Anda di halaman 1dari 23

A.

Kondisi Perikanan Budidaya di Maluku

 Budidaya Laut (Marine Culture)

Perkembangan kegiatan budidaya laut di Provinsi Maluku masih fluktuatif mulai tahun
2006 sampai tahun 2011. Luas usaha, produksi, dan nilai produksinya mengalami pasang surut.
Secara umum luas usaha, produksi, dan nilai produksinya terlihat fluktuatif dari tahun ke tahun,
namun terjadi peningkatan yang signifikan antara tahun 2010 dan 2011. Untuk jelas-nya
perkembangan perikanan budidaya laut di Provinsi Maluku sejak tahun 2006 sampai dengan
tahun 2011 dapat dilihat pada tabel 5.2 dibawah.

A. Sumberdaya Potensial

Jenis komoditas perikanan budidaya laut di provinsi Maluku ada tiga jenis, yaitu rumput
laut, ikan kerapu, dan teripang. Tingginya produksi budidaya rumput laut tak lepas dari
kebijakan strategi yang dijalankan bagi komoditas ini sejak tahun 2006 mulai dari bantuan paket
sarana, prasarana, maupun dana. Produksi dan nilai produksinya jauh lebih tinggi dibandingkan
tahun sebelumnya (Tabel 5.2).

Pencapaian produksi dan nilai produksi budidaya laut di Maluku tahun 2011 menurut
jenis budidayanya selengkapnya diuraikan pada Tabel 5.3. Dari tabel terlihat jelas bahwa
komoditas rumput laut menduduki peringkat tertinggi dalam budidaya laut. Hal itu tak lepas dari
kebijakan strategi untuk rumput laut mulai tahun 2006 sampai sekarang
Kegiatan perikanan budidaya laut paling banyak dilakukan di tiga wilayah, yaitu Kabupaten
Maluku Tenggara Barat, Kepulauan Aru, dan Kota Tual. Luas usaha, jenis komoditas, produksi
dan nilai produksinya pada tahun 2011 selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.4 berikut.

B. Sarana dan Prasarana

Untuk sarana dalam budidaya laut, dibutuhkan lokasi usaha pemeliharaan yang memiliki
kondisi fisik, kimia, biologi dan ekologi yang sesuai untuk hidup komoditas yang akan
dibudidayakan. Budidaya laut di Provinsi Maluku tersebar di 10 kabupaten/kota dari jumlah total
11 kabupaten/kota. Kabupaten/ kota tersebut adalah Kota Ambon, Maluku Tengah, Seram
Bagian Barat, Seram Bagian Timur, Buru, Maluku Tenggara, Maluku Tenggara Barat,
Kepulauan Aru, Maluku Barat Daya, dan Kota Tual. Hampir seluruhnya memiliki wilayah
perairan laut yang memungkinkan budidaya laut.
Luas areal budidaya laut tahun 2011 tercatat seluas 164.825,67Ha, jauh lebih luas dari
tahun sebelumnya yaitu 6.194,90 Ha (Tabel 5.2). Terjadinya lonjakan tersebut dikarenakan
adanya ekstensifikasi lahan bagi komoditas rumput laut. Hal itu terlihat dari melonjaknya
produksi rumput laut tahun 2010 dari 380.814,66 ton menjadi 814.169,10 ton di tahun 2011
(Tabel 5.2).

C. Sumberdaya Manusia

Perkembangan jumlah rumah tangga dan petani budidaya perikanan laut di Provinsi
Maluku sejak tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 juga bervariasi. Untuk jelasnya dapat dilihat
pada Tabel 5.5 berikut ini menunjukkan semakin tingginya minat masyarakat untuk budidaya
laut di Provinsi Maluku.

 Budidaya Tambak (Brackish Water Pond)

Kegiatan budidaya tambak di Provinsi Maluku tahun 2011 berkembang lebih baik dari
tahun sebelumnya. Luas usaha, produksi, maupun nilai produksi budidaya tambak di Provinsi
Maluku sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 menunjukan peningkatan. Untuk jelasnya
dapat dilihat pada Tabel 5.6 berikut:
A. Sumberdaya Potensial

Jenis komoditas perikanan budidaya tambak di provinsi Maluku ada 3 jenis, yaitu udang
windu (Giant tiger prown), kepiting, dan ikan bandeng (Chanos chanos). Tingginya produksi
udang windu disebabkan karena komoditas ini masih menjadi primadona masyarakat untuk
keperluan konsumsi. Udang windu, yang nama latinnya Penaeus monodon merupakan jenis
udang yang digemari konsumen karena rasanya yang manis. Masyarakat pun menyukai daging
kepiting dan bandeng untuk dikonsumsi.

Pencapaian produksi dan nilai produksi budidaya tambak di Maluku tahun 2011 menurut
jenis budidayanya selengkapnya diuraikan pada Tabel 5.7. Dari tabel terlihat jelas bahwa
komoditas udang windu menduduki peringkat tertinggi dalam budidaya tambak.
Di Maluku, hanya terdapat 3 kabupaten yang melaksanakan budidaya tambak, yaitu Maluku
Tengah, Buru, dan Kepulauan Aru di tahun 2011. Luas usaha, jenis komoditas, produksi dan
nilai produksinya pada tahun 2011 selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.8.

B. Sarana dan Prasarana

Untuk sarana dalam budidaya tambak, dibutuhkan lokasi usaha pemeliharaan yang
memiliki kondisi fisik, kimia, biologi dan ekologi yang sesuai untuk hidup komoditas yang akan
dibudidayakan. Budidaya tambak di Provinsi Maluku tersebar di 3 kabupaten/kota dari jumlah
total 11 kabupaten/kota. Kabupaten/ kota tersebut adalah Maluku Tengah, Buru, dan Kepulauan
Aru. Luas areal budidaya tambak tahun 2011 tercatat seluas 275,40 ha, jauh lebih luas dari tahun
sebelumnya yaitu 27,2 ha (Tabel 5.6). Terjadinya lonjakan tersebut dikarenakan ekstensifikasi
lahan bagi komoditas udang windu dan kepiting.

C. Sumberdaya Manusia

Walaupun terjadi peningkatan produksi, perkembangan jumlah rumah tangga dan petani
budidaya perikanan tambak di Provinsi Maluku sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2011
tercatat mengalami penurunan. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.9 berikut ini.
Hal tersebut terjadi karena beralihnya petani tambak menjadi petani budidaya laut, khususnya
komoditas rumput laut. Ini menunjukkan semakin tingginya minat masyarakat untuk melakukan
budidaya laut dengan komoditas rumput laut di Provinsi Maluku.

 Budidaya Kolam

A. Sumberdaya potensial

Kegiatan budidaya kolam di Provinsi Maluku tahun 2011 telah berkembang lebih baik
dari tahun sebelumnya, produksi totalnya meningkat dari 45,1 ton menjadi 52 ton (Tabel 5.10).
Namun hasil tersebut jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan produksi antara tahun 2006
sampai 2009 yang rata-rata per tahunnya sebesar 132,875 ton. Terlihat juga dari luas usaha,
produksi, maupun nilai produksi budidaya kolam di Provinsi Maluku sejak tahun 2008 sampai
dengan tahun 2011 yang menunjukan penurunan. Ini menunjukkan bahwa minat masyarakat
Maluku terhadap budidaya kolam semakin berkurang.
Terdapat hanya 3 jenis komoditas perikanan budidaya kolam di provinsi Maluku, yaitu
ikan mas, ikan mujair, dan ikan nila. Produksi tertinggi adalah komoditas ikan mas, disusul
dengan ikan nila, dan yang terakhir adalah ikan mujair. Dilihat dari syarat hidupnya, ketiga
komoditas ini termasuk jenis ikan yang mudah dibiakkan. Tidak salah jika petani kolam banyak
membudidayakannya. Konsumen pun masih meminati ketiga jenis ikan ini. Pencapaian produksi
dan nilai produksi budidaya kolam di Maluku tahun 2011 menurut jenis budidayanya
selengkapnya diuraikan pada Tabel 5.11.

Tahun 2011 di Maluku, terdapat 4 kabupaten yang melaksanakan budidaya kolam, yaitu Ambon,
Maluku Tengah, Seram Bagian Barat, dan Buru. Luas usaha, jenis komoditas, produksi dan nilai
produksinya pada tahun 2011 selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.12.

B. Sarana dan Prasarana

Untuk sarana dalam budidaya kolam, dibutuhkan lokasi usaha pemeliharaan yang
memiliki kondisi fisik, kimia, biologi dan ekologi yang sesuai untuk hidup komoditas yang akan
dibudidayakan. Budidaya kolam di Provinsi Maluku tersebar di 4 kabupaten/kota dari jumlah
total 11 kabupaten/kota. Kabupaten/ kota tersebut adalah Ambon, Maluku Tengah, Seram Bagian
Barat, dan Buru. Keempatnya memiliki sarana bagi budidaya kolam. Di tahun 2011 juga tercatat
bahwa produksi benih ikan nila dan ikan mas menempati urutan pertama dan ketiga. Masing –
masing jumlahnya adalah sebanyak 76.760 dan 36.607 ekor. Urutan kedua ditempati oleh ikan
kerapu, yakni sebanyak 71.997 ekor (Statistik Perikanan Budidaya Provinsi Maluku, 2012). Luas
areal budidaya kolam tahun 2011 tercatat seluas 20,70 ha, jauh lebih luas dari tahun sebelumnya
yaitu 14,30 ha (Tabel 5.10). Terjadinya lonjakan tersebut dikarenakan ekstensifikasi lahan bagi
komoditas ikan nila dan ikan mas.

C. Sumberdaya Manusia

Walaupun terjadi peningkatan produksi dari tahun sebelumnya, perkembangan jumlah


rumah tangga dan petani budidaya perikanan kolam di Provinsi Maluku sejak tahun 2009 sampai
dengan tahun 2011 tercatat mengalami penurunan. Ini menandakan adanya intensifikasi di sektor
budidaya kolam pada tahun 2011. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.13
B. Kondisi Perikanan Budidaya di Indonesia

 Permasalahan Perikanan budidayaa.


a. Permasalahan pakan ikan

Pakan merupakan komponen tertinggi dalam struktur biaya operasi budidaya baik ikan
maupun udang, dimana biaya pakan (feed cost) dapat mencapai 40- 70% dari biaya operasi. Hal
ini mengandung arti bahwa harga pakan sangat berperan dalam menentukan tinggi atau
rendahnya biaya produksi ikan. Selanjutnya, biaya produksi ikan dari suatu negara akan
menentukan daya saing ikan negara tersebut di pasar eksport ataupun di pasar domestik. Sebagai
implikasinya, pengendalian harga pakan pada level yang relatif murah atau paling sedikit setara
dengan harga pakan sejenis di negara kompetitor adalah suatu hal yang sangat positif bagi
pengembangan perikanan budidaya yang berkelanjutan. Dilihat dari sisi produksi, bahan baku
pakan ikan di Indonesia sebagian besar masih impor, utamanya tepung ikan, tepung kedelai, dan
tepung jagung, atau kalaupun ada produk dalam negeri biasanya harganya lebih mahal dan
kualitasnya lebih rendah dari produk impor. Sementara itu, secara teknis, sumber protein pakan
umumnya berasal dari tepung ikan. Dalam kenyataannya, harga tepung ikan di pasar dunia
cenderung terus naik, karena “supply” lebih sedikit dari pada “demand”. Demand terus
meningkat akibat perkembangan akuakultur di berbagai negara. Negara-negara tersebut adalah
pesaing Indonesia dalam mengekspor komoditas perikanan. Hal ini tentu akan menjadi
penghambat keberlanjutan perikanan budidaya secara ekonomi.

b. Permasalahan penurunan kualitas lingkungan perairan

Dilihat dari sisi penggunaan pakan dalam perikanan budidaya sesungguhnya selalu
mengandung inefisiensi. Kalaupun budidaya menghasilkan efisiensi pakan 100% atau 1 kg pakan
dikonversi menjadi 1 kg ikan atau udang, tetap tidak efisien, karena ada perbedaan kadar air,
yakni kadar air pakan lebih kecil dari 10%, sedangkan kadar air ikan atau udang kurang lebih
67%. Dengan perkataan lain, budidaya ikan dengan efisiensi pakan 100% pun tetap
menghasilkan limbah yang lebih banyak daripada produknya sendiri. Akibatnya, bila hal ini
tidak diperhitungkan dengan sistem rantai makanan dan daya dukung lingkungan tentu akan
menyebabkan pencemaran dan aktivitas perikanan budidaya pada akhirnya menjadi tidak
berkelanjutan. Selain itu, jaminan lokasi perikanan budidaya didalam Tata Ruang menjadi suatu
fundamental yang sangat urgen, karena hal itu akan berarti kepastian hukum dalam arti fisik dan
fungsional bagi para pelaku usaha perikanan budidaya. Kepastian hukum dalam arti fisik
mengandung makna bahwa lokasi budidaya tidak bisa diganggu gugat atau diusir oleh
peruntukan lain selain dari perikanan budidaya. Kepastian hukum dalam arti fungsional
bermakna bahwa lokasi yang berada dalam Tata Ruang tersebut akan dapat melaksanakan fungsi
perikanan budidaya dengan baik. Sehingga terdapat jaminan bahwa perairan yang ada tidak akan
tercemari baik oleh limbah industri, pertanian ataupun rumah tangga yang berada dibagian hulu
DAS (Daerah Aliran Sungai) yang mengalir di kawasan tersebut. Namun, faktanya tidak sedikit
masalah yang timbul akibat adanya konflik kepentingan penggunaan ruang antara perikanan
budidaya dengan kegiatan sektor lain. Hal ini tentu juga akan menjadi penghambat dalam
mewujudkan perikanan budidaya yang berkelanjutan.

c. Permasalahan induk ikan dan udang yang SPF (Specific Pathogen Free)

Pada awalnya perikanan budidaya, tidak sulit mendapat indukan bermutu dan tahan
penyakit dari. Namun, dengan berjalannya waktu muncullah berbagai penyakit viral yang
menyebabkan indukan ikan dan udang rentan terhadap penyakit. Hal ini terjadi karena
Pemerintah Indonesia dalam hal ini kementerian kelautan dan Perikanan tidak pernah serius
dalam menghasilkan induk ikan dan udang yang SPF (Specific Pathogen Free). Sebagai
gambaran pada perikanan budidaya udang, Pemerintah Amerika dan beberapa negara Amerika
Latin membuat riset jangka panjang untuk perbaikan mutu genetik, sehingga diperoleh induk
udang Vanamae SPF setelah 15 tahun melakukan riset. Sementara, di Indonesia untuk riset induk
udang windu SPF tidak dilakukan dengan serius dan tuntas walaupun sudah dibahas sejak tahun

Perikanan Budidaya Produksi perikanan budidaya berasal dari usaha budidaya laut,
budidaya tambak, budidaya kolam, budidaya keramba, budidaya jaring apung, budidaya sawah
dan budidaya laut. Luas lahan perikanan budidaya menurut jenis budidaya dari tahun 2008
sampai dengan 2012 selengkapnya dapat dilihat pada Tabel berikut.
Perikanan budidaya merupakan sektor yang pertumbuhannya masih dapat terus dipacu,
mengingat pemanfaatan potensi yang ada masih rendah dibanding luas lahan yang tersedia.
Potensi lahan budidaya di Indonesia diperkirakan mencapai 17.744.303 Ha (Pusdatin KKP,
2011) sedangkan total pemakaian baru mencapai 1.125.597 Ha (Statistik Perikanan Budidaya,
2012). Kondisi eksisting pemanfaatan potensi kolam tercatat sebesar 22,6%, sawah 7,5%
sedangkan pemanfaatan perairan umum untuk keramba maupun KJA baru 1,1%. Tingkat
pemanfaatan lahan untuk budidaya perairan payau mencapai 36%, sedangkan budidaya laut baru
mencapai tingkat pemanfaatan 1,1%. Penyediaan lahan untuk areal budidaya dapat dilakukan
melalui pencetakan lahan baru atau dengan memanfaatkan lahan budidaya yang iddle.
Pembuatan wadah budidaya baru atau pemanfaatan lahan iddle untuk kegiatan budidaya harus
dirancang berdasarkan informasi yang dikumpulkan melalui studi kelayakan. Produksi perikanan
budidaya Indonesia pada tahun 2012sebesar 9,45 juta ton, atau 61,92% dari produksi perikanan
nasional yang diprediksi sebesar 15,26 Juta ton. Komposisi produksi perikanan budidaya
menurut jenis usaha adalah budidaya air tawar: 2,07 juta ton, budidaya air payau: 1,79 juta ton,
dan budidaya laut (termasuk rumput laut) sebesar 5,59 juta ton.
Selama periode 2008 sampai dengan 2012 jumlah pembudidaya secara total mengalami kenaikan
sebesar 38%. Persentase kenaikan terbesar jumlah pembudidaya adalah sebesar 150% di jenis
usaha budidaya laut. Jumlah pembudidaya ikan berdasarkan jenis budidaya tahun 2008-2012
selengkapnya disajikan pada Tabel berikut.

Keragaan input perikanan budidaya antara lain meliputi keragaan lokasi budidaya, fasilitas
produksi, induk, benih, pakan, pupuk, obat-obatan, pestisida, peralatan akuakultur, tenaga kerja
dan sebagainya. Sedangkan teknologi perikanan budidaya dapat dibagi menjadi teknologi
budidaya intensif, semi intensif serta teknologi sederhana (tradisional). Perbedaan sistem
teknologi tersebut terutama pada jumlah padat penebaran benih, jumlah pakan buatan serta
sistem manajemen air dan wadah budidaya.

Penyebaran BBI di Indonesia saat ini masih tidak merata dan terpusat di Jawa, sedangkan potensi
perikanan budidaya berada di luar Jawa. Untuk saluran irigasi, hanya 160.000 ha (26%) dari
tambak eksisting yang telah ditata saluran irigasinya, selebihnya kondisinya masih
memprihatinkan. Pengembangan infrastruktur pendukung perikanan lainnya seperti
pembangunan jalan produksi, saluran air, dan jalan penghubung antara kawasan produksi dengan
kawasan pengolahan-pemasaran memerlukan penataan ulang, terutama terkait dengan rencana
peningkatan produksi perikanan budidaya yang cukup tinggi.
Komoditas utama perikanan budidaya terdiri dari udang, ikan kerapu, rumput laut, ikan nila, ikan
mas, ikan bandeng, ikan kakap, ikan patin, ikan lele, serta ikan gurame. Sebanyak 7 komoditi
mdngalami kenaikan nilai produksi dari tahun 2007- 2012, sedangkan komoditi lainnya
mengalami penurunan nilai produksi. Nilai produksi total ikan berdasarkan komoditi budidaya
tahun disajikan pada Gambar berikut.

Kenaikan nilai produksi perikanan budidaya menurut jenis budidaya berturutturut adalah
budidaya kolam sebesar 303%, KJA (288%), keramba (237%), budidaya laut (189%), mina padi
(91%) serta budidaya tambak (65%).

Berdasarkan fakta kondisi eksisting perikanan budidaya seperti tersebut dapat disarikan penilaian
keberlanjutan dari kinerja perikanan budidaya nasional dilihat dari aspek ekonomi, aspek
ekologi/lingkungan, dan aspek sosial, yakni sebagai berikut :

1) Aspek Ekonomi

Produksi perikanan budidaya Indonesia pada tahun 2012 sebesar 9,45 juta ton, atau
61,92% dari produksi perikanan nasional sebesar 15,26 juta ton. Komposisi produksi perikanan
budidaya menurut jenis usaha adalah budidaya air tawar: 2,07 juta ton, budidaya air payau: 1,79
juta ton, dan budidaya laut (termasuk rumput laut) sebesar 5,59 juta ton. Produksi perikanan
budidaya tertinggi pada tahun 2012 diraih oleh Provinsi Sulawesi Selatan kemudian berturut-
turut diikuti oleh Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Sulawesi Tengah. Provinsi Papua, Provinsi
Bangka Belitung serta DKI Jakarta merupakan Provinsi dengan jumlah produksi perikanan
budidaya paling sedikit. Kenaikan nilai total produksi perikanan budidaya menurut jenis
budidaya dari tahun 2007 sampai dengan 2011 sebesar 138%. Kenaikan nilai produksi perikanan
budidaya menurut jenis budidaya yang terbesar dari tahun 2007 sampai dengan 2011 berturut-
turut adalah budidaya kolam sebesar 303%, KJA (288%), keramba (237%), budidaya laut
(189%), mina padi (91%) serta budidaya tambak (65%). Secara keseluruhan, nilai produksi
perikanan budidaya pada tahun 2007 sebesar Rp.27.928.287.250.000,- tahun 2008
Rp.37.842.768.269.000,- tahun 2009 sebesar Rp.40.671.351.316.000,- tahun 2010 sebesar
Rp.63.417.542.124.000,- serta tahun 2011 sebesar Rp.66.549.923.290.000,- Jumlah RTP
Pembudidaya selama kurun waktu 2007-2011 mengalami kenaikan sebesar 18% atau rata-rata
per tahun naik 4,4%.

Jumlah RTP Pembudidaya pada tahun 2007 sebesar 1.338.758 RTP dan pada tahun 2011
jumlahnya mencapai 1.575.787 RTP. Satu-satunya RTP Pembudidaya yang mengalami
penurunan adalah RTP Pembudidaya Sawah yaitu sebesar -6% selama kurun waktu 2007 sampai
dengan 2011. Jumlah RTP pembudidaya tahun 2012 berdasarkan sebaran pulau didominasi oleh
Pulau Jawa sebesar 52%, diikuti berturut-turut oleh Sumatera (21%), Sulawesi (13%),
Kalimantan (7%), Bali-Nusa Tenggara (5%) serta Maluku-Papua sebesar 2%. Sebaran jumlah
RTP pembudidaya ikan berdasarkan pulau memperlihatkan bahwa RTP pembudidaya ikan
terbanyak adalah RTP Budidaya Kolam di Pulau Jawa, sedangkan RTP Mina Padi di Maluku-
Papua merupakan jumlah RTP terkecil.

Meskipun pada umumnya budidaya ikan hanya sebagai mata pencaharian sampingan,
namun berdasarkan hasil penelitian pendapatan dari usaha budidaya ikan masih merupakan
penyumbang terbesar bagi pendapatan keluarga pembudidaya ikan. Menurut KKP dan BPS
(2011) usaha budidaya ikan memberikan kontribusi sebesar 64% sampai dengan 89% terhadap
pendapatan keluarga. Keluarga pembudidaya ikan akan memperoleh pendapatan dari usaha
budidaya pada saat panen. Masa panen tersebut bergantung kepada jenis ikan yang
dibudidayakan serta pola tanam yang diaplikasikan. Pada tahun 2012, dengan asumsi nilai
produksi yang dihasilkan oleh pembudidaya ikan skala kecil sebagian besar adalah untuk biaya
produksi, maka ratarata nilai pendapatan adalah sekitar Rp 14.500.000 per pembudidaya skala
kecil per tahun atau sekitar Rp 1.200.000 per pembudidaya skala kecil per tahun. Bila
pendapatan rataan pembudidaya skala kecil tersebut dibandingkan rataan upah minimum
regional (UMR) nasional tahun 2012, yakni sebesar Rp 1.370.376, maka pendapatan rataan
pembudidaya skala kecil Indonesia masih berada dibawah UMR. Berdasarkan hal ini dapat
dinyatakan bahwa pembangunan perikanan budidaya skala kecil secara nasional ditinjau dari
aspek ekonomi belum berkelanjutan.

2) Aspek Ekologi

Peningkatan produksi budidaya dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu kondisi media (air),
kualitas benih dan kualitas pakan. Pakan merupakan faktor produksi yang menjadi komponen
biaya terbesar dalam suatu usaha budidaya ikan. Budidaya perairan memperkaya lingkungan
dengan buangan pakan termetabolisir dan yang tidak termakan. Sampai batas tertentu buangan
pakan termetabolit tersebut bermanfaat karena meningkatkan produksi ikan, apabila melebihi
jumlah tersebut, zat tersebut pada akhirnya menjadi pencemar. Bahan-bahan yang memperkaya
atau mencemari akibat budidaya terutama fosfor dan nitrogen yang dikandung pakan. Jumlah
fosfor dan nitrogen dalam pakan tergantung kualitas pakan, biasanya masing-masing sebesar 12
dan 55 kg/ton pakan. Ikan akan mengasimilasi sebagian zat hara tersebut (masing-masing sekitar
5 kg dan 14 kg, pada konversi pakan 2) dan sisanya masuk ke lingkungan sebagai buangan
metabolit dan pakan yang tidak dimakan. Zat hara utama yang memperkaya atau mencemari
lingkungan air tawar adalah fosfor, sedangkan untuk air laut adalah N. Jumlah produksi yang
dapat ditolerir oleh lingkungan tertentu dapat ditentukan berdasarkan jumlah pakan yang
diperlukan untuk menghasilkan ikan.

Faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam aspek lingkungan budidaya adalah
keberadaan Invasive Aquatic Species (IAS). IAS merupakan spesies yang diintroduksi baik
secara sengaja maupun tidak sengaja dari luar habitat alaminya. IAS mampu hidup dan
bereproduksi pada habitat barunya dan kemudian menjadi ancaman bagi biodiversitas,
ekosistem, perikanan, pertanian, sosial ekonomi maupun kesehatan manusia pada tingkat
ekosistem, individu maupun genetik. IAS bisa mengancam ekosistem karena bersifat kompetitor,
predator, patogen dan parasit. Selain itu, IAS mampu merambah semua bagian ekosistem alami
atau asli dan menyebabkan punahnya spesies-spesies asli.

3) Aspek Sosial

Teknologi yang digunakan oleh sebagian besar pembudidaya ikan terutama skala kecil
masih sederhana. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan, modal, dan akses terhadap
teknologi. Kondisi ini menyebabkan usaha budidaya yang dilakukan kurang optimal atau
memiliki produktivitas yang rendah. Hal yang lebih krusial pada perubahan sistem budidaya
usaha budidaya ikan, dimana komponen benih, pakan dan obat-obatan merupakan komponen
yang cukup besar proporsinya pada biaya keseluruhan dan mempunyai laju peningkatan indeks
harga yang terbesar dari komponen lainnya maka pada saat sistem budidaya berubah menjadi
sistem intensive, dapat menimbulkan pengaruh berganda (double impact) pada kebutuhan biaya
produksi. Apabila tidak dipersiapkan dengan baik, perubahan tersebut bisa menimbulkan
masalah sosial pada pembudidaya ikan skala kecil.

 Kondisi Sektor Perikanan Budidaya di Wilayah Survei di Indonesia


Perkembangan produksi budidaya di wilayah survei tercatat mengalami peningkatan dari
tahun 2008 sampai dengan tahun 2012. Data produksi budidaya di wilayah survei selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel berikut.

- Sumatera Barat

Perkembangan budidaya laut di Sumatera Barat dari tahun 2008 sampai dengan 2012
mengalami fluktuasi yang relatif tinggi. Luas lahan selama lima tahun tersebut mengalami
penurunan sebesar 44% dan jumlah pembudidaya mengalami penurunan sebesar 4% tetapi
jumlah produksi mengalami peningkatan sebesar 2.350%. Data perkembangan budidaya laut di
Sumatera Barat dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 5.29 Perkembangan Budidaya Laut di
Sumatera Barat

Perkembangan budidaya tambak di Sumatera Barat dari tahun 2008 sampai dengan 2012 berjalan
dengan sangat lambat. Produksi budidaya tambak per tahun relatif rendah serta terjadi
pengurangan luas lahan budidaya yang dikerjakan. Data perkembangan budidaya tambak di
Sumatera Barat dapat dilihat pada Tabel berikut. Tabel 5.30 Perkembangan Budidaya Tambak di
Sumatera Barat

Perkembangan budidaya ikan airt tawar di Sumatera Barat dari tahun 2008 sampai dengan 2012
berjalan dengan pesat terutama dilihat dari sisi produksi. Data perkembangan budidaya kolam di
Sumatera Barat dapat dilihat pada Tabel berikut.
Budidaya jaring apung berkembang dengan pesat di di Sumatera Barat dari tahun 2008 sampai
dengan 2012 terutama di Danau Maninjau dan Danau Singkarak. Data perkembangan budidaya
keramba di Sumatera Barat dapat dilihat pada Tabel berikut.

Budidaya mina padi berkembang stagnan di di Sumatera Barat dari tahun 2008 sampai dengan
2012. Data perkembangan budidaya mina padi di Sumatera Barat dapat dilihat pada Tabel
berikut

- Kalimantan Barat
Perkembangan budidaya laut di Kalimantan Barat dari tahun 2008 sampai dengan 2012
tidak berkembang dengan baik. Luas lahan selama lima tahun tersebut Bab 5 Kinerja
Sektor Perikanan Page 5-36 mengalami penurunan meskipun jumlah pembudidaya dan
jumlah produksi mengalami fluktuasi. Data perkembangan budidaya laut di Kalimantan
Barat dapat dilihat pada Tabel berikut.

Perkembangan budidaya tambak di Kalimantan Barat dari tahun 2008 sampai dengan
2012 berjalan stagnan mulai tahun 2009 dari jumlah luas lahan budidaya . Produksi
budidaya tambak per tahun relatif sedikit meningkat dari tahun 2009 sedangkan jumlah
pembuddaya baru meningkat kembali mulai tahun 2011.. Data perkembangan budidaya
tambak di Kalimantan Barat dapat dilihat pada Tabel berikut.

Perkembangan budidaya ikan air tawar di Kalimantan Barat dari tahun 2008 sampai
dengan 2012 berkembang relatif stagnan. Data perkembangan budidaya kolam di
Kalimantan Barat dapat dilihat pada Tabel berikut.

Perkembangan budidaya ikan keramba di Kalimantan Barat dari tahun 2008 sampai
dengan 2012 berjalan relatif stagnan. Data perkembangan budidaya keramba di
Kalimantan Barat dapat dilihat pada Tabel berikut.

Budidaya jaring apung berkembang dengan pesat di di Kalimantan Barat mulai tahun
2008 tetapi cenderung melandai bahkan pada tahun 2012 jumlah produksi menurun
tajam. Data perkembangan budidaya keramba di Kalimantan Barat dapat dilihat pada
Tabel berikut.

Budidaya mina padi belum berkembang di di Kalimantan Barat dari tahun 2008 sampai
dengan 2012. Data perkembangan budidaya mina padi di Kalimantan Barat dapat dilihat
pada Tabel berikut.
- Jawa Tengah
Perkembangan budidaya laut di Jawa Tengah dari tahun 2008 sampai dengan 2012 belum
berkembang dengan baik. Luas lahan selama lima tahun tersebut mengalami penurunan
dari 3.087.00 m2 menjadi 550.000 m2 meskipun jumlah pembudidaya dan jumlah
produksi mengalami fluktuasi. Data perkembangan budidaya laut di Jawa Tengah dapat
dilihat pada Tabel berikut.

Perkembangan budidaya tambak di Jawa Tengah dari tahun 2008 sampai dengan 2012
berjalan stagnan dilihat dari jumlah luas lahan budidaya, jumlah pembudidaya maupun
produksi budidaya . Data perkembangan budidaya tambak di Jawa Tengah dapat dilihat
pada Tabel berikut.

Budidaya ikan air tawar berupa budidaya kolam di Jawa Tengah melibatkan jumlah
pembudidaya yang relatif besar. Perkembangan budidaya kolam di Jawa Tengah dari
tahun 2008 sampai dengan 2012 berkembang relatif stagnan dimana pertumbuhan luas
lahan, jumlah pembudidaya dan jumlah produksi berturut-turut sebesar 2%, 1% serta 3%.
Data perkembangan budidaya kolam di Jawa Tengah selengkapnya dapat dilihat pada
Tabel berikut.
Perkembangan budidaya ikan keramba di Jawa Tengah dari tahun 2008 sampai dengan
2012 berjalan relatif stagnan. Pertambahan luas lahan, jumlah pembudidaya dan jumlah
produksi berturut-turut minus 0,9%, plus 1,7% serta plus 1,8%. Data perkembangan
budidaya keramba di Jawa Tengah dapat dilihat pada Tabel berikut.

Budidaya jaring apung berkembang dengan pesat di di Jawa Tengah mulai tahun 2008
tetapi cenderung melandai bahkan pada tahun 2012 jumlah produksi menurun tajam.
Pertambahan luas lahan, jumlah pembudidaya dan jumlah produksi jaring apung di Jawa
Tengah berturut-turut minus 0,7%, plus 2,4% serta plus 3,0%. Data perkembangan
budidaya jaring apung di Jawa Tengah dapat dilihat pada Tabel berikut.

Budidaya mina padi berkembang stagnan di Jawa Tengah dari tahun 2008 sampai dengan
2012. Pertambahan luas lahan, jumlah pembudidaya dan jumlah produksi mina padi di
Jawa Tengah berturut-turut minus 0,9%, plus 2,8% serta plus 0,9%. Data perkembangan
budidaya mina padi di Jawa Tengah dapat dilihat pada Tabel berikut.

-Sulawesi Tenggara
Perkembangan budidaya laut di Sulawesi Tenggara dari tahun 2008 sampai dengan 2012
berkembang dengan baik. Pertambahan luas lahan, jumlah pembudidaya dan jumlah
produksi budidaya laut di Sulawesi Tenggara di berturutturut sebesar 672%, 241% serta
413%. Data perkembangan budidaya laut di Sulawesi Tenggara dapat dilihat pada Tabel
berikut.
Perkembangan budidaya tambak di Sulawesi Tenggara dari tahun 2008 sampai dengan
2012 berjalan cukup baik dilihat dari jumlah luas lahan budidaya, jumlah pembudidaya
maupun produksi budidaya. Pertambahan luas lahan, jumlah pembudidaya dan jumlah
produksi budidaya tambak di Sulawesi Tenggara di berturut-turut sebesar 60%, 83% serta
168%. Data perkembangan budidaya tambak di Sulawesi Tenggara dapat dilihat pada
Tabel berikut.

Perkembangan budidaya kolam di Sulawesi Tenggara dari tahun 2008 sampai dengan
2012 berkembang dengan pesat terutama pertumbuhan produksinya. Pertumbuhan luas
lahan, jumlah pembudidaya dan jumlah produksi di Sulawesi Tenggara berturut-turut
sebesar 50%, 94% serta 1.151%. Data perkembangan budidaya kolam di Sulawesi
Tenggara selengkapnya dapat dilihat pada Tabel berikut

Sementara itu, budidaya ikan di keramba, jaring apung, dan minapadi di Sulawesi
Tenggara dari tahun 2008 sampai dengan 2012 masih belum berkembang.
TUGAS
ANALISIS HARGA KOMODITAS PERIKANAN
(Kondisi Budidaya Perikanan Di Indonesia Dan Maluku Saat Ini)

Kelompok 2
Nur Ayni Alrasyid (201668004) Chereen Wirasakti Revallo (201668077)
Ulfi Tehuayo (201668007) Siti Nurbaya Latarissa (201668062)
Tri Wahyuni Tomagola (201668048) Dewi Kartika (201668051)
Marsella Tuhalauruw (201668016) Johanes R.I. Siahaya (201668047)
Jihan Ardhyatami Tueka (201668046) Ahmad Risman (201668084)

Kurniaraga Pasaribu (201668 Ahmad Soleh (201668

Elia Lewerissa (201668040) Kristian Kapasiang (201668

PROGRAM STUDI AGROBISNIS PERIKANAN


JURUSAN AGROBISNIS PERIKANAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019
DAFTAR PUSTAKA

Kementrian PPN/Bappenas. 2014. Kajian Strategi Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan :


Direktorat Kelautan Dan Perikanan.

Radiarta, I Nyoman. 2010. Analisis Spasial Potensi Kawasan Budidaya Laut Di Provinsi Maluku
Utara Dengan Aplikasi Data Penginderaan Jauh Dan Sistem Informasi Geografis. J.
Ris. Akuakultur. Vol. 5 No. 1. Hal. 143-153.

Anda mungkin juga menyukai