Anda di halaman 1dari 17

PENGEMBANGAN LAHAN BASAH PASANG SURUT

PENDAHULUAN

ABSTRAK :
Lahan rawa pasang surut termasuk lahan marjinal yang dicirikan oleh tanah dan lingkungan
fisik bermasalah antara lain kondisi tata air, fisik mekanik tanah, kimia kesuburan tanah, dan
virulensi hama dan penyakit tanaman. Pembukaan lahan rawa pasang surut diinisiasi dengan
dibangunnya kanal kanal yang menghubungkan antara dua sungai sehingga memudahkan
terjadinya arus pertukaran barang dan jasa, termasuk ilmu pengetahuan.
Lahan rawa pasang surut yang tersebar di 17 provinsi meliputi luas 20,14 juta hektar,
diantaranya sekitar9,53 juta hektar dinyatakan sesuai untuk pertanian. Luas lahan rawa pasang surut
yang dimanfaatkan sekarang diperkirakan baru sekitar 5,27 juta hektar, diantaranya 2,27 juta hektar
dibuka untuk program transmigrasi oleh pemerintah dan 3,0 juta hektar dibuka oleh masyarakat
secara swadaya. Perkembangan lahan rawa pasang surut didukung oleh berbagai hasil eksplorasi,
penelitian, dan pengkajian berupa teknologi budidaya dan pengelolaan, khususnya dalam
pengembangan padi sebagai komoditas utama. Hasil analisis potensi menunjukkan bahwa dengan
optimalisasi melalui input teknologi pengelolaan dan asupan amelioran, pupuk dan pestisida dari
sekitar 700 ribu hektar lahan rawa pasang surut,dapat menghasilkan 6,49 juta ton gabah kering
giling/tahun. Namun pada kenyataaannya sumbangan lahan rawa pasang surut hanya sekitar 600-
700 ribu ton. Oleh karena itu, dalam rangka mencapai kedaulatan pangan, pemanfaatan lahan rawa
pasang surut perlu ditingkatkan memalui pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
inovatif serta komitmen yang kuat dari para stakeholders.Lahan rawa pasang surut mempunyai
biodiversitas yang luas dan kearifan lokal yang spesifik. Biodiversitas tanaman pangan di lahan
rawa pasang surut meliputi padi, jagung, kacang kacangan, umbi umbian, sayuran dan hortikultura,
termasuk ternak itik, ayam, dan kerbau rawa. Kearifan lokal meliputi pengelolaan lahan rawa
pasang surut yang termasuk cara penilaian dan pemilihan lokasi, pembukaan lahan dan pengelolaan
air,perawatan dan perbaikan kesuburan tanah, dan pola tanam. Tulisan ini mengemukakan
rangkuman hasil eksplorasi dan penelitian sumber daya genetik tanaman pangan dan kearifan lokal
petani dalam budidaya tanaman pangan di lahan rawa pasang surut Kalimantan, Sumatera, dan
Sulawesi yang dilaksanakan antara tahun 1999 - 2009.

Kata kunci : Biodiversitas, kearifan lokal, lahan rawa pasang suru


LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN BAHAN

Indonesia memiliki wilayah yang luas dataran rendah dengan luas diperkirakan sekitar
34 juta ha, dari yang sekitar 20 juta ha adalah rawa pasang surut. The 13,4 juta ha lainnya
keprihatinan umumnya non-pasang surut dataran rendah di sepanjang sungai dan rawa
pedalaman daerah. Hampir 4 juta ha dataran rendah pasang surut di Indonesia telah
direklamasi, sebagian oleh pemukim spontan (2,5 juta ha) dan sebagian oleh Pemerintah Pusat
(1,5 juta ha).
Pembangunan di dataran rendah Sumatera dan Kalimantan mulai di kedua puluh awal
abad oleh para migran spontan, atau bahkan berabad-abad sebelumnya ketika
mempertimbangkan peran masyarakat adat. Dataran rendah reklamasi oleh pemerintah dimulai
pada 1930-an. Besar-besaran disponsori pemerintah pembangunan dataran rendah memuncak
selama 1970-an dan 1980-an, didorong oleh program transmigrasi, dimana utama proyek
reklamasi yang dilaksanakan dalam rangka untuk menyelesaikan petani dari pulau-pulau penuh
sesak Jawa, Bali dan Madura. Baru-baru ini, salah satu tujuan utama pembangunan rawa
pasang surut dan manajemen adalah untuk memberikan kontribusi peningkatan yang
diperlukan dalam produksi pangan melalui intensifikasi ada daerah dataran rendah direklamasi
untuk mendukung swasembada pangan. Pengelolaan air zonasi di dataran rendah pasang surut
merupakan salah satu strategi untuk merancang dan menerapkan pengelolaan air yang tepat.
Air zonasi manajemen didefinisikan sebagai zona daerah-daerah tertentu yang memiliki
pengelolaan air yang sama berdasarkan karakteristik fisik mereka. Isu perubahan iklim
terhadap zonasi pengelolaan air sangat penting untuk dianalisis, karena mungkin memiliki
pengaruh penting pada keberhasilan sektor pertanian di pasang dataran rendah. Penurunan
tanah sering dianggap sebagai pengaruh kecil dalam mengembangkan pengelolaan air, padahal
mungkin memainkan peran penting dalam menentukan air manajemen di dataran rendah
pasang surut.
Penelitian ini adalah berurusan dengan dampak perubahan iklim dan penurunan muka
tanah di atas air manajemen zonasi di dataran rendah pasang surut. Secara umum, beberapa
hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk mendukung pengembangan dataran rendah dan
terutama dapat digunakan untuk rawa pasang surut pembangunan di Indonesia, termasuk
beberapa langkah yang akan diambil untuk mengatasi diprediksi perubahan iklim dan
penurunan tanah. Penelitian ini berfokus pada tiga aspek utama yaitu zonasi pengelolaan air,
perubahan iklim, dan penurunan tanah dalam kaitannya dengan permukaan laut meningkat
berkontribusi terhadap hidro-topografi, salinitas intrusi dan kemampuan drainase. Kepala rugi
pada sistem utama dianalisis menggunakan studio pemodelan Duflow, sementara tematik
parameter karakteristik fisik mendukung untuk zonasi pengelolaan air (hydrotopography,
drainase, jenis tanah, intrusi salinitas, dan penggunaan lahan yang ada) adalah dianalisis dengan
ArcGIS Model pembangun. Data untuk penelitian ini didasarkan pada kondisi di yang Telang
I daerah, Sumatera Selatan.
Hasil penurunan tanah di Telang I dihitung atau dimodelkan dalam kompartemen tanah
di setiap lapisan. Sampel diambil dari dua lokasi yang mewakili kategori A dan B atau B / C di
hidro-topografi kondisi klasifikasi standar rawa pasang surut daerah di Indonesia (blok
sekunder P8-12S dan P6-3N). Seperti yang diharapkan, hasil Model menunjukkan bahwa
penurunan tanah memiliki hubungan dengan fluktuasi air tanah, di mana ia bervariasi 0,3-0,7
cm per tahun. Di daerah rendah di mana tingkat air tanah dekat tingkat permukaan penurunan
tanah adalah sekitar 0,3 cm per tahun, sedangkan untuk daerah yang lebih tinggi ini adalah
tentang 0,7 cm per tahun. Penggunaan lahan dari kedua daerah ini dominan sawah. Dari hasil
itu dapat disimpulkan bahwa penurunan tanah selama awal periode reklamasi lebih tinggi
daripada setelah periode panjang reklamasi. Selama periode ketika tanah reklamasi tidak
matang belum, air tanah yang lebih rendah memungkinkan kondisi oksidasi di mana tanah lebih
keropos dan menjadi matang. Dalam kondisi saat ini ketika tanah sudah matang, penurunan
tanah melalui menyusut, pemadatan atau proses lainnya menjadi lebih lambat. Itu juga jelas
bahwa penurunan tanah selama periode kering lebih tinggi daripada selama periode basah
sepanjang tahun.
Salinitas intrusi selama periode kering dalam situasi sekarang mencapai hingga 10 km
dari Bangka Selat (mulut Sungai Musi) atau hanya di bagian utara dari 3 Primer Telang I.
Hasil ini hampir identik dengan pengamatan intrusi salinitas menggunakan bergerak Metode
salinitas. Dengan asumsi kenaikan permukaan air laut dari 2 mm / tahun dan peningkatan 1-2
mS / cm konsentrasi garam akibat perubahan iklim, salinitas dapat mengganggu hingga 25 km
dari mulut Sungai Musi dalam 25 tahun mendatang.
Berdasarkan pemodelan, analisis, dan evaluasi hasil untuk daerah penelitian, dapat
menyimpulkan bahwa efek dari perubahan iklim dan penurunan tanah pada pengelolaan air
zonasi di masa depan adalah signifikan. Ini efek yang signifikan bisa positif dan negative
dampak terhadap pengembangan dataran rendah pasang surut di daerah penelitian khususnya
dan di Indonesia umumnya. Dari analisis itu juga dapat disimpulkan bahwa penurunan tanah
memiliki lebih efek ke zonasi pengelolaan air dengan menurunkan elevasi tanah dari kenaikan
permukaan laut, yang kini menjadi masalah besar di seluruh dunia.
Pengelolaan air zonasi di musim hujan sepenuhnya tergantung pada fluktuasi pasang surut dan
curah hujan yang juga berhubungan dengan kondisi hidro-topografi, irigasi pasang surut dan
drainase. Kenaikan permukaan laut dan penurunan tanah membuat potensi irigasi pasang surut
lebih besar dan signifikan.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Lahan Basah Pasang Surut

1. Lahan Basah

Lahan basah (wetland) adalah setiap wilayah dimana tanahnya jenuh dengan air.

Ciri – ciri lahan basah :


 Tinggi muka air dangkal, dekat dengan permukaan tanah, baik sebagian atau
keseluruhannya.
 Genangan airnya bersifat permanen (terus-menerus) atau musiman.
 Berupa air diam ataupun mengalir
 Berupa air tawar, air payau, maupun air asin.
 Terbentuk secara alami ataupun buatan manusia.
 Memiliki jenis tumbuhan yang khas.
Lahan basah kerap disebut juga sebagai wilayah peralihan antara daratan dan perairan.
2. Lahan Pasang Surut

Lahan pasang surut merupakan suatu lahan yang terletak pada zone/wilayah sekitar pantai
yang ditandai dengan adanya pengaruh langsung limpasan air dari pasang surutnya air laut atau
pun hanya berpengaruh pada muka air tanah. Sebagian besar jenis tanah pada lahan rawa
pasang surut terdiri dari tanah gambut dan tanah sulfat masam.
Lahan rawa pasang surut jika dikembangkan secara optimal dengan meningkatkan fungsi
dan manfaatnya maka bisa menjadi lahan yang potensial untuk dijadikan lahan pertanian di
masa depan. Untuk mencapai tujuan pengembangan lahan pasang surut secara optimal, ada
beberapa kendala. Kendala tersebut berupa faktor biofisik, hidrologi yang menyangkut tata air,
agronomi, sosial dan ekonomi
Kemudian tanah pasang surut biasanya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan
terutama untuk lahan persawahan. Luas lahan pasang surut yang dapat dimanfaatkan
berfluktuasi antara musim kemarau dan penghujan. Pemanfaatan lahan pasang surut telah
menjadi sumber mata pencaharian penting bagi masyarakat disekitarnya meskipun belum dapat
menggunakannya sepanjang tahun. Rata - rata lahan pasang surut hanya dapat ditanami sekali
dalam setahunnya selebihnya dibiarkan dalam keadaan bero karena tergenang air.
Tergenangnya lahan pasang surut secara periodik ada kaitannya dengan kepentingan
pembangkit tenaga listrik dan meluapnya air pada musim penghujan.
Berkut Tabel Sifat – Sifat Umum Tanah Pasang Surut

No Karakteristik Tanah Keterangan

1 Tekstur tanah Tekstur tanah umumnya


tekstur berat/liat
2 pH tanah 3.5 – 6.3

3 C-organik 1.5 – 9.75

4 N- total 0.18 – 0.6

5 P tersedia 14.5 – 84.5

6 Kation tukar:
Ca (me/100g) 0.56 – 6.20
Mg (me/100g) 0.21 – 10.00
K (me/100g) 0.02 – 0.60
Na (me/100g) 0.20 – 4.50

7 Al – dd (me/100g) 0.60 – 7.50

B. Luas Lahan dan Penyebarannya


Dengan menggunakan peta satuan lahan skala 1 : 250.000, Nugroho et al. (1992)
memperkirakan luas lahan rawa pasang surut di Indonesia, khususnya Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi dan Irian Jaya mencapai 20,11 juta ha, yang terdiri dari 2,07 juta ha lahan potensial, 6,71
juta ha lahan sulfat masam, 10,89 juta ha lahan gambut dan 0,44 juta ha lahan salin. Sedangkan
menurut wilayah dan statusnya, menunjukkan bahwa potensi lahan pasang surut terluas ada di
Sumatera, Kalimantan dan Irian Jaya . Lahan tersebut tersebar terutama di pantai timur dan barat
Sumatera, pantai selatan Kalimantan, pantai barat Sulawesi serta pantai utara dan selatan Irian Jaya
sedangkan sebaran tipologi lahan berbeda menurut wilayah dalam arti bahwa tiap wilayah dapat
mencakup beberapa tipologi lahan dan tipe luapan air.
Dari luas lahan pasang surut tersebut, sekitar 9,53 juta hektar berpotensi untuk dijadikan
lahan pertanian, sedangkan yang berpotensi untuk areal tanaman pangan sekitar 6 juta hektar. Areal
yang sudah direklamasi sekitar 4,186 juta hektar, sehingga masih tersedia lahan sekitar 5,344 juta
hektar yang dapat dikembangkan sebagai areal pertanian. Dari lahan yang direklamasi, seluas
3.005.194 ha dilakukan oleh penduduk lokal dan seluas 1.180.876 ha dilakukan oleh pemerintah
yang utamanya untuk daerah transmigrasi dan perkebunan Pemanfaatan lahan yang direklamasi
oleh pemerintah adalah 688.741 ha sebagai sawah dan 231.044 ha sebagai tegalan atau kebun,
sedangkan 261.091 ha untuk keperluan lainnya.

C. Tipologi dan Tipe Lahan Pasang Surut

1. Tipologi Lahan Pasang Surut


Berdasarkan tipologinya lahan pasang surut digolongkan ke dalam empat tipologi utama,
yaitu:
(1) lahan potensial
Lahan potensial adalah lahan yang paling kecil kendalanya dengan ciri lapisan
pirit (2 %) berada pada kedalaman lebih dari 30 cm, tekstur tanahnya liat, kandungan
N dan P tersedia rendah, kandungan pasir kurang dari 5 persen, kandungan debu 20 %
dan derajat kemasaman 3,5 hingga 5,5 . (Manwan, I. dkk.1992). Lahan potensial yaitu
lahan pasang surut yang tanahnya termasuk tanah sulfat masam potensial dengan
lapisan pirit berkadar 2% terletak pada kedalaman lebih dari 50 cm dari permukaan
tanah (Jumberi)
(2) lahan sulfat masam
lahan sulfat masam adalah lahan yang lapisan piritnya berada pada kedalaman
kurang dari 30 cm dan berdasarkan tingkat oksidadinya lahan sulfat masam ini dibagi
lagi lahan sulfat masam potensial yaitu lahan sulfat masam yang belum mengalami
oksidasi dan lahan sulfat masam aktual yaitu lahan sulfat masam yang telah mengalami
oksidadi. (Manwan, I. dkk.1992). Lahan sulfat masam ini dibedakan lagi menjadi :
(a) lahan sulfat masam potensial, yaitu apabila lapisan piritnya belum teroksidasi
(b) lahan sulfat masam aktual, yaitu apabila lapisan piritnya sudah teroksidasi yang
dicirikan oleh adanya horizon sulfurik dan pH tanah < 3,5. (Jumberi,)
(3) lahan gambut/bergambut
lahan gambut/bergambut adalah lahan yang mempunyai lapisan gambut dan
berdasarkan ketebalan gambutnya lahan ini dibagi ke dalam empat sub tipologi yaitu
lahan bergambut, gambut dangkal, gambut dalam dan gambut sangat dalam, umumnya
lahan gambut kahat beberapa unsur hara mikro yang ketersediaannya sangat penting
untu pertumbuban dan pekermbangan tanaman(Manwan, I. dkk.1992).

lahan gambut ini dibagi lagi menjadi :


(a) lahan bergambut bila ketebalan lapisan gambut 20-50 cm,
(b) gambut dangkal bila ketebalan lapisan gambut 50-100 cm,
(c) gambut sedang bila ketebalan lapisan gambut 100-200 cm,
(d) gambut dalam bila ketebalan lapisan gambut 200-300 cm dan
(e) gambut sangat dalam bila ketebalan lapisan gambut > 300 cm. (Jumberi,)
(4) lahan salin
lahan salin adalah lahan pasang surut yang mendapat intrusi air laut, sehingga
mempunyai daya hantar listrik 4 MS/cm, kandungan Na dalam larutan tanah 8 – 15 %
(Manwan, I. dkk.1992).
Lahan salin adalah lahan pasang surut yang mendapat pengaruh atau intrusi air garam
dengan kandungan Na dalam larutan tanah sebesar > 8% selama lebih dari 3 bulan dalam
setahun, sedangkan lahannya dapat berupa lahan potensial, sulfat masam dan gambut.
(Jumberi,?)
Berdasarkan pertimbangan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh dalam pemanfaatan
dan pengelolaan lahan rawa adalah:
(a) kedalaman lapisan mengandung pirit/bahan sulfidik, dan kondisinya masih tereduksi atau
sudah mengalami proses oksidasi,
(b) ketebalan dan tingkat dekomposisi gambut serta kandungan hara gambut,
(c) pengaruh luapan pasang dari air salin/payau,
(d) lama dan kedalaman genangan air banjir, dan
(e) keadaan lapisan tanah bawah, atau substratum.

Penggolongan tipologi lahan pasang surut di atas sangat umum, sehingga menyulitkan transfer
teknologi dalam satu tipologi lahan, oleh karena itu diusulkan penggelompokkan lahan yang lebih
rinci dengan mempertimbangkan berbagai ciri dan karakteristik yang lebih spesifik.

2. Tipe Luapan air pasang surut


Berdasarkan tipe luapan air, tipe luapan lahan pasang surut:
(1) tipe luapan A bila lahan selalu terluapi air baik pada waktu pasang besar maupun
pasang kecil dan Lahan bertipe luapan A selalu terluapi air pasang, baik pada musim
hujan maupun musim kemarau,;
(2) tipe luapan B bila lahannya hanya terluapi oleh air pasang besar. lahan bertipe luapan B
hanya terluapi air pasang pada musim hujan saja;
(3) lahan tidak terluapi air pasang baik pasang besar maupun pasang kecil, tetapi
permukaan air tanah kurang dari 30 cm dari permukaan tanah. Lahan bertipe luapan
C tidak terluapi air pasang tetapi kedalaman muka air tanahnya kurang dari 50 cm,;
(4) tipe luapan D bila lahannya tidak terluapi oleh air pasang baik pasang besar maupun
pasang kecil, tetapi permukaan air tanahnya berada pada kedalaman lebih dari 30 cm
dari permukaan tanah.

D. Pemanfaatan Lahan Pasang Surut


Budidaya padi di lahan pasang surutmemerlukan teknologi dan sarana produksi yang
spesifik karena kondisi lahan dan lingkungan tumbuhnya tidak sama dengan sawah irigasi. Lahan
pasang surut berbeda dengan lahan irigasi atau lahan kering yang sudah dikenal masyarakat.
Perbedaanya menyangkut kesuburan tanah, ketersediaan air dan teknik pengelolaannya.
Pengelolaan tanah dan air ini merupakan kunci keberhasilan usaha tani di lahan pasang
surut. Dengan upaya yang sungguh-sungguh lahan pasang surut ini dapat bermanfaat bagi petani
dan masyarakat luas.
Beberapa kendala ditemui di lahan pasang surut seperti kendala fisik (rendahnya kesuburan
tanah, pH tanah dan adanya zat beracun Fe dan Al), kendala biologi (hama dan penyakit) dan
kendala sosial ekonomi (keterbatasan modal dan tenaga kerja). Dengan melihat kendala yang ada,
maka dalam penerapannya memerlukan tindakan yang spesifik agar dapat memberikan hasil yang
optimal.
Sebagian lahan sub-optimal baik di lahan basah maupun lahan kering memang sudah lama
diusahakan masyarakat untuk budidaya pertanian, peternakan dan perikanan. Untuk menambah
produksi pangan dalam rangka memenuhi kebutuhan domestik, diperlukan upaya peningkatan
produktivitas melalui kegiatan intensifikasi proses produksi dan perluasan lahan melalui kegiatan
pencetakan sawah atau lahan pertanian baru.
Lahan suboptimal secara alamiah mempunyai produktivitas rendah (karena faktor internal
seperti sifat fisik, kimia dan biologi tanah, dan/atau faktor eksternal seperti iklim, lingkungan)
sehingga pendekatan yang sudah biasa dilakukan pada lahan optimal tidak bisa diterapkan pada
lahan suboptimal.
Kendala/tantangan yang dihadapi pada lahan kering suboptimal adalah kualitas lahan (fisik
dan kimia) yang tidak baik, kemiringan lahan yang relatif curam, curah hujan yang tinggi, tingkat
erosi yang tinggi, pilihan komoditi yang relatif tidak luas, dan kemampuan petani dalam
menerapkan teknologi konservasi tanah dan air masih rendah (Sinukaban, 2013).
Permasalahan non fisik antara lain rendahnya sikap enterpreneurship petani, lemahnya
sistem kelembagaan, aplikasi teknologi yang rendah dan inovasi teknologi baru sangat jarang
dilakukan. Dalam pengelolaan, seringkali terjadi benturan kepentingan dalam menentukan tujuan
pengelolaan air di tingkat lapangan, apakah untuk transportasi, pertanian, atau kegiatan lainnya.
Selain kendala agronomis, kendala lain pengelolaan lahan sub-optimal adalah aksesibilitas
yang rendah akibat prasarana transportasi yang belum tersedia atau dalam kondisi yang buruk,
sehingga biaya angkut hasil produksi maupun sarana produksi relatif mahal. Selain itu kurangnya
infrastruktur penunjang dalam pembangunan pertanian di lahan sub-optimal tersebut akan
berdampak pada rendahnya produktivitas dan kualitas produk, serta sulitnya pemasaran.
Faktor kendala lain adalah keterbatasan tenaga kerja, karena umumnya kepadatan
penduduk yang bermukim di lahan sub-optimal sangat rendah. Berbagai kendala tersebut secara
langsung berdampak pada mahalnya biaya produksi dan penanganan pasca panen sehingga
pendapatan penduduk dari pengusahaan komoditi pangan rendah, dan pada beberapa daerah hal
tersebut dapat mendorong terjadinya alih fungsi lahan tanaman pangan ke penggunaan lain,
diantaranya untuk perkebunan.

Adapun tujuan dari pengelolaan lahan adalah untuk mengatur pemanfaatan sumber daya
lahan secara optimal, mendapatkan hasil maksimal dan mempertahankan kelestarian sumber daya
lahan itu sendiri.

E. Solusi Lahan Pertanian Pasang Surut

Haryono (2013) mengemukakan bahwa opsi utama yang harus ditempuh untuk memenuhi
kebutuhan pangan, adalah pengembangan dan optimalisasi lahan suboptimal dan terdegradasi,
baik melalui pendekatan intensifikasi maupun secara ekstentifikasi.
Sesuai dengan sifatnya yang ringkih, dan selaras dengan konsep dan tuntutan pembangunan
pertanian berkelanjutan, maka pengembangan dan optimalisasi lahan suboptimal akan disasarkan
pada beberapa aspek, yaitu: produktivitas, efisiensi produksi, kelestarian sumberdaya dan
lingkungan serta kesejahteraan petani. Keempat sasaran tersebut dapat diwujudkan melalui
dukungan inovasi teknologi dan kelembagaan (Haryono, 2013).
Optimalisasi lahan suboptimal dapat ditempuh melalui dua pendekatan, yaitu:
a) Optimalisasi pemanfaatan lahan suboptimal eksisting (baik lahan sawah maupun lahan
kering), agar lebih produktif dan lestari, melalui intensifikasi dengan dukungan inovasi. Sasaran
utamanya adalah peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam/indeks pertanaman (IP).
b) Ekstensifikasi atau perluasan areal pertanian baru dengan memanfaatkan lahan
suboptimal yang potensial dengan skala prioritas tertentu. Prioritas utama perluasan areal adalah
memanfaatkan lahan suboptimal terdegradasi atau terlantar (abondance land).
Selanjutnya Haryono (2013) menambahkan bahwa pengembangan dan optimalisasi lahan
suboptimal harus berbasis “science, innovation dan network”. yang dapatdijabarkan pada
beberapa strategi berikut :
Pertama: pengembangan lahan subpotimal harus diiringi dengan pemacuan inovasi
teknologi yang diasimilasikan dengan kearifan lokal sesuai dengan tipologi lahan. Karena
sifatnya yang fragil dan unik, pengembangan inovasi harus didukung basis ilmiah dan akedemik
yang kuat.
Kedua: pengembangan model farming berbasis lingkungan dan terintegrasi (Pertanian
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN
979-587-529-9 U6-5 Ramah Lingkungan, PRL) dengan berbagai varian dan derivasinya, seperti
pendekatan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT), integrasi tanaman dan ternak
(SITT)
Ketiga: akselerasi pengembangan dan diseminasi inovasi tenologi pertanian, terutama
verietas unggul, teknologi pemupukan, alat mesin pertanian, pasca panen dan model farming
ramah lingkungan.
Keempat: pemberdayaan petani dan pengembangan sistem kelembagaan
Untuk memperoleh hasil yang optimal dalam budi daya padi di lahan pasang surut beberapa
hal sangat penting untuk diperhatikan dan sangat dianjurkan yaitu :
1. Komponen Teknologi PTT
Komponen PTT yang sangat direkomendasikan dalam budidaya padi di lahan pasang
surut meliputi :
a. Komponen utama ; terdiri dari varietas unggul yang sesuai dengan karakteristik lahan,
lingkungan setempat, rasa nasi dan sesuai dengan permintaan pasar, benih bermutu dan berlabel,
penggunaan pupuk organik, pengaturan populasi tanaman (legowo) 2 :1 atau 4 : 1, pemupukan
berdasarkan status hara P dan K dengan PUTS/PUTR dan urea berdasarkan BWD, pengendalian
hama dan penyakit secara terpadu serta tata air mikro.

b. Komponen pilihan ; terdiri dari pengolahan lahan sesuai lahan, penanaman bibit muda
(< 21 HSS), tanam 1 – 3 batang/lubang, penyiangan gulma serta panen dan gabah segera dirontok.
2.Penyiapan Lahan
Lahan pasang surut lebih beragam dibanding lahan sawah irigasi oleh karena itu penyiapan
lahannya juga berbeda. Penyiapan lahan bisa dilakukan dengan TOT (tanpa olah tanah) dan
traktor.

Penyiapan lahan dengan tanpa olah tanah (TOT) dapat dilakukan pada lahan gambut atau
lahan sulfat masam yang memiliki lapisan pirit 0 – 30 cm dari permukaan tanah. Sedangkan
penyiapan lahan dengan traktor dapat dilakukan pada lahan-lahan potensial yang memiliki lapisan
pirit atau beracun lebih dari 30 cm dari pemukaan tanah.

3. Varietas Unggul
Varietas unggul merupakan salah satu komponen yang nyata dalam meningkatkan produksi
tanaman dan dapat diadopsi dengan cepat oleh petani. Banyak varieatas unggul lahan pasang
surut yang telah dikeluarkan oleh badan litbang pertanian sehingga petani dapat memilih benih
yang disukai dan sesuai dengan kondisi setempat.
4. Benih Bermutu

Penggunaan benih bermutu sangat dianjurkan karena akan menghasilkan bibit yang sehat
dan akar yang banyak, perkecambahan dan pertumbuhan yang seragam, saat bibit dipindah tanam
lebih cepat tumbuh dan akan menghasilkan produksi tinggi.

Untuk memperoleh benih yang baik dapat dilakukan dengan merendam pada air larutan
garam 2 – 3 % atau larutan Za dengan perbandingan 20 gram Za/liter air. Dapat juga
menggunakan garam dengan indikator telur yang semula berada di dasar air setelah diberi garam
telur terangkat ke permukaan. Benih yang digunakan hanya benih yang tenggelam dan yang
mengapung dibuang. Setelah diangkat benih perlu dibilas dengan air agar garam tercuci.

Pada daerah yang sering terserang penggerek batang dianjurkan melakukan perlakuan
benih menggunakan pestisida berbahan aktif fipronil.

Benih bermutu ditandai dengan sertifikat/label, memiliki daya tumbuh >90 % dan tidak
tercampur dengan jenis padi atau biji tanaman lain.

5. Penggunaan Bahan Organik


Bahan organik bermanfaat untuk memperbaiki kesuburan, kimia dan biologi tanah. Bahan
ini dapat berupa kotoran hewan (pupuk kandang), sisa tanaman, pupuk hijau dan kompos
sebanyak 5 ton/ha.

6. Persemaian

Jika tanpa olah tanah persemaian dapat dilakukan dengan persemaian kering dimana benih
langsung disemai tanpa direndam dulu. Setelah disemai tutupi dengan tanah halus atau abu sekam.

Jika tanah diolah persemaian dapat dilakukan dengan persemaian basah. Buat bedengan
berlumpur di sawah dengan lebar 1 – 1,2 meter dan panjangnya 10 – 20 meter, tambahkan bahan
organik atau sekam sebanyak 2 kg per meter persegi. Persemaian dipagar plastik untuk mencegah
serangan hama tikus, selain itu persemaian dipupuk urea 20 – 40 gram/meter persegi.

7. Penanaman

Pelaksanaan penanaman dilakukan dengan menggunakan bibit muda (< 21 HSS) karena
dengan bibit muda akan memiliki kelebihan dimana bibit akan cepat pulih kembali karena
adaptasi lingkungannya relatif tinggi, akar akan lebih kuat dan dalam, tanaman akan
menghasilkan anakan lebih banyak, tanaman lebih tahan rebah dan kekeringan serta lebih efektif
dalam pemanfaatan hara.

Tanam 1 – 3 batang perlubang agar tidak terjadi kompetensi yang tinggi dalam pemanfaatan
hara antar bibit dalam satu rumpun. Pada lahan pasang surut dengan tipe luapan A dan pada
wilayah endemik keong mas disarankan tidak menggunakan bibit muda.

Lakukan pengaturan populasi tanaman dengan sistem jajar legowo. Sistem ini merupakan
salah satu cara untuk meningkatkan populasi tanaman dan cukup efektif untuk mengurangi keong
mas dan tikus. Jajar legowo adalah pengosongan satu baris tanaman setiap dua baris (legowo 2 :
1) atau empat baris (legowo 4 : 1) dan tanaman dalam barisan dirapatkan.

Sistem tanam jajar legowo memiliki keuntungan dimana semua barisan rumpun tanaman
berada pada sisi pinggir yang biasanya memberikan hasil lebih tinggi (efek tanaman pinggir),
pengendalian hama, penyakit dan gulma menjadi lebih mudah dilakukan, menyediakan ruang
kosong untuk pengaturan air, saluran pengumpul keong, menekan tingkat keracunan besi dan
penggunaan pupuk lebih berdaya guna.
8. Pemupukan
Pemupukan urea dilakukan dengan bantuan Bagan Warna Daun (BWD) sedangkan
pemupukan P dan K berdasarkan peta status hara P dan K atau hasil analisa tanah dengan
menggunakan perangkat uji tanahsawah (PUTS) atau perangkat uji tanah rawa (PUTR).

Pemupukan urea pertama pada umur 7 – 10 hari setelah tanam (HST) dengan dosis 50 – 70
kg/ha. Pemupukan urea susulan dilakukan dengan bantuan BWD yang didasarkan pada
kebutuhan riil tanaman yaitu 10 hari setelah pemupukan dasar dan diulang setiap 10 hari sekali
sampai umur 40 HST atau interval waktu yaitu pada umur 25 – 28 HST dan 38 – 42 HST.

Pemupukan Sp 36 dan KCl diberikan bersamaan dengan pemupukan urea pertama


seluruhnya kecuali jika dosis pupuk K 100 kg/ha atau lebih dapat diberikan dua kali yaitu
setengah bagian bersamaan dengan pemupukan urea pertama dan setengah bagian lagi pada umur
40 HST.

Metode diatas sudah melewati kajian yang dilakukan di lahan sawah pasang surut wilayah
Kalimantan Barat dengan menggunakan benih varietas unggul inpara 1, 2 dan 3. Produksi yang
dapat dicapai 5 – 6 ton/ha. Kesimpulannya bahwa dengan pengelolaan tanah, air dan pengunaan
varietas unggul yang tepat maka usaha tani di lahan pasang surut dapat memberikan hasil
produksi yang optimal.
Varietas padi lahan pasang surut yang memiliki rasa pulen diantaranya inpara 2, lambur
dan mendawak.
KESIMPULAN
Lahan rawa pasang surut merupakan salah satu sumberday lahan yang walaupun
tergolong lahan marginal namun memiliki potensi cukup besar untuk pengembangan pertanian
khususnya untuk pengembangan tanaman pangan. Kemarginalan lahan rawa pasang surut
dapat diatasi dengan 4 kunci sukses pengelolaan, yaitu pengelolaan air, penataan lahan,
pemilihan komoditas yang adaptif dan prospektifi dan penerapan teknik budidaya yang sesuai.
Dengan penerapan 4 kunci sukses pengelolaan lahan tersebut, lahan rawa pasang surut dapat
dikelola dengan baik dan akan memberikan potensi yang tidak kalan dengan lahan-lahaan
subur lainnya yang selama ini banyak dimanfaatkan untuk usaha pertanian serta kelestarian
usaha tani dapat berjalan dengan baik

Anda mungkin juga menyukai