Anda di halaman 1dari 19

(SARS)

Khie Chen, Cleopas Martin Rumende

PENDAHULUAN
Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) adalah penyakit infeksi saluran
napas yang disebabkan oleh virus Corona dengan sekumpulan gejala klinis yang berat.
SARS berpotensi untuk menyebar dengan sangat cepat sehingga menimbulkan
implikasi yang besar bagi para tenaga kesehatan. Selanjutnya, dengan meningkatnya
jumlah penerbangan internasional selama beberapa dekade terakhir, memungkinkan
terjadinya penyebaran infeksi SARS yang luas hingga lintas benua dan menjadi suatu
ancaman internasional.
Saat SARS muncul pada Maret 2003 di Guangzhou, SARS digarnbarkan
sebagai suatu pneumonia yang atipik. Pada saat itu, etiologi penyakit ini masih belum
diketahui, sehingga pemeriksaan diagnostic yang sesuai pun belum tersedia.
Satu-satunya alat penunjang diagnostik yang tersedia dan digunakan sebagai pedoman
definisi kasus oleh World Health Organization (WHO) dan Center for Disease
Control (CDC) hanyalah dari tampilan gejala klinis dan riwayat kontak dengan pasien
SARS.

ETIOLOGI
Saat ini penyebab SARS sudah berhasil diketahui, yaitu berupa infeksi virus
yang tergolong ke dalam Genus Coronavirus (CoV). CoV SARS biasanya bersifat
tidak stabil bila berada di lingkungan. Namun virus ini mampu bertahan selama
berhari-hari pada suhu kamar. Virus ini juga mampu rnempertahankan viabilitasnya
dengan baik bila masih berada di dalam feses.
Genus Coronavirus berasal dari ordo Nidovirales, yaitu golongan virus yang
memiliki selubung kapsul dan genomRNA rantai tunggal. Berdasarkan studi genetik
dan anti-genisitas, CoVterbagi ke dalam 3 kelompok besar yaitu; 1). Kelompok 1,
human CoV 229E dan porcine trans-missibte gastroenteritis virus; 2). Kelompok 2,
human CoV OC34, bovine coronavirus, mice hepatitis virus', dan 3). Kelompok 3,
virus bronkitis infeksiosa. Menurut berbagai penelitian yang telah dilakukan, CoV
SARS diketahui memiliki reaktivitas silang dengan anti serum yang diproduksi oleh
CoV 229E. Namun pada analisa sequences genom, CoV SARS memiliki struktur
genom yang berbeda dengan genom CoV yang ada. Sehingga disimpulkan, bahwa
CoV yang muncul baru-baru ini dan menyebabkan outbreak SARS pada tahun 2003
adalah jenis baru yang sama sekali belum pernah muncul sebelumnya (novel
coronavirus).

PENULARAN
Cara penularan CoV SARS yang utama ialah melalui kontak langsung
membran mukosa (mata , hidung dan mulut) dengan droplet pasien yang terinfeksi.
Kasus-kasus SARS terutama dilaporkan pada orang-orang yang memiliki riwayat
kontak langsung dengan pasien SARS yang sakit berat, sehingga kelompok yang
memiliki risiko terbesar untuk tertular virus ini ialah para tenaga medis yang bekerja di
rumah sakit. Kenyataan ini mengharuskan pemberlakuan pengendalian infeksi yang
optimal di seluruh rumah sakit sebagai proteksi bagi para tenaga medis dan
pengendalian infeksi di komunitas untuk mengurangi terjadinya penularan di
masyarakat
Selain kontak langsung dengan droplet pasien yang terinfeksi, berbagai
prosedur aerosolisasi di rumah sakit (intubasi, nebulisasi, suction dan ventilasi) dapat
meningkatkan risiko penularan SARS oleh karena kontaminasi alat yang digunakan,
baik droplet, maupun materi infeksius lainnya seperti partikel feses dan urin. Selain
itu, kemungkinan penularan virus melalui benda-benda yang menyerap debu dan sulit
untuk dibersihkan, seperti karpet, juga masih perlu diselidiki lebih lanjut.
peran jalur fekal-oral dalam penularan CoV SARS masih belum diketahui.
Saat terjadinya outbreak SARS di Hong Kong, dilaporkan 20% -73% kasus SARS
rnemberikan gejala diare. Begitu juga dengan kasus SARS yang terjadi di Vietnam,
Guangzhou, hingga Ontario, diare pada SARS telah dilaporkan di masing-masing
daerah dengan prevalensi yang bervariasi. Meskipun demikian, masih belum ada
laporan yang menguatkan bilamana diare tersebut muncul sebagai akibat dari
penularan melalui jalur fekal oral, sehingga rute ini tetap menjadi tanda tanya besar di
dalam penularan CoV SARS. Namun dengan diketahuinya jumlah virus yang banyak
terdapat di dalam feses pasien-pasien SARS, serta dengan kemungkinan munculnya
diare, maka kedua hal tersebut tetap harus menjadi perhatian khusus para tenaga medis
di dalam alternatif penularan CoV SARS selama belum ada hasil evidence based yang
menyangkal.

PATOGENESIS DAN PATOLOGI


SARS secara klinis lebih banyak rnelibatkan saluran napas bagian bawah,
dibandingkan dengan saluran napas bagian atas. Pada saluran napas bawah, sel-sel
asinus adalah sasaran yang lebih banyak terkena daripada trakea ataupun bronkus.
Menurut hasil pemeriksaan post mortem yang dilakukan, diketahui bahwa SARS
memiliki 2 fase di dalam patogenesisnya.
Fase awal terjadi selama 10 hari pertama penyakit, pada fase ini terjadi proses
akut yang mengakibatkan diffuse alveolar damage (DAD) yang eksudatif. Fase ini
dicirikan dengan adanya infiltrasi dari campuran sel-sel inflamasi serta edema dan
pembentukan membran hialin.
Membran hialin terbentuk dari endapan protein plasma serta debris nukleus dan
sitoplasma sel-sel epitel paru (pneumosit) yang rusak. Dengan adanya nekrosis sel-sel
epitel paru maka barrier antara sirkulasi darah dan jalan udara menjadi hilang
sehingga cairan yang berasal dari pembuluh darah kapiler paru menjadi bebas untuk
masuk ke dalam ruang alveolus, Namun demikian, karena keterbatasan jumlah pasien
SARS yang meninggal untuk diautopsi, maka masih belum dapat dibuktikan apakah
kerusakan sel epitel paru tersebut disebabkan oleh efek toksik virus secara langsung
atau sebagai akibat dari respon imun tubuh. Pada tahap eksudatif ini, RNA dan antigen
virus dapat diidentifikasi dari makrofag alveolar dan sel epitel paru dengan
menggunakan mikroskop elektron.
Fase selanjutnya dimulai tepat setelah 10 hari perjalanan penyakit dan ditandai
dengan perubahan pada DAD eksudatif menjadi DAD yang terorganisir. Pada periode
ini, terdapat metaplasia sel epitel skuarnosa bronkial, bertambahnya ragam sel dan
fibrosis pada dinding dan lumen alveolus. Pada fase ini tampakdominasi pneumosit
tipe 2 dengan pembesaran nukleus, serta nukleoli yang eosinofilik. Selanjutnya,
seringkali ditemukan sel raksasa dengan banyak nukleus (multi-nucleated giant ceiis)
di dalam rongga alveoii. Seperti infeksi CoV lainnya, maka sel raksasa tersebut
awalnya diduga sebagai akibat langsung dari CoV SARS. Tetapi setelah dilakukan
pemeriksaan imunoperoksidase dan hibridisasi in situ, didapatkan bahwa CoV SARS
justru berada di dalam jumlah yang rendah. Maka disimpulkan, bahwa pada fase ini
berbagai proses patologis yang terjadi tidak diakibatkan langsung oleh karena replikasi
virus yang terus menerus, melainkan karena beratnya kerusakan sel epitel paru yang
terjadi pada tahap DAD eksudatif dan diperberat dengan penggunaan ventilator.

Manifestasi Klinis
Gejala prodromal. SARS memiliki masa inkubasi antara 1 sampai 14 hari
dengan rata-rata waktu sekitar 4 hari. Gejala prodromal SARS dimulai dari gejala
infeksi sistemik yang tidak spesifik seperti demam, mialgia, menggigil dan rasa
kaku-kaku di tubuh, batuk non-produktif, nyeri kepala dan pusing. Demam dengan
suhu tubuh >38 °C termasuk dalam definisi kasus awal (initial case definition). Gejala
ini tergolong gejala tipikal yang dilaporkan pada hampir seluruh pasien SARS.
Meskipun demikian, tidak semua pasien SARS menunjukkan gejala demam. Misalnya
pada pasien-pasien usia lanjut, demam mungkin menjadi gejala yang tidak menonjol.
Demam tinggi yang naik turun seringkali berhubungan dengan rasa menggigil
dan kaku-kaku di tubuh. Selain itu pasien juga sering merasa sangat lelah disertai
dengan nyeri otot yang dirasakan di sekujur tubuh. Pada beberapa kasus, demam
menghilang dengan sendirinya pada hari ke- 4 hingga ke-7, tetapi ini tidak
mengindikasikan adanya perbaikan dari gejala-gejala yang ada. Kenaikan ulang suhu
tubuh dan perburukan dari gejala-gejala penyakit seringkali muncul pada minggu
ke-2.
Gejala penyakit yang tidak spesifik lainnya seperti pusing, nyeri kepala dan
malaise juga umum ditemukan pada pasien-pasien SARS. Gejala pusing yang sangat
berat telah dilaporkan pada pasien-pasien yang berusia muda, diantaranya bahkan
mengalami pingsan saat mencoba bangun dari tempat tidur. Hal ini mungkin berkaitan
dengan munculnya hipotensi pada pasien-pasien tersebut. Banyak pasien mengalami
batuk-batuk kering saat fase awal penyakit. Nyeri tenggorok dan sekresi lendir hidung
yang berlebih (coryza) jarang ditemukan. Pada fase ini, suara napas biasanya akan
terdengar jernih saat auskultasi. Tergantung dan waktu kedatangan, 80% pasien SARS
menunjukkan gambaran radiologis foto dada yang normal pada saat kunjungan
pertama. Namun hal ini tentunya tidak dapat digunakan untuk mengeksklusi diagnosis
SARS dan foto radiologis ulangan perlu dilakukan.

Manifestasi pernapasan. Penyakit paru adalah rnani-festasi klinis yang utama dari
SARS. Gejala berupa batuk-batuk kering, terdapat pada 60-85% kasus dan biasanya
pasien akan merasa sesak ketika batuk. Pada auskultasi sering didapatkan ronki di
basal paru. Mengi biasanya tidak ditemukan. Sekitar akhir minggu pertama dan awal
minggu kedua, gejala-gejala tersebut dapat mengalami perburukan. Pasien akan
mengalami sesak napas yang semakin lama semakin berat, dan pada akhirnya dapat
membatasi kemampuan aktivitas fisik mereka. Saturasi oksigen darah didapatkan
semakin berkurang seiring dengan perjalanan penyakit.
Pada pencitraan, terdapat konsolidasi ruang udara yang fokal dan unilateral
pada tahap awal penyakit, yang kemudian segera berlanjut menjadi multifokal dan
semakin meluas pada minggu kedua. Meskipun proses ini dapat mengenai seluruh
lapang paru, namun ter-dapat kecenderungan predileksi di daerah lobus bawah.
Kadang-kadang didapatkan gambaran infiltrat paru yang berpindah dari satu lokasi ke
tokasi yang lain dalam satu atau dua hari. Perubahan gambaran radiologis tersebut,
sehubungan dengan penurunan viral load, dapat digunakan sebagai dugaan kerusakan
paru yang lebih cenderung disebabkan oleh imunitas tubuh dibandingkan efek
sitolisisvirus secara langsung. Gambaran CT scan toraks menunjukkan gambaran
bronchioiitis obtiterans organizing pnemunia (BOOP), yakni suatu penyakit yang
diperantarai oleh sistem imunitas dan bersifat responsif terhadap terapi kortikosteroid.
Sekitar 20-25% pasien mengalami progresi yang buruk ke arah gagal napas
berat dan acute respiratory distress syndrome (ARDS) sehingga mengharuskan
perawatan ICU. Ventilasi mekanik dibutuhkan ketika suplementasi oksigen dengan
aliran tinggi tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan saturasi oksigen tubuh.
Pasien-pasien yang memerlukan bantuan ventilasi mekanik memiliki angka mortalitas
yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pasien-pasien yang tidak menggunakan.
Kemudian, faktor-faktor lain yang berkaitan dengan keluaran klinis yang buruk
adalah usia lanjut, riwayat penyakit kardio-pulmoner, infiltrat paru bilateral, jumlah
netrofil yang tinggi, peningkatan kreatinin kinase serum (CPK) dan peningkatan laktat
dehidro-genase. Pada saat terjadinya outbreak SARS, kebanyakan pasien-pasien
SARS meninggal di tempat perawatan ICU. Penyebab dari kematian tersebut adalah
ARDS berat, kegagalan fungsi multiorgan, infeksi sekunder dan septikemia, serta
komplikasi tromboembolik.
Pneumotoraks dan pneumomediastinum telah banyak dilaporkan pada
kasus-kasus SARS yang berat. Hal ini dapat muncul spontan sebanyak 12%, atau
sebagai akibat dari penggunaan ventilator di ICU pada 20% lainnya.
Manifestasi pencernaan. Selain keluhan pernapasan, diare adalah gejala yang
penting dan paling sering dikeluhkan. Sebanyak 20% dari pasien-pasien SARS
mengalami diare pada saat kedatangan pertama dan 70% menunjukkan gejala ini
selama masa perjalanan penyakitnya. Biasanya diare yang terjadi ialah cair dengan
volume yang banyak tanpa disertai lendir maupun darah. Pada kasus yang berat
banyaknya cairan yang keluar mengakibatkan ketidakseimbangan elektrolit dan
deplesi cairan tubuh yang berlebih. Pada beberapa kasus yang tidak disertai
pneumonia, diare dan demam adalah satu-satunya gejala yang tampak. Sementara,
pada kasus-kasus yang lain, diare mulai terjadi pada minggu kedua sakit, bersamaan
dengan gejala demam yang rekurens dan perburukan di paru. Namun demikian, diare
pada SARS umumnya swasirna (self limiting) sehingga belum pernah ditemukan kasus
SARS yang meninggal karena diare.
Manifestasi hematologis. Berbagai kelainan yang ditemukan dari darah pasien
SARS penting untuk digunakan di dalam penegakkan diagnosis penyakit. Limfopenia
(<1000/mm3) ditemukan pada hampir semua pasien SARS, dan pada kebanyakan
kasus lebih sering mencapai kadar terendah pada minggu ke dua sakit. Manifestasi
limfopenia ini rnenjadi sangat penting, bahkan tanpa disertai timfopenia yang
progresif, maka diagnosis SARS dipertanyakan. Peningkatan kadar limfosit umumnya
terjadi pada minggu ketiga dan hal ini dapat mencerminkan perbaikan keadaan klinis
pasien. Namun demikian 30% pasien SARS tetap mengalami keadaan limfopenik
sampai dengan minggu kelima sakit.
Leukositosis, yang terutama disebabkan oleh neutrofilia, juga sering ditemukan
pada pasien SARS. Neutrofilia kemungkinan berhubungan dengan terapi
kortikosteroid, namun pada pemeriksaan darah perifer beberapa pasien lainnya,
neutrofilia sudah didapatkan saat kedatangan pertama. Tatalaksana sepsis harus
dilakukan segera pada pasien-pasien SARS dengan neutrofilia dan pemberian
antibiotika spektrum luas secara empiris harus diper-timbangkan. Kerusakan jaringan
paru yang luas juga diduga sebagai penyebab lain dari neutrofilia. Pasien-pasien yang
datang sudah dengan keadaan neutrofilia memiliki keluaran klinis yang lebih buruk,
Trombositopenia didapatkan pada lebih dari 50% kasus-kasus SARS. Tidak
seperti demam berdarah, diatesis hemoragik oleh karena rendahnya kadar trombosit
sangat jarang terjadi. Kadar trombosit akan kembali meningkat pada fase pemulihan.
Trombositopenia ini dapat disebabkan oleh mekanisme imunologis atau sebagai efek
langsung virus pada megakariosit Kadang-kadang trombositopenia muncul sebagai
akibat dari D\C(Disseminated Intravaskutar Coagulation). Dari tampilan klinis,
petekie dan ekimosis dapat ditemukan. Meskipun manifestasi perdarahan sangat
jarang terjadi, sebaliknya trombosis vena ternyata lebih sering ditemukan. Kelainan ini
paling banyak bermanifestasi sebagai trombosis vena dalam pada tungkai,.yang
semakin diperkuat oleh pemeriksaan postmortem dengan ditemukannya
tromboemboli.
Manifestasi hati. Sebanyak 25% dari pasien-pasien SARS mengalami
peningkatan SGPT pada saat kedatangan pertama dan 70% mengalami peningkatan
tersebut selama perjalanan penyakit. Pada kebanyakan pasien, peningkatan SGPT
mulai terjadi hingga akhir minggu pertama sakit dan mencapai puncak pada akhir
minggu kedua. Tingginya kadar SGPT dapat digunakan untuk menduga kemungkinan
keluaran klinis yang lebih buruk dan derajat penyakit yang lebih berat. Mayoritas
pasien mengalami peningkatan SGPT secara bertahap dan kembali secara spontan ke
kadar yang normal seiring dengan pemulihan dari penyakit. Penyebab dari
peningkatan kadar SGPT ini tidak diketahui dengan pasti. Namun, nampaknya
peningkatan enzim hati ini merupakan respon terhadap infeksi CoV SARS pada tubuh
manusia dan bukan diakibatkan oleh infeksi CoV yang spesifik di hepar (hepatitis).
Manifestasi kardiovaskular. Gejala-gejala yang terkait dengan sistem
kardiovaskular jarang ditemukan. Dari seri kasus yang didapatkan di Hong Kong,
kurang lebih 50% dari pasien SARS mengalami hipotensi (sistolik <100 mmHg
dengan atau tanpa distolik < 50 mmHg) selama masa perawatan di rumah sakit.
Rendahnya tekanan darah ini berakibat timbulnya rasa pusing pada banyak pasien.
Takikardia yang persisten didapatkan pada 40% pasien SARS. Manifestasi
kardiovaskular yang terjadi pada pasien SARS umumnya tidak memerlukan
pengobatan dan bersifat asimtomatik. Hanya sebagian kecil pasien SARS yang
mengalami peningkatan kadar CK, dan kenaikan kadar enzim ini ternyata tidak
berhubungan dengan organ jantung.
Manifestasi neurologis. Keluhan pada sistem saraf juga jarang ditemukan
pada SARS. Kasus epilepsi dan di-sorientasi yang ditemukan pada SARS pernah
dilaporkan. Defisit neurologis fokal tidak pernah ditemukan, sementara dari CT-Scan
dan MRI juga tidak didapatkan gambaran abnormaiitas struktur. Pada fungsi lumbal
dan analisa cairan serebrospinal juga tidak didapatkan kelainan. Sehingga, sangat sulit
untuk menentukan bila manifestasi pada sistem saraf memang berhubungan langsung
dengan CoV SARS atau oleh karena terapi yang diberikan (misal: kortikosteroid atau
antibiotika).
Namun tenaga medis tetap harus waspada terhadap kemungkinan manifestasi
SARS pada sistem saraf, sebab pernah dilaporkan satu kasus SARS yang
menunjukkan status epileptikus selama perjalanan penyakitnya. Pada kasus tersebut
CoV SARS ditemukan di dalam CSS(Cerebro Spinal Space) dan serum darah dalam
kadar yang cukup signifikan. Selanjut-nya menurut hasil pemeriksaan lebih lanjut,
CoV SARS diketahui dapat menyebabkan demyelinisasi dari saraf otak.

Manifestasi atipik. SARS dapat memberikan gejala-gejala yang atipik


terutama pada pasien-pasien usia lanjut dan pasien-pasien imunokompromais,
sehingga membuat diagnosis SARS semakin sulit ditentukan. Sebagai contoh, demam
tinggi yang naik turun sebagai gejala yang paling sering ditemukan pada pasien SARS,
mungkin sulit didapatkan pada pasien usia lanjut meskipun mereka sudah terkena
pneumonia yang progresif. Pasien usia lanjut memiliki masa inkubasi yang lebih lama
sekitar 14-21 hari. Lebih lamanya rentang waktu inkubasi, disebabkan oleh kesulitan
dalam mendeteksi gejala sewaktu onset karena gejala yang muncul tidak khas. Selain
itu, pasien-pasien usia lanjut seringkali memiliki berbagai macam permasalahan
infeksi yang muncul bersamaan sehingga semakin meng-acaukan gejala SARS
sendiri. Hal ini menimbulkan berbagai kesulitan dalam diagnostik, penelusuran
riwayat kontak, pencegahan transmisi virus, dan pengendalian infeksi baik di rumah
sakit maupun komunitas.
Oleh karena berbagai permasalahan tersebut, maka diagnosis SARS pada
pasien usia lanjut dan pasien imuno-kompromais sangat membutuhkan kewaspadaan
dan ketelitian tenaga medis terhadap kemungkinan SARS dan riwayat kontak, disertai
dengan pengetahuan yang baik mengenai permasalahan infeksi pada geriatri dan
imunokompromais. Selain itu mutlak diperlukan pengetahuan menyeluruh mengenai
korelasi usia dengan berbagai perubahan yang terjadi pada fisik dan kemampuan
fungsi tubuh, serta pengetahuan terkini yang terus berkembang mengenai SARS.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang memegang peranan yang besar di dalam penentuan
diagnosis SARS. Berbagai pemeriksaan radiologi dan laboratorium telah dilakukan
untuk menduga diagnosis penyakit yang diderita, selain dari anamnesis dan
manifestasi klinis. Secara garis besar, pemeriksaan penunjang tersebut dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu, pemeriksaan non spesifik dan pemeriksaan spesifik
SARS, Pemeriksaan penunjang yang non spesifik adalah pemeriksaan yang ditujukan
untuk menilai kondisi pasien pada saat itu. Hasil pemeriksaan ini dapat digunakan
untuk memperkuat kecurigaan ke arah SARS, mamun tidak dapat digunakan sebagai
diagnosis pasti. Sedangkan pemeriksaan penunjang yang spesifik adalah pemeriksaan
yang definitif dan dapat digunakan untuk mendeteksi langsung penyebab penyakit.
Foto toraks, sebagai suatu pemeriksaan yang non spesifik, perlu segera
dilakukan untuk mengetahui ada/ tidaknya garnbaran infiltrat pneumonia pada
paru-paru pasien. Selanjutnya, pemeriksaan darah perifer lengkap untuk menilai
komposisi sel darah dan pemeriksaan SGOT/ SGPT sebagai cerminan dari fungsi hati,
dapat berguna dalam menunjang tegaknya diagnosis.
Untuk pemeriksaan spesifik CoV SARS, yang dapat digunakan ialah
pemeriksaan RT-PCR pada spesimen dahak, feses dan darah perifer pasien.
Pemeriksaan RT-PCR ini menggunakan metode klasik yaitu ekstraksi RNA, kemudian
dilanjutkan dengan transkripsi terbalik yang diikuti amplifikasi PCR. Terakhir,
dilakukan deteksi hasil PCR dalam elektroforesis gel agarose. Spesimen yang baik
untuk diambil pada tahap awal penyakit, adalah dari pernapasan (aspirat nasofaringeal
atau usap tenggorok), kemudian feses dan terakhir serum/plasma. Pemeriksaan ini
memiliki sesitivitas tertinggi bila spesimen diambil pada minggu kedua sakit.
Selain RT-PCR, untuk mendeteksi CoV SARS dapat dilakukan pemeriksaan
deteksi antigen serum dan kultur virus. Deteksi antigen memiliki sensitivitas yang
buruk pada hari-hari awal penyakit karena jumlah viral load yang masih sedikit.
Pemeriksaan ini memiliki sensitivitas yang lebih tinggi bila dilakukan pada hari 6-10
sakit (71%). Sementara untuk kultur virus, medium yang digunakan adalah VeroEG
atau FRhK-4 dan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas yang akan semakin menurun
seiring dengan waktu perjalanan penyakit.
Deteksi antibodi terhadap CoV SARS adalah pemeriksaan diagnostik yang
pertama kali tersedia dan tetap menjadi gold standard untuk konfirmasi diagnosis
SARS. Uji deteksi antibodi ini dapat dilakukan dengan teknik Indirect
immunofiuorescent assay (IFA) dan Enzyme immurtoassay (ElA).

DIAGNOSIS
Untuk mempermudah tenaga medis dalam rnenjaring kasus SARS, WHO pada
tahun 2003 mengeluarkan kategori yang harus dipenuhi dalam kasus suspek SARS,
yaitu :
1. Demam tinggi dengan suhu >38°C atau >100°F, dan;
2. Satu atau lebih keluhan pernapasan, termasuk batuk, sesak, dan kesulitan
bernapas, disertai dengan satu atau lebih keluhan berikut:
 kontak dekat dengan orang yang didiagnosa suspekatau probable SARS
dalam 10 hari terakhir
 riwayat perjatanan ke tempat/negara yang terkena wabah SARS dalam 10
hari terakhir
 bertempat tinggal/pernah tinggal di tempat/Negara yang terjangkit wabah
SARS

Selanjutnya definisi kasus probable SARS adalah kasus suspek ditambah


dengan gambaran foto toraks yang menunjukkan tanda-tanda pneumonia atau
respiratory distress syndrome, atau seseorang yang meninggal karena penyakit saluran
pernapasan yang tidak jelas penyebabnya, dan pada pemeriksaan autopsi ditemukan
tanda patologis berupa respiratory distress syndrome yang juga tidak jelas
penyebabnya.
TATALAKSANA
Untuk penanggulangan dan penatalaksanaan SARS, Departemen Kesehatan Rl
mengeluarkan pedoman sebagai berikut:
Penatalaksanaan kasus suspek SARS.
a) Kasus dengan gejala SARS melewati triase (petugas sudah memakai masker
N95). Untuk segera dikirim ke ruangan pemeriksaan atau bangsal yang sudah
disiapkan;
b) Berikan masker bedah pada penderita;
c) Petugas yang masuk ke ruang pemeriksaan sudah memakai penggunaan alat
proteksi perorangan (PAPP);
d) Catat dan dapatkan keterangan rinci mengenai tanda klinis, riwayat perjalanan,
riwayat kontak termasuk riwayat munculnya gangguan pernapasan pada kontak
sepuluh hari sebelumnya;
e) Pemeriksaan fisik;
f) Lakukan pemeriksaan foto toraks dan darah tepi lengkap;
g) Bila foto toraks normal lihat indikasi rawat atau tetap di rumah, anjurkan untuk
melakukan kebersihan diri, tidak masuk kantor/sekolah dan hindari
menggunakan angkutan umum selama belum sembuh;
h) Pengobatan di rumah; simtomatik, antibiotik bila ada indikasi, vitamin dan
makanan bergizi;
i) Apabila keadaan memburuk segera hubungi dokter;
j) Bila foto toraks menunjukkan gambaran infiltrat satu sisi atau dua sisi paru
dengan atau tanpa infiltrat interstial lihat penatalaksanaan kasus probable

Penatalaksanaan kasus probable,


a) Rawat di Rumah Sakit dalam ruang isolasi dengan kasus sejenis;
b) Pengambilan darah untuk; darah tepi lengkap, fungsi hati, kreatin fosfokinase,
urea, elektrolit, C reaktif protein;
c) Pengambilan sampel untuk membedakan dari kasus pneumonia tipikal/atipikal
lainnya:
1) Pemeriksaan usap hidung dan tenggorokan,
2) Biakan darah, serologi,
3) Urin;
d) Pemantauan darah 2 hari sekali;
e) Foto toraks diulang sesuai indikasi kiinis;
f) Pemberian pengobatan lihat penatalaksanaan terapi kasus SARS

Indikasi rawat Penderita SARS yang di rawat inap adalah:


 suspek SARS dengan riwayat kontak erat (+)
 suspek SARS dengan gejala klinis berat, yaitu;
- sesak napas dengan frekuensi napas 30 kali / menit.
- nadi lebih dari 100 kali/menit.
- ada gangguan kesadaran
- kondisi umum lemah
- indikasi rawat inap lain ditentukan oleh dokter yang memeriksa penderita
 Probable SARS. Perlu diperhatikan dalam perawatan di rumah sakit terhadap
SARS adalah : Ruang perawatan penderita suspect SARS harus dibedakan dengan
ruang penderita probable SARS. Saat memeriksa dan merawat penderita SARS,
petugas medis harus memakai penggunaan alat proteksi perorangan (PAPP).
 Isolasi di rumah/ftome isolation. Penderita suspect SARS dengan riwayat
perjalanan (+) tetapi tanpa riwayat kontak dan gejala klinis ringan tidak dirawat
inap di rumah sakit, akan tetapi dirawat di rumah (home isotation). Tindakan yang
harus dilakukan selama home isolation atau isolasi di rumah adalah :
- penderita harus dirumah sampai demam hilang dan selalu menggunakan
masker sampai 14 hari sesudah dua hari bebas panas.
- alat makan dan minumnya dipisahkan dari alat makan dan minum anggota
keluarga yang lain, penderita harus diukur suhu tubuhnya setiap 8 jam sekali.
Bila dalam dua kali pengukuran terjadi kenaikan suhu tubuh mencapai 38°C,
maka penderita harus segera dikirim ke rumah sakit.
- minum obat yang diberikan sesuai petunjuk
- anggota keluarga yang merawat penderita dan tinggal serumah, harus
memakai masker,
- anggota keluarga yang merawat penderita harus mencuci tangan setelah
merawat penderita
- apabila ada anggota keluarga lain yang menderita demam selama penderita
masih sakit sampai dengan 10 hari setelah penderita dinyatakan sembuh maka
harus segera memeriksakan diri ke rurnah sakit dan selalu menggunakan
masker.
 Indikasi keluar rumah sakit. Indikasi pasien dipulangkan adalah sebagai berikut:
a). Tidak panas selama 48 jam, b). Tidak batuk, c). Leukosit kembali normal, d).
Trombosit kembali normal, e). CPK kembali normal, f). Uji fungsi hati kembali
normal, g). Elektrolit (natrium) plasma kembali normal, h). Perbaikan foto toraks.
 Nasehat pada pasien pulang dari rumah sakit
- setelah kembali di rumah dinasehatkan tetap harus home isolation (lihat point
tindakan yang harus dilakukan selama isolasi din/home isolation]
- tujuh hari setelah pulang ke rumah penderita diharuskan kontrol ke rumah
sakit untuk dilakukan pemeriksaan darah lengkap, X-foto toraks dan uji lain
yang abnormal
- minimum 14 hari setelah pulang, pasien baru diperbolehkan masuk
kerja/sekolah.

Ketersediaan obat-obat yang efektif dengan pemberian yang segera, terbukti


menjadi kunci keberhasilan di dalarn pencegahan dan pengobatan SARS. Pada
dasarnya kebijakan dalam pemilihan obat dan pemberian dosis terhadap SARS
didapatkan berbeda di masing-rnasing sentra pelayanan kesehatan. Hal ini terkait
dengan ketersediaan obat serta efektivitas yang diperoleh di masing-masing sentra
tersebut berdasarkan studi evidence based. Pedoman penatalaksanaan terapi SARS
yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan Rl dapat dilihat pada tabel 1.

PROGRAM PENGENDALIAN 1NFEKSI


Rumah sakit terbukti menjadi tempat yang paling berisiko terhadap penyebaran
SARS. Secara kasar jumlah tenaga kesehatan yang dilaporkan terpapar SARS sejak
penyakit ini muncul hingga sekarang berjumlah 1700. Sehingga, pengetahuan yang
baik mengenai pola penyebaran penyakit di rumah sakit menjadi sangat penting di
dalam program pengendalian infeksi.
Center for Disease Control (CDC) menyatakan bahwa tindakan mencuci
tangan sehabis kontak dengan pasien SARS, menggunakan masker yang sesuai, serta
memakai jubah dan sarung tangan dapat melindungi tenaga medis dari terpapar droplet
pasien SARS. Tindakan tersebut terbukti mampu menurunkan angka penularan SARS
di rumah sakit dengan signifikan.
Selain pengendalian infeksi di rumah sakit, komunitas memegang peranan
yang tidak kalah pentingnya di dalam pengendalian infeksi, meskipun dikatakan
bahwa SARS adalah penyakit yang terutama terjadi secara nosokomial. Seperti yang
kita ketahui, ketika terjadi outbreak SARS, beberapa negara telah mengeluarkan travel
warning kepada warga negaranya. Namun demikian, sebenarnya yang menjadi kunci
keberhasilan di dalam pengendalian infeksi komunitas adalah partisipasi aktif dari
masyarakat secara langsung. Edukasi yang baik mengenai SARS dapat menjadi bekal
pengetahuan bagi masyarakat, agar mereka memiliki pemahaman yang baik dan
diharapkan mampu melakukan tindakan yang tepat. Penyebaran

Tabel 1. Pedomah Penatalaksanaan SARS


Suspek SARS
1. Observasi 2 x 2.4 jam, perhatikan:
a. Keadaan umum
b. Kesadaran
c. Tanda vital (tekanan darah, nadi, frekuensi napas, suhu)
2. Terapi suportif
3- Antibiotik: amoksilin atau amoksilin + anti β-laktarnase
II Probable SARS
A. Ringan/ sedang
1. Terapi suportif 2 Antibiotik
• Golongan beta laktam + anti betalaktamase (intra-vena) ditambah makrolid
generasi baru secara oral
ATAU
• Sefalosforin generasi ke-2 atau ke 3 (intravena), ditambah makrolid generasi
ATAU
• Fluorokuinolon respirasi (intravena): Moxifloxacin,
Levofloxacin, Gatifloxacin
B. Berat
1. Terapi suportif
2. Antibiotik
a. Tidak ada faktor risiko infeksi pseudomonas:
 sefalosporin generasi ke-3 (intravena} non pseudomonas ditambah
makrolid generasi baru
ATAU
 fluorokuinolon respirasi
b. Ada faktor risiko infeksi pseudomonas :
 sefalosporin anti pseudomonas (seftazidim, sefoperazon, sefipirn)/
karbapenem (intravena) ditambah fluorokuinolon anti pseudomonas
(siprofloksasin)/ aminoglikosida ditambah rnakrolid generasi baru
3. Kortikosteroid. Hidrokortison (intravena) 4 mg/kg BB tiap 8 jam, tapering atau
metiiprednisolon (intravena) 240 - 320 mg tiap hari
4. Ribavirin. 1,2 gr oral tiap 8 jam atau 8 mg/kgBB
intravena tiap 8 jam
Keterangan: kriteria pneumonia berat salah satu diantara ini:
 Frekuensi napas > 30 kali/menit
 PaO2/ FiO2 < 250 mmHg
 Foto toraks paru kelainan bilateral
 Foto toraks paru rnelibatkan lebih dari dua lobus
 Tekanan sistolik <90 mmHg
 Tekanan diastolik < 60 mmHg
Risiko infeksi pseudomonas
 Bronkiektasis
 Pengobatan kortikosteroid lebih dari 10 ma/had
 Pengobatan antibiotik spektrum luas lebih dari 7 hari
 pada bulan terakhir
 Gizi kurang informasi serta ketersediaan logistik untuk
pencegahan infeksi, dan alur rujukan kasus yang jelas akan
semakin mendukung masyarakat untuk memperoleh tatalaksana
yang sesuai.
REFERENSI
CDC. Severe Acute Respiratory Syndrome: laboratory guidance, [akses 29 Desernber
2005]. Tersedia dari: URL: http:/ /www.
cdc.gov/ncidod/sars/guidance/f/word/f,doc
DepKes RI. Penatalaksanaan SARS. [akses 2 Januari 2006], Tersedia dari: URL:
http://www.dokter.web.id/Pedoman Penatalaksanaan Kasus SARS DEPKES
20RI.pdf
DepKes RI. Penanggulangan SARS. [akses 2 Januari 2006] Tersedia dari: URL:
http://www.dokter.web.id/Pedomari Penanggulangan Kasus SARS DEPKES %
20RI.pdf
Drosten C, Chan KH, Poon LLM. Viral diagnosis of SARS. Dalam: Peiris M,
Anderson LJ, Osterhaus ADME, Stohr K, Yuen KY, editor. Severe Acute
Respiratory Syndrome. Massachussets; Blackwell Publishing; 2005. hal. 64-71.
Expat web site association. Organisasi Kesehatan Dunia mengeluarkan peringatan
global tentang ancamanpenyebaran penyakit SARS. (akses 29 Desember 2005).
Tersedia dari: URL: http://www.expat.or.id/medical/sars.html
Merianos A, Condon R, Oshitani H, Werker D, Andraghetti R. Epidemiology and
transmission of SARS, Dalam; Peiris M, Anderson LJ, Osterhaus ADME, Stohr K,
Yuen KY, editor. Severe Acute Respiratory Syndrome. Massachussets: Blackwell
Publishing; 2005. hal. 100-110.
Nicholls JM, Kuiken T. Pathology and pathogenesis. Dalam: Peiris M, Anderson LJ,
Osterhaus ADME, Stohr K, Yuen KY, editor. Severe Acute Respiratory
Syndrome. Massachussets: Blackwell Publishing; 2005. p. 72-8.
Ooi CGC. Radiology of SARS. Dalam: Peiris M, Anderson LJ, Osterhaus ADME,
Stohr K, Yuen KY, editor. Severe Acute Respiratory Syndrome. Massachussets:
Blackwell Publishing; 2005. p. 42-9.
Peiris M, Osterhaus ADME. Aetiology of SARS. Dalam: Peiris M, Anderson LJ,
Osterhaus ADME, Stohr K, Yuen KY, editor. Severe Acute Respiratory
Syndrome. Massachussets; Blackwell Publishing; 2005. hal. 50-57
RSP/FKUI. Algoritme diagnosis dan penatalaksanaan Severe Acute Respiratory
Syndrome, [akses 29 Desember 2005], Tersedia dari: URL:
http://www.dokter.web.id/sars.html
Seto WH, Ching PTY, Ho PL. Infection control for SARS: causes of success and
failure. Dalam: Peiris M, Anderson LJ, Osterhaus ADME, Stohr K, Yuen KY,
editor. Severe Acute Respiratory Syndrome. Massachussets: Blackwell
Publishing; 2005. hal, 176-83.
Sung JY, Yuen KY. Clinical presentation of the disease in adults. Dalam: Peiris M,
Anderson LJ, Osterhaus ADME, Stohr K, Yuen KY, editor. Severe Acute
Respiratory Syndrome. Massachussets: Blackwell Publishing; 2005. p. 21-9.

Anda mungkin juga menyukai