Fix Print Metpen
Fix Print Metpen
Oleh :
MOJOKERTO
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Stunting merupakan suatu masalah gizi yang dialami oleh dunia saat ini. Prevalensi
stunting pada tahun 2017 diperkirakan sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami
stunting. Stunting dapat dipengaruhi oleh pemberian ASI Eksklusif yang tidak teratur.
Cakupan ASI eksklusif yang ditargetkan di tahun 2017 oleh Program Direktorat Jenderal
Bina Gizi dan KIA adalah 44%. Namun, berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi tahun
2017 capaian ASI eksklusif hanya sebesar 35,7%. Di Indonesia, cakupan pemberian ASI
eksklusif masih tergolong rendah di beberapa provinsi. Salah satunya di provinsi papua
barat yang mana pada tahun 2017 hanya sebesar 15,32%. Hal ini menunjukan bahwa
pemberian ASI eksklusif masih belum maksimal karena rendahnya pemahaman
ibu,kelurga, dan masyarakat mengenai manfaat dan pentingnya pemberian ASI bagi bayi.
Sehingga, program pemeberian ASI eksklusif tidak berlangsung secara optimal,
akibatnya anak batita sering mengalami masalah dalam masa pertumbuhannya. (Pusdatin
Kemenkes, 2018).
Menurut WHO, balita dengan stunting di dunia, lebih dari setengahnya terdapat pada
kawasan Asia dengan prevalensi 55% sedangkan lebih dari sepertiganya terdapat pada
kawasan afrika dengan prevalensi sebanyak 39%. Indonesia termasuk ke dalam negara
ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional
(SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.
(Pusdatin Kemenkes, 2018).
Menurut Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa
prevalensi balita pendek di Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit
penurunan menjadi 35,6%. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat pada
tahun 2013 yaitu menjadi 37,2%. Kemudian pada tahun 2015, prevalensi balita pendek
di Indonesia adalah 29%. Angka ini mengalami penurunan pada tahun 2016 menjadi
27,5%. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat menjadi 29,6% pada tahun
2017. Nusa tenggara timur merupakan salah satu provinsi dengan prevalensi tertinggi
balita pendek dengan angka kejadian sebesar 42,6 %.(Riskesdas, 2018).
Prevalensi balita pendek di Indonesia selalu mengalami perubahan di setiap tahun
hal ini dibuktikan dengan penurunan kejadian stunting pada tahun 2007, kemudian
mengalami peningkatan pada tahun 2013 dan mengalami penurunan lagi pada tahun 2016
-2017 dengaan prevalensi sebesar 29,6%. Walaupun terjadi penurunan prevalensi anak
pendek, tetapi belum mencapai target penurunan angka balita pendek yang ditetapkan
(Global Nutrition Report, 2017).
Menurut (M. Rizal, 2016) ASI eksklusif memiliki hubungan yang bermakna dengan
kejadian stunting (p<0,05). selain itu anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif
memiliki risiko mengalami kejadian stunting 7,86 (2,43-25,4) kali lebih tinggi
dibandingkan anak yang mendapatkan ASI eksklusif.
ASI eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI selama 6 bulan tanpa tambahan
makanan cairan lain, seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, dan air putih, serta tanpa
tambahan makanan padat , seperti, pisang, bubur susu, biscuit, bubur nasi, dan nasi,
kecuali vitamin, mineral, dan obat (Prasetyono, 2009). Pemberian ASI eksklusif kepada
bayi merupakan hal yang penting dalam pembangunan sumberdaya manusia sejak dini,
karena sejak dini bayi mendapatkan makanan yang paling sehat dan tepat yang akan
memberi pengaruh positif terhadap tumbuh kembang selanjutnya. Jika pemberian ASI
eksklusif tidak diberikan dengan baik kepada bayi maka akan menyebabkan beberapa
masalah salah satunya ialah kegagalan dalam masa pertumbuhan atau stunting.
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan
yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau
tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak
dari WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak
faktor seperti kondisi sosial ekonomi, status pendidikan, gizi ibu saat hamil, kesakitan
pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi.(Pusdatin Kemenkes, 2018). Faktor-
faktor inilah yang menjadi penyebab kegagalan pemberian ASI Eksklusif. Studi kualitatif
Fikawati & Syafiq melaporkan faktor predisposisi kegagalan ASI eksklusif adalah karena
faktor pengetahuan dan pengalaman ibu yang kurang dan faktor pemungkin penting yang
menyebabkan terjadinya kegagalan adalah karena ibu tidak difasilitasi melakukan IMD
(Thermometer, 2010). Tingkat pengetahuan ibu yang rendah akan memperkecil peluang
untuk mendapat penghasilan yang memadai dalam membantu memenuhi kebutuhan
keluarga, selain itu tingkat pengetahuan ibu rumah tangga yang rendah juga membatasi
penerimaan informasi sehingga tingkat pengetahuan gizi juga rendah. Semakin tinggi
pengetahuan ibu rumah tangga , maka semakin diperhitungkan jenis makanan
berdasarkan nilai gizi untuk konsumsi oleh bayi,Sehingga angka kejadian stunting dapat
menurun.
Menurut penelitian Wahdah (2012) anak yang tidak mendapatkan ASI secara
eksklusif berisiko menderita stunting 2 kali lebih besar dari anak yang diberikan ASI
eksklusif. Oleh karena itu Pemberian ASI eksklusif harus diberikan dengan baik kepada
bayi agar tidak terjadi kejadian stunting pada anak .
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pemeberian ASI eksklusif
dengan kejadian stunting
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka rumusan masalah penelitian ini
adalah Adakah hubungan pemberian asi eksklusif dengan kejadian stunting ?
1.3 Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
ASI (Air susu ibu) adalah air susu yang dihasilkan oleh ibu dan
mengandung semua zat gizi yang diperlukan oleh bayi untuk kebutuhan
pertumbuhan dan perkembangan bayi. ASI Eksklusif adalah hanya
memberi Bayi ASI saja, tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula,
air jeruk, madu, air the, air putih dan tanpa tambahan makanan padat
seperti pisang, papaya, bubur susu, biscuit, bubur nasi, dan tim selama 6
bulan.(Bayi, 2016).
1. Kolostrum
Keluar dihari ke-1 sampai ke-3 kelahiran bayi,
berwarna kekuningan, kental. Kolostrum mengandung zat
gizi dan antibody lebih tinggi daripada ASI matur.
Kandungan gizi antara lain protein 8,5%, lemak 2,5%,
sedikit karbohidrat 3,5%, garam dan mineral 0,4%, air
85,1%.
2. ASI masa transisi
Keluar dari hari ke 4 sampai hari ke 10 kelahiran bayi.
Kadar protein semakin rendah sedangkan kadar lemak,
karbohidrat semakin tinggi dan volume meningkat.
3. ASI matur
Keluar dari hari ke 10 sampai seterusnya. Kadar
karbohidrat ASI relatif stabil. Komponen laktosa
(karbohidrat) adalah kandungan utama dalam ASI
sebagai sumber energy untuk otak.(Bayi, 2016).
2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian Asi Eksklusif
1. Usia ibu
2. Tingkat pendidikan ibu
3. Sttus pekerjaan
4. Urutan kelahiran bayi
5. Pengetahuan ibu
6. Dukungan suami
7. Dukungan petugas kesehatan
8. Social budaya
(Susmaneli, 2013)
Selain panjang badan lahir dan tinggi badan orang tua, status
ekonomi keluarga dan pendidikan orang tua juga merupakan faktor
risiko kejadian stunting pada balita. Status ekonomi keluarga
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain pekerjaan orang tua, tingkat
pendidikan orang tua dan jumlah anggota keluarga. Status ekonomi
keluarga akan mempengaruhi kemampuan pemenuhan gizi keluarga
maupun kemampuan mendapatkan layanan kesehatan. Anak pada
keluarga dengan tingkat ekonomi rendah lebih berisiko mengalami
stunting karena kemampuan pemenuhan gizi yang rendah, meningkatkan
risiko terjadinya malnutrisi. Tingkat pendidikan orang tua yang rendah
juga disinyalir meningkatkan risiko malnutrisi pada anak. Tingkat
pendidikan orang tua akan berpengaruh terhadap pengetahuan orang tua
terkait gizi dan pola pengasuhan anak, dimana pola asuh yang tidak tepat
akan meningkatkan risiko kejadian stunting.(Studi et al., 2013)
2.2.6 Intervensi
Gen
etik
Kurangnya
masa kehamilan
BBLR
Panjang
STUNTING
badan lahir rendah
KetidakefektifanASI
eksklusif.
Tingkat
pendidikan orangtua
Status ekonomi
Status gizi
BAB 3
METODE PENELITIAN
Hidayat, A. (2007). Metode Penelitian Keperawatan Dan Teknik Analisa Data . Jakarta:
Selemba Medika.
Prasetyono. (2009). Buku Pintar ASI Eksklusif Pengenalan, Praktik, dan Kemanfaatan-
kemanfaatannya. Yogyakarta: DIVA Press.
Setiadi. (2013). Konsep Dan Praktik Penulisan Riset Keperawatan (2 ed.). Yogyakarta:
Graha ilmu.
Setyarini, A. (2015). Pengaruh Pemberian ASI Eksklusif Dan Non Eksklusif Terhadap
Mental Emosional Anak Usia 3-4 Tahun. Jurnal Gizi Indonesia , 16-21.Bayi, N.
(2016). Sukses ASI Ekslusif 2016, 0–38.
Intani, T. M., Syafrita, Y., & Chundrayetti, E. (2018). Artikel Penelitian Hubungan
Pemberian ASI Eksklusif dan Stimulasi Psikososial dengan Perkembangan Bayi
Berumur 6 – 12 Bulan ., 8(Supplement 1), 7–13.
Namangboling, A. D., Murti, B., & Sulaeman, E. S. (2017). Hubungan Riwayat Penyakit
Infeksi dan Pemberian ASI Eksklusif dengan Status Gizi Anak Usia 7-12 Bulan di
Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang. Sari Pediatri, 19(2), 91.
https://doi.org/10.14238/sp19.2.2017.91-6
Pemberian, D., Eksklusif, A. S. I., Anggraeni, N., P, D. R., & Aruben, R. (2018). No
Title, 6(April), 74–81.
Studi, P., Gizi, I., Kedokteran, F., & Diponegoro, U. (2013). of Nutrition College ,
Volume Nomor Tahun Halaman of Nutrition College , Volume Nomor Tahun
Halaman, 2.
Wahdah, S., Juffrie, M., & Huriyati, E. (2015). Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada
Anak Umur 6-36 Bulan Di Wilayah Pedalaman. Jurnal Gizi Dan Dietetik Indonesia,
3(2), 119–130.