Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif
pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas
mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang
berpengaruh terhadap taraf kualitas hidup pasien.( Stahl,S.M., 2ed, 2002)
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif
pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dengan mempengaruhi fungsi-fungsi psikis dan
proses mental.( Schatzberg,A.F., 2001)
Golongan obat psikofarmaka yang banyak dipergunakan adalah obat
antipsikosis, obat anti mania dan obat antidepresi. Penggunaan jenis obat ini perlu
pengawasan yang ketat karena seringkali menimbulkan efek samping seperti
ketergantungan psikologis dan fisik yang dapat mengakibatkan keracunan obat,
depresi dan kehilangan sifat menahan diri, gangguan paru-paru, gangguan
psikomotoris dan iritatif (mudah marah, gelisah dan ansietas bila obat dihentikan).
Oleh sebab itu, banyak variable yang melekat pada praktek psikofarmakologi,
termasuk pemilihan obat, peresepan, pemberian, arti psikodinamika bagi pasien
dan pengaruh keluarga serta lingkungan.
Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa golongan, diantaranya: anti-
psikosis, anti-depresi, anti-mania, anti-ansietas, anti-insomnia, anti-panik, dan anti
obsesif-kompulsif,.Dalam tulisan ini khususnya akan dibahas mengenai anti-
psikotik, anti-depresan, anti-ansietas dan anti-mania (mood stabilizer).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1
2.1. OBAT ANTI-PSIKOSIS

Anti-psikosis disebut juga neuroleptic, dahulu dinamakan major


transquilizer. Salah satunya adalah chlorpromazine (CPZ), yang diperkenalkan
pertama kali tahun 1951 sebagai premedikasi dalam anastesi akibat efeknya
yang membuat relaksasi tingkat kewaspadaan seseorang. CPZ segera
dicobakan pada penderita skizofrenia dan ternyata berefek mengurangi delusi
dan halusinasi tanpa efek sedatif yang berlebihan.
Pada umumnya obat antipsikosia dipakai terhadap :
 Sindrom otak organik yang akut dan menahun, misalnya pada delirium
 Skizofrenia, psikosis manik-depresf jenis mania, parafrennia involusi dan
psikosis reaktif (kecuali terhadap psikosis depresi reaktif)
 Gangguan non-psikiatrik: misalnya (hiper-)emesis, alergi dan untuk
potensiasi suatu analgetikum.

A. Penggolongan obat anti-psikosis


No Golongan Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis
anjuran
I. ANTIPSIKOSIS TIPIKAL
1. Phenothiazine
a. Rantai Aliphatic Chlorpromazine Chlorpromazine Tab. 25- - PO:
( largactil) (indofarma) 100 mg 150 - 600
Promacil Tab. 100
mg/h
(combhifar) mg
- IM:
Meprosetil Tab. 100 50-100mg
(meprofarm) mg setiap 4-6
Amp.50m jam
g/2cc
b. Rantai Perfenazine Perfenazine Tab. 4 mg 12 - 24
Piperazine (indofarma) mg/hari
Trifalon Tab 2- 4
(Schering) -8 mg
Trifluoperazine Stelazine Tab. 1 - 5 10 -15
(GlaxoSmith- mg mg/hari
kline)

2
Fluphenazine Anatensol Tab. 2,5 - 10 - 15
(B-M Squibb) 5 mg mg/hari
Fluphenazine Modecate Vial 25 25 mg (IM)
deconoate (B-M Squibb) mg/cc setiap 2 - 4
mgg
c. Rantai Thioridazine Melleril Tab.50 150-300
Piperidine (Novartis) -100mg mg/hari

2. Buthirophenon Haloperidol Haloperidol Tab. 0,5 - - PO:


5-15mg/h
(indofarma) 1,5
- IM:
- 5mg 5-10mg
setiap 4-
Dores Cap. 5 mg
6jam
(pyridam) Tab. 1,5 - 50mg
mg setiap 2-4
Serenace Tab. 0,5 minggu
(pfizer- -1,5 - 5
pharmacia) mg
Liq. 2
mg/ml
Amp.50
mg/cc
Haldol Tab. 2 - 5
(jansen) mg

Govotil Tab. 2 - 5
(Guarian- mg
pharmacia)
Lodomer Tab. 2 - 5
(Mersifarma) mg
Amp. 5
mg/cc
Haldol decanoas Amp.
(Janssen) 50mg/cc
3. Diphenil- pimozide Orap forte Tab. 4 mg 2–4
buthilpiperidine (janssen) mg/hari

3
II. ANTIPSIKOSIS ATIPIKAL
1. Benzamide Supiride Dogmatil Foerte Tab. 300 -
(Delagrange) 200mg 600mg/h
Amp. 3-6
100mg/2c amp/hari IM
c
2. Dibenzodiazapi Clozapine Clozaril Tab. 25 – 25-
ne (Novartis) 100 mg 100mg/hari
Sizoril
(Meprofarm) Tab. 25-
100mg
Olanzapine Ziprexa Tab. 5- 10-
10mg 20mg/hari
Quetiapine Seroquel Tab. 25 – 50-
(Astra Zeneca) 100 100mg/hari
- 200mg
Zotepine Lodopin Tab. 25 - 75-
(Kalbe Farma) 50mg 100mg/hari
3. Benzisoxxazole Risperidone Risperidone Tab. 1 - 2 - PO:
2–6
(Dexamedica) - 3mg
Risperdal Tab. 1 - 2 mg/hari
- IM :
(Janssen) - 3mg
Risperdal consta Vial 25 -
50mg/cc
Neripros Tab. 1 - 2
(Pharos) - 3mg
Persidal Tab. 1 - 2
(Mersifarma) - 3mg
Rizodal Tab. 1-2-
(Guardian- 3mg
pharmatama)
Zopredal Tab. 1-2-
(Kalbefarma) 3mg
Aripiprazole Abilify (Otsuka) Tab. 5 – 10- 15
10 – 15 mg/hari
mg

B. Mekanisme Kerja

4
Hipotesis : Sindrom psikosis terjadi berkaitan dengan aktivitas
neurotransmitter Dopamine yang mengikat. (Hiperreaktivitas
sistem dopaminergik sentral)
Mekanisme kerja obat anti-psikosis tipikal adalah memblokade Dopamine
pada reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbik dan
sistem ekstrapiramidal (dopamine D2 receptor antagonist). Sedangkan obat
anti-psikosis yang baru (atipikal) disamping berafinitas terhadap “Dopamine
D2 Receptors”, juga terhadap “Serotonine 5 HT Receptors” (Serotonine-
dopamine antagonist).

C. Indikasi
Pada semua jenis psikosa dimana gejala sasaran adalah sindrom
psikosis. Sindrom psikosis dapat terjadi pada sindrom psikosis fungsional
(skizofrenia, psikosis paranoid, psikosis afektif, psikosis reaktif singkat,
dll) dan sindrom psikosis organik (sindrom delirium, demensia, intoksikasi
alkohol, dll). Butir-butir diagnosis sindrom psikosis antara lain:
 Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (reality testing
ability), bermanifestasi dalam gejala: kesadaran diri (awareness) yang
terganggu, daya nilai norma social (judgement) terganggu, dan daya
tilikan (insight) terganggu.
 Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam
gejala positif: gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikiran yang
tidak wajar (waham), gangguan persepsi (halusinasi), gangguan
perasaan (tidak sesuai dengan situasi), perilaku yang aneh atau tidak
terkendali (disorganized), dan gejala negative: gangguan perasaan
(afek tumpul, respons emosi minimal), gangguan hubungan social
(menarik diri, pasif, apatis), gangguan proses piker (lambat,
terhambat), isi pikiran yang stereotip dan tidak ada inisiatif, perilaku
yang sangat terbatas dan cenderung menyendiri (abulia).
 Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi
dalam gejala: tidak mampu bekerja, menjalin hubungan social dan
melakukan kegiatan rutin

D. Cara Penggunaan

5
Umumnya dikonsumsi secara oral, yang melewati “first-pass
metabolism” di hepar. Beberapa diantaranya dapat diberikan lewat injeksi
short-acting Intramuscular (IM) atau Intra Venous (IV), Untuk beberapa
obat anti-psikosis (seperti haloperidol dan flupenthixol), bisa diberikan
larutan ester bersama vegetable oil dalam bentuk “depot” IM yang
diinjeksikan setiap 1-4 minggu. Obat-obatan depot lebih mudah untuk
dimonitor. Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala
psikosis yang dominan dan efek samping obat. Penggantian obat
disesuaikan dengan dosis ekivalennya. Apabila obat psikosis tertentu tidak
memberikan respon klinis dalam dosis optimal setelah jangka waktu
memadai, dapat diganti dengan obat anti-psikosis lainnya. Jika obat anti-
psikosis tersebut sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek sampingnya
dapat ditolerir dengan baik, dapat dipilih kembali untuk pemakaian
sekarang. Dalam pemberian dosis, perlu dipertimbangkan:
 Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu
 Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2-6 jam
 Waktu paruh 12-24 jam (pemberian 1-2 kali perhari)
 Dosis pagi dan malam berbeda untuk mengurangi dampak efek
samping, sehingga tidak menganggu kualitas hidup pasien
Mulailah dosis awal dengan dosis anjuran  dinaikkan setiap 2-3
hari  hingg dosis efektif (sindroma psikosis reda)  dievaluasi setiap 2
minggu dan bila perlu dinaikkan  dosis optimal  dipertahankan sekitar
8-12 minggu (stabilisasi)  diturunkan setiap 2 minggu  dosis
maintenance  dipertahankan selama 6 bulan – 2 tahun (diselingi drug
holiday 1-2 hari/minggu  tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu)
 stop.
Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang
”multiepisode”, terapi pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit
selama 5 tahun. Pemberian yang cukup lama inidapat menurunkan derajat
kekambuhan 2,5-5 kali. Pada umumnya pemberian obat anti-psikosis
sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah semua
gejala psikosis mereda sama sekali.
Obat anti-psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat
walaupun diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi

6
ketergantungan sangat kecil. Jika dihentikan mendadak timbul gejala
cholinergic rebound, yaitu: gangguan lambung, mual, muntah, diare,
pusing, gemetar dan lain-lain dan akan mereda jika diberikan
anticholinergic agents (injeksi sulfas atropine 0,25 mg IM dan tablet
trihexylfenidil 3x2 mg/hari). Obat anti-psikosis parenteral berguna untuk
pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat atau tidak efektif
dengan medikasi oral

E. Interaksi Obat
 Antipsikosis diberikan bersama antipsikosis lain memiliki potensiasi
efek samping obat dan tidak ada bukti lebih efektif (tidak ada efek
sinergis antara 2 obat antipsikosis).
 Antipsikosis diberikan bersama antidepresan trisiklik akan
memberikan peningkatan efek samping antikolinergik.
 Antipsikosis diberikan bersama antianxietas akan meningkatkan efek
sedasi, bermanfaat untuk kasus dengan gejala dan gaduh gelisah yang
sangat hebat (acute adjunctive therapy)
 Antipsikosis diberikan bersama Electro Convulsive Therapy (ECT),
dianjurkan tidak memberikan obat antipsikosis pada pagi hari sebelum
dilakukan ECT karena memiliki angka mortalitas yang tinggi.
 Antipsikosis diberikan bersama antikonvulsan memiliki ambang
konvulsi yang menurun, kemungkinan serangan kejang meningkat,
oleh karena itu dosis antikonvulsan harus lebih besar (dose-related).
Yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah obat
antipsikosis haloperidol.
 Antipsikosis diberikan bersama antasida memberikan efektifitas obat
antipsikosis yang menurun disebabkan gangguan absorpsi.

F. Kontraindikasi
 Penyakit hati (hepatotoksik)
 Penyakit darah (hematotoksik)
 Epilepsi (menurunkan ambang kejang)
 Kelainan jantung (menghambat irama jantung)
 Febris yang tinggal (thermoregulator di SSP)
 Ketergantungan alkohol (penekanan SSP meningkat)

7
 Penyakit SSP (Parkinson, tumor otak, dll)
 Gangguan kesadaran disebabkan “CNS-depressant” (kesadaran
makin memburuk)

G. Efek samping
Tergantung pada sensitivitas dan keadaan tubuh pasien, terhadap benyak
macam efek samping yang mungkin timbul karena obat psikotropik,
terutama karena obat anti psikosis. Efek samping obat anti-psikosis dapat
berupa:
 Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan
berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif
menurun).
 Gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik:
mulut kering, kesulitan miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata
kabur, TIO meningkat, gangguan irama jantung).
 Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akatisia, sindrom
parkinson: tremor, bradikinesia, rigiditas).
 Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynecomastia), metabolik
(jaundice), hematologik (agranulositosis), biasanya untuk pemakian
jangka panjang.

2.2 OBAT ANTI-DEPRESI


Sinonim antidepresan adalah thimoleptika atau psikik energizer.
Umumnya yang digunakan sekarang adalah dalam golongan trisiklik
(misalnya imipramin, amitriptilin, dothiepin dan lofepramin).
A. Penggolongan Antidepresan
No. Golongan Obat Sediaan Dosis Anjuran

1. Trisiklik Amitriptilin Tablet 25 mg 75-150 mg/hari


(TCA)
Imipramin Tablet 25 mg 75-150 mg/hari

2. SSRI Sentralin Tablet 50 mg 50-150 mg/hari

8
Fluvoxamin Tablet 50 mg 50-100 mg/hari

Fluoxetin Kapsul 20 mg 20-40 mg/hari

Kaplet 20 mg
Paroxetin Tablet 20 mg 20-40 mg/hari

3. MAOI Moclobemide Tab 150 mg 300-


600mg/hari
4. Atypical Mianserin Tablet 10, 30 mg 30-60 mg/hari

Trazodon Tab 50 mg, 100 75-150 mg/hari


mg dosis terbagi
Maprotilin Tab 10, 25, 50, 75-150 mg/hari
75 mg dosis terbagi

B. Mekanisme kerja
Hipotesis: Sindrom depresi disebabkan oleh defisit relatif salah satu atau
beberapa ”aminergic neurotransmitter” (noradrenaline,
serotonin. Dopamine) pada sinaps neuron di SSP (khususnya
pada sistem ,limbik).
Mekanisme kerja obat Anti-depresi adalah:
 Menghambat ”re-uptake aminergic neurotransmitter”
 Menghambat penghancuran oleh enzim ”Monoamine Oxidase”
Sehingga terjadi peningkatan jumlah ”aminergic neurotransmitter” pada
sinap neuron di SSP

C. Indikasi
Digunakan untuk sindrom depresi. Butir-butir diagnostic Sindrom
Depresi:
 Selama paling sedikit 2 minggu dan hampir setiap hari mengalami:
1. Afek depresi
2. Hilang minat dan rasa senang
3. Kurang tenaga hingga mudah lelah dan kendur kegiatan

9
 Keadaan diatas disertai gejala-gejala:
1. Penurunan konsentrasi pikiran dan perhatian
2. Pengurangan rasa harga diri dan percaya diri
3. Pikiran perihal dosa dan diri tidak berguna lagi
4. Pandangan suram dan pesimis terhadap masa depan
5. Gagasan atau tindakan mencederai diri/bunuh diri
6. Gangguan tidur
7. Pengurangan nafsu makan
Kadang berguna juga juga pada penderita ansietas fobia, obsesif-
kompulsif, dan mencegah kekambuhan depresi.

D. Cara penggunaan
Umumnya bersifat oral, sebagian besar bisa diberikan sekali sehari
dan mengalami proses first-pass metabolism di hepar. Respon anti-
depresan jarang timbul dalam waktu kurang dari 2-6 minggu. Untuk
sindroma depresi ringan dan sedang, pemilihan obat sebaiknya mengikuti
urutan:
Langkah 1 : Golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor)
Langkah 2 : Golongan tetrasiklik (TCA)
Langkah 3 : Golongan tetrasiklik, atypical, MAOI (Mono Amin Oxydase
Inhibitor) reversibel.
Pertama-tama menggunakan golongan SSRI yang efek sampingnya
sangat minimal (meningkatkan kepatuhan minum obat, bisa digunakan
pada beberapa kondisi medik), spektrum efek anti-depresi luas, dan gejala
putus obat sangat minimal, serta ”lethal dose” yang tinggi (>6000 mg)
sehingga relatif aman. Bila telah diberikan dengan dosis yang adekuat
dalam jangka waktu yang cukup (sekitar 3 bulan) tidak efektif, dapat
beralih ke pilihan kedua, golongan trisiklik yang spektrum anti-depresinya
juga luas tetapi efek sampingnya relatif lebih berat. Bila pilihan kedua
belum berhasil, dapat beralih ketiga dengan spektrum anti-depresi yang
lebih sempit dan juga efek sampingnya lebih ringan dibandingkan Trisiklik
yang teringan adalah golongan MAOI reversibel. Disamping itu juga
dipertimbangkan bahwa pergantian SSRI ke MAOI membutuhkan waktu
2-4 minggu istirah untuk ”washout period”.

10
Pengaturan dosis perlu mempertimbangkan onset effek primer
(sekitar 2-4 mingggu), onset efek sekunder (sekitar 12-24 jam), dan waktu
paruh (12-48 jam). Obat diberikan dalam 5 tahap, yaitu inisial untuk
mencapai dosis efektif (optimal), dosis stabilisasi yang dipertahankan
selama 2-3 bulan, dosis pemeliharaan sebesar ½ dosis optimal yang
dipertahankan selama 3-6 bulan, dan dosis tapering dimana selama 1 bulan
dois diturunkan hingga akhirnya dihentikan.

E. Interaksi Obat
- Trisiklik + Haloperidol/fenotiazin akan Mengurangi kecepatan
ekspresi dari trisiklik (kadar plasma meningkat). Terjadi potensiasi
efek antikolinergik.
- SSRI/TCA + MAOI dapat menyebabkan Serotonin Malignant
Syndrome dengan gejala berupa gastrointestinal distress (mual,
muntah, diare), agitasi (mudah marah, ganas), restlessness (gelisah),
gerakan kedutan otot, dan lain-lain.
- MAOI + obat-obatan simpatomimetik (misalnya fenilpropalamin,
pseudoefedrin pada obat flu/asma, noradrenalin pada anestesi lokal,
derivate amfetamin, i-dopa) dapat menyebabkan efek potensiasi yang
dapat menjurus ke krisis hipertensi (acute paroxysmal hypertension),
dimana ada resiko terjadinya serangan stroke.
- MAOI + senyawa yang mengandung tyramine (keju, anggu, dll) dapat
menyebabkan krisis hipertensi dengan resiko serangan stroke pada
pasien usia lanjut.
- Obat antidepresi + depresan CNS (misalnya morfin, bezodiazapin,
alcohol, dan lain-lain) akan menyebabkan potensiasi efek sedasi dan
penekanan terhadap pusat napas risiko timbulnya “respiratory failure”.

F. Kontra Indikasi
 Penyakit jantung koroner, MCI, khususnya pada usia lanjut
 Glaukoma, retensi urin, hipertrofi prostat, gangguan fungsi hati,
epilepsi
 Pada penggunaan obat Lithium, kelainan fungsi jantung, ginjal dan
kelenjar thyroid

11
 Wanita hamil dan menyusui tidak dianjurkan menggunaan TCA, resiko
teratogenik besar (khususnya trismester 1) dan TCA dieksresikan
melalui ASI

G. Efek samping
Efek samping obat antidepresan terbagi atas: (1) efek antikolinergik:
mulut kering, mata kabur, konstipasi, TIO meningkat, retensi urin,
hipotensi postural, dll; (2) efek susunan saraf pusat: pusing, kelelahan,
bingung, tremor, kejang,dll; (3) kardiovaskuler: hipotensi, takikardia sinus,
aritmia, konduksi atrioventrikuler terganggu; (4) hematologis: depresi
summsum tulang, leukopenia, agranulositosis, anemia hemolitik,
trombositopenia; dan (5) lain-lain: hipo-atau hipertermia, gangguan
pernapasan, gangguan linido, keluhan gastrointestinal, gangguan fungsi
hepar.
Jika pemberian telah mencapai dosis toksik timbul atropine toxic
syndrome dengan gejala eksitasi SSP, hiperpireksia, hipertensi, konvulsi,
delirium, confusion dan disorientasi.
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasinya:
 Gastric lavage.
 Diazepam 10 mg IM untuk mengatasi konvulsi.
 Postigmin 0,5-1 mg IM untuk mengatasi efek antikolinergik, dapat
diulangi setiap 30-40 menit hingga gejala mereda.
 Monitoring EKG

2.3 OBAT ANTIMANIA


Obat anti mania mempunyai beberapa sinonim antara lain mood
modulators, mood stabilizers dan antimanik. Dalam membicarakan obat
antimania yang menjadi acuan adalah litium karbonat.

A. Penggolongan Antimania
Nama Generik Nama Sediaan Dosis Anjuran
Dagang

12
Lithium Frimania Tablet 200-300- 250-500 mg/hari
Carbonate 400-500 mg

Haloperidol Haloperidol Tablet 0,5-1,5-5 4,5-15 mg/hari


mg

Haldol Tablet 0,5-2-5


mg 5 mg (im) setiap 2 jam,
max 100mg/hari
Serenace Tablet 0,5-1,5-5
mg
Liq. 2mg/ml
Amp 5 mg/cc
Carbamazepine Tegretol Tab 200 mg 400-600 mg/hari

Valproic acid Depakene Syrup 250 3x250 mg/hari


mg/5ml
Divalproex Depakote Tablet 250 mg 3x250 mg/hari

B. Mekanisme kerja
Lithium Carbonate merupakan obat pilihan utama untuk meredakan
Sindrom mania akut atau profilaksis terhadap serangan Sindrom mania
yang kambuhan pada gangguan afektif bipolar.
Hipotesis: Efek anti-mania dari Lithium disebabkan kemampuannya
mengurangi ”dopamine receptor supersensitivity”, meningkatnya
”cholinergic-muscarinic activity”, dan menghambat ”cyclic AMP
(adenosine monophosphate) dan phosphoinositides”.

C. Indikasi
Gejala sasaran: Sindrom mania. Butir-butir diagnostik terdiri dari:
 Dalam jangka waktu paling sedikit satu minggu hampir setiap hari
terdapat keadaan afek (mood, suasana perasaan) yang meningkat,
ekspresif dan iritabel.
 Keadaan tersebut paling sedikit 4 gejala berikut:
1. Peningkatan aktivitas (ditempat kerja, dalam hubungan sosial atau
seksual), atau ketidak-tenangan fisik

13
2. Lebih banyak bicara dari lazimnya ataun adanya dorongan untuk
bicara terus menerus
3. Lompat gagasan (flight of ideas) atau penghayatan subjektif bahwa
pikirannya sedang berlomba
4. Rasa harga diri yang melambung (grandiositas, yang dapat bertaraf
sampai waham/delusi)
5. Berkurangnya kebutuhan tidur
6. Mudah teralih perhatian, yaitu perhatiannya terlalu cepat tertarik
kepada stimulus luar yang tidak penting
7. Keterlibatan berlebihan dalam aktivitas-aktivitas yang mengandung
kemungkina resiko tinggi dengan akibat yang merugikan apabila
tidak diperhitungkan secara bijaksana.

D. Cara Penggunaan
Pada mania akut diberikan haloperidol IM dan tablet litium karbonat.
Lithium Carbonate mempunyai efek anti mania yang timbul setelah
penggunaan 7 – 10 hari. Pada gangguan afektif bipolar dengan serangan
episodik mania depresi diberi litium karbonat sebagai obat profilaks. Dapat
mengurangi frekwensi, berat dan lamanya suatu kekambuhan.
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan: (1) onset efek
primer (efek klinis): 7-10 hari (1-2 minggu), (2) rentang kadar serum
terapeutik: 0,8-1,2 mEq/L (dicapai dengan dosis sekitar 2 atau 3x500 mg
per hari), (3) kadar serum toksik: diatas 1,5 mEq/L.
Litium diberikan dalam dosis terbagi untuk mencapai kadar yang
dianggap aman. Biasanya preparat litium yang digunakan adalah “lithium
carbonate”, mulai dengan dosis 250-500 mg/h, diberikan 1-2 kali sehari
dinaikkan 250 mg/h setiap minggu, diukur serum litium setiap minggu
sampai diketahui kadar serum litium berefek klinis terapeutik (0,8-1,2
mEq/L). Biasanya dosis efektif dan optimal berkisar 1000-1500 mg/h.
dipertahankan sekitar 2-3 bulan, kemungkinan diturunkan menjadi “dosis
maintenance”, konsentrasi litium yang dianjurkan untuk mencegah
kekambuhan (profilaksis) berkisar antara 0,5-0,8 mEq/L, ini sama
efektifnya bahkan lebih efektif dari kadar 0,8-1,2 mEq/L, dan juga untuk
mengurangi insidensi dari efek samping dan resiko intoksikasi. Dosis awal

14
harus lebih rendah pada pasien usia lanjut atau pasien dengan gangguan
fisik yang mempengaruhi fungsi ginjal.
Lama penggunaan untuk ”Sindrom mania akut” setelah gejala-gejala
mereda, Lithium carbonate harus diteruskan sampai lebih dari 6 bulan,
dihentikan secara gradual (tapering off) bila memang tidak ada indi,kasi
lagi. Pada “gannguan afektif bipolar dan unipolar” penggunaan harus
diteruskan sampai beberapa tahun, sesuai dengan indikasi profilaksis
serangan sindrom mania/depresi. Penggunaan jangka panjang ini
sebaiknya dalam dosis minimum.

E. Interaksi Obat
 Lithium + diuretik Thiazide dapat meningkatkan konsentrasi serum
lithium sebanyak 50% sehingga resiko intoksikasi menjadi besar. Jadi
dosis Lithium harus dikurangi 50% agar tidak terjadi intoksikasi.
Sedangkan loop diuretik seperti furosemide kurang mempengaruhi
konsentrasi lithium.
 ACE inhibitor + Lithium dapat meningkatkan konsentrasi serum
lithium sehingga menimbulkan gejala intoksikasi.
 Haloperidol + Lithium menyebabkan efek neurotoksis bertambah
(diskinesia, ataksia), tetapi efek neurotoksis tidak tampak pada
penggunaan kombinasi litium dengan haloperidol dosis rendah (kurang
dari 20 mh/h). Keadaan yang sam untuk Lithium + Carbamazepine.
 NSAID + Lithium dapat meningkatkan konsentrasi serum lithium
sehingga resiko intoksikasi menjadi besar.

F. Kontra Indikasi
Wanita hamil karena bersifat teratogenik. Lithium dapat melalui
plasenta dan masuk peredaran darah janin, khususnya mempengaruhi
kelenjar tiroid.

G. Efek samping
 Efek samping Lithium berhubungan erat dengan dosis dan kondisi fisik
pasien.

15
 Gejala efek samping pada pengobatan jangka lama: mulut kering, haus,
gastrointestinal distress (mual, muntah, diare, feses lunak), kelemahan
otot, poliuria, tremor halus (fine tremor, lebih nyata pada pasien usia
lanjut dan penggunaan bersamaan dengan neuroleptika dan
antidepresan) Tidak ada efek sedasi dan gangguan akstrapiramidal.
 Efek samping lain : hipotiroidisme, peningkatan berat badan,
perubahan fungsi tiroid, edema pada tungkai metalic taste, leukositosis,
gangguan daya ingat dan kosentrasi pikiran
 Gejala intoksikasi
- Gejala dini : muntah, diare, tremor kasar, mengantuk, kosentrasi
pikiran menurun, bicara sulit, pengucapan kata tidak jelas,
berjalan tidak stabil.
- Dengan semakin beratnya intoksikasi terdapat gejala: kesadaran
menurun, oliguria, kejang-kejang
- Penting sekali pengawasan kadar lithium dalam darah
 Faktor predisposisi terjadinya intoksikasi lithium :
- Demam (berkeringat berlebihan)
- Diet rendah garam
- Diare dan muntah-muntah
- Diet untuk menurunkan berat badan
- Pemakaian bersama diuretik, antireumatik, obat anti inflamasi
nonsteroid
 Tindakan mengatasi intoksikasi lithium :
- Mengurangi faktor predisposisi
- Diuresis paksa dengan garam fisiologis NaCl diberikan secara IV
sebanyak 10 ml
 Tindakan pencegahan intoksikasi lithium dengan edukasi tentang
faktor predisposisi, minum secukupnya, bila berkeringat dan diuresis
banyak harus diimbangi dengan minum lebih banyak, mengenali gejala
dan intoksikasi dan kontrol rutin.

2.4. OBAT ANTI ANXIETAS


Obat anti-ansietas mempunyai beberapa sinonim, antara lain
psikoleptik, transquilizer minor dan anksioliktik. Obat anti-cemas, juga

16
dikenal sebagai obat penenang, ada obat yang meredakan kecemasan dengan
memperlambat sistem saraf pusat. obat anti-kecemasan yang paling banyak
jenis obat resep untuk kecemasan. Mereka juga ditetapkan sebagai pil tidur
dan relaksan otot. Benzodiazepines adalah kelas yang paling umum dari obat
anti-kecemasan. Mereka termasuk: Xanax (alprazolam), Klonopin
(clonazepam), Valium (diazepam) , Ativan (lorazepam).

A. Penggolongan obat anti-anxietas

Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran


Benzodiazepin Diazepam Tablet 2-5 mg Peroral 10-30
mg/hari, 2-3x/hari
parental IV/IM
2-10 mg/kali, setiap
3-4 jam
Klordiazepoksoid Tablet 5 mg 15-30 mg/hari
Kapsul 5 mg 2-3 x/hari
Lorazepam Tablet 0,5-2 mg 2-3x 1 mg/hari
Clobazam Tablet 10 mg 2-3x 10 mg/hari
Brumazepin Tablet 1,5-3-6 mg 3x1,5 mg/hari
Oksazolom Tablet 10 mg 2-3x 10 mg/hari
Klorazepat Capsul 5-10 mg 2-3x 5 mg/hari

Alprazolam Tablet0,25-0,5-1 mg 3x 0,25-0,5 mg/hari

Prazepam Tablet 5 mg 2-3x 5 mg/hari


Non Sulprid Capsul 50 mg 100-200 mg/hari
Benzodiazepin Buspiron Tablet 10 mg 15-30 mg/hari

B. Mekanisme kerja
Sindrom ansietas disebabkan hiperaktivitasndari sistem limbik yang
terdiri dari dopaminergic, nonadrenergic, seretonnergic neuron yang
dikendalikan oleh GABA-ergic yang merupakan suatu inhibitory
neurotransmitter. Obat antiansietas benzodiazepine yang bereaksi dengan
reseptornya yang akan meng-inforce the inhibitory action of GABA
neuron, sehingga hiperaktivitas tersebut mereda.

17
C. Indikasi
Gejala sasaran: Sindom Anxietas. Butir diagnostik terdiri dari:
adanya perasaan cemas atau khawatir yang tidak realistik terhadap 2 atau
lebih hal yang dipersepsi sebagai ancaman, perasaan ini menyebabkan
individu tidak mampu istirahat dengan tenang. Sindrom anxietas dapat
terjadi pada:
 Psikis: Gangguan anxietas umum, gangguan panik, gangguan fobik,
gangguan obsesif kompulsif
 Organik: Hipertiroid, pheochromocytosis
 Situasional: Gangguan penyesuaian + anxietas, gangguan cemas
perpisahan
 Penyerta: Gangguan jiwa +ansietas (skizofrenia, gg.paranoid, dll),
Penyakit fisik + ansietas (stroke,MCI, kanker, dll)

D. Cara Penggunaan
 Benzodiazepine memiliki rasio terapetik yang tinggi sebagai anti
ansietas dan kurang menimbulkan adiksi dengan toksisitas yang rendah
dibandingkan dengan meprobamate atau fenobarbital.
 Benzodiazepine sebagai “drug of choice” karena memiliki spesifisitas,
potensi dan kemanannya.
 Spectrum klinis benzodiazepine memliputi efek anti ansietas
(lorazepam, clobazam, bromazepam), antikonvulsan, anti insomnia
(nitrazepam/flurazepam), dan premedikasi tingkat operatif
(midazolam).
 Efek klinis terlihat bila kadar obat dalam darah telah mencapai “steady
state” dimana dapat dicapai 5-7 hari dengan dosis 2-3 kali sehari.
Onset of action cepat dan langsung memberikan efek.
 Mulai dengan dosis awal (dosis anjuran) kemudian dinaikkan dosis
setiap 3-5 hari sampai mencapai dosis optimal. Dosis ini dipertahankan
2-3 minggu. Kemudian diturunkan 1/8 x dosis awal setiap 2-4 minggu
sehingga tercapai dosis pemeliharan. Bila kambuh dinaikkan lagi dan
tetap efektif pertahankan 4-8 minggu.
 Pemberian obat tidak boleh lebih dari 1-3 bulan dan penghentian
selalu secara bertahap.

18
E. Interaksi Obat
 Benzodiazepine + CNS depressants (fenobarbital, alkohol, obat anti
psikosis, anti depresi, opiate) memiliki potensiasi efek sedasi dan
penekanan pusat nafas, resiko timbulnya “respiratory failure”.
 Benzodiazepine + CNS stimultan (amfetamin, kafein, appetite
suppressants) akan memiliki antagonism efek anti ansietas, sehingga
efek benzodiazepine menurun
 Benzodiazepine + neuroleptika memiliki manfaat efek klinis dari
benzodiazepine mengurangi kebutuhan dosis neuroleptika, sehingga
risiko efek samping neuroleptik berkurang.

F. Kontra Indikasi
Pasien dengan hipersensitif terhadap benzodiazepin, glaukoma,
miastenia gravis, insufisiensi paru kronik, penyakit ginjal dan penyakit hati
kronik. Pada pasien usia lanjut dan anak dapat terjadi reaksi yang berlawanan
(paradoxal reaction) berupa kegelisahan, iritabilitas, disinhibisi, spasitas otot
meningkat dan gangguan tidur. Efek teratogenik (khususnya pada trismester I)
berkaitan dengan obat golongan benzodiazepine yang dapat melewati plasenta
dan mempengaruhi janin.

G. Efek samping
Efek samping untuk golongan anxietas, khususnya benzodiazepine,
adalah: (1) reaksi yang lazim: kelelahan, mengantuk, ataksia;(2) reaksi
yang jarang terjadi: konstipasi, inkontinensia, retensia urin, mata kabur,
disartria, nausea, mulut kering, tremor, ruam kulit;(3) efek paradoksikal:
kebingungan, depresi, nyeri kepala, perubahan libido, vertitgo gangguan
memori, dll.
Potensi menimbulkan ketergantungan obat disebabkan oleh efek obat
yang masih dapat dipertahankan setelah dosis terakhir, berlangsung sangat
singkat. Penghentian obat secara mendadak akan menimbulkan gejala putus
obat (rebound phenomena) dimana pasien menjadi iritabel, bingung,
gelisah, insomnia, tremor, palpitasi, keringat dingin, konvulsi dan lain-lain.
Untuk mengurangi resiko ketergantungan obat, maksimum lama pemberian
selama 3 bulan (100 hari) dalam rentang dosis terapeutik.

19
BAB III
PENUTUP

Golongan obat psikofarmaka yang banyak dipergunakan adalah obat


antipsikosis, obat anti mania dan obat antidepresi. Penggunaan jenis obat ini perlu
pengawasan yang ketat karena seringkali menimbulkan efek samping seperti
ketergantungan psikologis dan fisik yang dapat mengakibatkan keracunan obat,
depresi dan kehilangan sifat menahan diri, gangguan paru-paru, gangguan
psikomotoris dan iritatif (mudah marah, gelisah dan ansietas bila obat dihentikan).
Oleh sebab itu, banyak variable yang melekat pada praktek psikofarmakologi,
termasuk pemilihan obat, peresepan, pemberian, arti psikodinamika bagi pasien dan
pengaruh keluarga serta lingkungan.
Psikofarmaka atau obat psikotropik adalah obat yang bekerja secara selektif
pada Sistem Saraf Pusat (SSP) dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental
dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh terhadap
taraf kualitas hidup pasien.
Obat psikotropik dibagi menjadi beberapa golongan, diantaranya: antipsikosis,
anti-depresi, anti-mania, anti-ansietas, anti-insomnia, anti-panik, dan anti obsesif-
kompulsif,. Pembagian lainnya dari obat psikotropik antara lain: transquilizer,
neuroleptic, antidepressants dan psikomimetika.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan dan Sadock, Sinopsis Psikiatri. 2007. Terapi Biologis , Jilid 2. Penerbit
Binarupa Aksara. 2010.
2. Maramis, Willy F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Airlangga
University Press. 2009.
3. Maslim, Rusdi. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik
(Psychotropic Medication). Edisi 3. Jakarta. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK
Unika Atma Jaya. 2007
4. Anonim.Psikofarmaka2.Diaksesdari.http://misaekyu.files.wordpress.com/2009
/12/psikofarmaka2.pdf.
5. Stahl,S.M., 2ed, 2002. Essential Psychopharmacology
6. Schatzberg,A.F., 2001. Essentials of Clinical Psychopharmacology

21

Anda mungkin juga menyukai