Anda di halaman 1dari 35

ACARA I

AIR

A. Tujuan Praktikum
Tujuan praktikum dari acara I “Air” adalah:
1. Mahasiswa dapat menghitung kadar air pada bahan dengan cara
termogravimetri.
2. Mahasiswa dapat mengetahui kadar air tepung tapioka, terigu dan
maizena dengan metode termogravimetri.
B. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Teori
Penentuan kadar air dengan menggunakan metode oven. Sampel
sebanyak 2 gram ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan yang telah
diketahui beratnya, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC
selama 4 jam. Setelah itu didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
Kemudian dipanaskan lagi dalam oven selama 30 menit didinginkan
dalam desikator dan ditimbang. Perlakuan ini diulangi sampai tercapai
berat konstan. Kadar air diperoleh dengan menggunakan perhitungan
sebagai berikut :
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐴𝑤𝑎𝑙−𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐴𝑘ℎ𝑖𝑟
Kadar Air(%) = × 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐴𝑤𝑎𝑙

(Sudarmadji dkk, 1997)


Kadar air adalah persentase kandungan air suatu bahan yang
dapat dinyatakan berdasarkan berat basah (wet basis) atau berdasarkan
berat kering (dry basis). Kadar air berat basah mempunyai batas
maksimum teoritis sebesar 100 persen, sedangkan kadar air berdasarkan
berat kering dapat lebih dari 100 persen (Syarif dan Halid, 1993). Kadar
air merupakan pemegang peranan penting, kecuali temperatur maka
aktivitas air mempunyai tempat tersendiri dalam proses pembusukan dan
ketengikan. Kerusakan bahan makanan pada umumnya merupakan proses
mikrobiologis, kimiawi, enzimatik atau kombinasi antara ketiganya.
Berlangsungnya ketiga proses tersebut memerlukan air dimana kini telah
diketahui bahwa hanya air bebas yang dapat membantu berlangsungnya
proses tersebut (Tabrani,1997).
Kadar air suatu bahan biasanya dinyatakan dalam persentase
berat bahan basah, misalnya dalam gram air untuk setiap 100 gr bahan
disebut kadar air berat basah. Berat bahan kering adalah berat bahan
setelah mengalami pemanasan beberapa waktu tertentu sehingga beratnya
tetap (konstan). Pada proses pengeringan air yang terkandung dalam
bahan tidak dapat seluruhnya diuapkan
(Kusumah dan Andarwulan, 1989).
Penentuan kadar air untuk berbagai bahan berbeda-beda
metodenya tergantung pada sifat bahan. Misalnya: 1) Untuk bahan yang
tidak tahan panas, berkadar gula tinggi, berminyak dan lain-lain
penentuan kadar air dapat dilakukan dengan menggunakan oven vakum
dengan suhu rendah. 2) Untuk bahan yang mempunyai kadar air tinggi
dan mengandung senyawa volatil (mudah menguap) penentuan kadar air
dilakukan dengan cara destilasi dengan pelarut tertentu yang berat
jenisnya lebih rendah daripada berat jenis air. Untuk bahan cair yang
berkadar gula tinggi, penentuan kadar air dapat dilakukan dengan
menggunakan reflaktometer,dsb (Winarno, 1997).
Kadar air keseimbangan (equilibrium moisture content) adalah
kadar air minimum yang dapat dicapai pada kondisi udara pengeringan
yang tetap atau pada suhu dan kelembaban relatif yang tetap. Suatu bahan
dalam keadaan seimbang apabila laju kehilangan air dari bahan ke udara
sekelilingnya sama dengan laju penambahan air kebahan dari udara di
sekelilingya. Kadar air pada keadaan seimbang disebut juga dengan kadar
air keseimbangan atau keseimbangan higroskopis untuk menentukan
kadar air keseimbangan (Henderson, 1952).
Kadar air bahan sangat berpengaruh terhadapa zat atau materi
atau unsur yang penting bagi semua bentuk kehidupan yang diketahui
sampai saat ini di bumi, tetapi tidak di planet lain. Kadar air menutupi
hampir 71% permukaan bahan tepug jagung. Kadar air diperlukan untuk
kelangsungan proses biokimiawi organisme hidup, sehingga sangat
esensial dalam menentukan kandungan kadar air pada bahan pangan
terutama tepung jagung (Ahmadi dan Estiasih, 2009).
Kawiji dan Atmaka (2003), kecepatan udara pengering, suhu dan
kelembaban udara merupakan faktor yang menentukan proses
pengeringan. Demikian juga sifat bahan yang dikeringkan seperti kadar
air awal, ukuran produk pertanian dan tekanan parsial bahan akan
mempengaruhi proses pengeringan. Kelembaban relatif udara adalah
perbandingan massa uap air aktual pada volume yang diberikan dengan
masa uap air yang telah jenuh pada temperatur yang sama.
Menurut Syafriyudin dan Dwi (2009), lama pengeringan untuk suhu 50oC
selama 5 jam (300 menit), 60oC selama 4 jam (240 menit) dan 70oC
selama 3 jam (180 menit). Semakin tinggi suhu udara pengering maka
perbedaan suhu antara medium pemanas dengan bahan semakin besar.
Hal ini mengakibatkan transfer panas yang diberikan udara kepada bahan
lebih besar sehingga mempercepat proses penguapan air dari bahan.
Pada waktu pengeringan yang sama, semakin tinggi suhu udara
pengering akan diperoleh kadar air yang semakin rendah, namun jika
lebih lama dikeringkannya belum tentu simplisia tersebut akan
mempunyai kadar air lebih rendah, karena tiap bahan pangan mempunyai
keseimbangan kelembaban nisbi masingmasing, yaitu kelembaban pada
suhu tertentu dimana bahan pangan tidak akan kehilangan air ke atmosfer
atau tidak akan mengambil uap air dari atmosfer. Pada kelembaban nisbi
udara lebih kecil dari keseimbangan kelembabannisbi, bahan pangan
dapat dikeringkan lagi, tetapi pada kelembaban nisbi udara yang lebih
tinggi dari keseimbangan, bahan pangan malahan akan menarik uap air
dari udara (Tien dkk, 2010).
Kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan
bahan makanan terhadap serangan mikroba. Berdasarkanerajat keterikatan
air, air terikat dapat dibagi atas empat tipe. Tipe I adalah air yang terikat
kuat. Tipe II yaitu molekulmolekul air membentuk ikatan hidrogen
dengan molekul air lain, terdapat dalam mikrokapiler. Air jenis ini lebih
sukar dihilangkan dan penghilangan air tipe II akan mengakibatkan
penurunan aw. Tipe III adalah air bebas. Tipe IV adalah air yang tidak
terikat dalam jaringan suatu bahan atau air murni (Winarno, 2004).
Menurut Labuza (1982), hubungan antara aktivitas air dan mutu
makanan yang dikemas adalah sebagai berikut: 1) Produk dikatakan pada
selang aktivitas air sekitar 0.7-0.75 dan di atas selang tersebut
mikroorganisme berbahaya dapat mulai tumbuh dan produk menjadi
beracun. 2) Pada selang aktivitas air sekitar 0.6-0.7 jamur dapat mulai
tumbuh. 3) Aktivitas air sekitar 0.35-0.5 dapat menyebabkan makanan
ringan hilang kerenyahannya. 4) Produk pasta yang terlalu kering selama
pengeringan atau kehilngan air selama distribusi atau penyimpanan, akan
mudah hancur dan rapuh selama dimasak atau karena goncangan mekanis.
Hal ini terjadi pada selang aktivitas air 0.4-0.5.
Pengeringan merupakan tahapan pengolahan yang cukup penting
karena terkait dengan kadar air bahan sebagai faktor yang berpengaruh
terhadap penampakkan, tekstur, cita rasa, nilai gizi bahan pangan, dan
terutama aktivitas mikroorganisme. Pengeringan pada rumput laut adalah
proses utama dari pengolahan rumput laut itu sendiri sebagai bahan baku
industri seperti karagenan. Oleh karena itu berhubungan dengan
pengeringan sehingga diperlukan untuk menganalisa kadar air, pH dan
analisa total bakteri dari rumput laut tersebut untuk mengetahui apakah
sudah memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan (Winarno, 2004).
Analisis kadar air dengan menggunakan oven. Kadar air dihitung
sebagai persen berat, artinya berapa gram berat contoh dengan yang
selisih berat dari contoh yang belum diuapkan dengan contoh yang telah
(dikeringkan). Jadi kadar air dapat diperoleh dengan menghitung
kehilangan berat contoh yang dipanaskan. Urutan kerjanya sebagai
berikut: 1. Cawan porselen disterilkan dalam Oven selama 1 jam dengan
suhu 105ºC. Kemudian didinginkan selama 15 menit dan ditimbang
beratnya (A gram). 2. Sampel ditimbang sebanyak 2 gram dan ditaruh
dalam cawan porselen yang telah diketahui beratnya (B gram). Sampel
dalam porselen ini kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105ºC
sampel konstan selama 3 jam, selanjutnya didinginkan dalam desikator
selama 15 menit dan ditimbang (C gram) 3. Penimbangan ini diulang
sampai diperoleh berat yang konstan (AOAC, 1995).
Penentuan kadar air sangat penting dalam banyak masalah
industri, misalnya dalam evaluasi material balance atau kehilangan
selama pengolahan. Kita harus tahu kandungan air (dan kadang juga
distribusi air) untuk pengolahan optimum, misalnya dalam penggilingan
serealia, pencampuran adonan sampai konsistensi tertentu, dan produksi
roti dengan daya awet dan tekstur tinggi. Kadar air harus diketahui dalam
penentuan nilai gizi pangan, untuk memenuhi standar komposisi dan
peraturan-peraturan pangan. Kepentingan yang lain adalah bahwa kadar
air diperlukan untuk penentuan mengetahui pengolahan terhadap
komposisi kimia yang sering dinyatakan pada dasar dry matt. Penentuan
kadar air yang cepat dan akurat bervariasi tergantung struktur dan
komposisinya. Dari segi analisis pangan, kandungan air dalam pangan
dapat dibagi menjadi tiga macam bentuk. Air bebas adalah air dalam
bentuk sebagai air bebas dalam ruang intergranular dan dalam pori-pori
bahan. Air demikian ini berlaku sebagai agensia pendispersi bahan-bahan
koloidal dan sebagai solven senyawa-senyawa kristalin. Air yang terserap
(teradsorpsi) pada permukaan koloid makromolekular (pati, pektin,
cellulosa, protein). Air ini berkaitan erat dengan makromolekul-
makromolekul yang mengadsorpsi dengan gaya absorpsi, yang
diatributkan dengan gaya Van der Waals atau dengan pembentukan ikatan
hidrogen. Air terikat, berkombinasi dengan berbagai substansi, sebagai air
hidrat. Klasifikasi tersebut tidak mutlak. Istilah air bebas, terabsorpsi, dan
terikat itu relatif (Winarno, 1997).
Prinsip dari metode oven pengering adalah bahwa air yang
terkandung dalam suatu bahan akan menguap bila bahan tersebut
dipanaskan pada suhu 105oC selama waktu tertentu. Perbedaan antara
berat sebelum dan sesudah dipanaskan adalah kadar air (AOAC, 1995)
Dengan mengatur panas, kelembaban, dan kadar air, oven dapat
digunakan sebagai dehidrator. Waktu yang diperlukan adalah sekitar 5-12
jam. Lebih lama dari dehidrator biasa. Agar bahan menjadi kering,
temperatur oven harus di atas 140oF. Kelebihan pengeringan buatan
adalah suhu dan kecepatan proses pengeringan dapat diatur seuai
keinginan, tidak terpengaruh cuaca, sanitasi dan higiene dapat
dikendalikan. Kelemahan pengeringan buatan adalah memerlukan
keterampilan dan peralatan khusus, serta biaya lebih tinggi dibanding
pengeringan alami (AOAC, 1995).
Air merupakan komponen kimiawi terbesar pada bahan pangan
dan merupakan cairan yang esensial bagi hidup. Air penting sebagai alat
transportasi (zat gizi dan limbah metabolisme), reaktan maupun sebagai
media reaksi, stabilisasi (biopolimer, suhu), dan sebagai fasilitator
terhadap sifat dinamis makromolekul (misalnya enzim). Air dapat berupa
komponen intraseluler atau ekstraseluler dari bahan nabati dan hewani.
Air dalam bahan pangan berperan dalam memengaruhi tingkat kesegaran,
stabilitas, keawetan, membantu reaksi-reaksi kimia, pertumbuhan
mikroba dan aktivitas enzim (Kusnandar, 2010).
Air dalam pangan ada yang berada dalam keadaan bebas,
terserap dalam matriks/jaringan pangan atau terikat secara kimia pada
komponen lainnya dalam bahan pangan. Derajat keterikatan air dapat
memengaruhi peranan air dalam reaksi kimia dan pertumbuhan mikroba.
Jenis air dalam pangan dibedakan menjadi air kapiler, air terlarut, air
adsorpsi, dan air terikat secara kimia (Kusnandar, 2010) : 1. Air kapiler.
Air kapiler terikat secara fisik, memiliki sifat air bebas, yaitu mudah
dikeluarkan dari pangan bila ditekan, dan mudah menguap bila
dikeringkan. 2. Air terlarut. Air yang terdapat dalam pangan padat. Bila
diuapkan, maka air tersebut harus berdifusi dari bagian dalam bahan
pangan padat tersebut. 3. Air adsoprsi. Air biasanya terikat pada
permukaan atau pada lapisan-lapisan sekitar molekul hidrofilik seperti
protein, karbohidrat, pectin, dan pati. Dibandingkan air bebas, air terserap
lebih sulit dikeluarkan bila pagan dikeringkan. 4. Air terikat secara kimia.
Adanya sifat polar dari air menyebabkan molekul air dapat berinteraksi
dengan ion bebas, gugus fungsional atau molekul organik melalui ikatan
hidrogen.
Secara visual, air dalam bahan pangan dapat berada dalam
keadaan bebas atau terikat dengan komponen atau jaringan bahan pangan.
Berdasarkan derajat keterikatannya, air dibedakan menjadi empat tipe
(Kusnandar, 2010) : 1. Air tipe I (bound water). Molekul yang terikat
secara kimia, tidak dapat membeku, dan hanya sebagian saja yang dapat
dihilangkan dengan pengeringan, tidak dapat memfasilitasi reaksi-reaksi
kimia, serta tidak dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba. 2. Air
tipe II(adsorbed water).Molekul-molekul air yang terdapat pada
permukaan bahan pangan yang bersifat hidrofilik, membentuk lapisan
monolayer. Air tipe ini sukar dihilangkan selama proses pengeringan
dibandingkan air normal. 3. Tipe III (free water). Air yang terperangkap
dalam jaringan matriks oleh membran atau makrokapiler. Air terikat
secara fisik sehingga mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk
pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. 4. Air tipe
IV (pure water). Merupakan air murni, yaitu air yang tidak memiliki
ikatan apapun dengan matriks jaringan bahan pangan.
Secara umum, peran air dalam bahan pangan adalah (a) sebagai
pelarut universal untuk melarutkan garam, vitamin, gula, dan pigmen, (b)
berperan dalam reaksi kimia, misalnya dalam reaksi hidrolisis, (c)
memengaruhi aktivitas enzim, (d) memengaruhi tekstur dan kesegaran, (e)
berperan penting dalam pertumbuhan mikroorganisme,(f) dan sebagai
medium untuk pindah panas. Dari segi gizi, air yang dikandung bahan
pangan tidak mengandung kalori (Ruiz, 2005).
Pengukuran kadar air dengan menggunakan gravimetri ialah
dengan menentukan berat sampel yang hilang setelah ditempatkan pada
oven (convection, vacuum, atau microwave) selama waktu tertentu. Pada
metode gravimetri diasumsikan bahwa hanya air yang menguap dalam
proses pengeringan. Metode gravimetri hanya membutuhkan sejumlah
kecil sampel homogen dan dapat mengukur secara efektif kandungan air
pada kisaran 0.01 - 99,99% (Ruiz, 2005). Kadar air dapat ditentukan
dengan berbagai metode. Metode yang berbeda dapat menghasilkan nilai
kadar air yang berbeda pula (Nielsen 2010). Umumnya pengukuran kadar
air menggunakan metode Loss on drying (LOD) dengan oven. Prinsip dari
metode oven ialah dengan menguapkan air yang ada di dalam bahan
pangan dengan memanfaatkan pemanasan pada suhu 105oC selama waktu
tertentu hingga tercapai berat yang konstan. Selisih antara berat awal dan
berat setelah pemanasan merupakan kadar air. Metode oven termasuk
metode yang relatif mudah dan murah, namun membutuhkan waktu yang
lama yaitu 3 jam. Kelemahan lainnya dari metode ini ialah bahan lain
selain air dapat menguap bersama dengan uap air misalnya alkohol,
minyak atsiri, dan lain-lain (Andarwulan dkk, 2011).
Moisture Analyzer merupakan instrumen yang mengaplikasikan
prinsip analisa thermogravimetric dengan akurasi yang sangat tinggi.
Moisture Analyzer memanfaatkan lampu inframerah atau halogen sebagai
sumber panas. Pengeringan dengan inframerah atau halogen dapat
menguapkan air dalam bahan. Kadar air total bahan dapat ditentukan
dengan adanya pemanasan intensif dengan menggunakan metode
pengeringan adsorpsi. Pada Moisture Analyzerterdapat alas wadah
alumunium yang dapat diisi oleh granula contoh, dan pada bagian atasnya
terdapat kumparan koil pemanas listrik. Kumparan listrik ini akan
memanas ketika pengukuran kadar air dimulai, secara otomatis berat
sampel akan dimonitor oleh alat sehingga persentase kadar air sampel
dapat diketahui dan ditampilkan pada monitor (Kenkel, 2003).
Pengukuran kadar air dengan menggunakan Moisture Analyzer
membutuhkan waktu yang sangat cepat, yaitu hanya sekitar 3-15 menit/
sampel (Ruiz, 2005). Pengukuran akan segera berhenti setelah sampel
mengalami penurunan berat lebih rendah dari 1 mg per 90 s
(Zhu dkk, 2015). Dengan waktu yang singkat, tentunya hal ini membantu
perusahaan dalam mempersingkat waktu pengujian, mengingat jumlah
sampel tiap batch dari setiap produksi harus dianalisis. Dibandingkan
dengan metode oven, Moisture Analyzer memiliki beberapa keuntungan
yaitu waktu pengujian yang lebih cepat, cara pengoperasian yang lebih
mudah, serta dapat meminimalisir adanya human errorpada saat
penimbangan sampel (Kumalasari, 2012).
Analisa gravimetri merupakan bagian utama dari kimia analitik.
Langkah pengukuran pada cara gravimetri adalah dengan pengukuran
berat. Analit secara fisik dipisahkan darisemua komponen lainnya dari
contoh maupun dari solventnya. Pengendapan merupakan teknik yang
secara luas digunakan untuk memisahkan analit dari gangguan-gangguan
(Day dan Underwood, 1981).
Penentuan kadar air dalam bahan pangan dapat ditentukan
dengan dua metode, yaitu metode langsung dan metode tidak langsung.
Metode penentu kadar air cara langsung merupakan pengukuran langsung
kandungan air bahan. Sedangkan cara tidak langsung yaitu menentukan
kandungan air dengan mengukur tahanan atau tegangan listrik yang
ditimbulkan oleh air bahan, atau dengan mengukur penyerapan
gelombang mikro, sonik atau ultrasonik oleh air bahan, atau dengan
mengukur sifat spektroskopi air bahan. Analisis kadar air cara langsung
dibedakan ke dalam beberapa metode, yaitu: dengan metode pengeringan,
desikasi, termogravimetri, destilasi, dan metode Karl Fischer. Untuk
analisis kadar air bahan cara tidak langsung dapat digunakan metode-
metode listrik-elektronika, penyerapan gelombang mikro, penyerapan
gelombang sonik dan ultrasonik, dan metode spektroskopi (Nadia, 2015).
Dari keseluruhan metode-metode yang dapat digunakan untuk
penentuan kadar air bahan cara langsung maka yang akan diterapkan
dalam praktik analisis pangan adalah terbatas pada penentuan kadar air
dengan menggunakan metode oven udara yang mengacu pada metode
oven yang dikembangkan oleh AOAC (1995). Pada metode ini terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi ketelitian penentuan kadar air bahan,
yaitu: yang berhubungan dengan penanganan bahan, kondisi oven dan
perlakuan bahan setelah pengeringan. Faktor-faktor yang berhubungan
dengan penanganan bahan yang mempengaruhi analisis kadar air
meliputi, jenis bahan, ukuran bahan. partikel bahan. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan kondisi oven yang dapat mempengaruhi analisis
kadar air meliputi, suhu oven. gradien suhu oven, kecepatan aliran dan
kelembaban udara oven. Faktor-faktor yang berhubungan dengan
perlakuan bahan setelah pengeringan yang dapat mempengaruhi analisis
kadar air meliputi, sifat higroskopis bahan, kelembaban udara ruang
analisis, kelembaban udara ruang penimbangan (Nadia, 2015).
Cara lain untuk menentukan kadar air bahan pangan secara
langsung adalah dengan cara kimia yaitu dengan metode Karl Fischer.
Metode ini merupakan metode yang sering digunakan dalam analisis
kadar air bahan pangan yang mengandung sedikit air. Biasanya metode
ini digunakan untuk bahan-bahan seperti pada produk minyak/lemak,
gula, madu, dan bahan kering. Prinsip dari metode ini adalah air dalam
sampel kering dititrasi dengan pereaksi Karl Fischer yang terdiri dari
sulfur dioksida, piridin, iodium, dan metanol anhidrat. Pereaksi
distandarisasi dengan air kristal dan sodium asetat hidrat. Titik akhir
titrasi ditentukan secara elektrometrik yang menggunakan teknik
penghentian titik akhir (dead stop) (Nadia, 2015).
Kerusakan bahan makanan umumnya merupakan proses
mikrobiologis, kimiawi dan kombinasi antara ketiga proses tadi
memerlukan air. Hanya air bebas yang dapat membantu berlangsungnya
proses-proses tersebut. Oleh karena itu besarnya kadar air suatu bahan
makanan bukan merupakan parameter yang absolut untuk dipakai
meramalkan kecepatan terjadinya kerusakan. Sebagian air yang
dikandung oleh bahan makanan tidak dalam keadaan bebas, melainkan
terikat dalam berbagai bentuk ikatan oleh komponen penyusunnya
(Adnan, 1982).
Penentuan kadar air dengan cara pengeringan
(Thermogravitmetri), prinsipnya menguapkan air yang ada dalam bahan
sampel berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Cara ini
relatif mudah dan murah. Untuk mempercepat penguapan air dan
menghindari terjadinya reaksi yang menyebabkan terbentuknya air
ataupun reaksi yang lain karena pemanasan maka dapat dilakukan
pemanasan dengan suhu rendah dan tekanan vakum, dengan demikian
akan diperoleh hasil yang lebih mencerminkan kadar air yang sebenarnya
(Sudarmadji dkk, 2007).
Aktivitas air sangat penting pada penyimpanan bahan makanan.
Bahan makanan dan hasil pertanian yang lain bila diletakkan dalam udara
terbuka kadar airnya akan mencapai keseimbangan dengan kelembabaan
udara disekitarnya. Kadar air tersebut biasa dinamakan kadar air
seimbang. Setiap kelembaban relatif dapat menghasilkan kadar air
seimbang tertentu (Uitto, 2002).
Kandungan air dalam bahan makanan ikut menentukan
kesegaran dan daya tahan bahan itu. Selain merupakan bagian dari suatu
bahan makanan air merupakan pencuci yang baik bagi bahan makanan
tersebut atau alat-alat yang akan digunakan dalam pengolahannya.
Sebagian besar dari perubahan-perubahan bahan makanan terjadi dalam
media air yang ditambahkan atau berasal dari bahan itu sendiri
(Kauffman, 2006).
Prinsip metode penetapan kadar air dengan oven atau
thermogravitimetri yaitu mengupakan air yang ada dalam bahan dengan
jalan pemanasan. Penimbangan bahan dengan berat konstan yang berarti
semua air sudah diuapkan dam cara ini relatif mudah dan murah.
Percepatan penguapan air serta menghindari terjadinya reaksi yang lain
karena pemanasan maka dapat dilakukan pemanasan dengan suhu rendah
atau vakum. Namun, terdapat kelemahan cara analisa kadar air dengan
cara pengeringan, yaitu bahan lain selain air juga ikut menguap dan ikut
hilang misalnya alkohol, asam asetat,minyak atsiri. Kelemahan lain yaitu
dapat terjadi reaksi selama pemanasan yang menghasilkan air atau zat
mudah menguap lainya, dan juga bahan yang mengandung zat pengikat
air akan sulit melepaskan airnya walaupun sudah dipanaskan
(Sudarmadji, 2010).
Metode termogravimetri terutama digunakan untuk bahan-bahan
yang stabil terhadap pemanasan yang agak tinggi, serta produk yang tidak
atau rendah kandungan sukrosa dan glukosanya seperti tepung-tepungan
dan serealia (Muhammad, 2015). Thermogravimetri umumnya digunakan
dalam penelitian dan pengujian untuk menentukan karakteristik bahan
seperti polimer, untuk menentukan suhu degradasi, bahan menyerap kadar
air, tingkat komponen anorganik dan bahan organik, dekomposisi poin
bahan peledak, dan residu pelarut. Hal ini juga sering digunakan untuk
memperkirakan kinetika korosi dalam oksidasi suhu tinggi
(Sumbono, 2010).
Selain dengan metode thermografimetri, penentuan kadar air
dapat dilakukan dengan metode thermovolumetri. Metode
thermovolumetri ialah metode penentuan kadar air dengan cara
menguapkan air dengan membawa cairan kimia yang mempunyai titik
didih lebih tinggi dari pada air dan tidak bercampur dengan air serta
mempunyai berat jenis lebih rendah dari air. Cairan pembawa yang dapat
digunakan adalah xylol, xylem, toluene, tetrakloroetile
(Sudarmadji, 2007). Selain itu, Untuk penentuan kadar air yaitu
menerapkan prinsip gravimetrik. Gravimetrik adalah proses isolasi dan
pengukuran berat suatu unsur atau senyawa tertentu (Sandulachi, 2012).
Metode-metode penentuan kadar air yaitu metode pengeringan
(dengan oven biasa), metode distilasi, metode kimia, dan metode khusus
seperti refraktometer (Simon dan Jiri, 2006). Selain itu, dapat juga
dilakukan metode kimiawi (cara titrasi Karl Fischer, cara kalsium
karbida, dan cara asetil klorida), dan dengan metode fisis (tetapan
dielektrikum, konduktivitas listrik (daya hantar listrik) atau resistansi, dan
resonansi nuklir magnetik (Sudarmadji, 1989).
Menurut Sudarmadji,2010. Penentuan kadar air total dapat
digunakan untuk berbagai tujuan yaitu antara lain: 1) Untuk menentukan
baik tidaknya suatu proses pengolahan. Misalnya pada penggilingan
gandum diharapkan dapat dipisahkan antara bagian endosperm dengan
kulit dan lembaganya. Apabila masih banyak katul atau lembaga terikut
dalam endosperm maka tepung gandum yang dihasilkan akan mempunyai
kadar abu yang relatif tinggi. 2) Untuk mengertahu jenis bahan yang
digunakan. Misalnya penentuan kadar air dapat digunakan untuk
memperkirakan kandungan buah yang digunakan untuk membuat jelly
atau marmalade. 3) Penentuan air total sangat beguna sebagai parameter
nilai gizi bahan makanan.
Secara umum penentuan kadar air dapat dilakukan dengan 2 cara
yaitu cara kering dan cara basah. Perbedaan cara kering dan cara basah
adalah : a) Cara kering biasa digunakan untuk penentuan total dalam
suatu bahan makanan dan hasil pertanian, sedangkan cara basah untuk
trace elements. b) Cara kering untuk penentuan air yang larut dan tidak
larut dalam air serta abu yang tidak larut dalam asam memerlukan waktu
yang relatif lama,sedangkan cara basah memerlukan waktu yang cepat. c)
Cara kering memerlukan suhu yang relatif tinggi, sedangkan cara basah
suhu relatif rendah. b) Cara kering dapat digunakan untuk sampel yang
relatif banyak, sedang cara basah sebaiknya sampel sedikit dan
memerlukan reagensia yang kadang kala agak berbahaya
(Sudarmadji, 2010).
Umur simpan adalah periode waktu dimana makanan atau
minuman yang diproduksi masih dapat dikonsumsi. kadaluarsa adalah
waktu dimana makanan atau minuman yang diproduski sudah tidak boleh
dikonsumsi lagi. parameternya dari umur simpan dan kadaluarsa tersbut
dari banyak faktor, namun saya bagi 3 faktor saja yaitu dari bahan kemas,
bahan pangan itu sendiri dan faktor lingkungan (Matz, 1984).
Bahan kemas dapat menjadi faktor dimana umur simpan akan
berbeda padahal produknya sama. Fungsi dari pengemasan adalah
memperlambat proses deteriorasi, yaitu penyimpangan suatu produk dari
mutu awalnya. Reaksi deteriorasi dapat disebabkan oleh faktor intrinsik
maupun ekstrinsik yang akan memicu reaksi ini di dalam produk berupa
reaksi kimia, reaksi enzimatis atau proses fisik yaitu penyerapan uap air
atau gas dari sekelilingnya. Hal ini menyebabkan perubahan terhadap
produk meliputi perubahan tekstur, flavor, warna, penampakan fisik, nilai
gizi, maupun mikrobiologis. misalnya saja kemasan plastik akan berbeda
dengan kemasan kaca. permeabilitas kaca lebih kecil dari pada plastik
sehingga plastik lebih mudah terjadi transfer udara atau uap air. di antara
plastik juga punya permeabilitas yang berbeda. penentuan kemasan ini
juga menjadi salah satu faktor untuk menentukan umur simpan makanan
(Waluyo, 2001).
Faktor lingkungan seperti suhu, cahaya, panas, kelembaban,
tekanan fisik, dll menjadi faktor yang diperhitungkan juga dalam
penentuan umur simpan. misalanya saja produk yang disimpan di suhu
tropis akan berbeda umur simpannya dibanding yang disimpan di suhu
subtropis. makanan biasanya disimpan di tempat yang tidak panas dan
tidak dingin, namun kadang kala baik dalam transportasi ataupun
penyimpanan ternyata terkena faktor lingkungan yang ekstrim, maka
perusahaan akan mempertimbangkan juga umur simpan dari makanan
tersebut jika produknya akan terkena faktor lingkungan yang tidak biasa
(Matz, 1984).
2. Tinjauan Bahan
Jagung merupakan salah satu jenis tanaman palawija yang
terpenting, selain itu, selain itu jagung merupakan komoditas sereal utama
setelah beras. Jagung berepran penting dalam penyediaan panagan, bahan
baku industri untuk pebuatan tepung jagung dan paka ternak
(Riyana, 2007). Jagung dapat dimanfaatkan sebagai tepung, subtitusi bagi
industri yang menggunakan terigu, dasar alternatif tepung jagung
mempunyai nilai gizi yang cukup memadai dan diketahui beberapa daerah
di Indonesia, jagung digunakan sebagai bahan makanan pokok.
Pengolahan jagung menjadi tepung memberikan beberapa keuntungan,
seperti meningkatkan daya simpan, praktis dalam pengangkutan,
penyimpanan. Selain itu dapat diolah beraneka ragam produk makanan
(Winarno, 1984).
Kadar air tepung jagung sangat mempengaruhi kualitas dan umur
simpan tepung jagung. Produk pertanian banyak dalam bentuk bubuk dan
tepung, bubuk dan tepung jagung memiliki kadar air yang rendah dan
porositas yang tinggi sehingga bersifat higroskopis dimana produk dapat
menyerap uap air dari lingkungan atau melepaskan air dari bahan ke
lingkungan. Penurunan mutu pada produk berbentuk bubuk atau tepung
dapat dilihat secara visual seperti produk tepung jagung menggumpal dan
berair, atau reaksi enzimatis seperti perubahan warna. Pada umumnya
penyimpanan bahan pertanian dilakukan pada lingkungan yang suhu dan
kelembaban relatif (RH) yang tidak terkendali, hal ini menyebabkan
bahan akan mengalami adsorpsi maupun desorpsi secara bergantian setiap
waktu (Sunaryo, 1985).
Tepung tapioka, tepung singkong, tepung kanji, atau aci adalah
tepung yang diperoleh dari umbi akar ketela pohon atau dalam bahasa
indonesia disebut singkong. Tapioka memiliki sifat- sifat yang serupa
dengan sagu, sehingga kegunaan keduanya dapat dipertukarkan. Tepung
ini sering digunakan untuk membuat makanan, bahan perekat, dan banyak
makanan tradisional yang menggunakan tapioka sebagai bahan bakunya.
Tapioka adalah nama yang diberikan untuk produk olahan dari akar ubi
kayu (cassava). Analisis terhadap akar ubi kayu yang khas
mengidentifikasikan kadar air 70%, pati 24%, serat 2%, protein 1% serta
komponen lain (mineral, lemak, gula) 3%. Tahapan proses yang
digunakan untuk menghasilkan pati tapioka dalam industri adalah
pencucian, pengupasan, pemarutan, ekstraksi, penyaringan halus,
separasi, pembasahan, dan pengering (Whistler dkk, 1984).
Tepung tapioka yang dibuat dari ubi kayu mempunyai banyak
kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri.
Dibandingkan dengan tepung jagung, kentang, dan gandum atau terigu,
komposisi zat gizi tepung tapioka cukup baik sehingga mengurangi
kerusakan tenun, juga digunakan sebagai bahan bantu pewarna putih.
Tepung tapioka bisa dimanfaatkan dalam pembuatan suatu produk pangan
(Whistler dkk, 1984).
Menurut Matz (1984), tepung terigu merupakan tepung yang
diperoleh dari biji gandum (Triticum vulgare) yang digiling.
Keistimewaan tepung terigu jika dibanding dengan serealia lainnya adalah
kemampuannya dalam membentuk gluten pada adonan ini menyebabkan
elastis atau tidak mudah hancur pada proses pencetakan dan pemasakan.
Mutu terigu yang dikehendaki adalah terigu yang mempunyai kandungan
air 14%; kadar protein 8-12%; kadar abu 0,25-1,60%; dan gluten basah
24-36%. Adanya kandungan tepung terigu tersebut maka fungsi tepung
terigu membentuk jaringan dan kerangka dari roti sebagai akibat dari
pembentukan gluten. Protein yang ada di dalam tepung terigu yang tidak
larut dalam air akan menyerap air dan ketika diaduk/diulen akan
membentuk gluten yang akan menahan gas CO2 hasil reaksi ragi dengan
pati di dalam tepung.
C. Metodologi
1. Alat
a. Botol timbang
b. Desikator
c. Mortar dan alu
d. Neraca analitik
e. Oven
f. Sendok spatula
2. Bahan
a. Tepung maizena “Maizenaku” (Sampel C)
b. Tepung tapioka “Rose Brand” (Sampel B)
c. Tepung terigu “Cajra Kembar” (Sampel A)
3. Cara Kerja
Pengeringan botol timbang pada oven dengan suhu 105˚C
dengan tutup dibuka selama 1 jam

Pendinginan botol timbang pada desikator selama ± 15 menit

Penimbangan berat botol timbang kosong yang telah


dikeringkan

Penghalusan sampel selama 2 gram dan penimbangan di


dalam botol timbang

Pengeringan menggunakan oven botol timbang yang berisi


sampel uji selama ±12 jam pada suhu 105˚C

Pendinginan di dalam desikator selama ±15 menit

Penimbangan botol timbang berisi sampel

Pengeringan kembali botol timbang yang berisi sampel uj


selama 30 menit pada suhu 105˚C

Pendinginan kembali di dalam desikator selama ±15 menit

Penimbangan kembali botol timbang berisi sampel uji


sampai dicapai berat konstan

Penghitungan kadar air

Gambar 1.1 Diagram Alir Menentukan Kadar Air pada Bahan


D. Hasil dan Pembahasan
Tabel 1.1 Hasil Pengamatan Penentuan Kadar Air pada Sampel Tepung
Berat Berat Berat Berat Berat Ber % % %
botol botol botol samp samp at Air Air Berat
Sampel

timba timban timban el el air (db (w kerin


ng g+ g+ basah kerin (gr) ) b) g
koson sampel sampel (gr) g (gr)
g (gr) basah kering
(gr) (gr)
A1 17,15 19,230 18,968 2,070 1,809 0,26 14, 12, 87,37
95 0 5 5 0 15 45 60
A2 16,99 19,004 18,755 2,006 1,755 0,25 14, 12, 87,48
82 8 5 6 5 11 30 51

B1 17,43 19,442 19,183 2,009 1,749 0,25 14, 12, 87,07


37 7 0 0 3 97 85 93

B2 17,49 19,577 19,284 2,086 1,793 0,29 14, 14, 85,97


09 6 8 7 9 28 65 03

C1 18,45 20,492 20,243 2,041 1,792 0,24 13, 12, 87,81


04 0 1 6 7 89 88 19
C2 18,51 16,472 20,300 2.037 1,790 0,24 13, 12, 87,86
01 4 4 7 3 74 82 14
Sumber: Laporan Sementara
Air merupakan komponen kimiawi terbesar pada bahan pangan dan
merupakan cairan yang esensial bagi hidup. Air penting sebagai alat
transportasi (zat gizi dan limbah metabolisme), reaktan maupun sebagai
media reaksi, stabilisasi (biopolimer, suhu), dan sebagai fasilitator terhadap
sifat dinamis makromolekul (misalnya enzim). Air dapat berupa komponen
intraseluler atau ekstraseluler dari bahan nabati dan hewani. Air dalam bahan
pangan berperan dalam memengaruhi tingkat kesegaran, stabilitas, keawetan,
membantu reaksi-reaksi kimia, pertumbuhan mikroba dan aktivitas enzim
(Kusnandar 2010).
Kadar air suatu bahan biasanya dinyatakan dalam persentase berat
bahan basah, misalnya dalam gram air untuk setiap 100 gr bahan disebut
kadar air berat basah. Berat bahan kering adalah berat bahan setelah
mengalami pemanasan beberapa waktu tertentu sehingga beratnya tetap
(konstan). Pada proses pengeringan air yang terkandung dalam bahan tidak
dapat seluruhnya diuapkan (Kusumah dan Andarwulan, 1989).
Kadar air merupakan pemegang peranan penting, yang memiliki
fungsi dalam mengetahui aktivitas kadar air dari bahan pangan. Kecuali
temperatur maka aktivitas air mempunyai tempat tersendiri dalam proses
pembusukan dan ketengikan. Kerusakan bahan makanan pada umumnya
merupakan proses mikrobiologis, kimiawi, enzimatik atau kombinasi antara
ketiganya. Berlangsungnya ketiga proses tersebut memerlukan air dimana
kini telah diketahui bahwa hanya air bebas yang dapat membantu
berlangsungnya proses tersebut (Tabrani,1997).
Kandungan kadar air dapat ditentukan dengan berbagai cara. Hal ini
tergantung pada sifat bahannya. Pada umumnya penentuan kadar air
dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 105°C-110° C
selama 3 jam atau sampai didapat berat yang konstan. Selisih berat sebelum
dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan. Untuk bahan-
bahan yang tidak tahan panas, seperti bahan berkadar gula tinggi, minyak,
daging, kecap dan lain-lain pemanasan dilakukan dalam oven vakum dengan
suhu yang lebih rendah. Kadng-kadang pengeringan dilakukan tanpa
pemanasan, bahan dimsukkan dalam eksikator dengan 𝐻2 𝑆𝑂4 pekat sebagai
pengering, hingga mencapai berat yang konstan (Winarno, 1984).
Metode penentuan kadar air dari suatu bahan dapat dilakukan secara
langsung dan metode tidak langsung. Analisa kadar air metode langsung
dilakukan dengan cara mengeluarkan air dalam bahan pangan dengan bantuan
pengeringan oven, desikasi, destilasi, ekstraksi, dan teknik fisikokimia
lainnya. Jumlah dapat diketahui dengan cara penimbangan, pengukuran
volume atau cara langsung lainnya. Metode ini mempunyai ketelitian tinggi
namun pengerjaannya memerlukan waktu relatif lama dan kebanyakan
bersifat manual. Analisis kadar air metode tidak langsung ilakukan tanpa
mengeluarkan air dari bahan dan tidak meusak bahan sehingga pengukuran
tidak bersifat merusak (tidak dekstruktif). Waktu pengukuran dilakukan
dengan cepat dan dimungkinkan untuk menjadikan kontinyu dan otomatik.
Metode ini merupakan penerapan untuk mengontrol proses-proses di industri
(Winarno, 1984).
Analisis secara langsung dapat dilakukan dengan gravimetri,
destilasi maupun secara kimiawi. Sedangkan secara tak tangsung seperti
metode listrik-elektronika (konduktivitas DC-AC dan konstanta dielektrik),
metode ini didasarkan pada pengukuran tahanan yang ditimbulkan dari bahan
yang mengandung air. Analisis dilakukan dengan cara menempatkan
sejumlah contoh di dalam wadah kecil di antara sua elektroda, selanjutnya
arus listrik yang melewati contoh diukur berdasarkan tahanan listriknya.
Penyerapan gelombang mikro, hal ini didasarkan pada pengukuran
penyerapan energi gelombang mikro oleh molekul air dalam bahan. Molekul
air yang mempunyai dua kutub akan menyerap beberapa ribu kali lebih
banyak energi gelombang mikro dibandingkan bahan kering dalam volume
yang sama. Penyerapan sonik dan ultrasonik, hal ini dilakukan berdasarkan
kemampuan molekul air dalam menyerap energi sonik dan ultrasonik. Derajat
penyerapannya tergantung pada jumlah air yang terdapat dalam bahan.
Pengukuran dilakukan dengan cara bahan ditempatkan diantara generator
energi (sebagai pensuplai energi sonik dan ultrasonik) dan mikrofon sebagai
penerima. Energi yang diterima selanjutnya diperkuat sehingga terbaca pada
voltmeter dan selanjutnya data diubah menjadi data kadar air. Gelombang
mikro dengan frekuensi 9-10 GHz dapat digunakan untuk memantau kadar air
bahan berkadar air rendah, padatan atau cairan. Peralatan utamanya adalah
dua buah antena yang berfungsi sebagai pemancar dan penerima gelombang.
Pengukuran dilakukan dengan cara bahan ditempatkan diantara ke dua antena
tanpa menyentuh antena (Matz, 1984).
Pengukuran kadar air total dilakukan dengan metode
termogravimetri (metode oven). Sampel sebanyak ditimbang pada cawan
yang sudah diketahui bobotnya lalu dikeringkan pada oven suhu 105º C
selama 3 jam. Setelah itu didinginkan dalam eksikator dan ditimbang hingga
diperoleh bobot tetap. Perhitungan kadar air diperoleh dengan
membandingkan bobot sampel sebelum dikeringkan dan bobot yang hilang
setelah dikeringkan dikali 100% (Musfiroh, 2009).
Selain dengan metode thermografimetri, penentuan kadar air dapat
dilakukan dengan metode thermovolumetri. Metode thermovolumetri ialah
metode penentuan kadar air dengan cara menguapkan air dengan membawa
cairan kimia yang mempunyai titik didih lebih tinggi dari pada air dan tidak
bercampur dengan air serta mempunyai berat jenis lebih rendah dari air.
Cairan pembawa yang dapat digunakan adalah xylol, xylem, toluene,
tetrakloroetile (Sudarmadji, 1996).
Terdapat beberapa cara penentuan kadar air dengan metode kimiawi,
yaitu metode titrasi karl Fischer, metode kalsium karbida, metode asetil
klorida. Metode Titrasi Karl Fischer, metode ini digunakan untuk pengukuran
kadar air pada bahan berupa cairan, tepung, madu dan beberapa produk
kering. Sesuai dengan namanya, metode ini menggunakan reagensia Karl
Fischer yang terdiri dari SO2, piridin dan iodin. Prinsip metode ini adalah
melakukan titrasi sampel dengan larutan iodin dalam methanol dan piridin.
Apabila masih terdapat air di dalam bahan maka iodin akan bereaksi, tetapi
apabila air habis maka iodin akan bebas (Winarno, 2004).
Metode kalsium klorida. Metode ini didasarkan atas rekasi antara
kalsium karbida dengan air menghasilkan gas asetilin. Cara ini cukup cepat
dan tidak memerlukan alat yang rumit. Jumlah asetilin yang terbentuk dapat
diukur dengan beberapa cara, antara lain : selisish bobot campuran bahan
sebelum dan sesudah reaksi, menampung dan mengukur volume gas asetilin
dalam tabung tertutup, mengukur tekanan gas asetilin apabila reaksi
dilakukan pada ruang tertutup. Metode asetil klorida. Metode ini didasarkan
atas reaksi antara asetil klorida dengan air menghasilkan asam yang dapat
dititrasi dengan basa. Cara ini dapat digunakan untuk menentukan kadar air
bahanberupa minyak, mentega, margarin, rempah-rempah, dan beberapa
bahan berkadar air rendah (Winarno, 2004).
Penentuan kadar air bahan dapat menggunakan berbagai cara. Ada
termografimetri dan termovolumetri. Prinsipnya menguapkan air yang ada
dalam bahan dengan jalan pemanasan. Kemudian menimbang bahan sampai
berat konstan yang berarti semua air sudah diuapkan. Cara ini memang
relative lebih mudah dan murah, namun juga ada kelemahannya. Yaitu bahan
lain disamping air juga ikut menguap dan ikut hilang bersama uap air
misalnya alkohol, asam asetat, minyak atsiri dan lain-lain. Selain itu dapat
tejadi reaksi selama pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah
menguap lain. Contoh gula dekomposisi atau karamelisasi, lemak mengalami
oksidasi dan sebagainya. Kemudian juga bahan yang mengandung bahan
yang dapat mengikat air secara kuat sulit melepaskan airnya meskipun sudah
dipanaskan (Sudarmadji, 1989).
Menurut Winarno (2004), penentuan kadar air dengan
thermogravimetri adalah dengan memanaskan menggunakan oven, prinsip
penentuan kadar air dengan pengeringan adalah penguapan air yang ada
dalam bahan dengan jalan pemanasan. Kemudian dilakukan penimbangan
terhadap bahan hingga berat konstan yang mengindikasikan bahwa semua air
yang terkandung dalam bahan sudah teruapkan semua. Penentuan kadar air
dengan cara ini relative mudah, dan ekonomis. Namun terdapat beberapa
kelemahan,bahan lain selain air dapat ikut menguap dan ikut hilang bersama
dengan uap air , seperti alcohol, asam asetat dan minyak atsiri. Dapat terjadi
reaksi selama pemanasan yang menghasilkan air atau zat mudah menguap
lain, seperti gula mengalami dekomposisi atau karamelisasi, lemak
mengalami oksidasi, dan sebagainya. Bahan yang mengandung bahan yang
mengikat air, secara sulit melepaskan airnya meskipun sudah dipanaskan.
Bahan yang telah dikeringan, biasanya memiliki sifat higroskopis lebhi tinggi
daripada bahan asalnya. Sehingga pendinginan bahan setelah pengeringan
sebelum penimbangan perlu dilakukan yaitu pendinginan di desikator yang
telah diberi zat penyerap air seperti kapur aktif, asam sulfat, silica gel,
alumunium oksida, kalium klorida, kalium hidroksida, kalium sulfat atau
barium oksida. Silica gel yang digunakan diberi warna guna memudahkan
untuk mengidentifikasi kemampuan dalam menyerap air. Silica gel akan
berwarna merah muda apabila sudah jenuh, dan apabila dipanaskan menjadi
kering akan berwarna biru.
Secara visual, air dalam bahan pangan dapat berada dalam keadaan
bebas atau terikat dengan komponen atau jaringan bahan pangan.
Berdasarkan derajat keterikatannya, air dibedakan menjadi empat tipe
(Kusnandar, 2010) : 1. Air tipe I (bound water). Molekul yang terikat secara
kimia, tidak dapat membeku, dan hanya sebagian saja yang dapat dihilangkan
dengan pengeringan, tidak dapat memfasilitasi reaksi-reaksi kimia, serta tidak
dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba. 2. Air tipe II(adsorbed
water).Molekul-molekul air yang terdapat pada permukaan bahan pangan
yang bersifat hidrofilik, membentuk lapisan monolayer. Air tipe ini sukar
dihilangkan selama proses pengeringan dibandingkan air normal. 3. Tipe III
(free water). Air yang terperangkap dalam jaringan matriks oleh membran
atau makrokapiler. Air terikat secara fisik sehingga mudah diuapkan dan
dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi
kimiawi. 4. Air tipe IV (pure water). Merupakan air murni, yaitu air yang
tidak memiliki ikatan apapun dengan matriks jaringan bahan pangan.
Menurut Fennemena (1996), memaparkan adanya hubungan antara
kadar air dalam bahan pangan dengan daya awetnya. Pengurangan air baik
dalam pengeringan atau penambahan bahan penguap air bertujuan untuk
mengawetakan bahan pangan sehingga dapat tahan terhadap kerusakan
mikrobiologis maupun kerusakan kimiawi. Kriteria ikatan air dalam aspek
daya awet bahan pangan ditinjau dari kadar air, konsentrasi larutan, tekanan
osmotic, kelembaban relative berimbang dan aktivitas air. Kadar air dan
konsentrasi larutan hanya sedikit berhubungan dengan sifat-sifat air yang
terdapat dalam bahan pangan dan tidak dapat digunakan sebagai indikator
nyata dalam menentukan ketahanan simpan. Karenanya lalu muncul istilah
aktivitas air yang digunakan untuk menjabarkan air yang tidak terikat atau
bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologis atau kimiawi.
Air yang terkandung dalam bahan pangan, apabila terikat kuat dengan
komponen bukan air lebih sukar digunakan baik untuk aktivitas
mikrobiologis maupun aktivitas kimia hidrolik.
Hubungan kadar air dengan aktivitas air (aw) ditunjukkan dengan
kecenderungan bahwa semakin tinggi kadar air maka semakin tinggi pula
nilai aw nya. Kadar air dinyatakan dalam persen (%) pada kisaran skala 0-
100, sedangkan nilai aw dinyatakan dalam angka desimal pada kisaran skala
0-1,0. Kadar air juga dapat mempengaruhi kondisi bahan pangan.
Semakin tinggi aw dari suatu bahan pangan maka akan mempercepat mikroba
untuk melakukan aktivitas jadi umur simpan suatu produk akan cepat, dengan
kata lain cepat mengalami kerusakan. Sedangkan semakin rendah aw dari
suatu bahan pangan maka aktivitas mikroba jadi rendah dan umur simpan
suatu produk akan lama, tidak mudah mengalami kerusakan
(Legowo dan Nurmanto, 2004).
Air bebas adalah air yang terdapat dalam sitoplasma ruang antar sel,
dan semua air yang terlibat dalam sirkulasi dalam jaringan bahan
,berpengaruh pada proses kerusakan bahan pangan melalui reaksi enzimatik
,proses mikrobiologi dan biokimiawi membeku pada 0 derajat celsius dan
dapat mudah menguap pada suhu 70 derajat celsius (Winarno, 2004).
Menurut Waluyo (2001), Aktivitas air atau water activity (aw) sering disebut
juga air bebas, karena mampu membantu aktivitas pertumbuhan mikroba dan
aktivitas reaksi-reaksi kimiawi pada bahan pangan. Air bebas ini erat
hubungannya berkaitan dengan bahan pangan. Bahan pangan yang
mempunyai kandungan atau nilai aw tinggi pada umumnya cepat mengalami
kerusakan, baik akibat pertumbuhan mikroba maupun akibat reaksi kimia
tertentu seperti oksidasi dan reaksi enzimatik. Aktivitas air pada bahan
pangan pada umumnya sangat mudah untuk dibekukan maupun diuapkan.
Aktivitas air juga dinyatakan sebagai potensi kimia dari air yang nilainya
bervariasi dari 0 sampai 1. Pada nilai aktivitas air sama dengan 0 berarti
molekul air yang bersangkutan sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas
dalam proses 6 kimia. Sedangkan nilai aktivitas air sama dengan 1 berarti
potensi air dalam proses kimia pada kondisi maksimal.
Kadar air dan aktivitas air sangat berpengaruh dalam menentukan
masa simpan dari makanan, karena faktor-faktor ini akan mempengaruhi
sifat-sifat fisik (kekerasan dan kekeringan) dan sifat-sifat fisiko-kimia,
perubahan-perubahan kimia, kerusakan mikrobiologis dan perubahan
enzimatis terutama pada makanan yang tidak diolah (Winarno, 2004). Selama
penyimpanan akan terjadinya proses penyerapan uap air dari lingkungan yang
menyebabkan produk kering mengalami penurunan mutu menjadi
lembab/tidak renyah (Robertson, 2010).
Praktikum Pengujian kadar air dengan metode thermogravimetri ini
dilakukan pada suhu 105˚C selama 1 jam menggunakan prinsip kerja oven
yakni menguapkan air pada bahan pangan sehingga nanti didapatkan jumlah
kandungan kadar air bahan setelah mendapatkan perbedaan antara berat
sebelum dan sesudah dipanasakan. Pada Tabel 1.1 adalah hasil pengamatan
penentuan kadar air pada sampel tepung, dimana sampel A1 dan A2 adalah
tepung terigu cakra kembar, yang didapatkan data pada sampel A1 untuk
kadar air (wb) sebesar 12,60%, kadar air (db) 14,45% dan berat kering 87,37
%. Pada sampel A2 didapatkan hasil untuk kadar air (db) sebesar 14,30%,
kadar air (wb) 12,51% dann berat kering sebesar 87,48%. Pada sampel B1 dan
B2 dimana sampel tersebut adalah tepung tapioka mendapatkan hasil pada
sampel B1 yaitu, kadar air (db) sebesar 14,85% dan kadar air (wb) sedesar
12,93% sedangkan berat kering 87,07%. Pada sampel B2 didapatkan hasil
untuk kadar air (db) sebesar 14,65%, kadar air (wb) sebesar 14,03% dan berat
kering 85,97%. Pada sampel C1 dan C2 dimana sampel tersebut adalah tepung
maizena, pada sampel C1 didapatkan hasil kadar air (db) sebesar 13,88%
kadar air (wb) sebesar 12,19% dan berat kering 87,81%. Pada sampel C 2
kadar air (db) sebesar 13,82%, kadar wb 12,14% dan berat kering sebesar
87,86%.
Menurut Badan Standarisasi Nasional (2011) persyaratan mutu
tepung terigu sesuai SNI pada kadar air dalam basis basah sebesar maksimal
14,5%. Pada tepung tapioka sebesar maksimal 14% dalam basis basah, dan
pada tepung maizena atau jagung sebesar maksimal 10%. Pada hasil
praktikum untuk sampel tepung terigu cakra kembar dalam basis basah
sebesar 12,60% dan 12,51%, sedangkan menurut SNI sebasar maksimal
14,5%, yang artina kadar air pada tepung terigu tersebut masih pada batas
aman pada persyaratan mutunya. Pada sampel tepung tapioka kadar air dalam
basis basah sebesar 12,93% dan 14,03% yang memiliki selisih yang besar,
sedangkan menurut SNI sebesar maksimal 14% pada sampel kesatu masih
pada batas aman, tetapi pada sampel kedua sudah melebihi batas, yang
seharusnya dari hasil analisis ini tidak terjadi selisih data yang banyak karena
sampel yang digunakan salah, hal ini bisa terjadi karena berbagai faktor. Pada
sampel tepung maizena didapatkan hasil 12,19% dan 12,14% pada basis
basah, sedangkan menurut SNI maksimal sebesar 10%, hal ini sudah tidak
pada batas aman. Dari hasil tersebut terdapat yang menyimpang dari SNI, hal
ini bisa terjadi dari berbagai faktor. Dari faktor praktikum seperti kurang
telitinya dalam melakukan percobaan, pada saah setelah pengovenan mungkin
air banyak yang masuk kedalam sampel dan perhitungan yang salah. Dari
produknya sendiri kemungkinan terjadi karena penyimpanan yang terlalu
lama sehingga kadar air dalam bahan tersebut bertambah. Sedangkan menurut
teori dari Winarno (1984) kandungan air dalam bahan pangan ikut
menentukan kesegaran dan daya tahan bahan itu sendiri. Perbedaan kadar air
dalam bahan pangan disebabkan karena perbedaan bahan, kualitas bahan,
metode yang digunakan dan proses penyimpanannya. Pada hasil percobaan
terdapat perbedaan dengan teori atau kurang sesuai dengan teori karena laju
respirasi dan transpirasi. Dalam uji coba ketidak akuratan perhitungan bias
dipengaruhi oleh metode oven yaitu penimbangan contoh/bahan, kondisi
oven, pengeringan contoh, dan perlakuan setelah pengeringan. Beberapa
faktor yang mempengaruhi yang berkaitan dengan kondisi oven adalah
fluktuasi suhu, kecepatan aliran, serta kelembaban udara dalam oven.
Pada analisis kadar air perlu untuk mengetahui karakteristik dari
suatu bahan pangan, dari mengetahui ini dapat digunakan untuk memilih
mana metode yang cocok untuk analisis kadar air. Bahan pangan mempunyai
karakteristik yang berbeda maka dari itu penetuan metode perlu untuk
dilakukan. Penentuan kadar air dari bahan-bahan yang kadar airnya tinggi dan
mengandung senyawa-senyawa yang mudah menguap (volatile) seperti
sayuran dan susu,menggunakan cara destilasi dengan pelarut tertentu.
Misalnya toluene, xilol dan heptana yang berat jenisnya lebih rendah daripada
air (Winarno, 1984). Penetapan kadar air yang didasarkan pada proses
pemisahan air dari komponen lain dipengaruhi olehbeberapa faktor, yaitu
ukuran partikel bahan, suhu pengeringan, kondisi fisika-kimia air di dalam
bahan, waktu pengeringan, dan penggunaan atau pencampuran dengan
bahanatau zat stimulan tertentu (Madbardo, 2010).
Penentuan kadar air cara metode oven biasa ini memilliki prinsip
menguapkan air dalam bahan dengan pemanasan, kemudian menimbang
bahan sampai berat konstan,yang berarti semua air sudah diuapkan. Cara ini
relatif mudah dan murah untuk dilakukan, metode oven ini digunakan
berdasarkan sifat bahan yang diuji dan metode oven ini biasa digunakan
untuk sampel uji yang bahan tersebut tidak banyak mengandung komponen
kimia lainnya yang bersifat mudah menguap (volatile). Metode oven biasa
tidak cocok digunakan untuk sampel uji yang banyak mengandung zat
yangmudah menguap, karena hasil uji akan lebih besar dari yang sebenarnya
(Winarno, 1984).
E. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum Acara I “Air” dapat disimpulkan bahwa:
1. Metode analisis termogravimetri adalah analisis dengan menguapkan air
yang ada dalam bahan dengan jalan pemanasan. Metode termogravimetri
biasa merupakan salah satu metode pemanasan langsung dalam penetapan
kadar air suatu bahan pangan. Dalam metode ini bahan dipanaskan pada
suhu tertentu sehingga semua air menguap yang ditunjukkan oleh berat
konstan bahan setelah periode pemanasan tertentu. Untuk menghitung
kadar air dapat dilakukan dengan analisis basis basah dan kering, dengan
cara selisish dari berat sampel basah kurangi berat sampel kering dibagi
dengan berat sampel basah untul basis basah, dan dibagi dengan sampel
kering untuk basis kering.
2. Dari hasil analisis dengan metode termogravimetri didapatkan hasil untuk
sampel tepung terigu cakra kembar dalam basis basah sebesar 12,60% dan
12,51%. Pada sampel tepung tapioka kadar air dalam basis basah sebesar
12,93% dan 14,03%. Pada sampel tepung maizena didapatkan hasil
12,19% dan 12,14%.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, Dr. Ir. Mochamad. 1982. Aktivitas air dan kerusakan bahan makanan.
Agritech. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Jalan Sosio
Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta.
Ahmadi dan Estiasih, Teti. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Jakarta: Bumi
Aksara.
Andarwulan N., Kusnandar F, dan Herawati D. 2011. Analisis Pangan. Jakarta
(ID): Dian Rakyat.
AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of the Association of Official
Analytical. Chemist, Washington.
Badan Standardisasi Nasional. 2011. Tepung. Standar Nasional Indonesia. SNI
3451: 2011
Day, R.A. dan A.L. Underwood. 1981. Analisa Kimia Kuantitatif Edisi Keempat.
Jakarta:Penerbit Erlangga
Fennema, O.R. Editor. 1996. Food Chemistry, 3 ed. Marcel Dekker. New York.
Henderson, S.M. 1952. A basic concept of equilibrium moisture content. Agric.
Eng. 33 (2): 29-32.
Kauffman, Gerald J. 2006. Imperviousness: a performance measure of a delaware
water resource protection area ordinance. Journal Of The American
Water Resources Association.
Kawiji dan Windi Atmaka. 2003. Pengaruh suhu dan lama pengeringan terhadap
kualitas tiga varietas jagung (Zea Mays L.). Jurnal Teknologi Hasil
Pertanian. Surakarta
Kenkel J. 2003. Analytical Chemistry for Technicians. CRC Press, LLC.
Kumalasari H. 2012. Validasi Metode Pengukuran Kadar Air Bubuk Perisa
Menggunakan Moisture Analyzer Halogen HB43-s sebagai Alternatif
Metode Oven dan Karl Fischer. [skripsi] Bogor (ID): IPB Press.
Kusnandar F. 2010. Kimia Pangan Komponen Makro. Jakarta (ID): Dian Rakyat.
Kusumah dan Andarwulan. 1989. Prinsip Teknologi Pangan. Jakarta: Rajawali
Press.
Labuza, T.P. 1982. Shelf Life Dating of Foods. Food and Nutrition Press.
Westport, Connecticut.
Legowo, A. M. dan Nurwanto. 2004. Analisis pangan. Diktat Kuliah. Program
Studi Teknologi Ternak. Fakultas Peternakan, UNDIP. Semarang. 54
hlm.
Madbardo. 2010. Pengertian pengujian organoleptik. Jurnal Pertanian. Vol.1(2)
Matz, S.A. 1984. Snack Food Technology. 2nd ed. The AVI Publishing Company.
Westport. Connecticut.
Muhammad Amin, Jaksen. 2015. Penuntuk Praktikum Teknologi Pangan.
Politeknik Negeri Sriwijaya. Palembang
Musfiroh, Tadkiroatun. 2005. Bermain sambil belajar dan mengasah kecerdasan.
Jakarta. Depdiknas.
Nadia, Lula. 2015. Analisis Kadar Air Bahan Pangan. Praktikum Kimia dan
Analisis Pangan
Nielsen, S.S. 2003. Food Analysis. 3rd ed. New York: Kluwer Academic/Plenum
Publishers.
Riyana, Cheppy. 2007. Ilmu Pangan. Jakarta: P3AI UPI.
Robertson, GL. 2010. Food Packaging and Shelf Life: A Pratical Guide. CRC
Press. Florida
Ruiz RP. 2005. Gravimetric Determination of Water by Drying and Weighing.
California (US): John Wiley & Sohn, Inc.
Sandulachi, E. 2012. Water activity concept and its role in food preservation.
Journal Internationa. Vol. 3(7): 40.
Simon, Peter dan Jiří Polavka. 2006. Thermooxidative degradation of dried milk
studied by non-isothermal thermogravimetry. Journal of Food and
Nutrition Research. Vol. 45(4) pp. 166-170.
Sudarmadji, S., Haryono, B., Suhadi. 1997. Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian. Yogyakarta: Liberty.
Sudarmadji, Slamet. dkk . 2007. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty
Yogyakarta.
Sudarmadji, Slamet., Bambang Haryono., dan Suhardi. 1989. Analisa Bahan
Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Sudarmadji, Slamet., Bambang Haryono., dan Suhardi. 2010. Analisa Bahan
Makanan dan Pertanian. Liberty Yogyakarta. Yogyakarta
Sumbono, A. 2010. Differential Scanning Calorimetry & Thermo-Gravimetric
Analysis. Universitas Sriwijaya. Palembang.
Sunaryo, E. 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor.
Syafriyudin dan Dwi Prasetyo Purwanto. 2009. Oven pengering kerupuk berbasis
mikrokontroler Atmega 8535 menggunakan pemanas pada industri
rumah tangga. Jurnal Teknologi. Vol. 2(1) Juni 2009. 70-79. Yogyakarta
Syarif, R. dan Halid, H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Penerbit Arcan.
Jakarta. Kerjasama dengan Pusat Antar Universitas Pangan Dan Gizi
IPB.
Tabrani. 1997. Teknologi Hasil Perairan. Riau: Universitas Islam Riau Press
Tien. 2010. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. CV Alfabeta. Bandung
Uitto, Juha I. 2002. Management of transboundary water resource: lesson from
internasional coorperation for conflict prevention. The Geographical
Journal. Vol 168(4) Hal: 365-370.
Waluyo, S. 2001. Teknik Pengolahan Hasil Pertanian 1. Penuntun Praktikum.
Fakultas Pertanian, UNILA. Lampung. 128 hlm.
Whistler, R.L., J.N. BeMiller dan E.F. Paschall. 1984. Starch: Chemistry and
Technology. Academic Press. Inc. Toronto. Tokyo.
Winarno FG. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Winarno, F. G. 1984. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: Embrio Press.
Zhu Y, Zou X, Shen T, Shi J, Zhao J, Holmes M, Li G. 2015. Determination of
total acid content and moisture content during solid-state fermentation
processes using hyperspectal imaging. Journal of Food Engineering. 10
(15): 1016-1019.
LAMPIRAN GAMBAR

Gambar 1.2 Pemasukkan ke desikator Gambar 1.3 Tutup Krus

Gambar 1.4 Pelepasan Tutup Gambar 1.5 Desikator

Gambar 1.6 Pendinginan di desikator Gambar 1.7 Hasil Sampel


LAMPIRAN PERHITUNGAN
Rumus:
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ−𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
% Air (db) = x 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ−𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
% Air (wb) = x 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑟𝑖𝑛𝑔
Berat kering = x 100%
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑠𝑎ℎ

a. Kadar Air (db)


2,0705−1,809
% db A1= x 100% =14,45%
1,809
2,0066−1,7555
% db A2 = x 100% = 14,30%
1,7555
2,0090−1,7493
% db B1 = x 100% = 14,85%
1,7493
2,0867−1,7939
% db B2 = x 100% = 14,65%
1,7939
2,0416−1,7927
% db C1 = x 100% = 13,884%
1,7927
2,0377−1,7903
% db C2 = x 100% = 13,83%
1,7903

b. Kadar Air (wb)


2,0705−1,809
% wb A1 = x 100% = 12,60%
2,0705
2,0066−1,7555
% wb A2 = x 100% = 12,51%
2,0066
2,0090−1,7493
% wb B1 = x 100% = 12,92%
2,0090
2,0867−1,7939
% wb B2 = x 100% = 14,03%
2,0867
2,0416−1,7927
% wb C1 = x 100% = 12,19%
2,0416
2,0377−1,7903
% wb C2 = x 100% = 12,14%
2,0377

c. % Berat Kering
1,809
A1 = 2,0705 x 100% = 87,38%
1,7555
A2 = x 100% = 87,49%
2,0066
1,7493
B1 = x 100% = 87,07%
2,0090
1,7939
B2 = x 100% = 85,96%
2,0867
1,7927
C1 = x 100% = 87,80%
2,0416
1,7903
C2 = x 100% = 87,85%
2,0377
LAPORAN PRAKTIKUM

ANALISIS PANGAN

ACARA I

Disusun Oleh:

Nama : Kartika Keksi Nirwesthi


NIM : H3117043
Kelompok : 10

TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2018

Anda mungkin juga menyukai