Anda di halaman 1dari 52

28

BAB II

PERCERAIAN ATAS PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT


TIONGHOA DAN AKIBAT HUKUMNYA TERHADAP HARTA
PERKAWINAN

A. Syarat-Syarat dan Tata Cara Perkawinan Menurut Hukum Adat Tionghoa

1. Pengertian Perkawinan

Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

dirumuskan pengertian perkawinan yang di dalamnya terkandung tujuan dan dasar

perkawinan dengan rumusan “ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria

dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

Tujuan perkawinan menurut Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan berpegang kepada rumusan Pasal 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang perkawinan yaitu pada bagian kalimat kedua yang berbunyi : “dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

Rumusan tujuan perkawinan tersebut mengandung arti bahwa diharapkan

perkawinan dapat memberikan kebahagian lahir batin untuk jangka waktu yang lama,

bukan hanya bersifat sementara bagi suami isteri yang terikat dalam perkawinan

tersebut. Sehingga berdasarkan rumusan tersebut, Undang – Undang membuat

pembatasan yang ketat terhadap perceraian atau pemutusan hubungan perkawinan.

28

Universitas Sumatera Utara


29

Hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk

perundang-undangan Republik Indonesia yang disana-sini mengandung unsur

agama.48 Menurut Kusumadi Pudjosewojo, “ adat adalah tingkah laku yang oleh dan

dalam suatu masyarakat (sudah, sedang, akan) diadakan. Dan adat itu ada yang tebal,

ada yang tipis, dan senantiasa menebal dan menipis. Aturan- aturan tingkah laku

manusia dalam masyarakat seperti yang dimaksudkan tadi adalah aturan-aturan

adat.”49

Upacara pernikahan merupakan adat perkawinan yang didasarkan atas dan

bersumber pada kekerabatan, keleluhuran dan kemanusiaan serta berfungsi

melindungi keluarga. Upacara pernikahan tidaklah dilakukan secara seragam di

semua tempat, tetapi terdapat berbagai variasi menurut tempat diadakannya, yaitu

disesuaikan dengan pandangan mereka pada adat tersebut dan pengaruh adat lainnya

pada masa lampau.50

Hukum adat Tionghoa merupakan kebiasaan adat istiadat yang dilaksanakan

oleh masyarakat Tionghoa secara turun temurun dan berulang- ulang dalam

kehidupan sehari-hari. Hukum adat Tionghoa berkembang seiring dengan

perkembangan masyarakat Tionghoa itu sendiri. Hukum adat Tionghoa merupakan

hukum yang tidak tertulis dan diundangkan, sebagaimana peraturan perundang-

undangan lainnya.
48
Sulaiman.B.Taneka, Hukum Adat Suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa Depan,
E.esco,Bandung, 1987, hal.11.
49
Iman Sudiyat, Asas- asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberti, Yogyakarta, 1978 ,
hal.14.
50
K.Ginarti B, Adat Pernikahan, Majalah Jelajah Volume 3, Tahun 1999, Tanggal 20
Desember 1999, hal.12.

Universitas Sumatera Utara


30

Penerapan dan kelangsungan Hukum adat Tionghoa di dalam masyarakat

Tionghoa sangat bergantung pada masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri, apakah

masih diterapkan dalam perkembangan sehari-hari, apakah masih sesuai dengan

kebutuhan dan perkembangan zaman di dalam masyarakat etnis Tionghoa.

Agama memiliki peran yang sangat penting di dalam menentukan

kelangsungan budaya Tionghoa. Bagi masyarakat etnis Tionghoa yang memeluk

agama Budha dan Taoisme memiliki kedekatan yang erat dengan kebudayaan

Tionghoa karena masih banyaknya upacara keagamaan yang digunakan seperti

penggunaan dupa (hio) dalam pemujaan leluhur yang terkait dengan kebudayaan

Tionghoa.51

Makna perkawinan menurut adat Tionghoa Konghucu dapat ditemukan dalam

Kitab LI JI buku XLI : 1 & 3 tentang Hun Yi (kebenaran makna upacara pernikahan),

dinyatakan bahwa : Upacara pernikahan bermaksud akan menyatu padukan benih

kebaikan/ kasih antara dua manusia yang berlainan keluarga; keatas mewujudkan

pengabdian kepada Tuhan dan leluhur (Zong Miao) ,dan ke bawah meneruskan
52
generasi. Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia melalui Musyawarah

Nasional Rokhaniwan Agama Konghucu seIndonesia yang diselenggarakan di

Tangerang, pada tanggal 21 Desember 1975 telah mensahkan Hukum perkawinan

Agama Konghucu Indonesia yang mengatur tentang pelaksanaan upacara peneguhan

perkawinan bagi umat Konghucu. Ada beberapa hal yang diatur dalam Hukum

51
Aimee Dawis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2010, hal.21.
52
MATAKIN, Kitab Li Ji, Pelita Kebajikan, Jakarta, 2005, hal.686.

Universitas Sumatera Utara


31

Perkawinan bagi umat yang beragama Konghucu sebelum melaksanakan upacara

peneguhan (Liep Gwan) pernikahan, diantaranya: 53

1) Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki – laki dengan seorang
perempuan dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan melangsungkan keturunan berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
2) Dasar perkawinan umat Konghucu adalah monogami (seorang laki-laki hanya
boleh mempunyai seorang istri), dan monoandri (seorang perempuan hanya
boleh mempunyai seorang suami).
3) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai tanpa
paksaan dari pihak manapun.
4) Kedua calon mempelai masing – masing tidak atau belum terikat dengan
pihak-pihak lain yang dapat dianggap sebagai sudah hidup bersama (berumah
tangga layaknya suami isteri).
5) Pengakuan Iman atau peneguhan iman adalah wajib bagi calon – calon
mempelai yang belum melaksanakannya.
6) Saat pelaksanakan Liep Gwan pernikahan wajib dihadiri oleh orang tua dari
kedua belah pihak, dan apabila orang tua dari salah satu pihak atau dari kedua
pihak sudah tiada, dapat digantikan oleh kerabat dari angkatan tua sebagai
wali dari calon mempelai. Orang tua atau wali dari kedua calon mempelai,
dalam upacara menyulut lilin pada altar sebagai wujud restu bagi calon
mempelai.
7) Apabila salah satu atau kedua pihak calon mempelai tidak memenuhi
persyaratan ketentuan dari Hukum Perkawinan, maka dari pihak MAKIN
(Majelis Agama Konghucu Indonesia) dapat membatalkan atau menolak
upacara peneguhan perkawinan.
8) Oleh karena hakikat dari perkawinan mengandung nilai-nilai luhur dan tersirat
amanat mulia sebagaimana dapat disimak dari acuan ayat-ayat suci, maka
perceraian tidak dikenal dalam kehidupan umat Konghucu.
9) Sebagai upaya untuk menghindari perceraian kedua pihak terkait, perlu untuk
melakukan instrospeksi diri (memerikasa ke dalam diri sendiri) atau tidak
merasa benar sendiri, dan tidak ingkar dari prasetia yang diikrarkan dalam
peneguhan pernikahannya.
10) Bilamana terjadi sesuatu yang tidak lagi dapat diupayakan rujuk bagi kedua
pihak, maka Pengadilan Negeri sebagai Instansi yang dapat menanganinya.
11) Bagi mempelai yang sudah di Liep Gwan, hendaknya segera mencatatkan
pernikahannya di Kantor Catatan Sipil.54

53
Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Majelis Agama Konghucu Indonesia (MAKIN),
tanggal 19 Juli 2013
54
MATAKIN, Panduan Tata Cara dan Upacara Liep Gwan/ Li Yuan Pernikahan, Pelita
Kebajikan, Jakarta, 2008, hal.6-7.

Universitas Sumatera Utara


32

Masyarakat Tionghoa Indonesia adalah masyarakat patrilineal yang terdiri

atas marga/suku yang tidak terikat secara geometris dan teritorial yang selanjutnya

telah menjadi satu dengan suku-suku di Indonesia. Mereka kebanyakan masih

membawa dan mempercayai adat leluhurnya.55 Dalam hal ini berarti, anak laki – laki

memegang peran yang sangat penting di dalam keluarga, karena merupakan penerus

marga atau nama keluarga.

Anak laki – laki dalam masyarakat etnis Tionghoa memiliki kedudukan yang

lebih istimewa dibandingkan dengan anak perempuan. Anggapan ini disebabkan oleh

karena anak perempuan tidak dapat meneruskan marga atau nama keluarga, anak

perempuan yang telah dewasa dan akhirnya menikah akan menjadi bagian dari

anggota keluarga dari pihak suaminya dan meneruskan marga atau nama keluarga

dari pihak suami. 56

Tidak ada pengertian secara tertulis untuk mendefinisikan pengertian

perkawinan menurut adat Tionghoa, namun berdasarkan uraian di atas dapat

disimpulkan bahwa perkawinan menurut hukum adat Tionghoa adalah ikatan lahir

dan batin antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama dalam membina rumah

tangga dan mendapatkan keturunan untuk meneruskan nama keluarga atau marga dari

ayahnya.57

55
K.Ginarti B, Op.Cit., hal.12.
56
Natasya Yunita Sugiastuti, Tradisi Hukum Cina : Negara dan Masyarakat , Studi Mengenai
Peristiwa-Peristiwa Hukum di Pulau Jawa Zaman Kolonial (1870-1942), Program Pasca Sarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hal.42.
57
Lodewik Loka, Tinjauan Yuridis Terhadap Penetapan Pengesahan Perkawinan Adat
Tionghoa Oleh Hakim, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universtias Sumatera Utara,Medan,
2011, hal.33.

Universitas Sumatera Utara


33

2. Syarat – Syarat Perkawinan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menentukan

syarat-syarat formil dan materiil yang harus dipenuhi di dalam melaksanakan

perkawinan.

Syarat-syarat materiil yaitu syarat mengenai orang yang hendak kawin dan

izin-izin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal – hal yang ditetukan oleh

Undang-Undang.58 Syarat - syarat materiil terbagi atas 2 yaitu:

a. Syarat materiil mutlak.

b. Syarat materiil relatif.

Syarat materiil mutlak terdiri atas :

1) Perkawinan harus didasarkan persetujuan kedua calon mempelai (Pasal 6

ayat (1) UU No 1 Tahun 1974);

2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur

21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua (Pasal 6

ayat (2) UU No 1 Tahun 1974);

3) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19

(sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 ( enam

belas) tahun (Pasal 7 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974);

4) Bagi wanita yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu (Pasal 11

UU No 1 Tahun 1974 jo PP No 9 Tahun 1975);

58
Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 2008, hal.12.

Universitas Sumatera Utara


34

Syarat materiil relatif adalah syarat-syarat bagi pihak yang hendak melakukan

perkawinan yang telah memenuhi syarat-syarat materiil mutlak untuk diperbolehkan

kawin, tetapi ia tidak boleh kawin dengan setiap orang. Dengan siapa pihak tersebut

hendak kawin, harus memenuhi syarat-syarat materiil relatif.59

Syarat-syarat materiil relatif terdiri atas :

1) Perkawinan dilarang antara dua orang yang :

a) Berhubungan darah dalam garis keturunan kebawah dan keatas;

b) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara

saudara, antara seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan

saudara neneknya;

c) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu –

bapak tiri;

d) Berhubungan, yaitu orang tua susuan, anak susuan dan bibi susuan;

e) Berhubungan saudara dengan isteri, atau sebagai bibi atau

kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari

seorang;

f) Yang mempunyai hubungan oleh agamanya atau peraturan lain yang

berlaku sekarang (pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974).

2) Seseorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain, kecuali

dalam hal tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang – undang

ini (Pasal 9 UU No. 1 tahun 1974);


59
Mulyadi, Ibid., hal.19.

Universitas Sumatera Utara


35

3) Apabila suami dan isteri yang telah kawin lagi satu dengan yang lain dan

bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh

dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang bahwa masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak

menentukan lain (Pasal 10 UU No. 1 Tahun 1974);

Syarat-syarat formil yang harus dipenuhi dalam melaksanakan perkawinan

diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun

1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, yaitu :

a. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada pegawai

pencatat perkawinan.

b. Penelitian yang dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan yang meneliti

apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan tidak terdapat halingan

perkawinan menurut Undang-Undang.

c. Pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan oleh

pegawai pencatat perkawinan.

d. Pelaksanaan perkawinan menurut agama dan kepercayaan masing-masing.

e. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

f. Penerbitan Akta Perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

Dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

diatur mengenai syarat-syarat sahnya suatu perkawinan. Adapun syarat-syarat yang

harus dipenuhi yaitu :

Universitas Sumatera Utara


36

a. Pasal 2 ayat (1) : Perkawinan baru merupakan perkawinan yang sah apabila

dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya.

b. Pasal 2 ayat (2) : setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang

berlaku.

M. Yahya Harahap menarik kesimpulan dari bunyi pasal 2 ayat (1) bahwa

yang dimaksud dengan hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya yaitu

sah atau tidaknya suatu perkawinan semata – mata ditentukan oleh ketentuan agama

dan kepercayaan mereka yang hendak melaksanakan perkawinan sepanjang tidak

bertentangan dengan Undang-Undang. “Setiap perkawinan yang dilakukan

bertentangan dengan ketentuan agama dengan sendirinya menurut hukum perkawinan

belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan”.60

Selanjutnya menurut M.Yahya Harahap, pencatatan perkawinan hanyalah

tindakan administratif, sama halnya dengan pencatatan perisitiwa penting dalam

kehidupan seseorang yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi

yang dimuat dalam daftar pencatatan.61

Mengenai pencatatan perkawinan diatur dalam Bab II Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 yang memberi penjelasan tentang pencatatan perkawinan yang

dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974, antara lain:

a. Bagi mereka yang beragama Islam dan yang melangsungkan perkawinannya

menurut agama Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana

60
M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Zahir Trading, Medan, 1975, hal.13.
61
Ibid., hal.15.

Universitas Sumatera Utara


37

yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang pencatatan

nikah, talak, dan rujuk.

b. Bagi mereka yang bukan beragama Islam dan yang melangsungkan perkawinan

menurut agama dan kepercayaan mereka, pencatatan dilakukan oleh pencatat

perkawinan pada kantor catatan sipil.

Syarat – syarat pelaksanaan perkawinan menurut Hukum Adat Tionghoa tidak

diatur secara tertulis, melainkan dilakukan secara adat istiadat yang diwariskan dari

generasi yang satu kepada generasi berikutnya secara terus menerus. Jadi tidak ada

syarat pasti mengenai prosedur pelaksanaan perkawinan menurut adat Tionghoa.

Di Indonesia terdapat bermacam-macam suku bangsa dan adat-istiadat,

demikian pula orang-orang Tionghoa yang bermigrasi dari Republik Rakyat Cina ke

Indonesia. Orang-orang Tionghoa yang datang ke Indonesia tidak hanya berasal dari

satu daerah saja, melainkan dari beberapa daerah dimana adat-isitiadat di setiap

daerah adalah berbeda-beda. Sehingga adat-istiadat yang dianut oleh masyarakat

Tionghoa di Indonesia adalah beragam, namun terdapat perbedaan yang tidak

signifikan antara masyarakat Tionghoa di Indonesia yang satu dengan yang lainnya.

Orang tua berperan sangat penting di dalam pelestarian pelaksanaan

perkawinan secara adat Tionghoa dengan cara memberitahukan kepada anak dan

keturunannya serta menerapkannya dalam pelaksanaan perkawinan anak-anaknya.

Di dalam masyarakat adat Tionghoa terdapat pantangan dimana calon

mempelai yang bermarga sama dilarang menikah sekalipun antara kedua keluarga

calon mempelai tidak saling kenal. Hal ini disebabkan anggapan bahwa individu yang

Universitas Sumatera Utara


38

bermarga sama berasal dari nenek moyang yang sama, sehingga masih mempunyai

ikatan darah dan merupakan satu keluarga sehingga hal ini dianggap tabu dan

memungkinkan melahirkan keturunan yang kurang baik atau sempurna.

Adat pernikahan sangat dipengaruhi oleh adat lain, adat setempat, agama,
62
pengetahuan, dan pengalaman masing-masing. Pada dasarnya syarat-syarat

perkawinan dalam hukum adat Tionghoa sangat dipengaruhi oleh pandangan

masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri, terutama pandangan dari keluarga dan kedua

calon mempelai. Syarat-syarat perkawinan adat Tionghoa harus sesuai dengan tujuan

dari suatu perkawinan menurut hukum adat Tionghoa, yang mana syarat-syarat

tersebut lebih memberatkan calon mempelai pria daripada calon mempelai wanita.

Secara umum syarat-syarat perkawinan secara adat Tionghoa adalah sebagai

berikut :

1. Adanya kesepakatan antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita

untuk mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan.

Hal ini merupakan syarat yang mutlak, karena antara kedua calon mempelai pria

dan calon mempelai wanita harus mempunyai komitmen yang teguh untuk

mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan dan membentuk suatu keluarga yang

kekal dan bahagia, dimana seorang isteri harus mengikuti dan mendukung

suaminya dalam keadaan yang susah maupun senang. Serta suami sebagai kepala

keluarga harus bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan hidup anak dan

isterinya.
62
K.Ginarti B, Op.Cit., hal.12.

Universitas Sumatera Utara


39

2. Adanya persetujuan dari orangtua kedua calon mempelai.

Persetujuan dari orangtua kedua orangtua calon mempelai dapat

mengenyampingkan kesepakatan antara kedua calon mempelai. Seorang anak

harus menuruti kata-kata orang tuanya, walaupun kadang permintaan dari

orangtua bukanlah merupakan kemauan dari anak. Dalam hal salah satu orangtua

dari calon mempelai telah meninggal dunia , maka ijin diberikan oleh orang tua

calon mempelai yang masih hidup. Sedangkan dalam hal kedua orang tua dari

calon mempelai telah meninggal dunia, maka ijin diberikan oleh anak laki-laki

tertua yang telah menikah. Dalam hal anak laki – laki tertua tidak ada , maka

yang memberikan ijin adalah saudara laki-laki tertua kandung dari ayah calon

mempelai. Kalau tidak ada, maka ijin diberikan oleh saudara laki-laki kandung

yang lebih muda dari ayah calon mempelai, kalau tidak ada juga , maka ijin

diberikan oleh saudara laki-laki kandung dari ibu.

3. Calon mempelai pria harus telah mapan secara lahir dan batin.

Calon mempelai pria harus telah mapan secara finansial, dan mental. Karena ia

akan menjadi suami bagi isterinya dan ayah bagi anak – anaknya. Jadi di dalam

menghidupi keluarga, seorang pria harus mempunyai rasa tanggung jawab yang

besar terhadap keluarganya.

Tiada suatu batasan (had) umur yang sesuai untuk seorang itu untuk kawin.

semuanya bergantung kepada kesediaan dan kesanggupan individu untuk hidup

berkeluarga. Keseluruhannya, orang-orang Tionghoa kawin pada umur yang

agak lewat karena terpaksa mengumpulkan sejumlah uang yang banyak untuk

Universitas Sumatera Utara


40

mengadakan kenduri kawin. perkawinan orang Tionghoa dikatakan adalah yang

termahal untuk menunjukkan status dan kedudukan yang tinggi. Di samping itu

upacara perkawinan dibuat secara besar-besaran untuk memberi muka kepada ibu

bapak kedua belah pihak. Orang Tionghoa mempunyai suatu kebiasaan untuk

bersaing menunjukkan ego masing-masing melalui pemaparan kemewahan dan

kekayaan. Mengikut adat orang Tionghoa, perkawinan anak lelaki sulung perlu

dibuat dengan sebaik mungkin. Jika tidak, ini akan memalukan dan merendahkan

keluarga serta mendatangkan umpat keji ( kata – kata hinaan) daripada saudara-

mara.63

4. Calon mempelai wanita sehat jasmani dan rohani.

Selain sehat secara rohani, calon mempelai wanita harus sehat secara jasmani

sehingga dapat memberikan keturunan bagi keluarga, terutama anak laki-laki

sebagai penerus marga atau nama keluarga. Ketidakmampuan isteri untuk

memberikan keturunan dapat menjadi alasan bagi suami untuk menceraikan

isterinya atau menikahi wanita lain sebagai isteri kedua untuk memberikan

keturunan sebagai penerus marga.

5. Berpendirian dan bertingkah laku santun.

Sikap dan perilaku kedua calon mempelai terhadap orang tua dan keluarga sangat

berperan penting di dalam mendapatkan restu dari orang tua untuk

melangsungkan perkawinan.

63
Aan Wan Seng, Op.Cit., hal.31.

Universitas Sumatera Utara


41

Secara garis besar, syarat – syarat perkawinan dalam hukum adat Tionghoa

sangat sederhana dan hanya terfokus kepada cara pandang dan kebiasaan – kebiasaan

serta adat- istiadat dari suku dan/atau keluarga. Tidak terdapat sanksi apabila syarat-

syarat perkawinan tidak dipenuhi atau dilaksanakan oleh para pihak yang

melangsungkan perkawinan. Sanksi lebih kepada sanksi sosial seperti berupa

cemoohan dari pihak keluarga, kerabat dekat, maupun masyarakat.

3. Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan

Terdapat 3 tahap upacara dalam melangsunkan perkawinan menurut adat

Tionghoa yaitu :64

a. Upacara adat Tionghoa

b. Upacara tata cara agama yang diyakini

c. Upacara Resepsi Pernikahan

Pesta dan upacara pernikahan merupakan saat peralihan sepanjang kehidupan

manusia yang sifatnya universal. Perkawinan penting untuk mengkekalkan institusi

keluarga. Melalui perkawinan, keturunan nenek moyang dapat diteruskan daripada

satu generasi kepada generasi yang lain. Walaupun perkawinan pada masa kini perlu

didaftarkan, tetapi upacara dan kenduri perkawinan penting untuk mengikiraf

perkawinan.65

A. Upacara Adat Tionghoa

Upacara ini terdiri atas beberapa tahapan yaitu :66

1. Melamar

64
Vasanti Puspa, Kebudayaan Orang Tionghoa Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1996, hal.43.
65
Aan Wan Seng, Op.Cit.,hal.33.
66
Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Majelis Agama Konghucu Indonesia (MAKIN),
tanggal 5 April 2013

Universitas Sumatera Utara


42

Untuk menghindari kesia – siaan dan rasa malu, lazimnya lamaran dilakukan

setelah pihak keluarga pria mendapat kepastian bahwa lamaran akan diterima.

Ketika proses lamaran berlangsung pun, pihak pelamar belum akan

menyentuh makanan dan minuman yang disajikan sebelum keluarga calon

mempelai wanita memastikan lamaran telah diterima. Saat akan pulang, ayah

atau wali dari calon mempelai pria akan menyelipkan angpau berisi uang di

bawah cangkir teh yang disajikan calon mempelai wanita sebagai tanda kasih

kepada calon menantu. Sebagai balasan, jika lamaran diterima, keluarga

pengantin wanita akan memberi perhiasan sebagai tanda ikatan.

Selepas kedua belah pihak berpuas hati dengan latar belakang masing-masing,

ibu bapa pengantin lelaki akan menghantar wakil untuk meminang. Wakil

pihak lelaki dipilih dari kalangan emak saudaranya sendiri atau saudara mara

tua yang terdekat. Wakil ini mesti seorang perempuan.67

Setelah ada kecocokan dari keluarga calon mempelai pria dan wanita, maka

orang tua dan pihak keluarga dari calon mempelai pria akan mengutus

seseorang, biasanya wanita, baik itu saudara maupun sanak famili perempuan

dari keluarga calon mempelai pria yang bertindak sebagai perantara untuk

mendatangi keluarga dari pihak calon mempelai perempuan untuk

menyampaikan maksud dan tujuan untuk melamar anak perempuan mereka

sebagai menantu. Dalam tahap ini, keluarga calon mempelai pria dan

sekaligus juga meminta persetujuan dari keluarga calon mempelai wanita


67
Aan Wan Seng, Op.Cit.

Universitas Sumatera Utara


43

mengenai rencana pelaksanaan pernikahan anak-anak mereka. Pembicaraan

antara kedua keluarga calon mempelai hanya sebatas adanya persetujuan dan

kata sepakat untuk melaksanakan perkawinan antara kedua calon mempelai,

namun belum ada tanggal pasti tentang kapan perkawinan akan dilaksanakan.

2. Penentuan Hari Baik

Masyarakat Tionghoa percaya bahwa dalam setiap melaksanakan suatu

upacara, harus dilihat hari dan bulannya. Apabila hari, jam, dan bulan

pernikahan kurang tepat akan dapat mencelakakan kelanggengan pernikahan

mereka. Oleh karena itu harus dipilih jam, hari, dan bulan yang baik. Biasanya

serba muda yaitu jam sebelum matahari tegak lurus, hari tergantung

perhitungan bulan Tionghoa, dan bulan yang baik adalah bulan naik /

menjelang purnama.68

Perkawinan yang dilaksanakan pada jam, hari, dan bulan yang tepat akan

membawa pengaruh yang baik terhadap perkawinan tersebut di kemudian

hari, baik kelanggengan rumah tangga, rezeki,dan anak-anak yang lahir kelak.

Penentuan jam, hari, dan bulan ditentukan berdasarkan hari, bulan, tahun lahir

serta shio (zodiak Cina) dari kedua belah pihak calon mempelai. Sampai saat

ini penentuan hari baik masih dipraktekkan oleh sebagian besar masyarakat

Tionghoa di berbagai daerah, karena hal ini telah menjadi kebiasaan yang

hidup dan berlaku secara turun temurun dari generasi ke generasi.

3. Sangjit ( prosesi hantaran secara adat Tionghoa)


68
Loc.Cit

Universitas Sumatera Utara


44

Sangjit mrerupakan prosesi hantaran rantang bambu yang disusun bulat atau

persegi empat, berisi aneka buah dan kue yang jumlahnya harus genap.

Namun, semua tergantung kemampuan calon mempelai pria. Hantaran ini

akan dibawa oleh pria lajang. Tradisi ini diyakini akan membuat para

pembawa hantaran ini menjadi “enteng jodoh”. Diantara sekian banyak barang

hantaran terdapat barang bermakna simbolis. Sangjit merupakan acara

pertemuan kedua orang tua dan keluarga dari keluarga calon mempelai dan

biasanya kedua calon mempelai tidak hadir dalam pembicaraan tersebut.

Pada budaya Tionghoa suku tertentu, hantaran yang diterima tidak diambil

seluruhnya , melainkan hanya separuh. Bahkan uang susu sebagai ungkapan

terima kasih kepada ibu pengantin wanita yang telah membesarkan anak

gadisnya sama sekali tidak diambil. Ini sebagai isyarat si ibu tidak mempunyai

pamrih atas jasa itu. Hantaran yang telah diterima akan dibalas dengan

hantaran pula.

Sangjit biasanya dilakukan setelah acara lamaran. Hari dan waktu yang baik

untuk melakukan Sangjit ini ditetapkan pada saat proses lamaran. Dalam

prakteknya Sangjit sering digabung dengan proses lamaran. Dalam Sangjit

juga dibicarakan mengenai permintaan-permintaan dari pihak keluarga calon

mempelai wanita mengenai jumlah undangan resepsi, barang-barang hantaran,

dan hal-hal lain yang dianggap perlu.

4. Menata kamar pengantin

Universitas Sumatera Utara


45

Seusai melaksanakan prosesi Sangjit, keluarga calon mempelai pria akan

mempersiapkan ranjang baru untuk kamar pengantin. Ada tradisi unik, anak-

anak akan diminta meloncat-loncat di atas ranjang pengantin sebelum ranjang

ditata. Selain bisa untuk menguji kekuatan ranjang, ada mitos tradisi ini dapat

membuat pengantin cepat mendapat momongan.

5. Menyalakan lilin

Ada keharusan bagi orang tua kedua calon pengantin untuk menyalakan lilin

perkawinan beberapa hari menjelang pernikahan digelar. Nyala lilin

perkawinan dipercaya bisa mengusir pengaruh buruk yang dapat

mengacaukan jalannya prosesi pernikahan. Biasanya lilin dinyalakan mulai

pukul satu dini hari. Lilin harus tetap menyala hingga tiga hari setelah

pernikahan.

6. Upacara Sembahyang kepada leluhur

Pada pagi hari di acara pernikahan dilakukan sembahyang kepada leluhur dari

kedua mempelai yang telah meninggal dunia untuk meminta doa restu agar

pernikahan dapat berjalan langgeng dan diberikan keturunan yang baik.

Sembahyang leluhur terlebih dahulu dilakukan di rumah keluarga mempelai

pria, yang kemudian dilanjutkan di rumah keluarga mempelai wanita.

7. Prosesi Minum Teh ( Phang Teh)

Phang Teh dilakukan untuk menghormati orang tua serta saudara dan sanak

keluarga yang lebih tua, dimana kedua calon mempelai mempersembahkan

teh sebagai rasa hormat dan terima kasih kepada orang yang lebih tua untuk

Universitas Sumatera Utara


46

memohon doa restu dari keluarga. Setiap persembahan teh kepada para orang

yang lebih tua, akan dibalas dengan pemberian “angpao”. Angpao dapat berisi

uang atau dapat berupa kalung emas, cincin emas, ataupun gelang emas.

Phang teh lebih dahulu dilakukan di rumah keluarga mempelai pria yang

kemudian dilanjutkan di rumah keluarga mempelai wanita.

8. Siraman

mempelai wanita dimandikan dengan air yang telah dibubuhi dengan

wewangian alami. Selain itu untuk membersihkan mempelai dan membuatnya

wangi, ritual ini juga bermaksud mengusir pengaruh jahat yang bisa

menganggu mempelai.

9. Chiao Thao ( menyisir rambut)

Chio Thao biasanya dilakukan oleh orang yang telah menikah dan memiliki

keturunan. Mempelai akan disisir sebanyak tiga kali. Mempelai yang akan

menjalani prosesi ini didudukkan di atas kursi yang telah dialasi tampah besar

bergambar yin-yang. Di hadapan mereka terdapat meja kecil yang di atasnya

telah diletakkan penakar beras yang terisi penuh oleh beras dan Sembilan

benda simbolis, yaitu timbangan obat khas Tionghoa, alat pengukur panjang,

cermin, sisir, gunting, pedang, pelita. Selain itu terdapat juga benang sutra

yang terdiri dari lima warna. Semua benda-benda ini mengandung makna

ajaran moral bagi calon pengantin untuk membereskan keruwetan rumah

tangga yang akan dihadapi serta mampu menimbang baik buruknya suatu

tindakan.

Universitas Sumatera Utara


47

10. Makan 12 jenis sayur

Memasuki detik-detik penyambutan pengantin pria, mempelai wanita yang

telah dipakaikan busana pengantin oleh orang tuanya, dibimbing menuju meja

makan. Di atas meja telah tersaji 12 mangkuk yang masing – masing berisi

satu jenis makanan yang memiliki rasa yang berbeda-beda. Manis, asin, asem,

pedas, pahit, gurih, dan sebagainya. Semua rasa ini menjadi pelambang suka-

duka hidup berumah tangga yang harus dijalani dan dinikmati. Pengantin pria

juga menjalani prosesi yang sama di rumahnya, sebelum berangkat menuju

rumah pengantin wanita.

11. Penjemputan mempelai wanita

Mempelai pria yang datang untuk menjemput mempelai wanita akan disambut

dengan taburan beras kuning, biji buncis merah dan hijau, uang logam, serta

bunga. Aneka taburan ini bermakna kesejahteraan yang melimpah bagi

mempelai. Masih dalam keadaan wajah ditutupi kerudung, mempelai wanita

dipertemukan dengan pengantin pria yang telah datang menjemput. Dalam

prosesi ini, kerudung pelambang kesucian belum boleh dibuka.

12. Penyambutan pengantin wanita

Di rumah segala keperluan untuk menyambut kedatangan pengantin telah

dipersiapkan. Begitu rombongan pengantin datang, di muka pintu, ibu, dan

nenek pengantin pria yang telah menunggu akan menyambut dengan taburan

beras kuning, biji kacang buncis hijau dan merah sebagai simbol kesuburan,

serta uang logam sebagai lambang rezeki dan kemakmuran. Setelah pasangan

Universitas Sumatera Utara


48

pengantin masuk rumah, keduanya akan dibimbing menuju kamar, barulah

kerudung pengantin wanita boleh dibuka.

B. Upacara Tata Cara Agama yang Diyakini

1. Upacara sembahyang Dewa Langit dan Dewa Bumi

Upacara sembahyang kepada Dewa Langit dan Dewa Bumi dilakukan pada

tengah malam menjelang hari pernikahan, untuk memohon pada para Dewa agar

acara berlangsung dengan lancar dan diberkahi rezeki dan segala harapan-

harapan yang baik.

2. Upacara Sembahyang di Kelenteng

Setelah upacara sembayang di rumah masing-masing keluarga mempelai,

hendaknya pemberkatan dilanjutkan ke lembaga keagamaan, misalnya

Kelenteng. Di Kelenteng terdapat pemuka agama yang juga akan memberkati

perkawinan dan pesta perkawinan agar berjalan dengan langgeng dan lancar.

Untuk pemberkatan perkawinan di Kelenteng dibutuhkan dokumen-dokumen

yakni sebagai berikut :69

a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) masing – masing calon mempelai pria

dan wanita yang masih berlaku sebanyak 2 lembar.

b. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) orang tua dan/atau wali dari calon

mempelai pria dan wanita yang masih berlaku sebanyak 2 lembar.

69
Wawancara dengan Ibu Dewi, Pengurus Kelenteng Gunung Timur, bagian perkawinan,
tanggal 10 April 2013

Universitas Sumatera Utara


49

c. Fotokopi akta kelahiran masing – masing calon mempelai pria dan wanita

sebanyak 2 lembar.

d. Fotokopi kartu keluarga masing – masing calon mempelai pria dan wanita

sebanyak 2 lembar.

e. Pas foto berwarna berukuran 2x3 masing-masing calon mempelai pria dan

wanita sebanyak 3 lembar.

f. Fotokopi undangan pernikahan sebanyak 2 lembar.

g. Fotokopi surat ganti nama masing-masing calon mempelai pria dan wanita

sebanyak 2 lembar (bila ada).

C. Upacara Resepsi Pernikahan

Resepsi pernikahan dalam adat Tionghoa bisa dibagi menjadi 2 bagian yakni :

a. Resepsi pernikahan dari pihak keluarga mempelai wanita.

Pada resepsi ini, keluarga dari mempelai pria tidak diundang untuk hadir

karena dianggap tabu dan akan memberi akibat yang kurang baik terhadap

perkawinan tersebut. Jadi pada resepsi ini hanya mempelai pria saja yang

hadir untuk mendampingi mempelai wanita hingga resepsi selesai. Setelah

acara selesai, maka mempelai pria dan wanita akan kembali ke rumah masing-

masing.

b. Resepsi pernikahan dari pihak keluarga mempelai pria.

Berbeda dengan resepsi pernikahan dari pihak keluarga mempelai wanita.

Pada resepsi ini, seluruh pihak keluarga mempelai wanita juga turut diundang.

Keluarga mempelai wanita ditempatkan pada meja khusus untuk keluarga

Universitas Sumatera Utara


50

mempelai wanita. Setelah acara selesai, maka tiba saat perpisahan mempelai

wanita dengan orang tuanya dan melanjutkan hidup sebagai isteri dan

menantu keluarga serta akan mengikuti suaminya, dan hidup serumah sebagai

sepasang suami-isteri.

Namun sekarang banyak masyarakat Tionghoa yang menggabungkan resepsi

pernikahan dari pihak keluarga mempelai wanita dan pihak keluarga

mempelai pria menjadi satu dengan alasan untuk menghemat biaya dan waktu

penyelenggaraannya. Maka resepsi diselenggarakan di satu hari, dan tempat

yang sama. Dimana segenap keluarga, sanak saudara, teman, dan kerabat dari

mempelai pria dan wanita akan bertemu dan berkumpul.

4. Sahnya Perkawinan Pada Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa

Masyarakat Tionghoa memegang teguh adat istiadat berpendapat bahwa suatu

perkawinan adalah sah dan telah diakui oleh kedua belah pihak keluarga suami/isteri

apabila perkawinan tersebut telah dilaksanakan menurut adat Tionghoa dan menjalani

serangkaian ritual keagamaan, maka perkawinan tersebut telah sah, tidak

mempedulikan dicatat atau tidak perkawinan tersebut menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Dalam hukum adat Tionghoa disebutkan,

pasangan yang melangsungkan perkawinan tanpa mengikuti ketentuan aturan yang

digariskan oleh adat istiadat Tionghoa adalah tidak sah dalam pandangan orang

Tionghoa.70

70
Aan Wan Seng, Op.Cit., hal.30.

Universitas Sumatera Utara


51

Bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa, suatu perkawinan telah

sah apabila telah dilangsungkan dengan memenuhi seluruh persyaratan dan prosedur

menurut ketentuan adat istiadat Tionghoa dan agama yang dianut sehingga banyak

masyarakat etnis Tionghoa yang enggan mencatatkan perkawinannya karena

perkawinan tersebut dianggap sah walaupun tidak dicatatkan di Dinas

Kependudukan. Apabila suatu perkawinan telah sesuai dengan adat istiadat Tionghoa,

maka perkawinan telah dianggap sah. Sehingga banyak perkawinan yang tidak

dicatatkan sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 2 ayat (2) Undang – Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Banyak perkawinan yang tidak dicatatkan karena ketidaktahuan mengenai

pentingnya pencatatan perkawinan dan akibat hukum yang timbul sebagai akibat dari

tidak dicatatkannya suatu perkawinan. Keengganan dan ketidaktahuan hukum

masyarakat Tionghoa atas pencatatan perkawinan tanpa disadari akan membawa

kesulitan dan akibat hukum yang tidak diinginkan, baik bagi pasangan suami isteri

tersebut, anak-anaknya dan juga terhadap keluarga dari pihak suami maupun isteri.

B. Akibat Hukum Perkawinan Menurut Hukum Adat Tionghoa

Setiap perkawinan akan memberikan akibat hukum bagi pihak – pihak yang

melaksanakannya. Terdapat perbedaan akibat hukum antara perkawinan yang

dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dengan perkawinan yang dilaksanakan menurut adat istiadat Tionghoa.

Akibat yang timbul dari perkawinan yang sah adalah adanya hak dan

kewajiban suami-istri dalam keluarga. Dalam pasal 30 sampai dengan 34 UU No. 1

Universitas Sumatera Utara


52

Tahun 1974 tentang perkawinan telah diatur mengenai hak dan kewajiban antara

suami isteri, yaitu sebagai berikut:

1) Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga

yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat;

2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami

dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan masyarakat;

3) Masing- masing pihak ( suami – isteri ) berhak melakukan perbuatan hukum;

4) Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga.

5) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

6) Suami isteri wajib saling cinta – mencintai, hormat menghormati, setia dan

memberi bantuan lahir batin satu kepada yang lain;

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur secara

tegas tentang akibat-akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan, baik hak dan

kewajiban suami, isteri, dan anak, serta harta benda perkawinan. Sedangkan

perkawinan secara adat Tionghoa tidak mengatur secara jelas mengenai akibat hukum

yang timbul dari suatu perkawinan, dikarenakan tidak ada hukum tertulis yang

mengaturnya. Jadi akibat – akibat hukum yang timbul dari perkawinan secara adat

Tionghoa baik mengenai hak dan kewajiban suami, isteri, dan anak, serta harta benda

perkawinan dilaksanakan berdasarkan kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam

masyarakat etnis Tionghoa.

1. Akibat Hukum Terhadap Hubungan Suami Isteri dan Keluarga Suami


Isteri

Hukum adat Tionghoa menganut sistem kekeluargaan patrilineal dimana laki-

laki sebagai penerus marga atau nama keluarga. Seorang suami berkewajiban untuk

Universitas Sumatera Utara


53

mencari nafkah, memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, melindungi isterinya.

Suami berkedudukan sebagai kepala keluarga dan pembuat keputusan mutlak dalam

keluarga. Seorang isteri berkewajiban untuk mengurus rumah tangga dengan baik,

patuh terhadap suami dan orang tua, dan memberikan keturunan. Dalam hal

keturunan, lebih diutamakan anak laki-laki, karena anak laki-laki dalam masyarakat

Tionghoa berkedudukan sebagai penerus marga.

2. Akibat Hukum Terhadap Harta Kekayaan Suami Isteri

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber dari kalangan

etnis Tionghoa di Kota Medan, akibat hukum yang timbul terhadap harta yang

perkawinannya dilakukan menurut adat istiadat Tionghoa adalah sebagai berikut : 71

a. Untuk harta bawaan suami yang telah ada sebelum berlangsungnya perkawinan

tetap berada dalam penguasaan dan sepenuhnya menjadi hak suami.

b. Untuk harta bawaan isteri yang telah ada sebelum berlangsungnya perkawinan

tetap berada dalam penguasaan dan sepenuhnya menjadi hak isteri.

3. Akibat Hukum Terhadap Hubungan Orang Tua dengan Anak

Hukum adat Tionghoa tidak mengenal mengenai perkawinan yang dicatatkan

dan perkawinan yang tidak dicatatkan, jadi anak-anak yang lahir dari perkawinan

yang dilaksanakan menurut adat Tionghoa dianggap sebagai anak sah. Orang tua

berkewajiban merawat anak dengan baik, memberikan penghidupan yang layak dan

pendidikan yang baik.

71
Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia (
MAKIN), tanggal 16 Maret 2013

Universitas Sumatera Utara


54

Anak laki-laki mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

anak perempuan. Anak laki-laki sebagai penerus marga mempunyai hak untuk

mewaris dalam keluarga, terutama anak laki – laki tertua. Dalam adat Tionghoa, cucu

laki-laki dari anak laki-laki tertua memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan

cucu laki-laki dari anak laki-laki yang lebih muda. Sehingga apabila terdapat acara

adat dan keluarga, para anak laki-laki akan berdiskusi mengenai pelaksanaan

keputusan. Namun keputusan terakhir ditentukan oleh anak laki – laki yang tertua.

Anak perempuan dalam adat Tionghoa tidak mempunyai hak mewaris karena

anak perempuan yang telah menikah dianggap akan menjadi bagian dari keluarga

suaminya. Anak perempuan cukup dibekali dengan pendidikan, perhiasan dan uang

pada saat anak perempuan tersebut menikah.

Namun kedudukan anak laki – laki dan anak perempuan pada dewasa ini telah

mengalami pergeseran nilai, dimana anak perempuan juga telah memiliki hak

mewaris. Pada keluarga etnis Tionghoa yang sama sekali tidak memiliki anak laki-

laki, harta warisan akan dibagikan kepada anak perempuan sesuai dengan

kesepakatan masing-masing keluarga.72

C. Perceraian Atas Perkawinan Yang Dilangsungkan Menurut Hukum Adat


Tionghoa

1. Alasan Perceraian

Dalam suatu perkawinan tidak semuanya berjalan seperti apa yang

diharapkan, seperti dengan adanya sesuatu hal yang biasa memicu keretakan dalam

72
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


55

suatu perkawinan, keretakan yang bisa menimbulkan kekecewaan atau mematahkan

hati bagi semua pihak yang terlibat diantaranya suami, istri, anak-anak, dan anggota

lain dalam keluarga, bahkan orang-orang terdekatnya. Perceraian dapat menimbulkan

efek-efek yang kurang baik, dari segi moral maupun keluarga dan bagi mereka yang

mempunyai anak akan membawa tanggung jawab yang lebih berat, sehingga anak-

anak mengalami perubahan dalam kehidupan mereka setelah perceraian itu terjadi,

mengingat anak-anak masih membutuhkan kasih sayang dan pendidikan yang

semestinya di dapat dari kedua orangtuanya.

Menurut Augustine disebutkan beberapa alasan pasangan memutuskan untuk

mengakhiri perkawinannya yakni :73

a. Prinsip dasar yang bertentangan dengan pasangan.


b. Ketidakpuasan terhadap kehidupan pernikahan.
c. Pasangan meninggalkan keluarga.
d. Perzinahan.
e. Perlakuan kejam ( kekerasan dalam rumah tangga).
f. Pasangan dipenjara.
g. Pasangan ingin menikah lagi ( bigami/poligami).
h. Penghinaan pasangan.
i. Lain – lain atau tanpa alasan ( jenis perceraian tanpa alasan disebut juga
dengan istilah no-fault divorce).

Menurut Saxton beberapa bentuk ketegangan dalam interaksi suami isteri

yang mengarah pada perceraian :74

a. Frustasi
Frustasi didefinisikan sebagai bentuk emosi yang dialami saat keinginan dihalangi
atau perasaan puas yang terpasung. Frustasi dalam hidup berpasangan terutama
dialami oleh pihak yang paling tertekan karena situasi tersebut.

73
Augustine K, Divorce Decision : Things to Consider When Making a Decision About
Divorce, http://www.deciding-ondivorce.com/divorcedecision.htm, diakses pada tanggal 16 April 2013
74
L. Saxton, The Individual, Marriage & The Family, Wadsworth, California, 1990, hal.105.

Universitas Sumatera Utara


56

Contoh yang diberikan Saxton adalah kasus dimana suami menginginkan


hubungan suami isteri sedangkan si isteri menolak. Sebenarnya si isteri tidak
menginginkan hubungan suami isteri didasari oleh kelelahan fisik atau preferensi
kegiatan lain, menonton televisi misalnya. Namun sang suami menanggapinya
sebagai penolakan terhadap kebutuhan biologisnya. Jika suami tidak mengubah
persepsinya mengenai alasan isteri menolak berhubungan suami isteri, suami
kemungkinan besar akan mengalami frustasi dan kesalahan menanggapi maksud
isterinya. Tak jarang penolakan berhubungan suami isteri disalahartikan sebagai
“tidak cinta lagi”. Saxton melihat hal ini sebagai lubang – lubang kecil menuju
perceraian.
b. Penolakan dan pengkhianatan
Sering ditemui pada keluarga muda yang beranjak pada tahun – tahun berat
pernikahan. Romantisme pada masa – masa berpacaran pelan – pelan tergantikan
oleh kesibukan dan konsentrasi pada urusan mencari nafkah keluarga dan anak.
Tidak heran ada perasaan tersisihkan dan dilupakan oleh pasangannya. Orang
yang merasa dirinya ditolak oleh pasangannya biasanya melancarkan balasan,
bisa berupa sikap maupun kata – kata. Demikian pula pada perasaan dikhianati
pasangannya. Kekosongan dan berkurangnya komunikasi memicu pertengkaran
suami dan isteri. Tak jarang ada yang memutuskan meninggalkan pasangannya
sebagai bentuk atas serangan ketersisihan yang dirasakannya.
c. Berkurangnya kepercayaaan
Saat seseorang dalam hidup berpasangan kepercayaan berkurang terhadap
pasangannya umumnya merambat pada kebinasaan hubungan. Hal ini cukup
beralasan sebab kepercayaan menyangkut kesadaran membina keharmonisan
dengan pasangan dalam bentuk keintiman satu sama lain. Menurunnya
kepercayaan (lowered self-esteem) dapat ditanggulangi dengan komunikasi yang
jujur dan terbuka antara kedua belah pihak.
d. Displacement
Saxton menemukan kasus bahwa respondennya pernah bertengkar dengan
pasangannya dan tidak bertegur sapa dengan pasangannya selama dua hari tanpa
alasan yang jelas. Saxton menyebutnya sebagai displacement, diperkirakan lahir
dari perasaan yang terpendam sejak lama yang mendadak meledak sebagai
klimaks. Menurutnya, masalah yang menjadi alasan pertengkaran cenderung
sepele bahkan ada yang melenceng dari persoalan semula.
e. Psychological Games
Psychological Games didefinisikan sebagai interaksi dimana seseorang
menyerang orang lain dalam perdebatan demi sebuah kemenangan terselubung.
Perasaan menang itu didapat saat pasangannya mengaku tunduk atas argument
yang dikeluarkannya. Dalam membuat keputusan pola psychological games ini
sangat berbahaya, sebab keputusan yang diambil cenderung tidak melihat pada
masalah yang sedang dialami, melainkan sejauh mana lawan berdebat baru
mengaku kalah.

Universitas Sumatera Utara


57

Alasan perceraian pada masyarakat Tionghoa yaitu :75

a. Moral

Moral merupakan tingkah laku, perbuatan, percakapan bahkan sesuatu yang

berkaitan dengan norma – norma kesopanan, yang harus dilindungi oleh hukum

demi terwujudnya tata tertib dan tata susila dalam kehidupan. 76 Sebab – sebab

perceraian yang masuk dalam kategori faktor moral ini seperti krisis akhlak

seperti perselingkuhan yakni melakukan hubungan seks dengan orang lain yang

bukan suami atau isterinya tanpa diketahui masing – masing atau diketahui

setelah melakukan hubungan seks oleh salah satu pihak atau keduanya atau orang

lain. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya saling menghargai masing – masing

pihak ( suami – isteri ).

Kecemburuan merupakan suatu dugaan yang belum tentu benar adanya.

Kecemburuan dapat memicu perselisihan dan menganggu keharmonisan rumah

tangga. Dugaan yang tidak benar dapat menyebabkan salah satu pihak menjadi

kesal, misalnya isteri yang terus menerus curiga dan bertanya pada saat suami

baru pulang kerja dalam keadaan lelah sehingga suami kesal dan membentak

isterinya.

b. Meninggalkan kewajiban

Suatu perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban bagi suami dan isteri, apabila

kewajiban – kewajiban dijalankan dengan baik dan seimbang, maka hubungan

yang harmonis dapat terjaga. Meninggalkan kewajiban di sini adalah kewajiban

75
Wawancara dengan Ibu Dewi, pengurus Majelis Agama Konghucu Indonesia ( MAKIN )
bagian perkawinan, tanggal 19 April 2013
76
Yani Tri Zakiyah, Makalah Latar Belakang dan Dampak Perceraian, Semarang, 2005,
hal.114.

Universitas Sumatera Utara


58

yang ditinggalkan oleh suami dan/atau isteri dalam hal pemberian nafkah baik

lahir maupun batin. Meninggalkan kewajiban sebagai suami – isteri dapat

disebabkan oleh beberapa faktor misalnya, kawin paksa, ekonomi, tidak adanya

rasa tanggung jawab.

Kawin paksa tidak dilandasi oleh rasa cinta, kasih dan sayang. Kawin paksa

terjadi karena adanya paksaan dari orang tua, saudara, atau yang lainnya yang

menyebabkan adanya tekanan sehingga muncul rasa tidak tanggung jawab

terhadap rumah tangga seperti meninggalkan rumah tanpa seizin dari isteri atau

suaminya. Tanpa rasa tanggung jawab membuat salah satu pihak menjadi tidak

betah tinggal di rumah dan memicu rasa bosan sehingga meninggalkan rumah.

c. Menikah muda

Banyak pasangan yang menikah muda tanpa ada kesiapan baik secara finansial

maupun emosional. Karena banyak pasangan muda yang belum memahami arti

dan tujuan dari suatu perkawinan. Sehingga apabila terjadi kegoncangan dalam

rumah tangga, mereka tidak dapat mengatasinya dan menyalahkan satu sama lain.

d. Kekerasan dalam rumah tangga

Kekejaman terhadap jasmani dapat dilihat dari perbuatan yang menimbulkan rasa

sakit dan/atau yang termasuk pidana. Sedangkan kekejaman rohani dapat berupa

hinaan, fitnah, atau hal-hal lain yang menganggu kejiwaan.77 Pada kenyataannya,

wanita lebih banyak mendapat perlakuan penganiayaan dari suami sehingga

77
Ibid, hal.127.

Universitas Sumatera Utara


59

muncul fenomena baru pada masa sekarang yaitu meningkatnya masalah

perceraian.

Menurut Sofia Kartika, umumnya alasan yang dikemukakan perempuan dalam

mengajukan gugatan perceraian, selain alasan ketidakcocokan adalah terjadinya

kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti

faktor ekonomi, menolak untuk berhubungan spesial, suami selingkuh, cemburu,

dan ingin kawin lagi. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh ketidaksadaran akan

kesetaraan dalam masyarakat. Kekerasan dalam rumah tangga biasa disebut

sebagai kekerasan domestik, ini pendeteksiannya sangat sulit karena perempuan

Indonesia biasanya takut dan malu mengatakannya. Kekerasan domestik ini lalu

dianggap sebagai aib yang tidak perlu diungkapkan.78

Jika perkawinan tak berjalan sebagaimana yang diharapkan, seperti tidak bahagia

atau terjadi ketidakcocokan yang tak bisa lagi didamaikan maka mereka menjadi

lebih berani untuk meminta talak. Perempuan tak lagi bersedia hidup lagi dalam

kemunafikan falsafah lama supaya selalu jogo projo ( menjaga kerajaan ) yaitu

meredam persoalan dengan diam demi tetap utuhnya bangunan rumah tangga

walaupun itu hanya sebuah kepura – puraan.79

e. Kebiasaan buruk

78
Sofia Kartika, Profil Perkawinan Perempuan Indonesia, Jurnal Perempuan. Yayasan Jurnal
Perempuan Maret, 2002, hal.64-65.
79
Endriani DS, 16 Perceraian dan Otonomi Perempuan,
http://penaendri.wordpress.com/2010/07/, diakses pada tanggal 19 April 2013

Universitas Sumatera Utara


60

Salah satu pihak baik suami maupun isteri mempunyai kebiasaan buruk yang

tidak dapat diperbaiki sehingga memicu salah satu pasangan tidak dapat bertahan

untuk hidup satu atap lagi. Kebiasaan buruk yang dimaksud seperti suka berjudi,

tukang mabuk, selingkuh sehingga menyebabkan rumah tangga tidak harmonis

lagi dan merujuk kepada perceraian

f. Perselisihan terus menerus

Faktor-faktor perselisihan dapat disebabkan oleh gangguan pihak ketiga,

perbedaan paham dan ideal. Gangguan pihak ketiga dapat berupa adanya campur

tangan dalam rumah tangga dari orang tua, saudara dari suami/isteri, teman

sehingga menyebabkan perbedaan paham, perselisihan, kesalahpahaman yang

dapat berakhir pada perceraian.

Orang tua sering kali terlalu banyak ikut campur dalam persoalan rumah tangga

anaknya, karena beranggapan hal yang dilakukan untuk anaknya adalah yang

terbaik, namun belum tentu apa yang terbaik menurut orang tua, juga terbaik

menurut anaknya. Misalnya ada orang tua yang ikut campur dalam hal pemberian

nafkah kepada isteri, sehingga hal ini juga berpengaruh pada keharmonisan rumah

tangga, isteri yang terkekang dengan tekanan ekonomi akan merasa tertekan dan

frustasi, sehingga menimbulkan rasa benci dan mengganggu ketenteraman dalam

rumah tangga.

Tingginya angka perceraian disebabkan pergeseran nilai dan kebutuhan

individu. Dahulu pasangan suami isteri meski sering berselisih namun berusaha

mempertahankan biduk pernikahan, mereka harus berpikir dengan matang hingga

Universitas Sumatera Utara


61

memilih keputusan bercerai. Hal ini sangat bertolak belakang dengan keadaan

sekarang, dimana pasangan sangat mudah mengambil keputusan bercerai. Dahulu

pasangan yang bercerai dianggap hal yang sangat memalukan, namun sekarang telah

terjadi pergeseran nilai dimana perceraian dianggap hal yang biasa saja.

2. Akibat Putusnya Hubungan Perkawinan

Keluarga yang terpisah ialah keluarga dimana terdapat ketiadaan salah satu

dari orang tua karena kematian, perceraian, hidup berpisah, untuk masa yang tak

terbatas ataupun suami meninggalkan keluarga tanpa memberitahukan kemana ia

pergi. Hal ini menyebabkan :80

a. Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan tuntutan pendidikan


orang tua, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing
sibuk mengurusi permasalahan mereka.
b. Kebutuhan fisik maupun psikis anak remaja menjadi tidak terpenuhi,
keinginan harapan anak-anak tidak tersalur dengan memuaskan, atau tidak
mendapatkan kompensasinya.

Kartini Kartono mengatkan bahwa : 81


Sebagai akibat bentuk pengabaian tersebut, anak menjadi bingung, resah,
risau, malu, sedih, sering diliputi perasaan dendam, benci, sehingga anak menjadi
kacau dan liar. Dikemudian hari mereka mencari kompensasi bagi kerisauan batin
sendiri diluar lingkungan keluarga, yaitu menjadi anggota dari suatu geng kriminal;
lalu melakukan banyak perbuatan brandalan dan kriminal. Pelanggaran kesetiaan
loyalitas terhadap patner hidup, pemutusan tali perkawinan, keberantakan kohesi
dalam keluarga. Semua ini juga memunculkan kecenderungan menjadi delinkuen
pada anak-anak dan remaja. Setiap perubahan dalam relasi personal antara suami-istri
menjurus pada arah konflik dan perceraian. Maka perceraian merupakan faktor
penentu bagi pemunculan kasus-kasus neurotik, tingkah laku a-susila, dan kebiasaan
delinkuen. Penolakan oleh orang tua atau ditinggalkan oleh salah seorang dari kedua
orang tuanya, jelas menimbulkan emosi, dendam, rasa tidak percaya karena merasa
dikhianati, kemarahan dan kebencian, sentimen hebat itu menghambat perkembangan
relasi manusiawi anak. Muncullah kemudian disharmonis social dan lenyapnya

80
Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005, hal. 57.
81
Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 17-18.

Universitas Sumatera Utara


62

kontrol diri, sehingga anak dengan mudah dapat dibawa ke arus yang buruk, lalu
menjadi kriminal. Anak ini memang sadar, tetapi mengembangkan kesadaran yang
salah. Fakta menunjukkan bahwa tingkah laku yang jahat tidak terbatas pada strata
sosial bawah, dan strata ekonomi rendah saja tetapi juga muncul pada semua kelas,
khususnya dikalangan keluarga yang berantakan. Memang perceraian suami-istri dan
perpisahan tidak selalu mengakibatkan kasus delinkuen dan karakter pada diri anak.

3. Tata Cara Perceraian

a. Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kitab


Undang-Undang Hukum Perdata

Perceraian merupakan suatu pengecualian terhadap prinsip perkawinan yang

kekal yang diakui oleh semua agama. 82 Perceraian hanya dapat terjadi apabila

sebelumnya telah ada hubungan perkawinan sebagaimana yang dimaksudkan dalam

Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Salah satu prinsip dalam hukum perkawinan nasional yang sejalan dengan

ajaran agama ialah mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini terbukti dari ketentuan

Pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana

Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974. Perceraian menurut garis hukum apapun

dan dalam bentuk apapun hanya boleh dipergunakan sebagai jalan terakhir, sesudah

usaha perdamaian telah dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak ada jalan lain

kecuali hanya perceraian itu. Pada kenyataannya telah terjadi pergeseran nilai dimana

alasan-alasan perceraian yang telah diatur secara limitatif dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 hanya dianggap sebagai formalitas demi

82
T. Jazifham, Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, Mestika,
Jakarta, 2006, hal.54.

Universitas Sumatera Utara


63

tercapainya keinginan untuk bercerai. Hal ini sangat erat kaitannya dengan

munculnya perceraian atas pemufakatan/kesepakatan.

Definisi perceraian menurut beberapa pendapat sarjana :

1) Menurut Budi Susilo

Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim

pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang. Oleh

karena itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta

akibat-akibat yang mungkin timbul setelah suami-isteri itu perkawinannya

putus.83

2) Menurut Surbekti

Perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan

salah satu pihak dalam perkawinan itu.84

3) Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin

Perceraian berlainan dengan pemutusan perkawinan sesudah perpisahan meja dan

tempat tidur yang di dalamnya tidak terdapat perselisihan bahkan ada kehendak

baik dari suami maupun dari isteri untuk pemutusan perkawinan. Perceraian

selalu berdasar pada perselisihan antara suami dan isteri.85

4) Menurut P.N.H Simanjuntak

83
Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2007, hal.11.
84
Subekti, Pokok – Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985, hal.23.
85
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni,
Bandung, 1986, hal.109.

Universitas Sumatera Utara


64

Perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena sesuatu sebab dengan

keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam

perkawinan.86

Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

menentukan perkawinan dapat putus karena :

1) kematian

2) perceraian

3) keputusan pengadilan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mempersulit

terjadinya perceraian, dengan menentukan bahwa di dalam melakukan perceraian

harus ada cukup alasan bagi suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai

suami isteri.87

Dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

menyebutkan bahwa :

1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Pengadilan, setelah Pengadilan yang


bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri
tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan
perundangan sendiri.

86
P.N.H Simanjuntak, Pokok – Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2007,
hal.53.
87
Sudarsono, Lampiran Undang – Undang Perkawinan dengan Penjelasannya, Rineka Cipta,
Jakarta, 1991, hal.307.

Universitas Sumatera Utara


65

Dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan dinyatakan bahwa pelaksanaan perceraian hanya mungkin terjadi

apabila :

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut – turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun dan hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Pasal 209 KUH Perdata menyebutkan beberapa alasan yang mengakibatkan

terjadinya perceraian, yaitu:88

1. zinah,
2. meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat
3. penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan
hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan.
4. melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si isteri terhadap
isteri atau suaminya, yang demikian sehingga membahayakan jiwa pihak yang
dilukai atau dianiaya, atau sehingga mengakibatkan luka – luka yang
membahayakan.

Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur

akibat hukum dari perceraian yaitu :89

1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;

88
Pasal 209 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
89
Pasal 41Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Universitas Sumatera Utara


66

2. Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan


yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut;
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

b. Perceraian Menurut Hukum Adat Tionghoa

Sebagian besar masyarakat etnis Tionghoa beragama Buddha atau Konghucu,

dimana perkawinan menurut etnis Tionghoa barulah sah apabila telah dilakukan

secara adat istiadat Tionghoa.

Perkawinan secara adat di kalangan masyarakat etnis Tionghoa kebanyakan

dilakukan di Kelenteng ataupun lembaga keagamaan lainnya. Dimana pemuka agama

layaknya seorang pendeta menjadi saksi dari pengikatan tali perkawinan, dan

menyaksikan upacara adat sembahyang kepada Dewa Langit dan Dewa Bumi pada

saat upacara pengikatan perkawinan tersebut.

Hal ini membuat lembaga keagamaan mempunyai peran yang sangat penting

dalam perkawinan maupun perceraian dari masyarakat etnis Tionghoa. Sebagai akibat

dari pengaruh agama yang sangat besar, pemutusan perkawinan menurut hukum adat

selalu terjadi campur tangan aturan – aturan keagamaan.

Pengertian perceraian menurut adat Tionghoa adalah putusnya hubungan

perkawinan antara seorang laki – laki dan seorang perempuan yang telah hidup

bersama sebagai suami isteri.

Universitas Sumatera Utara


67

Terdapat dua keadaan perceraian dalam adat istiadat Tionghoa yaitu :90

1. Pemisahan meja dan tempat tidur


Dalam keadaan ini pasangan suami isteri hidup terpisah dan berhenti untuk
tinggal bersama sebagai suami isteri, tetapi masih terikat dengan
perkawinan dan tidak ada kebebasan untuk menikah lagi dengan orang lain
ketika pasangannya masih hidup.
2. Perceraian secara hukum/resmi
Dalam keadaan ini pasangan suami isteri telah bercerai secara hukum dan
resmi. Dikatakan bercerai secara resmi, apabila perkawinan tersebut
dicatatkan, dan perceraian juga dilakukan dengan keputusan Pengadilan.
Pasangan suami isteri ini tidak lagi terikat hubungan perkawinan dan
keduanya bebas menikah lagi dengan orang lain.

Adat Tionghoa tidak melarang terjadinya perceraian, namun tidak mendukung

terjadinya perceraian. Apabila terjadi pertengkaran antara suami isteri, biasanya isteri

akan kembali ke rumah orang tuanya. Kemudian dari pihak keluarga akan terlebih

dahulu melakukan upaya perbaikan terhadap hubungan pasangan suami isteri

tersebut. Bagi suami isteri yang sedang mengalami kegoncangan rumah tangga, dapat

ditempuh dengan cara pisah meja dan tempat tidur. Upaya tersebut dimaksudkan agar

kedua belah pihak lambat laun akan tumbuh rasa rindu dan menyadari kekeliruannya

dan pada akhirnya akan kembali rujuk.

Dalam hukum adat Tionghoa, perceraian dianggap suatu kegagalan dan aib,

membawa penderitaan bagi anak-anak yang dilahirkan, menimbulkan efek psikologis

yang negatif bagi kedua pasangan suami istri. Sehingga apabila terjadi kegoncangan

rumah tangga, hal tersebut akan terlebih dahulu diselesaikan secara kekeluargaan.

90
Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Ketua Majelis Agama Konghucu (MAKIN)
Medan Utara, tanggal 15 April 2013

Universitas Sumatera Utara


68

Misalnya para kerabat terdekat akan terlebih dahulu mengusut pemicu persoalan dan

berusaha untuk mendamaikan pasangan yang akan bercerai.

Terhadap perceraian yang terjadi, emas kawin yang telah diberikan oleh pihak

mempelai pria kepada pihak mempelai wanita tidak dapat dimintakan kembali.

Karena dalam adat Tionghoa, perkawinan tidak dianggap sebagai perjanjian,

melainkan sebuah kesepakatan.

Menurut adat istiadat Tionghoa, pasangan yang telah bercerai, hubungan

kekerabatan antara keluarga, sanak saudara mantan isteri dan/atau telah berakhir

pula. Hanya anak ( bila ada) yang masih mempunyai hubungan dengan ayah dan/ atau

ibunya.

Menurut Wahyono Darmabrata, dalam hal perceraian, maka suami isteri yang

akan bercerai juga harus memperhatikan ketentuan agama. Apakah ketentuan hukum

agama yang dianut suami-isteri yang bersangkutan memungkinkan atau tidak bagi

pasangan suami isteri yang bersangkutan untuk bercerai. Kalau hukum agama suami

isteri yang bersangkutan melarang terjadinya perceraian, maka perceraian tersebut

tidak dapat dilaksanakan meskipun Undang-Undang atau hukum negara

memungkinkannya.91

Menurut Bhaktiar Kamil, ikatan perkawinan di masyarakat etnis Tionghoa

belakangan ini semakin rapuh karena kalangan generasi mudanya tidak lagi

menghargai adat dan agama dalam kehidupan keluarga, keluarga baru yang terbentuk

91
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Beserta Undang – Undang dan Peraturan PelaksanAanya, Cetakan Ke-2, Gitama Jaya,
Jakarta, 2003, hal.134.

Universitas Sumatera Utara


69

di kalangan kaum muda kurang menghargai nilai – nilai sakral perkawinan karena

pemahaman terhadap makna adat dan agama semakin merosot. Zaman sekarang

agama hanya dianggap sebagai formalitas hidup, umat banyak yang kurang

menghargai adat dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam perkawinan.92

Pada hakekatnya perselisihan atau pertengkaran dalam keluarga yang menjurus

kepada perceraian adalah disebabkan karena salah satu pihak ingin memaksakan

kehendak kepada pihak yang lain. Jika dalam hal ini, salah satu pihak tidak bisa

menuruti kehendak pihak yang lainnya, maka jalan yang paling bijaksana untuk

ditempuh adalah salah satu pihak harus dapat mengubah pola pikir dirinya sendiri,

sehingga pertengkaran tidak akan terjadi.93

Dalam Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974, menentukan mengenai keabsahan perkawinan apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu serta

harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi di

dalam masalah perceraian, kecuali yang dilakukan di hadapan Pengadilan Agama

bagi umat Islam, tidak ditentukan keharusan misalnya keabsahan perceraian harus

memenuhi hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

c. Syarat – Syarat Perceraian

Perceraian perkawinan adalah hanya dapat ditetapkan oleh Pengadilan Negeri

dengan alasan-alasan, yaitu:94

92
Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Ketua Majelis Agama Konghucu (MAKIN)
Medan Utara, tanggal 15 April 2013
93
Ibid.
94
Stb-1933-74 diatur pada pasal 52

Universitas Sumatera Utara


70

1) Berzinah oleh suami istri atau istri dengan orang ketiga


2) Hal salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dengan sengaja;
3) Hal salah satu pihak, selama perkawinan berlangsung, mendapat hukuman
perihal suatu kejahatan
4) Penganiayaan berat oleh suami atau istri, dilakukan terhadap pihak yang lain,
atau suatu penganiayaan sedemikian rupa, sehingga dikhawatirkan bahwa
pihak yang dianiaya itu akan meninggal dunia atau suatu penganiayaan yang
mengakibatkan luka-luka yang berat pada badan pihak yang dianiaya.
5) Cacat badan atau penyakit yang timbul setelah pernikahan dilakukan
sedemikian rupa sehingga suami atau istri yang menderita itu, tidak dapat
melakukan hal sesuatu yang layak dalam suatu perkawinan.
6) Percekcokan di antara suami istri yang tidak memungkinkan dapat diperbaiki
lagi.

Pengecualian perceraian pada masyarakat etnis Tionghoa :95

1) Istri yang melahirkan banyak anak tidak boleh diceraikan

Seorang perempuan yang melahirkan banyak keturunan bagi suaminya, tidak

boleh diceraikan, karena dia telah menunaikan tugasnya sebagai isteri,

membantu suaminya dalam membangun rumah tangga, sehingga isteri

tersebut tidak bisa diceraikan begitu saja. Seorang suami seharusnya tetap

hidup bersama dengan isterinya, mengurus dan membelanjainya walaupun

tidak lagi tidur sekamar, dan isteri harus tetap dihormati sebagai isteri yang

sah. Bagi suami, lebih baik menikah lagi namun hidup di rumah yang terpisah

daripada menceraikan isteri pertamanya.

Perceraian tidak serta merta memutuskan hubungan pertalian keluarga antara

pihak keluarga mantan suami dan mantan isteri. Jika hubungan perkawinan

tersebut terjadi karena pertalian yang disatukan karena hubungan darah, maka

95
Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Ketua Majelis Agama Konghucu (MAKIN)
Medan Utara, tanggal 15 April 2013

Universitas Sumatera Utara


71

pertalian keluarga tidak akan putus karena perceraian. Jika pasangan suami

isteri tersebut mempunyai keturunan, tidak menjadi masalah anak laki – laki

atau perempuan, maka anak-anak tersebut akan meneruskan pertalian keluarga

tersebut. Perkawinan yang berakhir dengan perceraian bisa disatukan kembali

meskipun pada prakteknya jarang terjadi.

2) Isteri yang sedang hamil tidak boleh diceraikan

Suami harus bertanggung jawab atas bayi yang berada dalam kandungan

isterinya, karena ia merupakan bapak dari benih yang dikandung isterinya itu.

Bayi harus lahir terlebih dahulu sebelum suami mengambil keputusan untuk

bercerai karena menceraikan isteri yang sedang hamil, di dalam adat Tionghoa

merupakan suatu perbuatan yang sangat tidak terpuji. Jika keputusan bercerai

merupakan inisiatif dari isteri, maka terdapat kemungkinan bahwa anak yang

dikandung merupakan benih dari hasil pergaulan bebas dengan laki – laki lain.

Namun kepastian mengenai perceraian tetap harus menunggu hingga lahirnya

bayi tersebut. Dan kemudian akan dipastikan siapakah bapak dari anak yang

dilahirkan tersebut.

d. Proses Perceraian Secara Adat Tionghoa

Berikut adalah proses perceraian secara adat Tionghoa :96

1. Kerabat-kerabat terdekat dan sanak keluarga dari keluarga pihak suami dan pihak

istri akan dikumpulkan terlebih dahulu. Pemuka agama akan terlebih dahulu

menanyakan alasan perceraian dan berusaha mendamaikan kedua belah pihak


96
Ibid

Universitas Sumatera Utara


72

dengan mengerahkan segala akal pikiran untuk mendamaikan pasangan yang

merasa tidak bisa hidup bersama lagi dan ingin bercerai. Kerabat – kerabat dekat

ataupun sanak keluarga yang hadir, biasanya berumur lebih tua dan dihormati

dalam keluarga sehingga mereka menggunakan pengaruh mereka dengan

memberi nasehat, teguran untuk memulihkan kembali hubungan yang retak dan

berusaha untuk menyelamatkan perkawinan dari perceraian. Jika usaha untuk

mendamaikan pasangan tersebut tidak berhasil, akan diadakan pembicaraan resmi

mengenai perceraian.

2. Dipilih kerabat-kerabat yang menjadi penengah untuk menjembatani proses

perceraian, dan akan dibicarakan mengenai akibat dan tanggung jawab yang akan

timbul dari perceraian. Perundingan mengenai kesepakatan mengenai hak asuh

anak, pembagian harta bersama, biaya-biaya hidup anak, penghidupan anak

biasanya melalui proses perundingan yang sangat panjang. Perundingan tidak

jarang berakhir pada perselisihan. Apabila terjadi perselisihan, maka persoalan

akan diserahkan kepada orang tertua yang dihormati untuk diselesaikan.

Penyelesaian persoalan yang demikian dengan segala konsekuensinya akan

diputuskan oleh orang tua tersebut tanpa memerlukan persetujuan kedua belah

pihak. Biasanya suami juga akan memberi biaya hidup kepada mantan isterinya

hingga mantan isterinya tersebut menikah kembali dengan laki – laki lain.

3. Pengumuman perceraian

Pengumuman perceraian dilakukan di media massa yang menyatakan berakhirnya

hubungan suami isteri sehingga tidak ada keterkaitan lagi satu sama lain. Hal ini

Universitas Sumatera Utara


73

dilakukan sebagai formalitas untuk mengukuhkan proses perceraian dan

menjadikan bukti atas kesepakatan pengakhiran hubungan perkawinan antara

kedua pasangan suami isteri tersebut. Biaya pengumuman perceraian biasa

ditanggung oleh kedua belah pihak secara adil, namun bisa juga tergantung

kesepakatan kedua belah pihak.

D. Kedudukan Harta Perkawinan Dalam Hal Terjadinya Perceraian Antara


Suami Isteri yang Perkawinannya Dilangsungkan Menurut Hukum Adat
Tionghoa

Salah satu akibat dari perkawinan adalah mengenai harta benda perkawinan.

Seperti hal mana yang diatur dalam Bab VII pasal 35 sampai dengan pasal 37

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur mengenai

harta benda perkawinan, dalam adat Tionghoa juga diatur mengenai hal tersebut.

Dalam pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

disebutkan bahwa :

a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.


b. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

menentukan bahwa :

a. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak.
b. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Universitas Sumatera Utara


74

Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

disebutkan bahwa : Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur

menurut hukumnya masing-masing.

Menurut penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing

adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Jadi dalam hal ini, Undang –

Undang mengizinkan pembagian harta bersama dilakukan menurut hukum adat.

Mengenai pengaturan harta benda perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat 2 (dua) pendapat yang saling bertentangan,

yakni :

Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) dalam Surat Edarannya yang

bernomor MA/Pemb/0807, Petunjuk Mahkamah Agung Mengenai Pelaksanaan UU

No 1 Tahun 1974 dan PP No 9 Tahun 1975 berpendapat bahwa ketentuan mengenai

harta benda dalam perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan belum dapat diberlakukan secara efektif karena belum diatur oleh

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan sendirinya untuk hal-hal itu,

diberlakukan ketentuan-ketentuan hukum dan perundang - undangan lama, yaitu

hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya, seperti Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata.97

97
Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 20 Agustus 1975 No MA/Pemb/0807, Petunjuk
Mahkamah Agung Mengenai Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 dan PP No 9 Tahun 1975.

Universitas Sumatera Utara


75

Sedangkan Mahadi berpendapat bahwa Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang -

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan bahan jadi dan siap

untuk dipakai. 98 Retnowulan Sutantio menyatakan bahwa hukum yang mengatur

harta benda dalam perkawinan tidak memerlukan peraturan pelaksanaan lagi dan

dapat diterapkan, kemudian dikembangkan melalui yurisprudensi.99

Dalam hukum adat Tionghoa juga menentukan hal yang sama dimana harta

bersama yaitu harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau

warisan, maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri

selama masa ikatan perkawinan. Sedangkan yang dimaksud harta benda perkawinan

adalah semua harta yang dikuasai suami isteri selama mereka terikat dalam ikatan

perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal

dari harta warisan, harta penghasilan sendiri, harta hibah, harta pencarian bersama

suami isteri dan barang-barang hadiah.

Harta bersama terdiri dari yaitu :100

1. Hasil dan pendapatan suami

2. Hasil dan pendapatan istri

3. Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun istri, sekalipun harta

pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama asal kesemuanya itu diperoleh

sepanjang perkawinan

98
Mulyadi, Op.Cit., hal.10.
99
Retnowulan Sutantio, Masalah Masalah Hukum Waris Pada Dewasa Ini, Alumni,
Bandung, 1983, hal.6.
100
Satrio J, Hukum Harta Perkawinan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1983, hal. 188

Universitas Sumatera Utara


76

Pada asasnya harta bersama hanya meliputi, yaitu :101

a. Hasil dan pendapatan suami dan istri sepanjang perkawinan;

b. Hasil yang keluar dari harta pribadi suami dan istri sepanjang perkawinan;

c. Dengan demikian harta bersama merupakan hasil dan pendapatan suami istri atau

kedua-duanya secara bersamasama yang secara otomatis menjadi harta kekayaan

bersama;

Harta pribadi adalah harta yang sudah dimiliki suami atau istri pada saat

perkawinan dilangsungkan dan tidak masuk kedalam harta bersama kecuali mereka

memperjanjikan lain.102

Menurut Pasal 35 ayat (2) Undang - Undang Perkawinan, harta pribadi terdiri

dari :103

a. Harta bawaan suami atau istri.

b. Harta hibah suami atau istri.

c. Harta warisan suami atau istri.

Menurut Pasal 222 dan 223 KUH Perdata, bahwa apabila dahulu dijanjikan

antara mereka adalah satu pihak akan mendapat keuntungan dari pihak yang lain,

maka tetapi keuntungan itu haruslah diberikan walaupun pihak yang lain itu adalah

yang salah dalam masalah perceraian tersebut. Namun sebaliknya, apabila pihak yang

101
Ibid., hal.189.
102
Ibid., hal.193.
103
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


77

mendapat keuntungan itu adalah yang salah, maka keuntungan itu tidak akan

diberikan.104

Dan apabila keuntungan itu digantungkan pada wafatnya pihak yang lain

pihak yang lain, maka menurut Pasal 224 KUH Perdata, bahwa keuntungan itu akan

diberikan apabila pihak yang lain itu wafat. Selanjutnya Pasal 228 KUH Perdata

menentukan, apabila keuntungan tersebut dijanjikan kepada pihak ketiga, maka janji

haruslah dilaksanakan dengan tidak memperdulikan, apakah dalam persoalan

perceraian perkawinan itu pihak yang harus mendapat keuntungan itu salah atau

tidak. Dan dalam Pasal 231 KUH Perdata, apabila keuntungan dijanjikan bagi anak -

anak dari kedua belah pihak atau menurut Hakim harus diberikan kepada anak-anak

itu, maka dengan adanya perceraian perkawinan itu tidaklah mempengaruhi terhadap

pemberian keuntungan itu.

Perceraian yang timbul antara suami dan isteri melahirkan akibat, diantaranya

adalah pembagian harta bersama yang dalam bahasa Belanda disebut gemenschap.

Dengan ada pembubaran persatuan (ontbinding) maka dengan ini, harta persatuan

dapat dibagi dan dipisahkan. Dengan adanya pembubaran harta kakayaan

perkawinan, maka berlakunya persatuan harta kekayaan perkawinan berakhir dalam

arti yang semula ada kekayaan yang hidup dan dapat berkembang, menjadi kekayaan

mati (dood vermogen), suatu kekayaan yang statis.105

104
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit
Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 200
105
Ibid., hal.205

Universitas Sumatera Utara


78

Ketentuan-ketentuan mengenai penguasaan (bestuur) dalam Pasal 124 KUH

Perdata terhenti sebab bestuur hanya berlaku selama kekayaan hidup. Dengan adanya

pembubaran persatuan harta kakayaan perkawinan, maka peraturan-peraturan tersebut

terhenti, tak berlaku lagi.106

Pada saat pembubaran persatuan harta kekayaan perkawinan, maka mengenai

pengurusan dan pemutusan (beheer en beschikken) berlaku ketentuan-ketentuan

yangsama seperti dalam warisan. Warisan juga merupakan “dood vermogen”

(kekayaan mati). Hal tersebut berarti :107

a. Tiap pihak suami/isteri, dapat menggunakan bagian seluruhnya

b. Tiap pihak suami/isteri dilarang menggunakan bagiannya yang merupakan suatu

benda dalam benda bersama.

c. Dalam hal tersebut para pihak bersama-sama dapat menggunakan benda bersama.

d. Seberapa jauh salah satu pihak suami/isteri mengurusi terlepas dari pihak yang

lain, merupakan suatu masalah yang pelik, undang-undang tidak menentukan.

Setelah pembubaran persatuan harta kekayaan perkawinan, tidak dapat lagi

terjadi utang bersama. Kecuali utang-utang yang diadakan berhubung dengan

pelaksanaan pembubaran. Jadi salah satu pihak suami/isteri dengan mengadakan

utang. Tidak dapat lagi mengikat bagian pihak lain secara tidak langsung dalam

persatuan harta kekayaan perkawinan, utang-utang dari masing-masing pihak

106
Ibid.
107
Ibid., hal.206.

Universitas Sumatera Utara


79

suami/isteri setelah adanya pembubaran persatuan harta kekayaan perkawinan, hanya

dapat dituntut dari bagian milik yang membuat utang.

Utang ini tidak dapat lagi dituntut dari harta persatuan. Hal tersebut sama

seperti dalam pembagian warisan. Utang ahli waris tertentu hanya dapat ditagih dari

bagian warisannya.

Suatu perceraian akan membawa akibat hukum yaitu adanya pembagian harta

bersama bagi para pihak yang ditinggalkannnya. Pembagian tersebut perlu dilakukan

guna menentukan hak-hak para pihak yang ditinggalkannya.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai