BAB II
1. Pengertian Perkawinan
perkawinan dengan rumusan “ Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
1974 tentang perkawinan yaitu pada bagian kalimat kedua yang berbunyi : “dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
perkawinan dapat memberikan kebahagian lahir batin untuk jangka waktu yang lama,
bukan hanya bersifat sementara bagi suami isteri yang terikat dalam perkawinan
28
Hukum adat adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk
agama.48 Menurut Kusumadi Pudjosewojo, “ adat adalah tingkah laku yang oleh dan
dalam suatu masyarakat (sudah, sedang, akan) diadakan. Dan adat itu ada yang tebal,
ada yang tipis, dan senantiasa menebal dan menipis. Aturan- aturan tingkah laku
adat.”49
semua tempat, tetapi terdapat berbagai variasi menurut tempat diadakannya, yaitu
disesuaikan dengan pandangan mereka pada adat tersebut dan pengaruh adat lainnya
oleh masyarakat Tionghoa secara turun temurun dan berulang- ulang dalam
undangan lainnya.
48
Sulaiman.B.Taneka, Hukum Adat Suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa Depan,
E.esco,Bandung, 1987, hal.11.
49
Iman Sudiyat, Asas- asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Liberti, Yogyakarta, 1978 ,
hal.14.
50
K.Ginarti B, Adat Pernikahan, Majalah Jelajah Volume 3, Tahun 1999, Tanggal 20
Desember 1999, hal.12.
Tionghoa sangat bergantung pada masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri, apakah
agama Budha dan Taoisme memiliki kedekatan yang erat dengan kebudayaan
penggunaan dupa (hio) dalam pemujaan leluhur yang terkait dengan kebudayaan
Tionghoa.51
Kitab LI JI buku XLI : 1 & 3 tentang Hun Yi (kebenaran makna upacara pernikahan),
kebaikan/ kasih antara dua manusia yang berlainan keluarga; keatas mewujudkan
pengabdian kepada Tuhan dan leluhur (Zong Miao) ,dan ke bawah meneruskan
52
generasi. Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia melalui Musyawarah
perkawinan bagi umat Konghucu. Ada beberapa hal yang diatur dalam Hukum
51
Aimee Dawis, Orang Indonesia Tionghoa Mencari Identitas, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2010, hal.21.
52
MATAKIN, Kitab Li Ji, Pelita Kebajikan, Jakarta, 2005, hal.686.
1) Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki – laki dengan seorang
perempuan dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan melangsungkan keturunan berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
2) Dasar perkawinan umat Konghucu adalah monogami (seorang laki-laki hanya
boleh mempunyai seorang istri), dan monoandri (seorang perempuan hanya
boleh mempunyai seorang suami).
3) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai tanpa
paksaan dari pihak manapun.
4) Kedua calon mempelai masing – masing tidak atau belum terikat dengan
pihak-pihak lain yang dapat dianggap sebagai sudah hidup bersama (berumah
tangga layaknya suami isteri).
5) Pengakuan Iman atau peneguhan iman adalah wajib bagi calon – calon
mempelai yang belum melaksanakannya.
6) Saat pelaksanakan Liep Gwan pernikahan wajib dihadiri oleh orang tua dari
kedua belah pihak, dan apabila orang tua dari salah satu pihak atau dari kedua
pihak sudah tiada, dapat digantikan oleh kerabat dari angkatan tua sebagai
wali dari calon mempelai. Orang tua atau wali dari kedua calon mempelai,
dalam upacara menyulut lilin pada altar sebagai wujud restu bagi calon
mempelai.
7) Apabila salah satu atau kedua pihak calon mempelai tidak memenuhi
persyaratan ketentuan dari Hukum Perkawinan, maka dari pihak MAKIN
(Majelis Agama Konghucu Indonesia) dapat membatalkan atau menolak
upacara peneguhan perkawinan.
8) Oleh karena hakikat dari perkawinan mengandung nilai-nilai luhur dan tersirat
amanat mulia sebagaimana dapat disimak dari acuan ayat-ayat suci, maka
perceraian tidak dikenal dalam kehidupan umat Konghucu.
9) Sebagai upaya untuk menghindari perceraian kedua pihak terkait, perlu untuk
melakukan instrospeksi diri (memerikasa ke dalam diri sendiri) atau tidak
merasa benar sendiri, dan tidak ingkar dari prasetia yang diikrarkan dalam
peneguhan pernikahannya.
10) Bilamana terjadi sesuatu yang tidak lagi dapat diupayakan rujuk bagi kedua
pihak, maka Pengadilan Negeri sebagai Instansi yang dapat menanganinya.
11) Bagi mempelai yang sudah di Liep Gwan, hendaknya segera mencatatkan
pernikahannya di Kantor Catatan Sipil.54
53
Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Majelis Agama Konghucu Indonesia (MAKIN),
tanggal 19 Juli 2013
54
MATAKIN, Panduan Tata Cara dan Upacara Liep Gwan/ Li Yuan Pernikahan, Pelita
Kebajikan, Jakarta, 2008, hal.6-7.
atas marga/suku yang tidak terikat secara geometris dan teritorial yang selanjutnya
membawa dan mempercayai adat leluhurnya.55 Dalam hal ini berarti, anak laki – laki
memegang peran yang sangat penting di dalam keluarga, karena merupakan penerus
Anak laki – laki dalam masyarakat etnis Tionghoa memiliki kedudukan yang
lebih istimewa dibandingkan dengan anak perempuan. Anggapan ini disebabkan oleh
karena anak perempuan tidak dapat meneruskan marga atau nama keluarga, anak
perempuan yang telah dewasa dan akhirnya menikah akan menjadi bagian dari
anggota keluarga dari pihak suaminya dan meneruskan marga atau nama keluarga
disimpulkan bahwa perkawinan menurut hukum adat Tionghoa adalah ikatan lahir
dan batin antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama dalam membina rumah
tangga dan mendapatkan keturunan untuk meneruskan nama keluarga atau marga dari
ayahnya.57
55
K.Ginarti B, Op.Cit., hal.12.
56
Natasya Yunita Sugiastuti, Tradisi Hukum Cina : Negara dan Masyarakat , Studi Mengenai
Peristiwa-Peristiwa Hukum di Pulau Jawa Zaman Kolonial (1870-1942), Program Pasca Sarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hal.42.
57
Lodewik Loka, Tinjauan Yuridis Terhadap Penetapan Pengesahan Perkawinan Adat
Tionghoa Oleh Hakim, Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universtias Sumatera Utara,Medan,
2011, hal.33.
perkawinan.
Syarat-syarat materiil yaitu syarat mengenai orang yang hendak kawin dan
izin-izin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal – hal yang ditetukan oleh
21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua (Pasal 6
58
Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 2008, hal.12.
Syarat materiil relatif adalah syarat-syarat bagi pihak yang hendak melakukan
kawin, tetapi ia tidak boleh kawin dengan setiap orang. Dengan siapa pihak tersebut
saudara, antara seorang saudara orang tua dan antara seorang dengan
saudara neneknya;
bapak tiri;
d) Berhubungan, yaitu orang tua susuan, anak susuan dan bibi susuan;
kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang;
dalam hal tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang – undang
3) Apabila suami dan isteri yang telah kawin lagi satu dengan yang lain dan
bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh
diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
Perkawinan, yaitu :
pencatat perkawinan.
a. Pasal 2 ayat (1) : Perkawinan baru merupakan perkawinan yang sah apabila
b. Pasal 2 ayat (2) : setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yang
berlaku.
M. Yahya Harahap menarik kesimpulan dari bunyi pasal 2 ayat (1) bahwa
yang dimaksud dengan hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya yaitu
sah atau tidaknya suatu perkawinan semata – mata ditentukan oleh ketentuan agama
belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan”.60
kehidupan seseorang yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi
Nomor 9 Tahun 1975 yang memberi penjelasan tentang pencatatan perkawinan yang
dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974, antara lain:
60
M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, Zahir Trading, Medan, 1975, hal.13.
61
Ibid., hal.15.
b. Bagi mereka yang bukan beragama Islam dan yang melangsungkan perkawinan
diatur secara tertulis, melainkan dilakukan secara adat istiadat yang diwariskan dari
generasi yang satu kepada generasi berikutnya secara terus menerus. Jadi tidak ada
demikian pula orang-orang Tionghoa yang bermigrasi dari Republik Rakyat Cina ke
Indonesia. Orang-orang Tionghoa yang datang ke Indonesia tidak hanya berasal dari
satu daerah saja, melainkan dari beberapa daerah dimana adat-isitiadat di setiap
signifikan antara masyarakat Tionghoa di Indonesia yang satu dengan yang lainnya.
perkawinan secara adat Tionghoa dengan cara memberitahukan kepada anak dan
mempelai yang bermarga sama dilarang menikah sekalipun antara kedua keluarga
calon mempelai tidak saling kenal. Hal ini disebabkan anggapan bahwa individu yang
bermarga sama berasal dari nenek moyang yang sama, sehingga masih mempunyai
ikatan darah dan merupakan satu keluarga sehingga hal ini dianggap tabu dan
Adat pernikahan sangat dipengaruhi oleh adat lain, adat setempat, agama,
62
pengetahuan, dan pengalaman masing-masing. Pada dasarnya syarat-syarat
masyarakat etnis Tionghoa itu sendiri, terutama pandangan dari keluarga dan kedua
calon mempelai. Syarat-syarat perkawinan adat Tionghoa harus sesuai dengan tujuan
dari suatu perkawinan menurut hukum adat Tionghoa, yang mana syarat-syarat
tersebut lebih memberatkan calon mempelai pria daripada calon mempelai wanita.
berikut :
1. Adanya kesepakatan antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita
Hal ini merupakan syarat yang mutlak, karena antara kedua calon mempelai pria
dan calon mempelai wanita harus mempunyai komitmen yang teguh untuk
mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan dan membentuk suatu keluarga yang
kekal dan bahagia, dimana seorang isteri harus mengikuti dan mendukung
suaminya dalam keadaan yang susah maupun senang. Serta suami sebagai kepala
isterinya.
62
K.Ginarti B, Op.Cit., hal.12.
orangtua bukanlah merupakan kemauan dari anak. Dalam hal salah satu orangtua
dari calon mempelai telah meninggal dunia , maka ijin diberikan oleh orang tua
calon mempelai yang masih hidup. Sedangkan dalam hal kedua orang tua dari
calon mempelai telah meninggal dunia, maka ijin diberikan oleh anak laki-laki
tertua yang telah menikah. Dalam hal anak laki – laki tertua tidak ada , maka
yang memberikan ijin adalah saudara laki-laki tertua kandung dari ayah calon
mempelai. Kalau tidak ada, maka ijin diberikan oleh saudara laki-laki kandung
yang lebih muda dari ayah calon mempelai, kalau tidak ada juga , maka ijin
3. Calon mempelai pria harus telah mapan secara lahir dan batin.
Calon mempelai pria harus telah mapan secara finansial, dan mental. Karena ia
akan menjadi suami bagi isterinya dan ayah bagi anak – anaknya. Jadi di dalam
menghidupi keluarga, seorang pria harus mempunyai rasa tanggung jawab yang
Tiada suatu batasan (had) umur yang sesuai untuk seorang itu untuk kawin.
agak lewat karena terpaksa mengumpulkan sejumlah uang yang banyak untuk
termahal untuk menunjukkan status dan kedudukan yang tinggi. Di samping itu
upacara perkawinan dibuat secara besar-besaran untuk memberi muka kepada ibu
bapak kedua belah pihak. Orang Tionghoa mempunyai suatu kebiasaan untuk
kekayaan. Mengikut adat orang Tionghoa, perkawinan anak lelaki sulung perlu
dibuat dengan sebaik mungkin. Jika tidak, ini akan memalukan dan merendahkan
keluarga serta mendatangkan umpat keji ( kata – kata hinaan) daripada saudara-
mara.63
Selain sehat secara rohani, calon mempelai wanita harus sehat secara jasmani
isterinya atau menikahi wanita lain sebagai isteri kedua untuk memberikan
Sikap dan perilaku kedua calon mempelai terhadap orang tua dan keluarga sangat
melangsungkan perkawinan.
63
Aan Wan Seng, Op.Cit., hal.31.
Secara garis besar, syarat – syarat perkawinan dalam hukum adat Tionghoa
sangat sederhana dan hanya terfokus kepada cara pandang dan kebiasaan – kebiasaan
serta adat- istiadat dari suku dan/atau keluarga. Tidak terdapat sanksi apabila syarat-
syarat perkawinan tidak dipenuhi atau dilaksanakan oleh para pihak yang
satu generasi kepada generasi yang lain. Walaupun perkawinan pada masa kini perlu
perkawinan.65
1. Melamar
64
Vasanti Puspa, Kebudayaan Orang Tionghoa Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1996, hal.43.
65
Aan Wan Seng, Op.Cit.,hal.33.
66
Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Majelis Agama Konghucu Indonesia (MAKIN),
tanggal 5 April 2013
Untuk menghindari kesia – siaan dan rasa malu, lazimnya lamaran dilakukan
setelah pihak keluarga pria mendapat kepastian bahwa lamaran akan diterima.
mempelai wanita memastikan lamaran telah diterima. Saat akan pulang, ayah
atau wali dari calon mempelai pria akan menyelipkan angpau berisi uang di
bawah cangkir teh yang disajikan calon mempelai wanita sebagai tanda kasih
Selepas kedua belah pihak berpuas hati dengan latar belakang masing-masing,
ibu bapa pengantin lelaki akan menghantar wakil untuk meminang. Wakil
pihak lelaki dipilih dari kalangan emak saudaranya sendiri atau saudara mara
Setelah ada kecocokan dari keluarga calon mempelai pria dan wanita, maka
orang tua dan pihak keluarga dari calon mempelai pria akan mengutus
seseorang, biasanya wanita, baik itu saudara maupun sanak famili perempuan
dari keluarga calon mempelai pria yang bertindak sebagai perantara untuk
sebagai menantu. Dalam tahap ini, keluarga calon mempelai pria dan
antara kedua keluarga calon mempelai hanya sebatas adanya persetujuan dan
namun belum ada tanggal pasti tentang kapan perkawinan akan dilaksanakan.
upacara, harus dilihat hari dan bulannya. Apabila hari, jam, dan bulan
mereka. Oleh karena itu harus dipilih jam, hari, dan bulan yang baik. Biasanya
serba muda yaitu jam sebelum matahari tegak lurus, hari tergantung
perhitungan bulan Tionghoa, dan bulan yang baik adalah bulan naik /
menjelang purnama.68
Perkawinan yang dilaksanakan pada jam, hari, dan bulan yang tepat akan
hari, baik kelanggengan rumah tangga, rezeki,dan anak-anak yang lahir kelak.
Penentuan jam, hari, dan bulan ditentukan berdasarkan hari, bulan, tahun lahir
serta shio (zodiak Cina) dari kedua belah pihak calon mempelai. Sampai saat
ini penentuan hari baik masih dipraktekkan oleh sebagian besar masyarakat
Tionghoa di berbagai daerah, karena hal ini telah menjadi kebiasaan yang
Sangjit mrerupakan prosesi hantaran rantang bambu yang disusun bulat atau
persegi empat, berisi aneka buah dan kue yang jumlahnya harus genap.
akan dibawa oleh pria lajang. Tradisi ini diyakini akan membuat para
pembawa hantaran ini menjadi “enteng jodoh”. Diantara sekian banyak barang
pertemuan kedua orang tua dan keluarga dari keluarga calon mempelai dan
Pada budaya Tionghoa suku tertentu, hantaran yang diterima tidak diambil
terima kasih kepada ibu pengantin wanita yang telah membesarkan anak
gadisnya sama sekali tidak diambil. Ini sebagai isyarat si ibu tidak mempunyai
pamrih atas jasa itu. Hantaran yang telah diterima akan dibalas dengan
hantaran pula.
Sangjit biasanya dilakukan setelah acara lamaran. Hari dan waktu yang baik
untuk melakukan Sangjit ini ditetapkan pada saat proses lamaran. Dalam
mempersiapkan ranjang baru untuk kamar pengantin. Ada tradisi unik, anak-
ditata. Selain bisa untuk menguji kekuatan ranjang, ada mitos tradisi ini dapat
5. Menyalakan lilin
Ada keharusan bagi orang tua kedua calon pengantin untuk menyalakan lilin
pukul satu dini hari. Lilin harus tetap menyala hingga tiga hari setelah
pernikahan.
Pada pagi hari di acara pernikahan dilakukan sembahyang kepada leluhur dari
kedua mempelai yang telah meninggal dunia untuk meminta doa restu agar
Phang Teh dilakukan untuk menghormati orang tua serta saudara dan sanak
teh sebagai rasa hormat dan terima kasih kepada orang yang lebih tua untuk
memohon doa restu dari keluarga. Setiap persembahan teh kepada para orang
yang lebih tua, akan dibalas dengan pemberian “angpao”. Angpao dapat berisi
uang atau dapat berupa kalung emas, cincin emas, ataupun gelang emas.
Phang teh lebih dahulu dilakukan di rumah keluarga mempelai pria yang
8. Siraman
wangi, ritual ini juga bermaksud mengusir pengaruh jahat yang bisa
menganggu mempelai.
Chio Thao biasanya dilakukan oleh orang yang telah menikah dan memiliki
keturunan. Mempelai akan disisir sebanyak tiga kali. Mempelai yang akan
menjalani prosesi ini didudukkan di atas kursi yang telah dialasi tampah besar
telah diletakkan penakar beras yang terisi penuh oleh beras dan Sembilan
benda simbolis, yaitu timbangan obat khas Tionghoa, alat pengukur panjang,
cermin, sisir, gunting, pedang, pelita. Selain itu terdapat juga benang sutra
yang terdiri dari lima warna. Semua benda-benda ini mengandung makna
tangga yang akan dihadapi serta mampu menimbang baik buruknya suatu
tindakan.
telah dipakaikan busana pengantin oleh orang tuanya, dibimbing menuju meja
makan. Di atas meja telah tersaji 12 mangkuk yang masing – masing berisi
satu jenis makanan yang memiliki rasa yang berbeda-beda. Manis, asin, asem,
pedas, pahit, gurih, dan sebagainya. Semua rasa ini menjadi pelambang suka-
duka hidup berumah tangga yang harus dijalani dan dinikmati. Pengantin pria
Mempelai pria yang datang untuk menjemput mempelai wanita akan disambut
dengan taburan beras kuning, biji buncis merah dan hijau, uang logam, serta
nenek pengantin pria yang telah menunggu akan menyambut dengan taburan
beras kuning, biji kacang buncis hijau dan merah sebagai simbol kesuburan,
serta uang logam sebagai lambang rezeki dan kemakmuran. Setelah pasangan
Upacara sembahyang kepada Dewa Langit dan Dewa Bumi dilakukan pada
tengah malam menjelang hari pernikahan, untuk memohon pada para Dewa agar
acara berlangsung dengan lancar dan diberkahi rezeki dan segala harapan-
perkawinan dan pesta perkawinan agar berjalan dengan langgeng dan lancar.
a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) masing – masing calon mempelai pria
b. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) orang tua dan/atau wali dari calon
69
Wawancara dengan Ibu Dewi, Pengurus Kelenteng Gunung Timur, bagian perkawinan,
tanggal 10 April 2013
c. Fotokopi akta kelahiran masing – masing calon mempelai pria dan wanita
sebanyak 2 lembar.
d. Fotokopi kartu keluarga masing – masing calon mempelai pria dan wanita
sebanyak 2 lembar.
e. Pas foto berwarna berukuran 2x3 masing-masing calon mempelai pria dan
g. Fotokopi surat ganti nama masing-masing calon mempelai pria dan wanita
Resepsi pernikahan dalam adat Tionghoa bisa dibagi menjadi 2 bagian yakni :
Pada resepsi ini, keluarga dari mempelai pria tidak diundang untuk hadir
karena dianggap tabu dan akan memberi akibat yang kurang baik terhadap
perkawinan tersebut. Jadi pada resepsi ini hanya mempelai pria saja yang
acara selesai, maka mempelai pria dan wanita akan kembali ke rumah masing-
masing.
Pada resepsi ini, seluruh pihak keluarga mempelai wanita juga turut diundang.
mempelai wanita. Setelah acara selesai, maka tiba saat perpisahan mempelai
wanita dengan orang tuanya dan melanjutkan hidup sebagai isteri dan
menantu keluarga serta akan mengikuti suaminya, dan hidup serumah sebagai
sepasang suami-isteri.
mempelai pria menjadi satu dengan alasan untuk menghemat biaya dan waktu
yang sama. Dimana segenap keluarga, sanak saudara, teman, dan kerabat dari
perkawinan adalah sah dan telah diakui oleh kedua belah pihak keluarga suami/isteri
apabila perkawinan tersebut telah dilaksanakan menurut adat Tionghoa dan menjalani
digariskan oleh adat istiadat Tionghoa adalah tidak sah dalam pandangan orang
Tionghoa.70
70
Aan Wan Seng, Op.Cit., hal.30.
sah apabila telah dilangsungkan dengan memenuhi seluruh persyaratan dan prosedur
menurut ketentuan adat istiadat Tionghoa dan agama yang dianut sehingga banyak
Kependudukan. Apabila suatu perkawinan telah sesuai dengan adat istiadat Tionghoa,
maka perkawinan telah dianggap sah. Sehingga banyak perkawinan yang tidak
dicatatkan sebagaimana yang diamanatkan oleh pasal 2 ayat (2) Undang – Undang
pentingnya pencatatan perkawinan dan akibat hukum yang timbul sebagai akibat dari
kesulitan dan akibat hukum yang tidak diinginkan, baik bagi pasangan suami isteri
tersebut, anak-anaknya dan juga terhadap keluarga dari pihak suami maupun isteri.
Setiap perkawinan akan memberikan akibat hukum bagi pihak – pihak yang
Akibat yang timbul dari perkawinan yang sah adalah adanya hak dan
Tahun 1974 tentang perkawinan telah diatur mengenai hak dan kewajiban antara
1) Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga
2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
4) Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga.
6) Suami isteri wajib saling cinta – mencintai, hormat menghormati, setia dan
tegas tentang akibat-akibat hukum yang timbul dari suatu perkawinan, baik hak dan
kewajiban suami, isteri, dan anak, serta harta benda perkawinan. Sedangkan
perkawinan secara adat Tionghoa tidak mengatur secara jelas mengenai akibat hukum
yang timbul dari suatu perkawinan, dikarenakan tidak ada hukum tertulis yang
mengaturnya. Jadi akibat – akibat hukum yang timbul dari perkawinan secara adat
Tionghoa baik mengenai hak dan kewajiban suami, isteri, dan anak, serta harta benda
laki sebagai penerus marga atau nama keluarga. Seorang suami berkewajiban untuk
Suami berkedudukan sebagai kepala keluarga dan pembuat keputusan mutlak dalam
keluarga. Seorang isteri berkewajiban untuk mengurus rumah tangga dengan baik,
patuh terhadap suami dan orang tua, dan memberikan keturunan. Dalam hal
keturunan, lebih diutamakan anak laki-laki, karena anak laki-laki dalam masyarakat
etnis Tionghoa di Kota Medan, akibat hukum yang timbul terhadap harta yang
a. Untuk harta bawaan suami yang telah ada sebelum berlangsungnya perkawinan
b. Untuk harta bawaan isteri yang telah ada sebelum berlangsungnya perkawinan
dan perkawinan yang tidak dicatatkan, jadi anak-anak yang lahir dari perkawinan
yang dilaksanakan menurut adat Tionghoa dianggap sebagai anak sah. Orang tua
berkewajiban merawat anak dengan baik, memberikan penghidupan yang layak dan
71
Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia (
MAKIN), tanggal 16 Maret 2013
anak perempuan. Anak laki-laki sebagai penerus marga mempunyai hak untuk
mewaris dalam keluarga, terutama anak laki – laki tertua. Dalam adat Tionghoa, cucu
laki-laki dari anak laki-laki tertua memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan
cucu laki-laki dari anak laki-laki yang lebih muda. Sehingga apabila terdapat acara
adat dan keluarga, para anak laki-laki akan berdiskusi mengenai pelaksanaan
keputusan. Namun keputusan terakhir ditentukan oleh anak laki – laki yang tertua.
Anak perempuan dalam adat Tionghoa tidak mempunyai hak mewaris karena
anak perempuan yang telah menikah dianggap akan menjadi bagian dari keluarga
suaminya. Anak perempuan cukup dibekali dengan pendidikan, perhiasan dan uang
Namun kedudukan anak laki – laki dan anak perempuan pada dewasa ini telah
mengalami pergeseran nilai, dimana anak perempuan juga telah memiliki hak
mewaris. Pada keluarga etnis Tionghoa yang sama sekali tidak memiliki anak laki-
laki, harta warisan akan dibagikan kepada anak perempuan sesuai dengan
1. Alasan Perceraian
diharapkan, seperti dengan adanya sesuatu hal yang biasa memicu keretakan dalam
72
Ibid.
hati bagi semua pihak yang terlibat diantaranya suami, istri, anak-anak, dan anggota
efek-efek yang kurang baik, dari segi moral maupun keluarga dan bagi mereka yang
mempunyai anak akan membawa tanggung jawab yang lebih berat, sehingga anak-
anak mengalami perubahan dalam kehidupan mereka setelah perceraian itu terjadi,
a. Frustasi
Frustasi didefinisikan sebagai bentuk emosi yang dialami saat keinginan dihalangi
atau perasaan puas yang terpasung. Frustasi dalam hidup berpasangan terutama
dialami oleh pihak yang paling tertekan karena situasi tersebut.
73
Augustine K, Divorce Decision : Things to Consider When Making a Decision About
Divorce, http://www.deciding-ondivorce.com/divorcedecision.htm, diakses pada tanggal 16 April 2013
74
L. Saxton, The Individual, Marriage & The Family, Wadsworth, California, 1990, hal.105.
a. Moral
berkaitan dengan norma – norma kesopanan, yang harus dilindungi oleh hukum
demi terwujudnya tata tertib dan tata susila dalam kehidupan. 76 Sebab – sebab
perceraian yang masuk dalam kategori faktor moral ini seperti krisis akhlak
seperti perselingkuhan yakni melakukan hubungan seks dengan orang lain yang
bukan suami atau isterinya tanpa diketahui masing – masing atau diketahui
setelah melakukan hubungan seks oleh salah satu pihak atau keduanya atau orang
lain. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya saling menghargai masing – masing
tangga. Dugaan yang tidak benar dapat menyebabkan salah satu pihak menjadi
kesal, misalnya isteri yang terus menerus curiga dan bertanya pada saat suami
baru pulang kerja dalam keadaan lelah sehingga suami kesal dan membentak
isterinya.
b. Meninggalkan kewajiban
Suatu perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban bagi suami dan isteri, apabila
75
Wawancara dengan Ibu Dewi, pengurus Majelis Agama Konghucu Indonesia ( MAKIN )
bagian perkawinan, tanggal 19 April 2013
76
Yani Tri Zakiyah, Makalah Latar Belakang dan Dampak Perceraian, Semarang, 2005,
hal.114.
yang ditinggalkan oleh suami dan/atau isteri dalam hal pemberian nafkah baik
disebabkan oleh beberapa faktor misalnya, kawin paksa, ekonomi, tidak adanya
Kawin paksa tidak dilandasi oleh rasa cinta, kasih dan sayang. Kawin paksa
terjadi karena adanya paksaan dari orang tua, saudara, atau yang lainnya yang
terhadap rumah tangga seperti meninggalkan rumah tanpa seizin dari isteri atau
suaminya. Tanpa rasa tanggung jawab membuat salah satu pihak menjadi tidak
betah tinggal di rumah dan memicu rasa bosan sehingga meninggalkan rumah.
c. Menikah muda
Banyak pasangan yang menikah muda tanpa ada kesiapan baik secara finansial
maupun emosional. Karena banyak pasangan muda yang belum memahami arti
dan tujuan dari suatu perkawinan. Sehingga apabila terjadi kegoncangan dalam
rumah tangga, mereka tidak dapat mengatasinya dan menyalahkan satu sama lain.
Kekejaman terhadap jasmani dapat dilihat dari perbuatan yang menimbulkan rasa
sakit dan/atau yang termasuk pidana. Sedangkan kekejaman rohani dapat berupa
hinaan, fitnah, atau hal-hal lain yang menganggu kejiwaan.77 Pada kenyataannya,
77
Ibid, hal.127.
perceraian.
kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti
dan ingin kawin lagi. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh ketidaksadaran akan
Indonesia biasanya takut dan malu mengatakannya. Kekerasan domestik ini lalu
Jika perkawinan tak berjalan sebagaimana yang diharapkan, seperti tidak bahagia
atau terjadi ketidakcocokan yang tak bisa lagi didamaikan maka mereka menjadi
lebih berani untuk meminta talak. Perempuan tak lagi bersedia hidup lagi dalam
kemunafikan falsafah lama supaya selalu jogo projo ( menjaga kerajaan ) yaitu
meredam persoalan dengan diam demi tetap utuhnya bangunan rumah tangga
e. Kebiasaan buruk
78
Sofia Kartika, Profil Perkawinan Perempuan Indonesia, Jurnal Perempuan. Yayasan Jurnal
Perempuan Maret, 2002, hal.64-65.
79
Endriani DS, 16 Perceraian dan Otonomi Perempuan,
http://penaendri.wordpress.com/2010/07/, diakses pada tanggal 19 April 2013
Salah satu pihak baik suami maupun isteri mempunyai kebiasaan buruk yang
tidak dapat diperbaiki sehingga memicu salah satu pasangan tidak dapat bertahan
untuk hidup satu atap lagi. Kebiasaan buruk yang dimaksud seperti suka berjudi,
perbedaan paham dan ideal. Gangguan pihak ketiga dapat berupa adanya campur
tangan dalam rumah tangga dari orang tua, saudara dari suami/isteri, teman
Orang tua sering kali terlalu banyak ikut campur dalam persoalan rumah tangga
anaknya, karena beranggapan hal yang dilakukan untuk anaknya adalah yang
terbaik, namun belum tentu apa yang terbaik menurut orang tua, juga terbaik
menurut anaknya. Misalnya ada orang tua yang ikut campur dalam hal pemberian
nafkah kepada isteri, sehingga hal ini juga berpengaruh pada keharmonisan rumah
tangga, isteri yang terkekang dengan tekanan ekonomi akan merasa tertekan dan
rumah tangga.
individu. Dahulu pasangan suami isteri meski sering berselisih namun berusaha
memilih keputusan bercerai. Hal ini sangat bertolak belakang dengan keadaan
pasangan yang bercerai dianggap hal yang sangat memalukan, namun sekarang telah
terjadi pergeseran nilai dimana perceraian dianggap hal yang biasa saja.
Keluarga yang terpisah ialah keluarga dimana terdapat ketiadaan salah satu
dari orang tua karena kematian, perceraian, hidup berpisah, untuk masa yang tak
80
Yani Trizakia, Latar Belakang dan Dampak Perceraian, UNS, Semarang, 2005, hal. 57.
81
Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal 17-18.
kontrol diri, sehingga anak dengan mudah dapat dibawa ke arus yang buruk, lalu
menjadi kriminal. Anak ini memang sadar, tetapi mengembangkan kesadaran yang
salah. Fakta menunjukkan bahwa tingkah laku yang jahat tidak terbatas pada strata
sosial bawah, dan strata ekonomi rendah saja tetapi juga muncul pada semua kelas,
khususnya dikalangan keluarga yang berantakan. Memang perceraian suami-istri dan
perpisahan tidak selalu mengakibatkan kasus delinkuen dan karakter pada diri anak.
kekal yang diakui oleh semua agama. 82 Perceraian hanya dapat terjadi apabila
Salah satu prinsip dalam hukum perkawinan nasional yang sejalan dengan
ajaran agama ialah mempersulit terjadinya perceraian. Hal ini terbukti dari ketentuan
Pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974. Perceraian menurut garis hukum apapun
dan dalam bentuk apapun hanya boleh dipergunakan sebagai jalan terakhir, sesudah
usaha perdamaian telah dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak ada jalan lain
kecuali hanya perceraian itu. Pada kenyataannya telah terjadi pergeseran nilai dimana
82
T. Jazifham, Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, Mestika,
Jakarta, 2006, hal.54.
tercapainya keinginan untuk bercerai. Hal ini sangat erat kaitannya dengan
karena itu perlu dipahami jiwa dari peraturan mengenai perceraian itu serta
putus.83
2) Menurut Surbekti
tempat tidur yang di dalamnya tidak terdapat perselisihan bahkan ada kehendak
baik dari suami maupun dari isteri untuk pemutusan perkawinan. Perceraian
83
Budi Susilo, Prosedur Gugatan Cerai, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2007, hal.11.
84
Subekti, Pokok – Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985, hal.23.
85
R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni,
Bandung, 1986, hal.109.
keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam
perkawinan.86
1) kematian
2) perceraian
3) keputusan pengadilan
harus ada cukup alasan bagi suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai
suami isteri.87
menyebutkan bahwa :
86
P.N.H Simanjuntak, Pokok – Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2007,
hal.53.
87
Sudarsono, Lampiran Undang – Undang Perkawinan dengan Penjelasannya, Rineka Cipta,
Jakarta, 1991, hal.307.
Dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974
apabila :
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut – turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
3. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun dan hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang
membahayakan pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
1. zinah,
2. meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat
3. penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan
hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah perkawinan.
4. melukai berat atau menganiaya, dilakukan oleh si suami atau si isteri terhadap
isteri atau suaminya, yang demikian sehingga membahayakan jiwa pihak yang
dilukai atau dianiaya, atau sehingga mengakibatkan luka – luka yang
membahayakan.
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai
penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
88
Pasal 209 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
89
Pasal 41Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dimana perkawinan menurut etnis Tionghoa barulah sah apabila telah dilakukan
layaknya seorang pendeta menjadi saksi dari pengikatan tali perkawinan, dan
menyaksikan upacara adat sembahyang kepada Dewa Langit dan Dewa Bumi pada
Hal ini membuat lembaga keagamaan mempunyai peran yang sangat penting
dalam perkawinan maupun perceraian dari masyarakat etnis Tionghoa. Sebagai akibat
dari pengaruh agama yang sangat besar, pemutusan perkawinan menurut hukum adat
perkawinan antara seorang laki – laki dan seorang perempuan yang telah hidup
Terdapat dua keadaan perceraian dalam adat istiadat Tionghoa yaitu :90
terjadinya perceraian. Apabila terjadi pertengkaran antara suami isteri, biasanya isteri
akan kembali ke rumah orang tuanya. Kemudian dari pihak keluarga akan terlebih
tersebut. Bagi suami isteri yang sedang mengalami kegoncangan rumah tangga, dapat
ditempuh dengan cara pisah meja dan tempat tidur. Upaya tersebut dimaksudkan agar
kedua belah pihak lambat laun akan tumbuh rasa rindu dan menyadari kekeliruannya
Dalam hukum adat Tionghoa, perceraian dianggap suatu kegagalan dan aib,
yang negatif bagi kedua pasangan suami istri. Sehingga apabila terjadi kegoncangan
rumah tangga, hal tersebut akan terlebih dahulu diselesaikan secara kekeluargaan.
90
Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Ketua Majelis Agama Konghucu (MAKIN)
Medan Utara, tanggal 15 April 2013
Misalnya para kerabat terdekat akan terlebih dahulu mengusut pemicu persoalan dan
Terhadap perceraian yang terjadi, emas kawin yang telah diberikan oleh pihak
mempelai pria kepada pihak mempelai wanita tidak dapat dimintakan kembali.
kekerabatan antara keluarga, sanak saudara mantan isteri dan/atau telah berakhir
pula. Hanya anak ( bila ada) yang masih mempunyai hubungan dengan ayah dan/ atau
ibunya.
Menurut Wahyono Darmabrata, dalam hal perceraian, maka suami isteri yang
akan bercerai juga harus memperhatikan ketentuan agama. Apakah ketentuan hukum
agama yang dianut suami-isteri yang bersangkutan memungkinkan atau tidak bagi
pasangan suami isteri yang bersangkutan untuk bercerai. Kalau hukum agama suami
memungkinkannya.91
belakangan ini semakin rapuh karena kalangan generasi mudanya tidak lagi
menghargai adat dan agama dalam kehidupan keluarga, keluarga baru yang terbentuk
91
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Beserta Undang – Undang dan Peraturan PelaksanAanya, Cetakan Ke-2, Gitama Jaya,
Jakarta, 2003, hal.134.
di kalangan kaum muda kurang menghargai nilai – nilai sakral perkawinan karena
pemahaman terhadap makna adat dan agama semakin merosot. Zaman sekarang
agama hanya dianggap sebagai formalitas hidup, umat banyak yang kurang
kepada perceraian adalah disebabkan karena salah satu pihak ingin memaksakan
kehendak kepada pihak yang lain. Jika dalam hal ini, salah satu pihak tidak bisa
menuruti kehendak pihak yang lainnya, maka jalan yang paling bijaksana untuk
ditempuh adalah salah satu pihak harus dapat mengubah pola pikir dirinya sendiri,
bagi umat Islam, tidak ditentukan keharusan misalnya keabsahan perceraian harus
92
Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Ketua Majelis Agama Konghucu (MAKIN)
Medan Utara, tanggal 15 April 2013
93
Ibid.
94
Stb-1933-74 diatur pada pasal 52
tersebut tidak bisa diceraikan begitu saja. Seorang suami seharusnya tetap
tidak lagi tidur sekamar, dan isteri harus tetap dihormati sebagai isteri yang
sah. Bagi suami, lebih baik menikah lagi namun hidup di rumah yang terpisah
pihak keluarga mantan suami dan mantan isteri. Jika hubungan perkawinan
tersebut terjadi karena pertalian yang disatukan karena hubungan darah, maka
95
Hasil wawancara dengan Bhaktiar Kamil, Ketua Majelis Agama Konghucu (MAKIN)
Medan Utara, tanggal 15 April 2013
pertalian keluarga tidak akan putus karena perceraian. Jika pasangan suami
isteri tersebut mempunyai keturunan, tidak menjadi masalah anak laki – laki
Suami harus bertanggung jawab atas bayi yang berada dalam kandungan
isterinya, karena ia merupakan bapak dari benih yang dikandung isterinya itu.
Bayi harus lahir terlebih dahulu sebelum suami mengambil keputusan untuk
bercerai karena menceraikan isteri yang sedang hamil, di dalam adat Tionghoa
merupakan suatu perbuatan yang sangat tidak terpuji. Jika keputusan bercerai
merupakan inisiatif dari isteri, maka terdapat kemungkinan bahwa anak yang
dikandung merupakan benih dari hasil pergaulan bebas dengan laki – laki lain.
bayi tersebut. Dan kemudian akan dipastikan siapakah bapak dari anak yang
dilahirkan tersebut.
1. Kerabat-kerabat terdekat dan sanak keluarga dari keluarga pihak suami dan pihak
istri akan dikumpulkan terlebih dahulu. Pemuka agama akan terlebih dahulu
merasa tidak bisa hidup bersama lagi dan ingin bercerai. Kerabat – kerabat dekat
ataupun sanak keluarga yang hadir, biasanya berumur lebih tua dan dihormati
memberi nasehat, teguran untuk memulihkan kembali hubungan yang retak dan
mengenai perceraian.
perceraian, dan akan dibicarakan mengenai akibat dan tanggung jawab yang akan
diputuskan oleh orang tua tersebut tanpa memerlukan persetujuan kedua belah
pihak. Biasanya suami juga akan memberi biaya hidup kepada mantan isterinya
hingga mantan isterinya tersebut menikah kembali dengan laki – laki lain.
3. Pengumuman perceraian
hubungan suami isteri sehingga tidak ada keterkaitan lagi satu sama lain. Hal ini
ditanggung oleh kedua belah pihak secara adil, namun bisa juga tergantung
Salah satu akibat dari perkawinan adalah mengenai harta benda perkawinan.
Seperti hal mana yang diatur dalam Bab VII pasal 35 sampai dengan pasal 37
harta benda perkawinan, dalam adat Tionghoa juga diatur mengenai hal tersebut.
disebutkan bahwa :
menentukan bahwa :
a. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak.
b. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak
sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
disebutkan bahwa : Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur
adalah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Jadi dalam hal ini, Undang –
Tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat 2 (dua) pendapat yang saling bertentangan,
yakni :
tentang Perkawinan belum dapat diberlakukan secara efektif karena belum diatur oleh
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan sendirinya untuk hal-hal itu,
hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya, seperti Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.97
97
Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 20 Agustus 1975 No MA/Pemb/0807, Petunjuk
Mahkamah Agung Mengenai Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 dan PP No 9 Tahun 1975.
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan bahan jadi dan siap
harta benda dalam perkawinan tidak memerlukan peraturan pelaksanaan lagi dan
Dalam hukum adat Tionghoa juga menentukan hal yang sama dimana harta
bersama yaitu harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau
warisan, maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri
selama masa ikatan perkawinan. Sedangkan yang dimaksud harta benda perkawinan
adalah semua harta yang dikuasai suami isteri selama mereka terikat dalam ikatan
perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal
dari harta warisan, harta penghasilan sendiri, harta hibah, harta pencarian bersama
3. Hasil dan pendapatan dari harta pribadi suami maupun istri, sekalipun harta
pokoknya tidak termasuk dalam harta bersama asal kesemuanya itu diperoleh
sepanjang perkawinan
98
Mulyadi, Op.Cit., hal.10.
99
Retnowulan Sutantio, Masalah Masalah Hukum Waris Pada Dewasa Ini, Alumni,
Bandung, 1983, hal.6.
100
Satrio J, Hukum Harta Perkawinan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1983, hal. 188
b. Hasil yang keluar dari harta pribadi suami dan istri sepanjang perkawinan;
c. Dengan demikian harta bersama merupakan hasil dan pendapatan suami istri atau
bersama;
Harta pribadi adalah harta yang sudah dimiliki suami atau istri pada saat
perkawinan dilangsungkan dan tidak masuk kedalam harta bersama kecuali mereka
memperjanjikan lain.102
Menurut Pasal 35 ayat (2) Undang - Undang Perkawinan, harta pribadi terdiri
dari :103
Menurut Pasal 222 dan 223 KUH Perdata, bahwa apabila dahulu dijanjikan
antara mereka adalah satu pihak akan mendapat keuntungan dari pihak yang lain,
maka tetapi keuntungan itu haruslah diberikan walaupun pihak yang lain itu adalah
yang salah dalam masalah perceraian tersebut. Namun sebaliknya, apabila pihak yang
101
Ibid., hal.189.
102
Ibid., hal.193.
103
Ibid.
mendapat keuntungan itu adalah yang salah, maka keuntungan itu tidak akan
diberikan.104
Dan apabila keuntungan itu digantungkan pada wafatnya pihak yang lain
pihak yang lain, maka menurut Pasal 224 KUH Perdata, bahwa keuntungan itu akan
diberikan apabila pihak yang lain itu wafat. Selanjutnya Pasal 228 KUH Perdata
menentukan, apabila keuntungan tersebut dijanjikan kepada pihak ketiga, maka janji
perceraian perkawinan itu pihak yang harus mendapat keuntungan itu salah atau
tidak. Dan dalam Pasal 231 KUH Perdata, apabila keuntungan dijanjikan bagi anak -
anak dari kedua belah pihak atau menurut Hakim harus diberikan kepada anak-anak
itu, maka dengan adanya perceraian perkawinan itu tidaklah mempengaruhi terhadap
Perceraian yang timbul antara suami dan isteri melahirkan akibat, diantaranya
adalah pembagian harta bersama yang dalam bahasa Belanda disebut gemenschap.
Dengan ada pembubaran persatuan (ontbinding) maka dengan ini, harta persatuan
arti yang semula ada kekayaan yang hidup dan dapat berkembang, menjadi kekayaan
104
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit
Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 200
105
Ibid., hal.205
Perdata terhenti sebab bestuur hanya berlaku selama kekayaan hidup. Dengan adanya
c. Dalam hal tersebut para pihak bersama-sama dapat menggunakan benda bersama.
d. Seberapa jauh salah satu pihak suami/isteri mengurusi terlepas dari pihak yang
utang. Tidak dapat lagi mengikat bagian pihak lain secara tidak langsung dalam
106
Ibid.
107
Ibid., hal.206.
Utang ini tidak dapat lagi dituntut dari harta persatuan. Hal tersebut sama
seperti dalam pembagian warisan. Utang ahli waris tertentu hanya dapat ditagih dari
bagian warisannya.
Suatu perceraian akan membawa akibat hukum yaitu adanya pembagian harta
bersama bagi para pihak yang ditinggalkannnya. Pembagian tersebut perlu dilakukan