Asuransi Syariah
Asuransi Syariah
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam istilah fikih muamalah, gharar adalah suatu perkara yang kerap
terjadi dalam jual beli yang tidak jelas objeknya. Misalnya ada orang yang
menjual burung kepada anda, namun burung yang dijualnya adalah burung liar
yang hinggap di dahan pohon. Atau contoh lainnya, ada seseorang yang menjual
ikan dalam ember tertutup, kemudian ketika anda hendak membelinya, si penjual
tidak menjelaskan kepada anda mengenai jenis ikan dan jumlahnya. Maka dari
sudut pandang fikih, jual beli semacam itu batal karena dalam rukun jual beli,
penjual harus menguasai penuh akan barang tersebut dan di sisi lain tidak
dibolehkan adanya ketidak jelasan.
Kemudian mengenai riba, tampaknya yang satu ini telah banyak disinggung
oleh guru-guru agama atau oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Dari sudut
pandang ilmu fikih, riba adalah sesuatu yang melebihi pokoknya, ini berbeda
1
dengan konsep jual beli karena salah satu pihak nantinya akan dirugikan dalam
praktek riba itu. Adapun maysir, secara bahasa adalah judi atau mengadu nasib,
hal ini bersifat untung-untungan atau lebih kepada spekulasi saja. Ini pun dilarang
dalam Islam.
Menyadari akan hal itu, akhirnya asuransi syariah menjadi objek produk
keuangan yang makin dilirik, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non
Bank (KEIKNB) Firdaus Djaelani, turut memberikan pandangan mengenai
peluncuran road map Industri Keuangan Non Bank (IKNB) khususnya dengan
sistem syariah akan menentukan arah pengembangan bisnis keuangan syariah ke
depan, termasuk industri asuransi syariah.
2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dan implementasi akad muamalah yang ada di asuransi
syariah?
2. Akad apa saja yang terdapat dalam asuransi syariah?
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Untuk maysir terkandung dalam asuransi konvensional pada saat peserta
mengundurkan diri dari kepesertaan, ia tidak akan menerima kembali yang telah
dibayarkan, kecuali sebagian kecil saja. Sehingga peserta mengalami kerugian,
sedangkan perusahaan mengalami keuntungan. Pada asuransi syariah, hal ini tidak
terjadi karena rekening peserta beserta hasil investasinya akan dikembalikan
kepada peserta. Kecuali dana yang ada pada rekening tabarru’.
Barangkali kita sering berpikir bahwa secara konsep dan istilah memang
asuransi syariah berbeda dengan konvensional, namun secara substansi tidak ada
bedanya antara asuransi syariah dan konvensional. Pandangan semacam ini,
banyak menyebar di masyarakat jika logika yang dipakai seperti itu. Namun
hakikatnya jelas berbeda antara asuransi syariah dan konvensional, perbedaan
paling mendasar terletak pada akad yang dilakukan di awal.
5
Dalam asuransi konvensional terjadi adanya gharar atau ketidakpastian
yang disebabkan karena ketidakjelasan landasan akad yang dibangun, apakah
tijarah (akad jual beli) atau takaful (tolong menoling dalam pertanggungan) yang
diterapkannya.
Mendermakan harta atas dasar tolong menolong adalah bagian dari ibadah.
Harta yang di dermakan itu pun tentunya menjadi bagian amal saleh yang tak
luput dari perhitungan Allah, jika didasari dengan keikhlasan.
6
prinsipnya menolak asuransi konvensional. Namun menyadari realita dalam
masyarakat bahwa asuransi tidak dapat dihindari sebagai kebutuhan mendasar
yang terdapat dalam tujuan Islam, yakni mencari keamanan atau al-ammu, serta
kecukupan atau al-kifayah, maka di keluarkan pedoman umum akad untuk
asuransi dengan fatwa berikut ini:
Prinsip Akad Syariah
Penggunaan akad yang syariah dalam asuransi adalah yang tidak
mengandung gharar atau penipuan, maysir atau perjudian, riba atau bunga, zulmu
atau penganiayaan, riswah atau suap, serta tidak mengandung barang haram atau
maksiat.
Tabarru’ merupakan hibah berdasarkan fatwa No. 21, 39 & 53 yang berlaku
untuk asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi.
2. Akad Tijarah
Akad tijarah memiliki arti semua bentuk akad yang dilakukan dengan
tujuan komersil. Pengaplikasian akad tijarah dalam asuransi syariah lebih dikenal
sebagai akad mudharabah.
7
C. Posisi Pihak Pelaksana Akad
Dalam akad tijarah atau mudharabah, perusahaan asuransi bertindak
sebagai mudharib atau pengelola dana, dan peserta atau shahibul mal adalah
pemegang polis, seperti halnya terdapat dalam asuransi konvensional. Sedangkan
dalam akad tabarru’, peserta asuransi berkedudukan sebagai pemberi hibah yang
digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah, dengan perusahaan
asuransi sebagai penengah serta pengelola dana hibah tersebut.
8
D. Akad Tijarah Lainnya pada Asuransi Syariah
Selain menggunakan akad mudharabah, konsep produk asuransi syariah
juga dapat menggunakan akad wadiah,dan wakalah.
1. Akad wadiah
Wadiah berarti meninggalkan atau menjaga. Landasan syariahnya adalah
QS. An Nisa ayat 58. Yang artinya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.”
Berdasarkan ini, maka para ulama menyatakan bahwa akad wadiah boleh
digunakan untuk kegiatan yang bersifat tolong menolong dalam dunia asuransi
syariah. Akad wadiah yang digunakan dalam asuransi syariah ini adalah wadiah
yad dhamanah, dimana pihak yang dititipkan dana, dalam hal ini perusahaan
asuransi syariah berhak untuk memanfaatkan dana tersebut. Penitipan dilakukan
dalam rekening giro.
2. Akad wakalah
Wakalah berarti penyerahan atau pendelegasian. Dengan begitu secara
ringkas dapat dikatakan bahwa wakalah merupakan pelimpahan atau
pendelegasian wewenang dari satu pihak untuk dilaksanakan oleh pihak lainnya.
Adapun landasan syariah dari akad wakalah adalah QS Al Baqarah ayat 283.
Yang artinya:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan
9
barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang
berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
10
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
11