerksaan dimana didapatkan lesi papul dan
tanda-tanda ekskoriasi serta adanya liang pada kulit sela-sela jari
dan permukaan fleksor dari pergelangan tangan.

Berdasarkan factor-faktor diatas maka kami menarik kesimpulan


bahwa tiga belas karyawan dari 2 bagian/seksi pada pabrik mebel
mengalami penyakit akibat hubungan kerja (PAHK), dimana debu dan
ruangan kerja yang pengap menjadi hubungan atau terkait dengan
pekerjaan bukan karena akibat kerja.

Maka, diagnosis yang bisa kita lakukan terkait denga pemeriksaan


sacara dermatologis. Diagnosis klinis ditetapkan berdasarkan: anamnesis,
yaitu adanya pruritus nokturna dan erupsi kulit berupa papul, vesikel dan
pustul di tempat predileksi. Selain itu diperoleh keterangan bahwa gejala
ini juga terdapat pada sekelompok orang dan ruam pada kulit berawal
dengan terjadinya papulae eritrema (penonjolan kulit tanpa berisi cairan,
berbentuk bulat, berbatas tegas, berwarna merah, ukuran<1 cm) yang
terus nantinya berkembang menjadi vesicle atau pustule, kemudian
adanya terowongan dibawah lapisan kulit. Diagnosis pasti ditetapkan
dengan menemukan apakah gejala disebabkan oleh jamur, tungau atau
telurnya pada pemeriksaan laboratorium. Namun kadang sulit untuk
menemukan tungau ini, karena jumlahnya yang sedikit walaupun memang
adanya peningkatan eosinofil sebagai penanda alergi. Berdasarkan hasil
anamnesis kita sudah bisa menarik sebuah dugaaan bahwa tiga belas
pegawai mebel tersebut mengalami gejala seperti mengalami scabies,
maka hasil dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan

11
dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang yang spesifik untuk kasus
scabies.(Railly dkk, 1985)

Terdapat beberapa metode untuk mendiagnosis skabies diantaranya


dengan Kalium Hidroksida (KOH) dengan cara digores (scrapping) dari
liang atau terowongan, dermoskopi, pembesaran fotografi digital, biopsi
kulit, dan presentasi klinik, termasuk papula merah yang gatal dan ruam.
Tujuan dari diagnosis ini adalah visualisasi secara langsung tungau atau
telur penyebab skabies. Visualisasi langsung dapat dilakukan dengan
preparasi KOH atau dengan biopsi terowongan yang menunjukkan adanya
tungau. Test KOH ini cukup spesifik namun kurang sensitif. Biopsi hanya
menunjukkan inflamasi sel dengan adanya sejumlah eosinofil, edema, dan
spongiosis epiderma.(Buxton, 1988)

5. Jelaskan penatalaksanaan pada kasus !


Agar pengobatan berhasil maka diperlukan diagnosa yang tepat
terutama didukung oleh hasil pemeriksaan laboratorium yang akurat.
Beberapa macam obat dapat dipakai dalam pengobatan skabies. Selain itu
agar penderita benar-benar sembuh maka diperlukan pengetahuan cara
pengobatan yang benar, misalnya dari cara pemakaian obat secara benar,
hindari penggunaan obat secara berlebihan terutama karena biasanya
meskipun tungau sudah tidak ada namun gatal masih sangat terasa
sehingga penderita akan memakai obat dalam jumlah banyak. Mengingat
masa inkubasi yang cukup lama, maka semua orang yang kontak dengan
penderita juga perlu diobati meskipun tidak didapatkan gejala, juga karena
kemungkinan penetrasi obat yang terganggu seperti pada lesi penderita
kusta atau pada penderita dengan infeksi sekunder, sehingga pada
penderita terakhir ini perlu diberikan antibiotik. Selain itu pakaian, seprei,

12
selimut, sarung/bantal dan guling harus dicuci dengan air panas. Kasur,
bantal dan guling perlu dijemur; juga ventilasi kamar perlu diperbaiki. Pada
Iingkungan rumah yang padat biasanya rumah tidak mempunyai jendela,
atau kalau ada jarang dibuka, sehingga sinar matahari tidak dapat
masuk.(suma’mur,1997)
Untuk ditempat kerja juga harus diperhatikan system sirkulasi udaranya,
pakaian kerja yang bersih dengan cara rutin dicuci setiap maksimal 2 hari
sekali dicucinya dan untuk sementara dianjurkan kepada pekerja yang
mengalami scabies untuk dipindah tugskan kebidang/seksi yang factor
resiko meningkatkan insidensi scabies, terutama bisang/seksi yang system
sirkulasi baik dan kurang debu kayunya bahkan untuk lebih baiknya lagi
para pekerja bisa mengambil cuti terlebih dahulu untuk mengobati
penyakitnya hingga sembuh sehingga diharapkan tidak memotong siklus
penularan kepegawai lain diperusahaan mebel tersebut. (suma’mur,1997)
Kemudian bisa juga diberikan beberapa macam obat dipakai dalam
pengobatan skabies yaitu:
a. Gamma benzen hexaklorida (Gameksan).
b. Krotamiton.
c. Sulfur.
d. Benzil benzoat.
e. Kortikosteroid dan preparat ter.
f. Perinethrin.
6. Jelaskan pencegahan dan pengendalian penyakit pada kasus !

Pencegahan Penyakit Akibat Kerja Berikut ini beberapa tips dalam


mencegah penyakit kerja, diantaranya:

 Memakai alat pelindung diri secara benar dan teratur terutama


sarung tangan.

13
 Mengenali resiko pekerjaan dan cegah supayah tidak terjadi
lebih lanjut
 Segara akses tempat kesehatan terdekat apabila terjadi luka
yang berkelanjutan

Selain itu terdapat pula beberapa pencegahan lain yang dapat ditempuh
seperti berikut ini:

a. Pencegahan Pimer – Health Promotion


 Perilaku kesehatan
 Faktor bahaya di tempat kerja
 Perilaku kerja yang baik
 Olahraga
 Gizi
b. Pencegahan Sekunder – Specifict Protectio
 Pengendalian melalui perundang-undangan
 Pengendalian administratif/organisasi: rotasi/pembatas jam
kerja
 Pengendalian teknis: subtitusi, isolasi, alat pelindung diri (APD)
 Pengendalian jalur kesehatan imunisasi
c. Pencegahan Tersier
 Pemeriksaan kesehatan pra-kerja
 Pemeriksaan kesehatan berkala
 Pemeriksaan lingkungan secara berkala
 Surveilans
 Pengobatan segera bila ditemukan gangguan pada pekerja
 Pengendalian segera ditempat kerja

Dalam pengendalian penyakit akibat kerja, salah satu upaya yang


wajib dilakukan adalah deteksi dini, sehingga pengobatan bisa dilakukan

14
secepat mungkin. Dengan demikian, penyakit bisa pulih tanpa menimbulkan
kecacatan. Sekurang-kurangnya, tidak menimbulkan kecacatan lebih lanjut.
Pada banyak kasus, penyakit akibat kerja bersifat berat dan mengakibatkan
cacat.(Barry,2006)

Ada dua faktor yang membuat penyakit mudah dicegah.

a. Bahan penyebab penyakit mudah diidentifikasi, diukur, dan dikontrol.


b. Populasi yang berisiko biasanya mudah didatangi dan dapat diawasi
secara teratur serta dilakukan pengobatan.

pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan kesehatan ini meliputi:

a. Pemeriksaan sebelum penempatan Pemeriksaan ini dilakukan


sebelum seorang dipekerjakan atau ditempatkan pada pos pekerjaan
tertentu dengan ancaman terhadap kesehatan yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisik yang ditunjang dengan pemeriksaan lain seperti
darah, urine, radiologis, serta organ tertentu, seperti mata dan telinga,
merupakan data dasar yang sangat berguna apabila terjadi gangguan
kesehatan tenaga kerja setelah sekian lama bekerja.
b. Pemeriksaan kesehatan berkala Pemeriksaan kesehatan berkala
sebenarnya dilaksanakan dengan selang waktu teratur setelah
pemeriksaan awal sebelum penempatan. Pada medical check-up rutin
tidak selalu diperlukan pemeriksaan medis lengkap, terutama bila tidak
ada indikasi yang jelas. Pemeriksaan ini juga harus difokuskan pada
organ dan sistem tubuh yang memungkinkan terpengaruh bahan-
bahan berbahaya di tempat kerja, sebagai contoh, audiometri adalah
uji yang sangat penting bagi tenaga kerja yang bekerja pada
lingkungan kerja yang bising. Sedang pemerikaan radiologis dada (foto

15
thorax) penting untuk mendeteksi tenaga kerja yang berisiko menderita
pneumokonosis, karena lingkungan kerja tercemar debu. (Barry,2006)

DAFTAR PUSTAKA

Barry S. Levy, David H. Wegman. Occupational Health : Recognizing and


Preventing Work Related Disease. Edisi ke-3,2006

Buxton PK., 1988. ABC Dermatology: Insect Bites and Infestation. British
Medical Journal, vol 296. p: 489491

Ho CM., 1991. Scabies. Lecture Note: Diploma in Applied Parasitology and


Entomology, Bahagian Acarology Institute for Medical Research, Malaysia.
Pp: 4.

[ILO] International Labour Organization. 2002. Kode Praktis ILO Keselamatan


dan Kesehatan Kerja di Kehutanan, Yanri Z, Yusuf M, Ernawati AW,
penerjemah; Elias, editor. International Labour Office. Geneva. Terjemahan
dari: Safety and Health in Forest Work.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2019 Tentang


Penyakit Akibat Kerja Pasal 1 Ayat 1

Sanusi ID., Brown EB., Shepard TG., and Grafton WD., 1989. Tungiasis: report
of one case review of the 114 reported cases in the United States. Journal
of the American Academy of Dermatology. Vol 20 No. 5 part 2. p: 941 – 944

Suma’mur PK. 1977. Kesehatan dan Keselamatan Kerja dalam Pekerjaan


Kehutanan dan Industri Perkayuan. Jakarta: Lembaga Nasional Higene
Perusahaan dan Kesehatan KerjaPusat Bina Hiperkes dan Keselamatan
Kerja.

Siregar, C.J.P, 2003. Farmasi Rumah Sakit Teori & Penerapan. Jakarta : EGC

16
Reilly S., Cullen D., and Davies MG. 1985. An outbreak of Scabies in a Hospital
and Community. British Medical Journal. Vo. 291. p: 1031 – 1032

Rahardjo W, Sunarsiah. 2008. Faktor-faktor penyebab kecelakaan kerja pada


tenaga kerja sektor perkayuan di Kalimantan Barat. Majalah Keselamatan
Kerja dan Hiperkes XXXXI(1):59.

17

Anda mungkin juga menyukai