Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH ANALISIS

Kasus Penculikan Aktifis Pro


Demokrasi 1997/1998
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum dan Hak Asasi
Manusia kelas C dengan dosen:

Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum.

Disusun oleh:
Maria Margaretha 2015200140
Fitrie Zafira Rizal 2016200024
Felicia Multiwijaya 2016200094
Rafi Muhammad A 2016200127
Haifa Ramadhani Annisa 2016200209

Universitas Katolik Parahyangan


Bandung
2019

0
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa sebab atas segala rahmat, karunia, serta taufik
dan hidayah-Nya, makalah analisis mengenai “Kasus Penculikan Aktifis Pro Demokrasi
1997/1998” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada
Bapak Dr. iur. Liona Nanang Supriatna, S.H., M.Hum. yang telah membimbing dan memberikan
tugas ini. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan
dan kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk
kemudian makalah kami ini dapat kami perbaiki dan menjadi lebih baik lagi.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Kami juga
yakin bahwa makalah kami jauh dari kata sempurna dan masih membutuhkan kritik serta saran
dari pembaca, untuk menjadikan makalah ini lebih baik ke depannya.

Bandung, 28 Maret 2019

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. 1

DAFTAR ISI ................................................................................................................ 2

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 3

1. Latar Belakang ................................................................................................. 3

2. Rumusan Masalah ............................................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................. 6

1. Kasus Posisi...................................................................................................... 6

2. Penyelesaian Kasus .......................................................................................... 7

3. Analisa Peran dan Tanggung Jawab Negara .................................................... 8

BAB III PENUTUP .................................................................................................... 12

1. Kesimpulan ..................................................................................................... 12

3. Saran ............................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 14

2
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Hak asasi manusia atau HAM merupakan hak yang diberikan langsung oleh Tuhan yang
Maha Esa, sehingga tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya.1 Hak tersebut
dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena
diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata
berdasarkan martabatnya sebagai manusia.2 Keberadaan Hak Asasi Manusia dalam konsepsi
Negara hukum dalam demokrasi di Indonesia suatu hal yang paling mendasar.3 HAM dan
demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah
peradaban manusia dari seluruh penjuru dunia. Konsepsi HAM dan demokrasi dalam
perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum.
Dalam negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia.
Meskipun demikian, bukan berarti dengan hak-haknya itu dapat berbuat semaunya. Sebab, apabila
seseorang bahkan negara yang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan melanggar hak asasi
orang lain, maka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.4 Kewajiban menghormati HAM
tersebut, tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjiwai keseluruhan
pasal dalam batang tubuhnya, terutama berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara
dalam hukum dan pemerintahan, hak asasi pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan
memeluk agama dan untuk beribadat sesuai dengan agama dan kepercayaannya itu, hak untuk
memperoleh pendidikan dan pengajaran. Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai
penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan

1
Satya Kumarajati, Analisis Pasal 43 Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam Kasus Penghilangan Orang
secara Paksa Tahun 1997/1998, Lentera Hukum, Volume 5, 2018, halaman 133.
2
Philip Alston dan Franz Magnis-Suseno, Hukum Hak Asasi Manusia (Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia
Universitas Islam Indonesia, 2008), halaman 11.
3
Fauzan Khairazi, Implementasi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Indonesia,
https://media.neliti.com/media/publications/43249-ID-implementasi-demokrasi-dan-hak-asasi-manusia-di-
indonesia.pdf, diakses pada 25 Maret 2019.
4
Supra Note 1.

3
diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin
dan status sosial lainnya.
Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia,
baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya)
maupun horizontal (antar warga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk dalam kategori
pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights).5 Pada kenyataanya,
selama lebih 50 tahun usia Rebulik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan, atau
penegakan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan. Hal tersebut tercermin dari kejadian
berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, pemerkosaan, penghilangan
paksa, bahkan pembunuhan, pembakaran rumah tinggal dan tempat ibadah, penyerangan pemuka
agama beserta keluarganya.6
Berbicara mengenai penculikan, terdapat kasus penculikas aktivis pro-demokrasi pada
tahun 1998. Kasus penculikan aktivis ini terjadi pada beberapa aktivis pemuda dan mahasiswa
yang dalam aktivitasnya bertujuan menegakkan keadilan dan memperjuangkan nilai-nilai
demokrasi pada saat rezim Orde Baru berkuasa. Oleh karean sepak terjang mereka tersebut,
pemerintahan rezim Orde Baru menganggap mereka sebagai kelompok aktivis yang
membahayakan stabilitas keamanan negara. Penculikan aktivis ini dilakukan pada tahun 1996.
Diawali dengan penculikan beberapa anggota Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P)
yang kemudian berlanjut hingga terjadinya kerusuhan pada bulan Mei 1998. Beberapa anggota
partai politik yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah juga mengalami hal yang sama,
yakin diculik tanpa diketahui nasibnya.7
Berbagai perkembangan terkait penanganan kasus penghilangan paksa para aktivis atau
perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis
kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut
hukum intemasional yaitu penghilangan orang secara paksa dan/atau kejahatan apartheid. Dari hal
tersebut, dapat disimpulkan bahwa penghilangan orang secara paksa merupakan salah satu bentuk
kejahatan terhadap kemanusiaan, yang merupakan salah satu bentuk pelanggaran berat HAM

5
Almatius Surya G, Hak Asasi Manusia, dan Kekerasan yang Dilakukan Oleh Negara, diakses pada 25 Maret 2019.
6
Supra Note 5.
7
Nur Muhammad Wahyu Kuncoro, 69 Kasus Hukum Mengguncang Indonesia, (Raih Asa Sukses-Penebar Swadaya
Grup: Bogor, 2012), halaman 22.

4
menurut UU Pengadilan HAM.8 Kasus penculikan aktvis pro-demokrasi tersebut dikategorikan
sebagai pelanggaran HAM berat, karena kebanyakan pelanggaran berat HAM di masa lalu yang
dilakukan oleh rezim pemerintahan terdahulu (Orde Lama dan Orde Baru) terdapat 2 jenis
kejahatan yang dilakukan. Berdasarkan ketentuan hukum materiil mengenai pelanggaran berat
HAM sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 hanya
mengenal 2 macam, yaitu kejahatan genosida (genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan
(crime against humanity). Selain kedua jenis tersebut, kejahatan jenis lain sebagaimana disebutkan
dalam instrument internasional (Statuta Roma 1998) berupa agresi dan kejahatan perang
bukan/belum merupakan pelanggaran berat HAM di Indonesia. Hal ini terjadi karena Indonesia
belum meratifikasi Statuta Roma 1998 sehingga tidak ada kewajiban untuk memenuhi seluruh
ketentuan dalam statuta tersebut.9
Berangkat dari latar belakang tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu terdapat
beberapa permasalahan yang dapat dibahas, yakni (1) penyebab terjadinya penculikan aktivis pro-
demokrasi; (2) penyelesaian dari kasus penculikan aktivis pro-demokrasi; (3) peran dan tanggung
jawab negara dalam menangani pelanggaran HAM berat, khususnya penculikan aktvis pro-
demokrasi; (4) peraturan dan ketentuan yang berlaku sebagai Hukum Positif baik Internasional
maupun Nasional dalam kasus penculikan aktivis pro-demokrasi.

I.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat dirumuskan rumusan
masalahnya, antara lain:
1. Apa penyebab terjadinya penculikan aktivis pro-demokrasi?
2. Bagaimana penyelesaian dari kasus penculikan aktivis pro-demokrasi?
3. Bagaimana peran dan tanggung jawab negara dalam menangani pelanggaran HAM berat,
khususnya penculikan aktivis pro-demokrasi?
4. Peraturan dan ketentuan apa sajakah yang berlaku sebagai Hukum Positif baik
Internasional maupun Nasional dalam kasus penculikan aktivis pro-demokrasi?

8
Shinta Agustina, Iwan Kurniawan, et.al., Kajian Yuridis Terhadap Penghilangan Paksa Aktivis Tahun 1998 Dari
Perspektif Hukum Pidana Internasional, https://media.neliti.com/media/publications/4697-ID-kajian-yuridis-
terhadap-kasus-penghilangan-paksa-aktivis-tahun-1998-dari-persfek.pdf, diakses pada 25 Maret 2019.
9
Agus Raharjo, Implikasi Pembatalan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Terhadap Prospek
Penanganan Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia, Mimbar Hukum, Volume 19-Nomor 1, 2007, halaman 4.

5
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Kasus Posisi


Pada periode 1997-1998 terjadi sebuah peristiwa penculikan dan penghilangan orang
secara paksa yang terjadi pada masa pemilihan Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Korban atas penculikan tersebut berjumlah 23 orang yang terdiri dari mahasiswa dan aktivis.
Sebanyak 9 orang diantaranya berhasil kembali, namun 14 orang masih hilang, dan 1 orang lainnya
ditemukan meninggal dunia. Kasus ini tidak lain terjadi karena aktivis-aktivis tersebut aktif dalam
menegakkan keadilan dan memperjuangkan nilai-nilai demokrasi pada zaman Orde Baru berkuasa
sehingga mereka dianggap membahayakan stabilitas keamanan negara. Kasus penculikan ini
didesak oleh keluarga korban penculikan untuk segera diungkap. Pada tanggal 3 Agustus 1998,
melalui Panglima TNI dibentuklah DKP yaitu Dewan Kehormatan Perwira TNI-AD untuk
menyelidiki hilangnya para aktivis pro-demokrasi tersebut. Atas hasil penyelidikan yang
dilakukan DKP, diketahui bahwa penculikan dilakukan oleh Kopasus dan melibatkan institusi
militer dan Polri. Pada akhir 1998, Pengadilan Militer mengungkapkan bahwa penculikan
dilakukan oleh Tim Mawar, tim ini merupakan sebuah tim yang dibentuk dibawah Grup IV
Komando Pasukan Khusus (KOPASUS)10.
Hakim tingkat pertama memutuskan bahwa 11 anggota Tim Mawar divonis bersalah dan
dipecat dari Kopasus. Namun setelah mengajukan banding, 4 diantaranya dinyatakan tidak
bersalah. Keluarga korban merasakan ketidakadilan atas putusan tersebut, Komite Nasional Hak
Asasi Manusia (Komnas HAM) pun turun tangan melakukan penyelidikan. Pada 1 Oktober 2005
dibentuklah Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM berat pada peristiwa Penghilangan
Orang Secara Paksa periode 1997-1998. Laporan penyelidikan telah disampaikan ke Kejaksaan
Agung pada 3 September 2006. Kejaksaan Agung belum melakukan penyidikan dan penuntutan.11

10
Nur Muhammad Wahyu Kuncoro,S.H , 69 Kasus Hukum Mengguncang Indonesia, (Jakarta:Raih Asa Sukses,2012), hlm.23.
11
Firdiansyah, Peran dan Harapan Korban untuk Penyelesaian Pelanggaran Berat HAM Masa Lalu, (Jakarta:Jurnal HAM,
Komnas HAM,2016), hlm. 5

6
II.2 Penyelesaian Kasus
Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah pada saat itu untuk menyelesaikan kasus
Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997-1998, adalah membentuk Dewan Kehormatan
Perwira untuk memerikasa keterlibatan sejumlah Perwira Tinggi militer yang pada saat itu diduga
terlibat dalam kasus penculikan. Dewan Kehormatan Perwira ini dibentuk oleh Pangila ABRI
Jendral Wiranto pada tanggal 3 Agustus 1998.

Hasil yang didapatkan dari pembentukan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) ini antara lain:
• Memberhentikan dari dinas aktif Letjen Prabowo Subianto; dan
• Pembacaan putusan pengadilan Mahkamah Militer Tinggi Jakarta dengan nomor perkara
PUT. 25-16/K-AD/MMT-II/IV?1999, yang isinya memvonis 11 prajurit yang dianggap
terlibat penculikan dan memecatnya.

Hasil yang didapatkan oleh DKP tersebut ternyata belum dianggap cukup untuk memenuhi
rasa keadilan bagi para Aktivis yang hilang, sehingga langkah selanjutnya yang dilakukan adalah
keikut sertaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk menyelidiki kasus ini.
Langkah pertama yang dilakukan Komnas HAM adalah membentuk Tim ad hoc
Penyelidikan Pelanggaran HAM berat pada Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa Periode
1997-1998 yang bertugas melakukan penyelidikan pro-justitia berdasarkan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Penyelidikan dilakukan dengan cara mencoba
untuk mendapatkan keterangan saksi dari kalangan korban dan masyarakat. Dari penyelidikan
tersebut, Komnas HAM menyimpulkan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dalam peristiwa
Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997-1998. Bentuknya berupa perampasan
kemerdekaan, penyiksaan, penganiyaan terhadap 24 orang yang diduga dilakukan oleh 27 orang.
Kala itu, Komnas HAM sudah mengirim hasil penyelidikan kepada Kejaksaan Agung, DPR, dan
Presiden.12

Pada tahun 2007, Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014 menerbitkan rekomendasi
terhadap kasus ini. Empat poin rekomendasi tersebut antara lain:

12
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190124220800-32-363657/eks-aktivis-minta-dpr-surati-jokowi-tuntaskan-kasus-
ham-98

7
1. Merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc
2. Merekomendasikan kepada Presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak-pihak
terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap nama-nama yang oleh Komnas HAM
masih dinyatakan hilang
3. Merekomendasikan kepada Pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi
terhadap keluarga korban yang hilang
4. Merekomendasikan kepada Pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti
Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik
Penghilangan Paksa di Indonesia.

Tetapi pada faktanya, sampai saat ini penyelesaian terhadap Penghilangan Orang Secara
Paksa periode 1997-1998, belum juga bisa terealisasi secara maksimal. Hal ini disebabkan oleh
banyaknya hambatan dalam upaya penyelesaian kasus ini. Salah satu hambatan yang dihadapi
Komnas HAM adalah berkas penyelidikan yang telah diselesaikan olehnya tidak ditindaklanjuti
oleh Jaksa Agung meskipun berkas tersebut sudah diserahkan sejak tahun 2006. Sampai saat ini
Kejaksaan Agung belum menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM ke tingkat
selanjutnya yaitu melakukan penyidikan karena berbagai alasan. Salah satu alasannya adalah
karena Kejaksaan Agung bersikeras bahwa untuk menyelesaikan kasus ini, harus menunggu
terbentuknya Pengadilan HAM adhoc terlebih dahulu.
Sampai saat ini, pengadilan HAM ad hoc yang dimaksud belum juga berhasil dibentuk
oleh Pemerintah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kepala Bidang Advokasi Kontras, Putri
Kanesia yang dikutip dari portal berita Kompas. Sehingga dapat disimpulkan, terhadap Peristiwa
Penghilangan Orang Secara Paksa periode 1997-1998 belum mendapatkan penyelesaian yang
semestinya berdasarkan Hukum.

II.3 Analisa Peran dan Tanggung Jawab Negara dan Hukum Positif yang Berlaku
Terhadap kasus penculikan aktivis pro-demokrasi yang terjadi pada tahun 1998 masih
belum terselesaikan dengan baik. Bahkan keberadaan dan nasib daripada 13 aktivis tidak
diketahui. Keluarga korban atas kasus ini mengharapkan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM
yang berat masa lalu harus memberikan rasa keadilan bagi semua korban. Penyelesaian tersebut
harus memenuhi prinsip-prinsip sebuah rekonsiliasi, yaitu penyampaian permohonan

8
maaf/penyesalan oleh Kepala Negara, hak atas kebenaran, jaminan tidak keberulangan, dan hak
atas reparasi terhadap korban. Dalam Prinsip-prinsip Dasar dan Pedoman Hak Atas Pemulihan
untuk Korban Pelanggaran Hukum HAM Internasional dan Hukum Humaniter (Basic Principles
and Guidelines on the Right to Remedy and Reparation for Victims of Violations of International
Human Rights and Humanitarian Law 1995); dan Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi
Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan (Declaration of Basic Principles of Justice for
Victims of Crimes and Abuses of Power). Berdasarkan ketentuan dalam Basic Principles and
Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Violations of International
Human Rights and Humanitarian Law dinyatakan bahwa para korban memiliki lima hak reparasi
yaitu Restitusi, Kompensasi, Rehabilitasi, Kepuasan (Satisfaction), dan Jaminan ketidak
berulangan (non reccurence).13
Dasar perlindungan hukum atas HAM di Indonesia terdapat dalam Pembukaan Undang–
Undang Dasar 1945 alinea IV, Bab XA Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945
(Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J), Undang–Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, serta Undang–Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pasal 28 I ayat
(4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa
perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah. Demikian pula dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 71 yang menyatakan:

“Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan


memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-
undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara
Republik Indonesia”.

Berdasarkan perintah Undang-Undang tersebut telah jelas bahwa pemerintah mempunyai


tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi
manusia. Secara universal bahwa negara memikul tanggung jawab utama dalam pemajuan dan
perlindungan hak asasi manusia. Tanggung jawab yang sedemikian tak dapat dikurangi dengan

13
Ibid, hlm 33

9
alasan-alasan politik, ekonomi maupun budaya. Sementara itu dalam kenyataan sehari-hari banyak
pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh negara melalui organ-organ atau aparatnya baik
sipil maupun militer yang menyelewengkan kekuasaannya (abuse of power).14
Di dalam UU No. 26 Tahun 2000 disediakan 2 mekanisme penyelesaian pelanggaran
HAM berat di masa lalu yang dapat dilakukan yaitu: pertama, melalui pengadilan HAM ad hoc
atau kedua, melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) sebagaimana yang dijelaskan
dalam Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yaitu;
(1) Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang
ini diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM adhoc;
(2) Pengadilan HAM adhoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan
Keputusan Presiden;
(3) Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di lingkungan
Peradilan Umum.

Penegakan hukum HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu
melalui pengadilan dalam pengalaman banyak negara pada umumnya terkendala oleh sulitnya
mencari alat bukti dan saksi karena kasusnya telah melampaui waktu yang relatif lama, tidak
bisa menjangkau kasus dalam jumlah besar, memakan waktu lama dan berlarut-larut, berpotensi
gagal akibat kegagalan memenuhi syarat-syarat hukum formal dari proses hukum itu sendiri
serta tidak objektif akibat cara berpikir dan menilai dari aparatur penegak hukum terhadap
kasus terkontaminasi oleh rezim sebelumnya (Suparman Marzuki). Penegakan hukum terhadap
kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau juga cenderung bersifat normatif hanya mengacu
pada terpenuhinya unsur materil tindakan serta prosedur dan mekanisme hukum tanpa
menghiraukan adanya aspek-aspek sosial, moral, politik, kultural dan manusia sebagai pelaksana
hukum sehingga menjadi kendala di dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Merujuk pada pendapat Rosalyn Higgins, bahwa hukum tanggung jawab negara tidak lain
adalah hukum yang mengatur akuntabilitas (accountability) terhadap suatu pelanggaran hukum

14
Sugeng Bahagijo dan Asmara Nababan, Hak Asasi Manusia: Tanggung Jawab Negara Peran Institusi Nasional dan Masyarakat
(Jakarta:KOMNAS HAM,1999). hlm. viii.

10
internasional. Jika suatu negara melanggar suatu kewajiban internasional, negara tersebut
bertanggung jawab (responsibility) untuk pelanggaran yang dilakukannya. Terlebih lagi dikaitkan
dengan Pasal 2 ayat (3) Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights). Pasal tersebut mengatur bahwa korban pelanggaran hak
asasi manusia harus mendapatkan pemulihan efektif, meskipun pelanggaran tersebut dilakukan
oleh pejabat resmi negara. Ini mewajibkan negara untuk mengijinkan aksi sipil dalam bentuk
mengganti kerugian terhadap pelanggaran yang dilakukannya tergolong kejahatan terhadap
kemanusiaan. Sebab, diyakini tidak ada vonis pengadilan yang dapat menghukum secara efektif
kejahatan seperti itu.

Pelanggaran terhadap kewajiban negara itu dapat dilakukan dengan perbuatannya sendiri
(acts of commission) ataupun karena kelalaiannya sendiri(acts of omission). Dalam rumusan lain,
pelanggaran HAM adalah “tindakan atau kelalaian oleh negara terhadap norma yang belum
dipidana dalam hukum pidana Internasional tetapi merupakan norma HAM yang diakui secara
Internasional” (C. de Rover, 2000). Dari rumusan di atas terlihat bahwa pihak yang bertanggung
jawab adalah negara, bukan individu atau badan hukum lainnya. Hal yang menjadi titik tekan
dalam pelanggaran HAM adalah tanggung jawab negara (state responsibility). Konsep tanggung
jawab negara dalam hukum Internasional biasanya dipahami sebagai “tanggung jawab yang
timbul akibat pelanggaran hukum internasional oleh negara”. Akan tetapi dalam kaitannya
dengan hukum HAM Internasional,pengertian tanggung jawab negara bergeser maknanya
menjadi “ tanggung jawab yang timbul akibat dari pelanggaran terhadap kewajiban untuk
melindungi dan menghormati HAM oleh negara”. Kewajiban yang dimaksud itu adalah
kewajiban yang lahir dari perjanjian-perjanjian internasional HAM ataupun dari hukum
kebiasaan internasional (International Customary Law) khususnya norma-norma hukum
kebiasaan internasional yang memiliki sifat “jus cogens”.
Maka dari itu, sebagai negara hukum yang mengedepankan kesejahteraan rakyatnya dan
juga menjunjung dan menghormati Hak Asasi Manusia seperti yang tercantum secara eksplisit
dalam konstitusi Negara Republik Indonesia sudah sepatutnya negara berperan aktif dalam
mengungkap kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

11
BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Hak asasi manusia atau HAM merupakan hak yang diberikan langsung oleh Tuhan yang Maha
Esa, sehingga tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya sehingga kewajiban
untuk menghormati HAM tersebut, tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
Sejarah bangsa Indonesia sendiri mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan
sosial, yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit,
budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial lainnya. Perilaku tersebut
merupakan pelanggaran ham baik bersifat vertical, horizontal, maupun pelanggaran ham berat
yang salah satunya bentuk pelanggaran ham berat yang terjadi di Indonesia adalah kejadian kasus
penculikas aktivis pro-demokrasi pada tahun 1998. Kejadian ini bermula beberapa aktivis pemuda
dan mahasiswa yang dalam aktivitasnya bertujuan menegakkan keadilan dan memperjuangkan
nilai-nilai demokrasi pada saat rezim Orde Baru berkuasa. Oleh karena sepak terjang mereka
tersebut, pemerintahan rezim Orde Baru menganggap mereka sebagai kelompok aktivis yang
membahayakan stabilitas keamanan Negara, tidak hanya mahasiswa yang mengalami penculikan
tetapi anggota partai politik yang bersebrangan dengan kebijakan Pemerintah mengalami hal yang
sama.
Akibatnya, penghilangan orang secara paksa merupakan salah satu bentuk kejahatan
terhadap kemanusiaan, yang termasuk kedalam salah satu bentuk pelanggaran berat HAM menurut
UU Pengadilan HAM, yang mana hingga saat ini terhadap kasus penculikan aktivis pro-demokrasi
yang terjadi pada tahun 1998 masih belum terselesaikan dengan baik. Bahkan keberadaan dan
nasib daripada 13 aktivis tidak diketahui.
Padahal pengaturan mengenai dasar perlindungan terhadap kejahatan HAM sendiri sudah
banyak tersebar di beberapa peraturan seperti terdapat dalam Pembukaan Undang–Undang Dasar
1945 alinea IV, Bab XA Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia1945 (Pasal 28A
sampai dengan Pasal 28J), Undang–Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
dll, yang mana berdasarkan pengaturan Undang-Undang tersebut telah jelas bahwa pemerintah
mempunyai tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak
asasi manusia. Oleh karena itu, sebagai negara hukum yang mengedepankan kesejahteraan

12
rakyatnya dan juga menjunjung dan menghormati Hak Asasi Manusia seperti yang tercantum
secara eksplisit dalam konstitusi Negara Republik Indonesia sudah sepatutnya negara berperan
aktif dalam mengungkap kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

III.2 Saran
Menurut kami seharusnya pemerintah segera mengusut tuntas mengenai kejadian
penculikan aktivis pro-demokrasi pada tahun 1998, yang kasus tersebut merupakan pelanggaran
HAM yang berat yang terjadi pada masa lalu tetapi penyelesaiannya dirasa belum maksimal,
walaupun memang kenyataanya sulitnya mencari alat bukti dan saksi karena kasusnya telah
melampaui waktu yang relatif lama, sehingga berpotensi gagal akibat kegagalan memenuhi
syarat-syarat hukum formal tetapi dengan keteguhan dan niat untuk memperjuangkan rasa keadilan
baik terhadap keluarga korban ataupun masyarakatat Indonesia sendiri dan adanya kesadaran
bahwa negaralah yang memikul tanggung jawab utama dalam pemajuan dan perlindungan hak
asasi manusia., baik dalam proses hukumnya itu sendiri harus bersifat objektif dan transparan
serta dalam Penegakan hukum tidak hanya berkecendrungan bersifat normatif tetapi harus
melihat adanya aspek-aspek sosial, moral, politik, kultural dan manusia.

13
DAFTAR PUSTAKA

Agus Raharjo, Implikasi Pembatalan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi


Terhadap Prospek Penanganan Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia, Mimbar Hukum,
Volume 19-Nomor 1, 2007.
Almatius Surya G, Hak Asasi Manusia, dan Kekerasan yang Dilakukan Oleh Negara, 2019.
Fauzan Khairazi, Implementasi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Indonesia, diakses di
https://media.neliti.com/media/publications/43249-ID-implementasi-demokrasi-dan-
hak-asasi-manusia-di-indonesia.pdf, pada 25 Maret 2019.
Firdiansyah, Peran dan Harapan Korban untuk Penyelesaian Pelanggaran Berat HAM Masa Lalu,
Jakarta:Jurnal HAM, Komnas HAM,2016.
Nur Muhammad Wahyu Kuncoro, 69 Kasus Hukum Mengguncang Indonesia, Bogor: Raih Asa
Sukses-Penebar Swadaya Grup, 2012.
Philip Alston dan Franz Magnis-Suseno, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Pusat Studi
Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, 2008).
Satya Kumarajati, Analisis Pasal 43 Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam
Kasus Penghilangan Orang secara Paksa Tahun 1997/1998, Lentera Hukum, Volume 5,
2018.
Shinta Agustina, Iwan Kurniawan, et.al., Kajian Yuridis Terhadap Penghilangan Paksa Aktivis
Tahun 1998 Dari Perspektif Hukum Pidana Internasional, diakses di
https://media.neliti.com/media/publications/4697-ID-kajian-yuridis-terhadap-kasus-
penghilangan-paksa-aktivis-tahun-1998-dari-persfek.pdf, pada 25 Maret 2019.
Sugeng Bahagijo dan Asmara Nababan, Hak Asasi Manusia: Tanggung Jawab Negara Peran
Institusi Nasional dan Masyarakat, Jakarta, KOMNAS HAM,1999.

14

Anda mungkin juga menyukai