PENDAHULUAN
Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) adalah penyakit infeksi saluran
napas yang disebabkan oleh virus Corona dengan sekumpulan gejala klinis yang berat.
SARS berpotensi untuk menyebar dengan sangat cepat sehingga menimbulkan
implikasi yang besar bagi para tenaga kesehatan. Selanjutnya, dengan meningkatnya
jumlah penerbangan internasional selama beberapa dekade terakhir, memungkinkan
terjadinya penyebaran infeksi SARS yang luas hingga lintas benua dan menjadi suatu
ancaman internasional.
Saat SARS muncul pada Maret 2003 di Guangzhou, SARS digarnbarkan
sebagai suatu pneumonia yang atipik. Pada saat itu, etiologi penyakit ini masih belum
diketahui, sehingga pemeriksaan diagnostic yang sesuai pun belum tersedia.
Satu-satunya alat penunjang diagnostik yang tersedia dan digunakan sebagai pedoman
definisi kasus oleh World Health Organization (WHO) dan Center for Disease
Control (CDC) hanyalah dari tampilan gejala klinis dan riwayat kontak dengan pasien
SARS.
ETIOLOGI
Saat ini penyebab SARS sudah berhasil diketahui, yaitu berupa infeksi virus
yang tergolong ke dalam Genus Coronavirus (CoV). CoV SARS biasanya bersifat
tidak stabil bila berada di lingkungan. Namun virus ini mampu bertahan selama
berhari-hari pada suhu kamar. Virus ini juga mampu rnempertahankan viabilitasnya
dengan baik bila masih berada di dalam feses.
Genus Coronavirus berasal dari ordo Nidovirales, yaitu golongan virus yang
memiliki selubung kapsul dan genomRNA rantai tunggal. Berdasarkan studi genetik
dan anti-genisitas, CoVterbagi ke dalam 3 kelompok besar yaitu; 1). Kelompok 1,
human CoV 229E dan porcine trans-missibte gastroenteritis virus; 2). Kelompok 2,
human CoV OC34, bovine coronavirus, mice hepatitis virus', dan 3). Kelompok 3,
virus bronkitis infeksiosa. Menurut berbagai penelitian yang telah dilakukan, CoV
SARS diketahui memiliki reaktivitas silang dengan anti serum yang diproduksi oleh
CoV 229E. Namun pada analisa sequences genom, CoV SARS memiliki struktur
genom yang berbeda dengan genom CoV yang ada. Sehingga disimpulkan, bahwa
CoV yang muncul baru-baru ini dan menyebabkan outbreak SARS pada tahun 2003
adalah jenis baru yang sama sekali belum pernah muncul sebelumnya (novel
coronavirus).
PENULARAN
Cara penularan CoV SARS yang utama ialah melalui kontak langsung
membran mukosa (mata , hidung dan mulut) dengan droplet pasien yang terinfeksi.
Kasus-kasus SARS terutama dilaporkan pada orang-orang yang memiliki riwayat
kontak langsung dengan pasien SARS yang sakit berat, sehingga kelompok yang
memiliki risiko terbesar untuk tertular virus ini ialah para tenaga medis yang bekerja di
rumah sakit. Kenyataan ini mengharuskan pemberlakuan pengendalian infeksi yang
optimal di seluruh rumah sakit sebagai proteksi bagi para tenaga medis dan
pengendalian infeksi di komunitas untuk mengurangi terjadinya penularan di
masyarakat
Selain kontak langsung dengan droplet pasien yang terinfeksi, berbagai
prosedur aerosolisasi di rumah sakit (intubasi, nebulisasi, suction dan ventilasi) dapat
meningkatkan risiko penularan SARS oleh karena kontaminasi alat yang digunakan,
baik droplet, maupun materi infeksius lainnya seperti partikel feses dan urin. Selain
itu, kemungkinan penularan virus melalui benda-benda yang menyerap debu dan sulit
untuk dibersihkan, seperti karpet, juga masih perlu diselidiki lebih lanjut.
peran jalur fekal-oral dalam penularan CoV SARS masih belum diketahui.
Saat terjadinya outbreak SARS di Hong Kong, dilaporkan 20% -73% kasus SARS
rnemberikan gejala diare. Begitu juga dengan kasus SARS yang terjadi di Vietnam,
Guangzhou, hingga Ontario, diare pada SARS telah dilaporkan di masing-masing
daerah dengan prevalensi yang bervariasi. Meskipun demikian, masih belum ada
laporan yang menguatkan bilamana diare tersebut muncul sebagai akibat dari
penularan melalui jalur fekal oral, sehingga rute ini tetap menjadi tanda tanya besar di
dalam penularan CoV SARS. Namun dengan diketahuinya jumlah virus yang banyak
terdapat di dalam feses pasien-pasien SARS, serta dengan kemungkinan munculnya
diare, maka kedua hal tersebut tetap harus menjadi perhatian khusus para tenaga medis
di dalam alternatif penularan CoV SARS selama belum ada hasil evidence based yang
menyangkal.
Manifestasi Klinis
Gejala prodromal. SARS memiliki masa inkubasi antara 1 sampai 14 hari
dengan rata-rata waktu sekitar 4 hari. Gejala prodromal SARS dimulai dari gejala
infeksi sistemik yang tidak spesifik seperti demam, mialgia, menggigil dan rasa
kaku-kaku di tubuh, batuk non-produktif, nyeri kepala dan pusing. Demam dengan
suhu tubuh >38 °C termasuk dalam definisi kasus awal (initial case definition). Gejala
ini tergolong gejala tipikal yang dilaporkan pada hampir seluruh pasien SARS.
Meskipun demikian, tidak semua pasien SARS menunjukkan gejala demam. Misalnya
pada pasien-pasien usia lanjut, demam mungkin menjadi gejala yang tidak menonjol.
Demam tinggi yang naik turun seringkali berhubungan dengan rasa menggigil
dan kaku-kaku di tubuh. Selain itu pasien juga sering merasa sangat lelah disertai
dengan nyeri otot yang dirasakan di sekujur tubuh. Pada beberapa kasus, demam
menghilang dengan sendirinya pada hari ke- 4 hingga ke-7, tetapi ini tidak
mengindikasikan adanya perbaikan dari gejala-gejala yang ada. Kenaikan ulang suhu
tubuh dan perburukan dari gejala-gejala penyakit seringkali muncul pada minggu
ke-2.
Gejala penyakit yang tidak spesifik lainnya seperti pusing, nyeri kepala dan
malaise juga umum ditemukan pada pasien-pasien SARS. Gejala pusing yang sangat
berat telah dilaporkan pada pasien-pasien yang berusia muda, diantaranya bahkan
mengalami pingsan saat mencoba bangun dari tempat tidur. Hal ini mungkin berkaitan
dengan munculnya hipotensi pada pasien-pasien tersebut. Banyak pasien mengalami
batuk-batuk kering saat fase awal penyakit. Nyeri tenggorok dan sekresi lendir hidung
yang berlebih (coryza) jarang ditemukan. Pada fase ini, suara napas biasanya akan
terdengar jernih saat auskultasi. Tergantung dan waktu kedatangan, 80% pasien SARS
menunjukkan gambaran radiologis foto dada yang normal pada saat kunjungan
pertama. Namun hal ini tentunya tidak dapat digunakan untuk mengeksklusi diagnosis
SARS dan foto radiologis ulangan perlu dilakukan.
Manifestasi pernapasan. Penyakit paru adalah rnani-festasi klinis yang utama dari
SARS. Gejala berupa batuk-batuk kering, terdapat pada 60-85% kasus dan biasanya
pasien akan merasa sesak ketika batuk. Pada auskultasi sering didapatkan ronki di
basal paru. Mengi biasanya tidak ditemukan. Sekitar akhir minggu pertama dan awal
minggu kedua, gejala-gejala tersebut dapat mengalami perburukan. Pasien akan
mengalami sesak napas yang semakin lama semakin berat, dan pada akhirnya dapat
membatasi kemampuan aktivitas fisik mereka. Saturasi oksigen darah didapatkan
semakin berkurang seiring dengan perjalanan penyakit.
Pada pencitraan, terdapat konsolidasi ruang udara yang fokal dan unilateral
pada tahap awal penyakit, yang kemudian segera berlanjut menjadi multifokal dan
semakin meluas pada minggu kedua. Meskipun proses ini dapat mengenai seluruh
lapang paru, namun ter-dapat kecenderungan predileksi di daerah lobus bawah.
Kadang-kadang didapatkan gambaran infiltrat paru yang berpindah dari satu lokasi ke
tokasi yang lain dalam satu atau dua hari. Perubahan gambaran radiologis tersebut,
sehubungan dengan penurunan viral load, dapat digunakan sebagai dugaan kerusakan
paru yang lebih cenderung disebabkan oleh imunitas tubuh dibandingkan efek
sitolisisvirus secara langsung. Gambaran CT scan toraks menunjukkan gambaran
bronchioiitis obtiterans organizing pnemunia (BOOP), yakni suatu penyakit yang
diperantarai oleh sistem imunitas dan bersifat responsif terhadap terapi kortikosteroid.
Sekitar 20-25% pasien mengalami progresi yang buruk ke arah gagal napas
berat dan acute respiratory distress syndrome (ARDS) sehingga mengharuskan
perawatan ICU. Ventilasi mekanik dibutuhkan ketika suplementasi oksigen dengan
aliran tinggi tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan saturasi oksigen tubuh.
Pasien-pasien yang memerlukan bantuan ventilasi mekanik memiliki angka mortalitas
yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pasien-pasien yang tidak menggunakan.
Kemudian, faktor-faktor lain yang berkaitan dengan keluaran klinis yang buruk
adalah usia lanjut, riwayat penyakit kardio-pulmoner, infiltrat paru bilateral, jumlah
netrofil yang tinggi, peningkatan kreatinin kinase serum (CPK) dan peningkatan laktat
dehidro-genase. Pada saat terjadinya outbreak SARS, kebanyakan pasien-pasien
SARS meninggal di tempat perawatan ICU. Penyebab dari kematian tersebut adalah
ARDS berat, kegagalan fungsi multiorgan, infeksi sekunder dan septikemia, serta
komplikasi tromboembolik.
Pneumotoraks dan pneumomediastinum telah banyak dilaporkan pada
kasus-kasus SARS yang berat. Hal ini dapat muncul spontan sebanyak 12%, atau
sebagai akibat dari penggunaan ventilator di ICU pada 20% lainnya.
Manifestasi pencernaan. Selain keluhan pernapasan, diare adalah gejala yang
penting dan paling sering dikeluhkan. Sebanyak 20% dari pasien-pasien SARS
mengalami diare pada saat kedatangan pertama dan 70% menunjukkan gejala ini
selama masa perjalanan penyakitnya. Biasanya diare yang terjadi ialah cair dengan
volume yang banyak tanpa disertai lendir maupun darah. Pada kasus yang berat
banyaknya cairan yang keluar mengakibatkan ketidakseimbangan elektrolit dan
deplesi cairan tubuh yang berlebih. Pada beberapa kasus yang tidak disertai
pneumonia, diare dan demam adalah satu-satunya gejala yang tampak. Sementara,
pada kasus-kasus yang lain, diare mulai terjadi pada minggu kedua sakit, bersamaan
dengan gejala demam yang rekurens dan perburukan di paru. Namun demikian, diare
pada SARS umumnya swasirna (self limiting) sehingga belum pernah ditemukan kasus
SARS yang meninggal karena diare.
Manifestasi hematologis. Berbagai kelainan yang ditemukan dari darah pasien
SARS penting untuk digunakan di dalam penegakkan diagnosis penyakit. Limfopenia
(<1000/mm3) ditemukan pada hampir semua pasien SARS, dan pada kebanyakan
kasus lebih sering mencapai kadar terendah pada minggu ke dua sakit. Manifestasi
limfopenia ini rnenjadi sangat penting, bahkan tanpa disertai timfopenia yang
progresif, maka diagnosis SARS dipertanyakan. Peningkatan kadar limfosit umumnya
terjadi pada minggu ketiga dan hal ini dapat mencerminkan perbaikan keadaan klinis
pasien. Namun demikian 30% pasien SARS tetap mengalami keadaan limfopenik
sampai dengan minggu kelima sakit.
Leukositosis, yang terutama disebabkan oleh neutrofilia, juga sering ditemukan
pada pasien SARS. Neutrofilia kemungkinan berhubungan dengan terapi
kortikosteroid, namun pada pemeriksaan darah perifer beberapa pasien lainnya,
neutrofilia sudah didapatkan saat kedatangan pertama. Tatalaksana sepsis harus
dilakukan segera pada pasien-pasien SARS dengan neutrofilia dan pemberian
antibiotika spektrum luas secara empiris harus diper-timbangkan. Kerusakan jaringan
paru yang luas juga diduga sebagai penyebab lain dari neutrofilia. Pasien-pasien yang
datang sudah dengan keadaan neutrofilia memiliki keluaran klinis yang lebih buruk,
Trombositopenia didapatkan pada lebih dari 50% kasus-kasus SARS. Tidak
seperti demam berdarah, diatesis hemoragik oleh karena rendahnya kadar trombosit
sangat jarang terjadi. Kadar trombosit akan kembali meningkat pada fase pemulihan.
Trombositopenia ini dapat disebabkan oleh mekanisme imunologis atau sebagai efek
langsung virus pada megakariosit Kadang-kadang trombositopenia muncul sebagai
akibat dari D\C(Disseminated Intravaskutar Coagulation). Dari tampilan klinis,
petekie dan ekimosis dapat ditemukan. Meskipun manifestasi perdarahan sangat
jarang terjadi, sebaliknya trombosis vena ternyata lebih sering ditemukan. Kelainan ini
paling banyak bermanifestasi sebagai trombosis vena dalam pada tungkai,.yang
semakin diperkuat oleh pemeriksaan postmortem dengan ditemukannya
tromboemboli.
Manifestasi hati. Sebanyak 25% dari pasien-pasien SARS mengalami
peningkatan SGPT pada saat kedatangan pertama dan 70% mengalami peningkatan
tersebut selama perjalanan penyakit. Pada kebanyakan pasien, peningkatan SGPT
mulai terjadi hingga akhir minggu pertama sakit dan mencapai puncak pada akhir
minggu kedua. Tingginya kadar SGPT dapat digunakan untuk menduga kemungkinan
keluaran klinis yang lebih buruk dan derajat penyakit yang lebih berat. Mayoritas
pasien mengalami peningkatan SGPT secara bertahap dan kembali secara spontan ke
kadar yang normal seiring dengan pemulihan dari penyakit. Penyebab dari
peningkatan kadar SGPT ini tidak diketahui dengan pasti. Namun, nampaknya
peningkatan enzim hati ini merupakan respon terhadap infeksi CoV SARS pada tubuh
manusia dan bukan diakibatkan oleh infeksi CoV yang spesifik di hepar (hepatitis).
Manifestasi kardiovaskular. Gejala-gejala yang terkait dengan sistem
kardiovaskular jarang ditemukan. Dari seri kasus yang didapatkan di Hong Kong,
kurang lebih 50% dari pasien SARS mengalami hipotensi (sistolik <100 mmHg
dengan atau tanpa distolik < 50 mmHg) selama masa perawatan di rumah sakit.
Rendahnya tekanan darah ini berakibat timbulnya rasa pusing pada banyak pasien.
Takikardia yang persisten didapatkan pada 40% pasien SARS. Manifestasi
kardiovaskular yang terjadi pada pasien SARS umumnya tidak memerlukan
pengobatan dan bersifat asimtomatik. Hanya sebagian kecil pasien SARS yang
mengalami peningkatan kadar CK, dan kenaikan kadar enzim ini ternyata tidak
berhubungan dengan organ jantung.
Manifestasi neurologis. Keluhan pada sistem saraf juga jarang ditemukan
pada SARS. Kasus epilepsi dan di-sorientasi yang ditemukan pada SARS pernah
dilaporkan. Defisit neurologis fokal tidak pernah ditemukan, sementara dari CT-Scan
dan MRI juga tidak didapatkan gambaran abnormaiitas struktur. Pada fungsi lumbal
dan analisa cairan serebrospinal juga tidak didapatkan kelainan. Sehingga, sangat sulit
untuk menentukan bila manifestasi pada sistem saraf memang berhubungan langsung
dengan CoV SARS atau oleh karena terapi yang diberikan (misal: kortikosteroid atau
antibiotika).
Namun tenaga medis tetap harus waspada terhadap kemungkinan manifestasi
SARS pada sistem saraf, sebab pernah dilaporkan satu kasus SARS yang
menunjukkan status epileptikus selama perjalanan penyakitnya. Pada kasus tersebut
CoV SARS ditemukan di dalam CSS(Cerebro Spinal Space) dan serum darah dalam
kadar yang cukup signifikan. Selanjut-nya menurut hasil pemeriksaan lebih lanjut,
CoV SARS diketahui dapat menyebabkan demyelinisasi dari saraf otak.
DIAGNOSIS
Untuk mempermudah tenaga medis dalam rnenjaring kasus SARS, WHO pada
tahun 2003 mengeluarkan kategori yang harus dipenuhi dalam kasus suspek SARS,
yaitu :
1. Demam tinggi dengan suhu >38°C atau >100°F, dan;
2. Satu atau lebih keluhan pernapasan, termasuk batuk, sesak, dan kesulitan
bernapas, disertai dengan satu atau lebih keluhan berikut:
kontak dekat dengan orang yang didiagnosa suspekatau probable SARS
dalam 10 hari terakhir
riwayat perjatanan ke tempat/negara yang terkena wabah SARS dalam 10
hari terakhir
bertempat tinggal/pernah tinggal di tempat/Negara yang terjangkit wabah
SARS