PENDAHULUAN
ABSTRAK :
Lahan rawa pasang surut termasuk lahan marjinal yang dicirikan oleh tanah dan lingkungan
fisik bermasalah antara lain kondisi tata air, fisik mekanik tanah, kimia kesuburan tanah, dan
virulensi hama dan penyakit tanaman. Pembukaan lahan rawa pasang surut diinisiasi dengan
dibangunnya kanal kanal yang menghubungkan antara dua sungai sehingga memudahkan
terjadinya arus pertukaran barang dan jasa, termasuk ilmu pengetahuan.
Lahan rawa pasang surut yang tersebar di 17 provinsi meliputi luas 20,14 juta hektar,
diantaranya sekitar9,53 juta hektar dinyatakan sesuai untuk pertanian. Luas lahan rawa pasang surut
yang dimanfaatkan sekarang diperkirakan baru sekitar 5,27 juta hektar, diantaranya 2,27 juta hektar
dibuka untuk program transmigrasi oleh pemerintah dan 3,0 juta hektar dibuka oleh masyarakat
secara swadaya. Perkembangan lahan rawa pasang surut didukung oleh berbagai hasil eksplorasi,
penelitian, dan pengkajian berupa teknologi budidaya dan pengelolaan, khususnya dalam
pengembangan padi sebagai komoditas utama. Hasil analisis potensi menunjukkan bahwa dengan
optimalisasi melalui input teknologi pengelolaan dan asupan amelioran, pupuk dan pestisida dari
sekitar 700 ribu hektar lahan rawa pasang surut,dapat menghasilkan 6,49 juta ton gabah kering
giling/tahun. Namun pada kenyataaannya sumbangan lahan rawa pasang surut hanya sekitar 600-
700 ribu ton. Oleh karena itu, dalam rangka mencapai kedaulatan pangan, pemanfaatan lahan rawa
pasang surut perlu ditingkatkan memalui pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
inovatif serta komitmen yang kuat dari para stakeholders.Lahan rawa pasang surut mempunyai
biodiversitas yang luas dan kearifan lokal yang spesifik. Biodiversitas tanaman pangan di lahan
rawa pasang surut meliputi padi, jagung, kacang kacangan, umbi umbian, sayuran dan hortikultura,
termasuk ternak itik, ayam, dan kerbau rawa. Kearifan lokal meliputi pengelolaan lahan rawa
pasang surut yang termasuk cara penilaian dan pemilihan lokasi, pembukaan lahan dan pengelolaan
air,perawatan dan perbaikan kesuburan tanah, dan pola tanam. Tulisan ini mengemukakan
rangkuman hasil eksplorasi dan penelitian sumber daya genetik tanaman pangan dan kearifan lokal
petani dalam budidaya tanaman pangan di lahan rawa pasang surut Kalimantan, Sumatera, dan
Sulawesi yang dilaksanakan antara tahun 1999 - 2009.
Indonesia memiliki wilayah yang luas dataran rendah dengan luas diperkirakan sekitar
34 juta ha, dari yang sekitar 20 juta ha adalah rawa pasang surut. The 13,4 juta ha lainnya
keprihatinan umumnya non-pasang surut dataran rendah di sepanjang sungai dan rawa
pedalaman daerah. Hampir 4 juta ha dataran rendah pasang surut di Indonesia telah
direklamasi, sebagian oleh pemukim spontan (2,5 juta ha) dan sebagian oleh Pemerintah Pusat
(1,5 juta ha).
Pembangunan di dataran rendah Sumatera dan Kalimantan mulai di kedua puluh awal
abad oleh para migran spontan, atau bahkan berabad-abad sebelumnya ketika
mempertimbangkan peran masyarakat adat. Dataran rendah reklamasi oleh pemerintah dimulai
pada 1930-an. Besar-besaran disponsori pemerintah pembangunan dataran rendah memuncak
selama 1970-an dan 1980-an, didorong oleh program transmigrasi, dimana utama proyek
reklamasi yang dilaksanakan dalam rangka untuk menyelesaikan petani dari pulau-pulau penuh
sesak Jawa, Bali dan Madura. Baru-baru ini, salah satu tujuan utama pembangunan rawa
pasang surut dan manajemen adalah untuk memberikan kontribusi peningkatan yang
diperlukan dalam produksi pangan melalui intensifikasi ada daerah dataran rendah direklamasi
untuk mendukung swasembada pangan. Pengelolaan air zonasi di dataran rendah pasang surut
merupakan salah satu strategi untuk merancang dan menerapkan pengelolaan air yang tepat.
Air zonasi manajemen didefinisikan sebagai zona daerah-daerah tertentu yang memiliki
pengelolaan air yang sama berdasarkan karakteristik fisik mereka. Isu perubahan iklim
terhadap zonasi pengelolaan air sangat penting untuk dianalisis, karena mungkin memiliki
pengaruh penting pada keberhasilan sektor pertanian di pasang dataran rendah. Penurunan
tanah sering dianggap sebagai pengaruh kecil dalam mengembangkan pengelolaan air, padahal
mungkin memainkan peran penting dalam menentukan air manajemen di dataran rendah
pasang surut.
Penelitian ini adalah berurusan dengan dampak perubahan iklim dan penurunan muka
tanah di atas air manajemen zonasi di dataran rendah pasang surut. Secara umum, beberapa
hasil dari penelitian ini dapat digunakan untuk mendukung pengembangan dataran rendah dan
terutama dapat digunakan untuk rawa pasang surut pembangunan di Indonesia, termasuk
beberapa langkah yang akan diambil untuk mengatasi diprediksi perubahan iklim dan
penurunan tanah. Penelitian ini berfokus pada tiga aspek utama yaitu zonasi pengelolaan air,
perubahan iklim, dan penurunan tanah dalam kaitannya dengan permukaan laut meningkat
berkontribusi terhadap hidro-topografi, salinitas intrusi dan kemampuan drainase. Kepala rugi
pada sistem utama dianalisis menggunakan studio pemodelan Duflow, sementara tematik
parameter karakteristik fisik mendukung untuk zonasi pengelolaan air (hydrotopography,
drainase, jenis tanah, intrusi salinitas, dan penggunaan lahan yang ada) adalah dianalisis dengan
ArcGIS Model pembangun. Data untuk penelitian ini didasarkan pada kondisi di yang Telang
I daerah, Sumatera Selatan.
Hasil penurunan tanah di Telang I dihitung atau dimodelkan dalam kompartemen tanah
di setiap lapisan. Sampel diambil dari dua lokasi yang mewakili kategori A dan B atau B / C di
hidro-topografi kondisi klasifikasi standar rawa pasang surut daerah di Indonesia (blok
sekunder P8-12S dan P6-3N). Seperti yang diharapkan, hasil Model menunjukkan bahwa
penurunan tanah memiliki hubungan dengan fluktuasi air tanah, di mana ia bervariasi 0,3-0,7
cm per tahun. Di daerah rendah di mana tingkat air tanah dekat tingkat permukaan penurunan
tanah adalah sekitar 0,3 cm per tahun, sedangkan untuk daerah yang lebih tinggi ini adalah
tentang 0,7 cm per tahun. Penggunaan lahan dari kedua daerah ini dominan sawah. Dari hasil
itu dapat disimpulkan bahwa penurunan tanah selama awal periode reklamasi lebih tinggi
daripada setelah periode panjang reklamasi. Selama periode ketika tanah reklamasi tidak
matang belum, air tanah yang lebih rendah memungkinkan kondisi oksidasi di mana tanah lebih
keropos dan menjadi matang. Dalam kondisi saat ini ketika tanah sudah matang, penurunan
tanah melalui menyusut, pemadatan atau proses lainnya menjadi lebih lambat. Itu juga jelas
bahwa penurunan tanah selama periode kering lebih tinggi daripada selama periode basah
sepanjang tahun.
Salinitas intrusi selama periode kering dalam situasi sekarang mencapai hingga 10 km
dari Bangka Selat (mulut Sungai Musi) atau hanya di bagian utara dari 3 Primer Telang I.
Hasil ini hampir identik dengan pengamatan intrusi salinitas menggunakan bergerak Metode
salinitas. Dengan asumsi kenaikan permukaan air laut dari 2 mm / tahun dan peningkatan 1-2
mS / cm konsentrasi garam akibat perubahan iklim, salinitas dapat mengganggu hingga 25 km
dari mulut Sungai Musi dalam 25 tahun mendatang.
Berdasarkan pemodelan, analisis, dan evaluasi hasil untuk daerah penelitian, dapat
menyimpulkan bahwa efek dari perubahan iklim dan penurunan tanah pada pengelolaan air
zonasi di masa depan adalah signifikan. Ini efek yang signifikan bisa positif dan negative
dampak terhadap pengembangan dataran rendah pasang surut di daerah penelitian khususnya
dan di Indonesia umumnya. Dari analisis itu juga dapat disimpulkan bahwa penurunan tanah
memiliki lebih efek ke zonasi pengelolaan air dengan menurunkan elevasi tanah dari kenaikan
permukaan laut, yang kini menjadi masalah besar di seluruh dunia.
Pengelolaan air zonasi di musim hujan sepenuhnya tergantung pada fluktuasi pasang surut dan
curah hujan yang juga berhubungan dengan kondisi hidro-topografi, irigasi pasang surut dan
drainase. Kenaikan permukaan laut dan penurunan tanah membuat potensi irigasi pasang surut
lebih besar dan signifikan.
PEMBAHASAN
1. Lahan Basah
Lahan basah (wetland) adalah setiap wilayah dimana tanahnya jenuh dengan air.
Lahan pasang surut merupakan suatu lahan yang terletak pada zone/wilayah sekitar pantai
yang ditandai dengan adanya pengaruh langsung limpasan air dari pasang surutnya air laut atau
pun hanya berpengaruh pada muka air tanah. Sebagian besar jenis tanah pada lahan rawa
pasang surut terdiri dari tanah gambut dan tanah sulfat masam.
Lahan rawa pasang surut jika dikembangkan secara optimal dengan meningkatkan fungsi
dan manfaatnya maka bisa menjadi lahan yang potensial untuk dijadikan lahan pertanian di
masa depan. Untuk mencapai tujuan pengembangan lahan pasang surut secara optimal, ada
beberapa kendala. Kendala tersebut berupa faktor biofisik, hidrologi yang menyangkut tata air,
agronomi, sosial dan ekonomi
Kemudian tanah pasang surut biasanya dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan
terutama untuk lahan persawahan. Luas lahan pasang surut yang dapat dimanfaatkan
berfluktuasi antara musim kemarau dan penghujan. Pemanfaatan lahan pasang surut telah
menjadi sumber mata pencaharian penting bagi masyarakat disekitarnya meskipun belum dapat
menggunakannya sepanjang tahun. Rata - rata lahan pasang surut hanya dapat ditanami sekali
dalam setahunnya selebihnya dibiarkan dalam keadaan bero karena tergenang air.
Tergenangnya lahan pasang surut secara periodik ada kaitannya dengan kepentingan
pembangkit tenaga listrik dan meluapnya air pada musim penghujan.
Berkut Tabel Sifat – Sifat Umum Tanah Pasang Surut
6 Kation tukar:
Ca (me/100g) 0.56 – 6.20
Mg (me/100g) 0.21 – 10.00
K (me/100g) 0.02 – 0.60
Na (me/100g) 0.20 – 4.50
Penggolongan tipologi lahan pasang surut di atas sangat umum, sehingga menyulitkan transfer
teknologi dalam satu tipologi lahan, oleh karena itu diusulkan penggelompokkan lahan yang lebih
rinci dengan mempertimbangkan berbagai ciri dan karakteristik yang lebih spesifik.
Adapun tujuan dari pengelolaan lahan adalah untuk mengatur pemanfaatan sumber daya
lahan secara optimal, mendapatkan hasil maksimal dan mempertahankan kelestarian sumber daya
lahan itu sendiri.
Haryono (2013) mengemukakan bahwa opsi utama yang harus ditempuh untuk memenuhi
kebutuhan pangan, adalah pengembangan dan optimalisasi lahan suboptimal dan terdegradasi,
baik melalui pendekatan intensifikasi maupun secara ekstentifikasi.
Sesuai dengan sifatnya yang ringkih, dan selaras dengan konsep dan tuntutan pembangunan
pertanian berkelanjutan, maka pengembangan dan optimalisasi lahan suboptimal akan disasarkan
pada beberapa aspek, yaitu: produktivitas, efisiensi produksi, kelestarian sumberdaya dan
lingkungan serta kesejahteraan petani. Keempat sasaran tersebut dapat diwujudkan melalui
dukungan inovasi teknologi dan kelembagaan (Haryono, 2013).
Optimalisasi lahan suboptimal dapat ditempuh melalui dua pendekatan, yaitu:
a) Optimalisasi pemanfaatan lahan suboptimal eksisting (baik lahan sawah maupun lahan
kering), agar lebih produktif dan lestari, melalui intensifikasi dengan dukungan inovasi. Sasaran
utamanya adalah peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam/indeks pertanaman (IP).
b) Ekstensifikasi atau perluasan areal pertanian baru dengan memanfaatkan lahan
suboptimal yang potensial dengan skala prioritas tertentu. Prioritas utama perluasan areal adalah
memanfaatkan lahan suboptimal terdegradasi atau terlantar (abondance land).
Selanjutnya Haryono (2013) menambahkan bahwa pengembangan dan optimalisasi lahan
suboptimal harus berbasis “science, innovation dan network”. yang dapatdijabarkan pada
beberapa strategi berikut :
Pertama: pengembangan lahan subpotimal harus diiringi dengan pemacuan inovasi
teknologi yang diasimilasikan dengan kearifan lokal sesuai dengan tipologi lahan. Karena
sifatnya yang fragil dan unik, pengembangan inovasi harus didukung basis ilmiah dan akedemik
yang kuat.
Kedua: pengembangan model farming berbasis lingkungan dan terintegrasi (Pertanian
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014 ISBN
979-587-529-9 U6-5 Ramah Lingkungan, PRL) dengan berbagai varian dan derivasinya, seperti
pendekatan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT), integrasi tanaman dan ternak
(SITT)
Ketiga: akselerasi pengembangan dan diseminasi inovasi tenologi pertanian, terutama
verietas unggul, teknologi pemupukan, alat mesin pertanian, pasca panen dan model farming
ramah lingkungan.
Keempat: pemberdayaan petani dan pengembangan sistem kelembagaan
Untuk memperoleh hasil yang optimal dalam budi daya padi di lahan pasang surut beberapa
hal sangat penting untuk diperhatikan dan sangat dianjurkan yaitu :
1. Komponen Teknologi PTT
Komponen PTT yang sangat direkomendasikan dalam budidaya padi di lahan pasang
surut meliputi :
a. Komponen utama ; terdiri dari varietas unggul yang sesuai dengan karakteristik lahan,
lingkungan setempat, rasa nasi dan sesuai dengan permintaan pasar, benih bermutu dan berlabel,
penggunaan pupuk organik, pengaturan populasi tanaman (legowo) 2 :1 atau 4 : 1, pemupukan
berdasarkan status hara P dan K dengan PUTS/PUTR dan urea berdasarkan BWD, pengendalian
hama dan penyakit secara terpadu serta tata air mikro.
b. Komponen pilihan ; terdiri dari pengolahan lahan sesuai lahan, penanaman bibit muda
(< 21 HSS), tanam 1 – 3 batang/lubang, penyiangan gulma serta panen dan gabah segera dirontok.
2.Penyiapan Lahan
Lahan pasang surut lebih beragam dibanding lahan sawah irigasi oleh karena itu penyiapan
lahannya juga berbeda. Penyiapan lahan bisa dilakukan dengan TOT (tanpa olah tanah) dan
traktor.
Penyiapan lahan dengan tanpa olah tanah (TOT) dapat dilakukan pada lahan gambut atau
lahan sulfat masam yang memiliki lapisan pirit 0 – 30 cm dari permukaan tanah. Sedangkan
penyiapan lahan dengan traktor dapat dilakukan pada lahan-lahan potensial yang memiliki lapisan
pirit atau beracun lebih dari 30 cm dari pemukaan tanah.
3. Varietas Unggul
Varietas unggul merupakan salah satu komponen yang nyata dalam meningkatkan produksi
tanaman dan dapat diadopsi dengan cepat oleh petani. Banyak varieatas unggul lahan pasang
surut yang telah dikeluarkan oleh badan litbang pertanian sehingga petani dapat memilih benih
yang disukai dan sesuai dengan kondisi setempat.
4. Benih Bermutu
Penggunaan benih bermutu sangat dianjurkan karena akan menghasilkan bibit yang sehat
dan akar yang banyak, perkecambahan dan pertumbuhan yang seragam, saat bibit dipindah tanam
lebih cepat tumbuh dan akan menghasilkan produksi tinggi.
Untuk memperoleh benih yang baik dapat dilakukan dengan merendam pada air larutan
garam 2 – 3 % atau larutan Za dengan perbandingan 20 gram Za/liter air. Dapat juga
menggunakan garam dengan indikator telur yang semula berada di dasar air setelah diberi garam
telur terangkat ke permukaan. Benih yang digunakan hanya benih yang tenggelam dan yang
mengapung dibuang. Setelah diangkat benih perlu dibilas dengan air agar garam tercuci.
Pada daerah yang sering terserang penggerek batang dianjurkan melakukan perlakuan
benih menggunakan pestisida berbahan aktif fipronil.
Benih bermutu ditandai dengan sertifikat/label, memiliki daya tumbuh >90 % dan tidak
tercampur dengan jenis padi atau biji tanaman lain.
6. Persemaian
Jika tanpa olah tanah persemaian dapat dilakukan dengan persemaian kering dimana benih
langsung disemai tanpa direndam dulu. Setelah disemai tutupi dengan tanah halus atau abu sekam.
Jika tanah diolah persemaian dapat dilakukan dengan persemaian basah. Buat bedengan
berlumpur di sawah dengan lebar 1 – 1,2 meter dan panjangnya 10 – 20 meter, tambahkan bahan
organik atau sekam sebanyak 2 kg per meter persegi. Persemaian dipagar plastik untuk mencegah
serangan hama tikus, selain itu persemaian dipupuk urea 20 – 40 gram/meter persegi.
7. Penanaman
Pelaksanaan penanaman dilakukan dengan menggunakan bibit muda (< 21 HSS) karena
dengan bibit muda akan memiliki kelebihan dimana bibit akan cepat pulih kembali karena
adaptasi lingkungannya relatif tinggi, akar akan lebih kuat dan dalam, tanaman akan
menghasilkan anakan lebih banyak, tanaman lebih tahan rebah dan kekeringan serta lebih efektif
dalam pemanfaatan hara.
Tanam 1 – 3 batang perlubang agar tidak terjadi kompetensi yang tinggi dalam pemanfaatan
hara antar bibit dalam satu rumpun. Pada lahan pasang surut dengan tipe luapan A dan pada
wilayah endemik keong mas disarankan tidak menggunakan bibit muda.
Lakukan pengaturan populasi tanaman dengan sistem jajar legowo. Sistem ini merupakan
salah satu cara untuk meningkatkan populasi tanaman dan cukup efektif untuk mengurangi keong
mas dan tikus. Jajar legowo adalah pengosongan satu baris tanaman setiap dua baris (legowo 2 :
1) atau empat baris (legowo 4 : 1) dan tanaman dalam barisan dirapatkan.
Sistem tanam jajar legowo memiliki keuntungan dimana semua barisan rumpun tanaman
berada pada sisi pinggir yang biasanya memberikan hasil lebih tinggi (efek tanaman pinggir),
pengendalian hama, penyakit dan gulma menjadi lebih mudah dilakukan, menyediakan ruang
kosong untuk pengaturan air, saluran pengumpul keong, menekan tingkat keracunan besi dan
penggunaan pupuk lebih berdaya guna.
8. Pemupukan
Pemupukan urea dilakukan dengan bantuan Bagan Warna Daun (BWD) sedangkan
pemupukan P dan K berdasarkan peta status hara P dan K atau hasil analisa tanah dengan
menggunakan perangkat uji tanahsawah (PUTS) atau perangkat uji tanah rawa (PUTR).
Pemupukan urea pertama pada umur 7 – 10 hari setelah tanam (HST) dengan dosis 50 – 70
kg/ha. Pemupukan urea susulan dilakukan dengan bantuan BWD yang didasarkan pada
kebutuhan riil tanaman yaitu 10 hari setelah pemupukan dasar dan diulang setiap 10 hari sekali
sampai umur 40 HST atau interval waktu yaitu pada umur 25 – 28 HST dan 38 – 42 HST.
Metode diatas sudah melewati kajian yang dilakukan di lahan sawah pasang surut wilayah
Kalimantan Barat dengan menggunakan benih varietas unggul inpara 1, 2 dan 3. Produksi yang
dapat dicapai 5 – 6 ton/ha. Kesimpulannya bahwa dengan pengelolaan tanah, air dan pengunaan
varietas unggul yang tepat maka usaha tani di lahan pasang surut dapat memberikan hasil
produksi yang optimal.
Varietas padi lahan pasang surut yang memiliki rasa pulen diantaranya inpara 2, lambur
dan mendawak.
KESIMPULAN
Lahan rawa pasang surut merupakan salah satu sumberday lahan yang walaupun
tergolong lahan marginal namun memiliki potensi cukup besar untuk pengembangan pertanian
khususnya untuk pengembangan tanaman pangan. Kemarginalan lahan rawa pasang surut
dapat diatasi dengan 4 kunci sukses pengelolaan, yaitu pengelolaan air, penataan lahan,
pemilihan komoditas yang adaptif dan prospektifi dan penerapan teknik budidaya yang sesuai.
Dengan penerapan 4 kunci sukses pengelolaan lahan tersebut, lahan rawa pasang surut dapat
dikelola dengan baik dan akan memberikan potensi yang tidak kalan dengan lahan-lahaan
subur lainnya yang selama ini banyak dimanfaatkan untuk usaha pertanian serta kelestarian
usaha tani dapat berjalan dengan baik